Updates from Maret, 2022 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 1:25 am on 3 March 2022 Permalink | Balas  

    Jawaban untuk Kaum Quraisy 

    One Day One Sirah

    88

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Jawaban untuk Kaum Quraisy

    Allah sendirilah yang menjawab permintaan permintaan itu melalui firman-Nya:
    “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi orang orang yang beriman.'”
    (Q.S. Al A’raf, 7: 188)

    Sahabat fillahku, melalui ayat ini, Allah menyuruh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Wahai orang Quraisy, aku hanyalah seorang pemberi peringatan. Bukankah aku tidak meminta kepadamu hal-hal di luar kemampuan akal? Mengapa kamu justru memintaku menunjukkan hal hal yang tidak masuk akal?

    “Wahai orang Quraisy, bukankah Al Qur’an itu sendiri merupakan sebuah mukjizat? Kemudian, mengapa kamu masih meminta mukjizat yang lain? Apakah jika mukjizat itu benar-benar diturunkan, kamu akan beriman kepadaku? Bukankah jika mukjizat itu turun, kamu akan mengatakan bahwa aku hanyalah seorang penyihir yang mengada-ada?

    “Wahai orang Quraisy, kalau kamu tidak mau menyembah Allah dan tetap menyembah berhala, mengapa tidak kamu minta saja mukjizat mukjizat tadi kepada para berhala itu? Bukankah kamu tahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat mendatangkan kebajikan? Bukankah mereka tidak bergerak, tidak hidup, dan hanya terbuat dari batu dan kayu? Bukankah mereka tidak dapat membela diri jika ada orang yang datang dan menghancurkannya?

    Demikianlah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan kata kata yang tidak dapat lagi dibantah kebenarannya. Namun, apakah orang orang kafir itu seketika mau menerima Islam? Tidak, mereka bahkan melakukan hal hal lain untuk menyingkirkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya… In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Batu Sesembahan

    Pada zaman jahiliyah, sebelum datangnya Islam, setiap pengembara biasa membawa batu untuk disembah. Bukhari melaporkan cerita seorang pengembara, “Kami menyembah batu. Kalau kami temukan batu yang bagus, batu yang jelek kami buang. Kalau kami tidak menemukan batu, kami mengambil seonggok pasir, kami tuang susu kambing di atasnya, lalu kami sembah dia.”

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:22 am on 2 March 2022 Permalink | Balas  

    Minta Mukjizat 

    One Day One Sirah

    87

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Minta Mukjizat

    Sahabat fillahku, entah bersungguh-sungguh atau hanya sekedar mengejek, orang orang Quraisy sering meminta mukjizat kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    “Kalau Tuhanmu bisa menurunkan mukjizat, kami pasti akan beriman kepadamu!”
    Demikian seru salah seorang dari mereka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    “Muhammad! Kalau engkau benar benar Rasulullah, mintalah Tuhan agar menyulap Bukit Shafa dan Marwa menjadi bukit bukit emas!” seru yang lain.

    “Ya, itu benar! Tetapi kalau Tuhanmu tidak sanggup membuat bukit emas, cobalah turunkan ayat ayat Allah itu dalam sebuah kitab yang diturunkan langsung dari langit! Itu pun sudah akan membuat kami beriman!”

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menanggapi permintaan permintaan aneh itu. Melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang tetap diam dan tenang, orang orang Quraisy jadi semakin kesal. Dari waktu ke waktu, sering di muka umum dan disaksikan orang banyak, mereka meminta permintaan permintaan lain yang lebih mustahil.

    “Muhammad, kami dengar engkau sering membicarakan Jibril. Mengapa engkau tidak menampakkan Jibril di hadapan kami agar kami yakin?”

    “Muhammad, kalau Tuhanmu memang sehebat yang engkau katakan, mintalah Ia menghidupkan orang orang tua kami yang sudah mati!”

    “Muhammad, katamu engkau membawa agama kasih sayang buat seluruh alam! Kalau begitu, mintalah Tuhanmu agar memunculkan mata air yang lebih sedap dari sumur Zamzam! Bukankah engkau tahu bahwa penduduk Mekah sangat memerlukan air?”

    “Ya, setidaknya mintalah Tuhanmu melenyapkan bukit-bukit yang mengurung Mekah agar kota ini dapat mudah dicapai orang dari arah manapun!”

    Apakah yang akan dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjawab semua permintaan itu? Betulkah Allah akan menunjukkan semua mukjizat-Nya? Bukankah mudah saja bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi ini untuk mengabulkan semua permintaan mereka?

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya insya Allah ….

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:15 am on 27 February 2022 Permalink | Balas  

    Ummu Jamil 

    One Day One Sirah

    86

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Ummu Jamil

    Selain Abu Lahab, ada seorang lagi yang amat murka dengan turunnya Surat Al Lahab. Dia adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Begitu mendengar bunyi Surat Al Lahab yang disampaikan orang kepadanya, hati Ummu Jamil menggelegak marah. Ia keluar rumah dan berjalan ke sana kemari mencari sasaran pelampiasan kemarahan. Tidak lama kemudian, ia bertemu dengan Abu Bakar. Amarahnya naik ke ubun ubun.

    “Apa maksud temanmu melantunkan syair tentang diriku?” bentak Ummu Jamil kepada Abu Bakar.

    Abu Bakar mengerti bahwa yang dimaksud Ummu Jamil adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebenarnya, saat itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ada di sisi Abu Bakar, tetapi Allah menutupi beliau dari pandangan Ummu Jamil.

    “Demi Allah, temanku itu tidak pandai bersyair!” sanggah Abu Bakar.

    “Bukankah temanmu itu mengatakan bahwa di leherku ada tali dari sabut yang dipintal?”

    Ummu Jamil meraba-raba lehernya. Di leher itu, ada untaian kalung yang amat indah. Ia mempertontonkan perhiasannya itu kepada Abu Bakar sampai Abu Bakar merasa jengah dan memalingkan wajah.

    “Inilah tali sabut yang dimaksud temanmu itu?” ejek Ummu Jamil sambil tersenyum. “Tidakkah ini merupakan tali sabut paling indah di dunia?”

    Ummu Jamil kemudian berlenggak lenggok genit sambil mempermainkan kalungnya. Ia tertawa dengan congkak. Abu Bakar tidak membalas, beliau cuma memejamkan mata.

    Melihat Abu Bakar yang tetap tenang, Ummu Jamil melengos pergi sambil mengomel, “Semua orang Quraisy tahu bahwa aku adalah putri kebanggaan mereka!”

    Ummu Jamil adalah wanita yang sangat cantik. Ummu Jamil berarti “Ibu Kecantikan”. Namun, seperti suaminya, Ummu Jamil sangat membenci Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin. Begitu bencinya sampai ia menyuruh budak-budaknya melemparkan kotoran dan batu kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam setiap kali beliau lewat.

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya …. Insya Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:07 am on 25 February 2022 Permalink | Balas  

    Turunnya Surat Al Lahab 

    One Day One Sirah

    85

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Turunnya Surat Al Lahab

    Sahabat fillahku, firman Allah yang turun mengenai Abu Lahab adalah “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Dan begitu pula istrinya, adalah pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.” (QS Al Lahab,111 : 1-5)

    Wahai Abu Lahab, sekarang apa yang akan engkau katakan? Dengarlah keponakanmu Muhammad tidak akan pernah lagi bungkam terhadap orang yang menentangnya. Keponakanmu Muhammad tidak akan pernah lagi menerima caci maki dan hinaan dari siapapun sekalipun dari pamannya sendiri. Jika caci maki itu ditujukan pada ajaran Allah yang dibawanya. Keponakanmu Muhammad bahkan siap terjun ke medan laga untuk menghadapi orang-orang yang sombong dan congkak seperti dirimu.

    Wahai Abu Lahab dengarkanlah! Dengarkanlah firman Allah yang baru turun itu! Bukankah firman itu seperti gelegar petir yang menyambar dirimu?

    Dirimulah yang binasa, Abu Lahab! Seluruh hari-harimulah yang binasa! Binasalah kedua tanganmu dan sungguh engkau akan benar-benar binasa!

    Bagaimana kisah selanjutnya?
    Kita lanjutkan besok yaa…In syaa Allah

    ✏Catatan Tambahan✏

    Binasanya Abu Lahab

    Nama asli Abu Lahab adalah Abdul Uzza. Abu Lahab artinya si “Umpan Api”. Ada riwayat yang mengatakan bahwa matinya Abu Lahab karena tidak sanggup menahan derita mendengar pasukan Quraisy dikalahkan kaum Muslimin pada Perang Badar. Ada riwayat lain yang mengatakan Abu Lahab mati karena cacar dan baru berhari-hari kemudian mayatnya ditemukan.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

    Semoga berkenan…
    Mohon maaf lahir dan bathin…

     
  • erva kurniawan 1:01 am on 24 February 2022 Permalink | Balas  

    Seruan dari Bukit Shafa 

    One Day One Sirah

    84

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Seruan dari Bukit Shafa

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaiki Bukit Shafa. Kemudian dengan suara lantang, beliau memanggil-manggil, “Wahai orang-orang Quraisy! Wahai orang-orang Quraisy!”

    Penduduk Mekah yang sibuk dengan urusannya terkejut dan menoleh.
    “Muhammad berseru dari atas Shafa!” seru mereka.
    Seketika, orang-orang datang berduyun sambil bertanya-tanya khawatir, “Ada apa?
    Ada apa?”

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memandang kerumunan orang dibawah yang menatapnya dengan wajah penuh tanda tanya.

    “Bagaimana pendapat kalian kalau kuberi tahu bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang siap menyerbu. Percayakah kamu kepadaku?” tanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    “Kami percaya!” jawab orang-orang yang di berkerumun itu.
    “Kami tidak akan meragukan kata-katamu. Tidak pernah kami mendengar engkau berdusta.”

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menarik napas dan menyampaikan seruannya, “Aku mengingatkan kalian sebelum datang siksa yang amat berat! Wahai orang-orang Quraisy, Allah memerintahkan aku untuk memberi peringatan kepada kalian bahwa yang terbaik bagi kehidupan dunia dan akhirat adalah mengucapkan kalimat ‘Laa ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah.”

    Sahabat fillahku, sejenak orang-orang tampak terpesona. Namun, Abu Lahab yang juga hadir disitu, dengan cepat naik darah. Ia berseru keras-keras mencaci Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Celaka engkau, Muhammad! Binasa dan celakalah seluruh hari-harimu! Hanya untuk omong kosong itukah kamu mengumpulkan kami?”

    Sahabat fillahku, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berkata apa-apa dihina sekeras itu. Beliau hanya menatap tajam wajah Abu Lahab. Setelah teriakan Abu Lahab itu, orang-orang Quraisy seperti disadarkan dari rasa terpesonanya. Mereka bubar dengan bermacam tingkah. Ada yang mengerutkan kening, ada yang berbisik-bisik, ada yang melirik Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sambil tersenyum mencibir.

    Hinaan Abu Lahab itu tidak dibiarkan Allah. Turunlah firman yang mengutuk perbuatan itu.

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya..In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    🔻Abu Lahab🔻

    Bisa dibayangkan betapa sakitnya hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dihina Abu Lahab. Abu Lahab adalah paman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun, lebih dari itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menikahkan kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum dengan kedua putra Abu Lahab, Utbah dan Utaibah.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

    Semoga berkenan…
    Mohon maaf lahir dan bathin…

     
  • erva kurniawan 1:53 am on 21 February 2022 Permalink | Balas  

    Jamuan Makan Untuk Kerabat 

    One Day One Sirah

    83

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Jamuan Makan Untuk Kerabat

    Sahabat fillahku, tidak ada yang lebih dicintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam daripada kaum kerabatnya sendiri. Setelah tiga tahun, turunlah firman Allah yang memerintahkan agar beliau berdakwah kepada kerabatnya.

    ” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. Dan rendahkanlah dirimu kepada mereka yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Kalaupun mereka tidak mau mengikutimu, katakanlah, Aku berlepas diri dari segala perbuatan kamu, dan bertakwalah kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
    (QS : Asy-Syu’arà, 26 : 214-217)

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengundang makan keluarga besar beliau. Merekapun datang, “Muhammad beri aku arak!” seru seorang paman beliau yang bernama Zubair. Namun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hanya menyuguhkan susu. Setelah mereka makan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan berkata, “Saya tidak melihat ada seorang manusia di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah masyarakat lebih baik dari yang saya bawakan kepada kamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Allah telah menyuruhku mengajak kamu sekalian. Siapa diantara kamu yang mau mendukungku?”

    Setelah sesaat terpesona, semua orang menggerutu dan bangkit hendak pulang. Namun mereka kembali terperangah ketika Ali bin Abu Thalib yang masih remaja bangkit seraya berseru lantang, “Rasulullah saya akan membantumu! Saya adalah lawan siapa saja yang engkau tentang!”

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menepuk bahu Ali sambil berkata kepada yang lain, “Inilah saudara saya, pembantu, dan pengganti saya. Ikuti dan patuhilah dia! “

    Mendadak tawa hadirin meledak. Seseorang berkata kepada Abu Thalib, “Ia memerintahkan engkau supaya mendengar dan mematuhi anakmu sendiri! “

    Kemudian, semua orang bubar begitu saja. Tidak seorangpun diantara para undangan yang tertawa terbahak-bahak itu menyadari bahwa di antara mereka akan ditebas Ali memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya itu.

    Setelah kerabatnya sendiri menolak, apa yang akan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan?

    Kita lanjutkan besok yaa kisahnya…In sya Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    ⚜Walid bin Mughirah⚜

    Pada awal kenabian, ada seorang bernama Walid bin Mughirah. Ia mempunyai dua sahabat yang merupakan penyair hebat. Dengan syair-syairnya, mereka berusaha menjelek-jelekkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dengan syair, Walid mempengaruhi orang banyak seperti menggunakan koran, televisi dan radio layaknya pada zaman sekarang.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:19 am on 19 February 2022 Permalink | Balas  

    Kaum Muslimin Yang Permulaan (Awal) 

    One Day One Sirah

    82

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Kaum Muslimin Yang Permulaan (Awal)

    Sahabat fillahku, karena mengetahui betapa kerasnya kebencian orang-orang Quraisy, kaum Muslimin yang permulaan (Assaabiquunal Awaluun), melaksanakan ibadah mereka secara sembunyi-sembunyi. Jika hendak shalat mereka pergi ke celah-celah gunung di Mekah. Keadaan ini berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Sementara itu, sedikit demi sedikit Islam semakin meluas. Firman Allah yang turun satu demi satu semakin memperkuat keyakinan kaum Muslimin.

    Ada satu hal yang membuat dakwah Islam berkembang, yaitu keteladan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang beliau contohkan dengan sangat baik. Bayangkan saja, beliau adalah orang yang penuh bakti dan penuh kasih sayang. Beliau juga sangat rendah hati sekaligus gagah berani. Tutur kata beliau lembut dan selalu berlaku adil. Hak setiap orang pasti ditunaikan sebagaimana mestinya. Perlakuan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang yang lemah, yatim piatu, orang sengsara dan orang miskin adalah perlakuan yang penuh kasih, lemah lembut dan mesra.

    Pada malam hari beliau tidak cepat tidur, Beliau bertahajud dan membaca wahyu yang disampaikan Allah padanya. Beliau selalu merenung tentang nasib umatnya. Beliau juga merenungkan betapa luar biasanya penciptaan langit, bumi dan segala isinya. Seluruh permohonannya dihadapkan kepada Allah. Hal-hal seperti itu membuat orang-orang yang sudah beriman semakin bertambah cintanya kepada Islam dan semakin kukuh keimanannya. Mereka sudah berketetapan hati meninggalkan sesembahan nenek moyang mereka dan tidak takut siksaan orang-orang kafir yang membenci.

    Kalau orang lain telah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dakwahi bagaimana dengan keluarga beliau? Apakah beliau juga berdakwah kepada paman-paman beliau yang sebagiannya merupakan para pembesar Quraisy yang disegani? Apa yang mereka lakukan ketika mereka tahu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak meninggalkan sesembahan berhala yang telah begitu lama di wariskan oleh nenek moyang mereka?

    Nantikan kelanjutan kisahnya besok yaa..In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Penduduk Mekah Tidak Memperdulikan

    Meski ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam meluas dengan cepat, penduduk Mekah masih berhati-hati dan tidak terlalu memperdulikan. Mereka menduga ajakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam akan hilang dengan sendirinya dan orang akan kembali menyembah kepercayaan nenek moyang mereka. Yang akhirnya menang pasti Hubal, Latta dan Uza pikir mereka. Mereka tidak sadar bahwa keimanan murni yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat dikalahkan.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:01 am on 15 February 2022 Permalink | Balas  

    Keislaman 

    One Day One Sirah

    80

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Keislaman Abu Bakar

    Abu Bakar bin Abu Quhafa dari kabilah Bani Taim adalah teman akrab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sejak zaman sebelum Islam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam amat menyukai sahabatnya itu karena Abu Bakar adalah orang yang bersih, jujur, dan dapat dipercaya.

    Suatu hari, Abu Bakar mendengar desas desus tentang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau segera keluar mencari sahabatnya itu. Ketika mereka bertemu, Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Abu Qasim (salah satu panggilan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam), ada apa denganmu? Kini engkau tidak lagi terlihat di majelis kaummu dan kudengar orang orang menuduh bahwa engkau telah berkata buruk tentang nenek moyangmu dan masih banyak lagi yang mereka katakan.”

    “Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah,” sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Allah mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya. Sekarang, aku mengajak kamu kepada agama Allah dengan keyakinan yang benar. Demi Allah, sesungguhnya, apa yang kusampaikan adalah kebenaran. Wahai Abu Bakar, aku mengajak kamu untuk menyembah Allah yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan janganlah menyembah kepada selain-Nya, dan untuk yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan janganlah menyembah kepada selain-Nya, dan untuk selamanya kamu taat kepada-Nya.”

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memperdengarkan beberapa ayat Al Qur’an. Selesai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara, Abu Bakar langsung memeluk Islam. Melihat keislaman sahabatnya itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam amat gembira. Tidak seorang pun yang ada di antara dua gunung di Mekah yang kegembiraannya melebihi kegembiraan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam saat itu.

    Abu Bakar segera mengumumkan keislamannya itu kepada teman temannya. Beliau juga mengajak mereka mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam waktu singkat, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abu Waqash pun menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan masuk Islam.

    Bagaimanakah kisah Utsman bin Affan masuk Islam?

    Kita lanjutkan besok ya…. In syaa Allah …

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:56 am on 13 February 2022 Permalink | Balas  

    SHALAT 

    One Day One Sirah

    79

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    SHALAT

    Shalat adalah satu di antara ibadah pertama yang diajarkan Allah kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
    Suatu saat, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah sedang melaksanakan shalat, datanglah Ali bin Abu Thalib. Ali yang saat itu masih anak anak, tertegun melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah rukuk, sujud, serta membaca ayat ayat Al Qur’an.

    “Kepada siapa kalian sujud?” tanya Ali ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah selesai shalat.

    “Kami sujud kepada Allah, ” jawab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Allah telah mengutusku dan memerintahkan aku mengajak manusia menyembah Allah.”

    Kemudian, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak sepupunya itu untuk beribadah kepada Allah semata serta meninggalkan berhala berhala semacam Lata dan Uzza. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun membacakan beberapa ayat Al Qur’an yang membuat Ali bin Abu Thalib terpesona karena ayat ayat itu demikian indah.

    Ali meminta waktu untuk berunding dengan ayahnya terlebih dahulu. Semalaman itu, Ali merasa gelisah. Esoknya, ia memberitahukan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah bahwa ia akan mengikuti mereka berdua, tidak perlu meminta pendapat Abu Thalib.

    “Allah menjadikan saya tanpa saya perlu berunding dulu dengan Abu Thalib,” demikian kata Ali, “apa gunanya saya harus berunding dengan dia untuk menyembah Allah?”

    Jadi, Ali adalah anak pertama yang memeluk Islam. Kemudian, Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, ikut masuk Islam juga. Sampai di situ, Islam masih terbatas pada keluarga Rasulullah: istri beliau, sepupu beliau, serta bekas budak beliau. Apa yang harus beliau lakukan untuk menyebarkan Islam lebih luas lagi? Beliau tahu betul betapa kerasnya dan betapa kuatnya orang orang Quraisy menyembah berhala yang diwarisi dari nenek moyang mereka.

    Walau demikian, Islam ini harus disebarkan, betapapun kerasnya perlawanan orang. Mau tahu, siapa orang dewasa berikutnya yang menjadi pemeluk Islam?

    Nantikan besok ya kisahnya….
    In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Shalat

    Shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan memberi salam. Menurut bahasa, shalat berarti ‘doa untuk kebaikan.’

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 11 February 2022 Permalink | Balas  

    Surat Adh Dhuha 

    One Day One Sirah

    78

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Surat Adh Dhuha

    Tiba-tiba, wahyu itu turun: “Demi waktu Dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya). Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).”
    (Q.S. Adh Dhuha, 93: 1-11)

    Sahabat fillahku, rasa cemas dan takut di hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kini hilang sudah. Betapa damainya firman Allah itu terasa di hati beliau. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam harus menjauhi setiap perbuatan mungkar dan membersihkan pakaian. Beliau harus mengajak orang mengingat Allah. Beliau harus tabah menghadapi gangguan, tidak boleh menolak orang yang meminta bantuan, dan berlaku lembut kepada anak yatim.

    Allah juga mengingatkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yatim, lalu Allah melindunginya lewat asuhan kakeknya, Abdul Muthalib, dan pamannya, Abu Thalib. Dulu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup miskin, lalu Allah memberinya kekayaan. Allah pula yang telah menyandingkan beliau dengan Bunda Khadijah, yang menjadi kawan semasa muda, kawan semasa beliau ber-tahannuts, kawan yang penuh cinta kasih, yang memberi nasihat dengan rasa kasih sayang. Allah telah mendapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak tahu jalan, lalu diberi-Nya beliau petunjuk kenabian. Cukuplah semua itu. Hendaklah mulai sekarang, Rasulullah mengajak orang kepada kebenaran, sedapat mungkin, sekuat mungkin.

    Lalu Allah mengajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibadah yang pertama. Ibadah apakah itu?

    Kita lanjutkan besok ya…. In syaa Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:49 am on 9 February 2022 Permalink | Balas  

    Bertemu Waraqah 

    One Day One Sirah

    77

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Bertemu Waraqah

    Sahabat fillahku, tidak lama kemudian, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Waraqah bin Naufal. Saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sedang melaksanakan thawaf. Sesudah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menceritakan keadaannya, Waraqah berkata, “Demi Dia yang memegang hidup Waraqah, engkau adalah nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pernah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan, disiksa, diusir, dan diperangi orang. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahui-Nya pula.”

    Kemudian, Waraqah mendekat dan mencium ubun-ubun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Kini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memalingkan wajah ke sekitarnya, melihat orang-orang yang menyembah patung-patung batu. Orang-orang ini juga menjalankan riba dan memakan harta anak yatim. Mereka jelas-jelas berada dalam kesesatan. Kepada orang orang inilah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk menyeru agar mereka menghentikan perbuatan perbuatan itu.

    Namun, apakah mereka mau berhenti begitu saja? Orang orang Quraisy itu benar benar amat kuat dalam memegang keyakinan mereka.

    Orang orang itu bahkan siap berperang dan mati untuk mempertahankan keyakinan mereka. Untuk itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memerlukan datangnya wahyu penuntun lagi.

    Namun, wahyu yang dinanti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ternyata tidak juga turun. Jibril tidak pernah datang lagi untuk waktu yang lama. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa amat terasing. Rasa takutnya kembali muncul. Beliau takut jika Allah melupakan bahkan tidak menyukainya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kembali pergi ke bukit dan menyendiri lagi di Gua Hira. Ingin rasanya beliau membumbung tinggi dengan sepenuh jiwa, menghadap Allah, dan bertanya mengapa dirinya seolah ditinggalkan?

    Apa gunanya hidup ini kalau harapan besar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menuntun umat ternyata menjadi kering? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam saat itu benar benar hampir merasa putus asa.

    Apakah Allah segera menurunkan wahyu kembali? Surat apakah yang diturunkan selanjutnya?

    Kita lanjutkan besok ya… In syaa Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:47 am on 8 February 2022 Permalink | Balas  

    Orang yang Berselimut 

    One Day One Sirah

    76

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Orang yang Berselimut

    Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang kini telah menjadi Rasulullah terbangun karena mendengar Malaikat Jibril membawakan wahyu kepadanya,

    “_Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan agungkanlah Tuhanmu. Dan bersihkanlah pakaianmu. Dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji. Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu, bersabarlah.”
    (Q.S. Al Muddatsir 74: 1-7)

    Bunda Khadijah memandang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan kasih yang bertambah besar. Beliau perlahan mendekati suaminya. Bunda Khadijah dengan lembut memintanya agar kembali tidur.

    “Waktu tidur dan istirahat sudah tidak ada lagi, Khadijah,” demikian jawab Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    “Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadah hanya kepada Allah. Namun, siapa yang akan kuajak? Siapa pula yang akan mendengarkan?”

    Bunda Khadijah cepat cepat menentramkan hati suaminya. Diceritakannya apa yang tadi dikatakan Waraqah. Dengan penuh semangat, Bunda Khadijah menyatakan diri sebagai orang yang mengimani Rasulullah.

    Sahabat fillahku, dengan demikian, tercatat dalam sejarah bahwa orang pertama yang memeluk Islam adalah Bunda Khadijah.

    Untuk lebih menentramkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bunda Khadijah meminta suaminya memberitahu dirinya apabila malaikat datang.

    Kemudian Jibril memang datang, namun hanya Rasulullah yang dapat melihatnya. Bunda Khadijah mendudukkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di pangkuan sebelah kiri, lalu ke pangkuan sebelah kanan. Malaikat Jibril masih terlihat oleh Rasulullah. Namun, ketika Bunda Khadijah melepas penutup wajahnya, Rasulullah melihat Sang Malaikat menghilang.

    Dari kejadian itu, Bunda Khadijah merasa yakin bahwa yang datang itu benar benar malaikat, bukan jin.

    Bagaimanakah kelanjutan perjalanan dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ?

    Nantikan esok ya… In syaa Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

    Semoga berkenan…
    Mohon maaf lahir dan bathin…

     
  • erva kurniawan 1:41 am on 5 February 2022 Permalink | Balas  

    Kabar dari Waraqah bin Naufal 

    One Day One Sirah

    75

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Kabar dari Waraqah bin Naufal

    Bunda Khadijah menatap suaminya yang tertidur pulas itu. Dilihatnya kembali suaminya yang tertidur dengan nyenyak dan tenang sekali. Bunda Khadijah membayangkan apa yang baru saja dituturkan suaminya. Firman Allah dan Malaikat yang indah. Luar biasa!

    “Semoga kekasihku ini memang akan menjadi seorang Nabi untuk menuntun umat ini keluar dari kegelapan,” demikian pikir Bunda Khadijah.

    Saat berpikir demikian, senyumnya mengembang. Namun, senyum itu segera menghilang, berganti rasa takut memenuhi hati tatkala dibayangkan nasib yang bakal menimpa suaminya itu apabila orang-orang ramai menentang.

    Demikianlah, pikiran bahagia dan sedih terus berganti ganti dalam benak Bunda Khadijah. Akhirnya, beliau memutuskan untuk menceritakan hal ini kepada seseorang bijak yang dipercayanya.

    Bunda Khadijah pun pergi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang pendeta Nasrani yang jujur, dan menceritakan semua yang didengarnya dari Muhammad.

    Waraqah menekur sebentar, lalu berkata, “Mahasuci Ia, Mahasuci. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah, suamimu telah menerima ‘namus besar‘ seperti yang pernah diterima Musa. Sungguh, dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah.”

    Bunda Khadijah pulang. Dilihatnya suaminya masih tertidur. Dipandanginya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Tiba tiba, tubuh suaminya menggigil, napasnya terlihat sesak dengan keringat memenuhi wajah. Apa yang terjadi?

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya….
    In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Namus Besar

    Namus besar yang dimaksud Waraqah bin Naufal berasal dari bahasa Yunani, noms, artinya kitab undang-undang atau kitab suci yang diwahyukan. Namus bukan istilah Al Qur’an sebab Al Qur’an menyebut istilah Taurat untuk kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 3 February 2022 Permalink | Balas  

    Ketulusan Bunda Khadijah 

    One Day One Sirah

    74

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Ketulusan Bunda Khadijah

    Di rumah, Bunda Khadijah tiba-tiba merasa khawatir dengan nasib suaminya. Beliau mengutus orang untuk mencari suaminya itu, tetapi tidak berhasil menemukannya.

    Sementara itu, setelah rupa malaikat menghilang, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam pulang dengan hati yang sudah di penuhi wahyu Allah. Dengan jantung yang terus berdenyut keras dan hati berdebar ketakutan, beliau pulang ke rumah.

    “Selimuti aku,” pinta Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Khadijah.

    Khadijah segera menyelimuti suaminya yang menggigil kedinginan seperti terkena demam. Setelah rasa takutnya mereda, beliau memandang Khadijah dengan tatapan mata meminta kekuatan dan perlindungan.

    “Khadijah, kenapa aku?” kata Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.

    Kemudian, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam menceritakan semua yang telah terjadi. Beliau juga berkata bahwa ia takut semua itu bukan datang dari Allah, melainkan gangguan jin.

    “Wahai putra pamanku,” jawab Khadijah penuh sayang, “Bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia yang memegang hidup Khadijah, aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Sama sekali Allah takkan mencemoohkanmu sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan dan jujur dalam berkata-kata. Engkau selalu mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu serta menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar.”

    Kata-kata Bunda Khadijah itu menuangkan rasa damai dan tenteram ke dalam hati suaminya yang sedang gelisah. Bunda Khadijah benar-benar yakin bahwa suaminya itu bukan diganggu jin. Beliau malah memandang suaminya itu dengan penuh rasa hormat.

    Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam pun segera tenang kembali. Beliau memandang Bunda Khadijah dengan penuh kasih dan rasa terima kasih. Tiba tiba, sekujur tubuhnya terasa amat letih dan beliau pun tertidur lelap.

    Sejak saat itu, berakhirlah kehidupan tentang seorang Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Mulai saat itu, kehidupan penuh perjuangan keras dan pahit akan dilaluinya sebagai seorang Rasulullah, utusan Allah.

    Besok kita lanjutkan dengan kisah perjalanan awal dakwah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ya…. In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Pengorbanan Seorang Istri

    Bunda Khadijah yang berasal dari kalangan bangsawan Mekah, sadar betul bahwa suaminya kelak akan dibenci orang-orang kafir. Beliau berjuang di sisi suaminya, memilih Islam, dan menjadi pengikut pertama.
    Bunda Khadijah menukar segala miliknya dengan kejayaan Islam yang tidak pernah beliau cicipi.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:36 am on 2 February 2022 Permalink | Balas  

    Ulama Pewaris Nabi 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Ulama Pewaris Nabi

     عَنْ أَبي الدَّرْداءِ رضي اللَّه عنه، قَال: سمِعْتُ رَسُول اللَّهِ ﷺ، يقولُ: قَال: سمِعْتُ رَسُول اللَّهِ ﷺ، يقولُ: منْ سَلَكَ طَريقًا يَبْتَغِي فِيهِ علْمًا سهَّل اللَّه لَه طَريقًا إِلَى الجنةِ، وَإنَّ الملائِكَةَ لَتَضَعُ أجْنِحَتَهَا لِطالب الْعِلْمِ رِضًا بِما يَصْنَعُ، وَإنَّ الْعالِم لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ منْ في السَّمَواتِ ومنْ فِي الأرْضِ حتَّى الحِيتانُ في الماءِ، وفَضْلُ الْعَالِم عَلَى الْعابِدِ كَفَضْلِ الْقَمر عَلى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ،
    إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنَ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

    Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa menempuh jalan untuk mendapatkan padanya ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga, sungguh para malaikat membentangkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, senang dengan apa yang diperbuatnya dan sungguh orang yang ‘alim (berilmu) akan dimintakan ampun siapa yang ada dilangit-langit dan dibumi bahkan semua ikan yang ada di air dan kemuliaan orang yang ‘alim dibandingkan dengan orang yang ahli dalam beribadah seperti bulan dan bintang-bintang di langit, sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (al-Imam at-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimah-nya, serta dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih at-Targhib, 1/33/68)

    Pelajaran yang terdapat didalam hadist:

    1- Warisan merupakan barang berharga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang masih hidup. Saking berharganya sampai sering terjadi pertumpahan darah di antara ahli waris memperebutkan warisan tersebut. Namun ada warisan yang demikian berharga tetapi jarang manusia memperebutkannya.
    Warisan tersebut adalah ilmu agama, yang merupakan peninggalan para nabi kepada umatnya. Hanya sedikit orang yang mau mengambil warisan tersebut, lebih-lebih lagi di masa kini. Merekalah para ulama, orang-orang yang memiliki sifat “tamak” dalam mendapatkan warisan nabi. Tidakkah kita ingin meniru mereka?

    2- Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama sehingga ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya.

    3- Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal saleh pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka.

    4- Keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Lebih-lebih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:

    مَفَاتِيحُ لِلْخَيرِ مَغَالِيقُ لِلشَّرِّ

    “Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”

    5- Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan, “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barang siapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin.

    6- Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak memercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya? Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat? Pada saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 140)

    Tema hadist yang berkaitan dengan  Al qur’an :

    1- Sesungguhnya yang benar-benar takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama yang mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala Karena sesungguhnya semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Mahabesar, Mahakuasa, Maha Mengetahui lagi menyandang semua sifat sempurna dan memiliki nama-nama yang terbaik, maka makin bertambah sempurnalah ketakutannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

    إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

    Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.(Fathir: 28)

    2- Para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah, “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu al-Kitab (al-Qur’an). Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu.

    ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ

    “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32).

     
  • erva kurniawan 1:34 am on 1 February 2022 Permalink | Balas  

    Diangkat Menjadi Utusan Allah 

    One Day One Sirah

    73

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Diangkat Menjadi Utusan Allah

    Makhluk yang datang itu adalah Malaikat Jibril ‘Alaihi Salam Ia datang membangunkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang sedang tidur karena kelelahan. Jibril ‘alaihi salam membawa sehelai lembaran dan berkata kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Iqra (Bacalah)!”

    Dengan hati yang masih rasa terkejut, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Saya tidak dapat membaca.”

    Kemudian Malaikat Jibril ‘Alaihi salam mendekap sehingga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam merasa lemas. Jibril ‘alaihi Salam melepaskan dekapannya, lalu berkata lagi, “Bacalah!”

    Kejadian itu berulang sampai tiga kali. Kemudian, setelah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Apa yang harus saya baca?” barulah Jibril ‘alaihi salam membacakan Surat Al ‘Alaq ayat pertama hingga ayat kelima:

    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan (manusia) melalui perantaraan qalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

    Setelah mengucapkan bacaan itu, Malaikat Jibril ‘alaihi salam pun pergi meninggalkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan hati yang terhujam firman Allah tadi.

    Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam mendadak tersentak sadar. Beliau terbangun dari ketakutan sambil bertanya-tanya dalam hati, “Gerangan siapa yang kulihat tadi? Apakah aku telah diganggu jin?”

    Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak ada siapapun. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam diam sebentar dengan tubuh gemetar. Beliau lalu lari ke luar gua, menyusuri celah-celah gunung sambil mengulang pertanyaan dalam hati, “Siapa gerangan yang tadi menyuruhku membaca?”

    Mendadak, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar namanya dipanggil. Panggilan tersebut terasa dahsyat sekali. Beliau memandang ke cakrawala dan melihat malaikat dalam bentuk manusia. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam tertegun ketakutan dan terpaku di tempatnya. Ia memalingkan wajah, tetapi di seluruh cakrawala, ke mana pun beliau memandang rupa malaikat yang indah itu tidak juga berlalu.

    Dalam keguncangan hebat seperti itu, siapakah yang mampu menenangkan hati Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam?

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya…. Insyaa Allah
    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:30 am on 31 January 2022 Permalink | Balas  

    Keistimewaan Shalat Subuh (bagian kedua) 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Kamis, 16 September 2021 / 9 Shafar 1443H

    Keistimewaan Shalat Subuh
    (bagian kedua)

    وعن جندب بن عبد الله رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم: ((مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ في ذِمَّةِ الله فَلا يَطْلُبَنَّكُمُ الله مِنْ ذِمَّته بشَيءٍ، فَإنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ منْ ذمَّته بشَيءٍ يُدْركْهُ، ثُمَّ يَكُبُّهُ عَلَى وَجْهِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ)). رواه مسلم.

    Dari Jundub bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
    “Barangsiapa yang shalat Subuh, maka ia dalam tanggungan Allah, maka janganlah sampai Allah  menuntut kepadamu semua dengan sesuatu dari tanggunganNya – maksudnya jangan sampai mengerjakan kemaksiatan, jangan sampai meninggalkan shalat Subuh, juga shalat-shalat fardhu yang lain, apalagi kalau ditambah dengan mengerjakan berbagai kemungkaran, kemaksiatan dan lain-lain lagi, sebab kalau demikian, maka lenyaplah ikatan janji untuk memberikan tanggungan keamanan dan lain-lain antara engkau dengan Tuhanmu itu.”
    Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah dari sesuatu tanggunganNya, tentu akan dicapainya – yakni tidak mungkin terlepas – kemudian Allah akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka Jahanam.” (Riwayat Muslim)

    Pelajaran yang terdapat didalam hadist :

    1- Jangan sampai kita semua mengerjakan sesuatu yang sifatnya sebagai gangguan kepada orang yang selalu mengerjakan shalat subuh itu dan dengan sendirinya juga shalat-shalat fardhu yang lain, sekalipun gangguan itu nampaknya remeh atau tidak berarti.

    2- Dalam Hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim ialah bahawa yang dikerjakan itu adalah shalat Subuh dengan berjamaah.

    3- Kita dapat menarik kesimpulan, yaitu:
    (a) Seruan keras kepada kita sekalian  kaum Muslimin, agar jangan sekali-kali kita meninggalkan atau melalaikan shalat lima waktu terutama shalat subuhp, agar kita senantiasa memperolehi rahmat Allah Ta’ala dan tiada seorang pun yang berani mengganggu kita, karena Allah telah memberikan jaminan sedemikian itu kepada kita.
    (b) Kita yang sudah mengenal kepada seseorang yang keadaan dan sifatnya sebagaimana di atas, jangan sekali-kali kita ganggu, baik dengan lisan atau perbuatan, dengan sengaja atau tidak, juga secara senda-gurau  atau   tidak.   Ringkasnya  orang tersebut  wajib  kita hormati, kita muliakan dan kita ikut melindungi keselamatannya dari perbuatan orang lain yang hendak mengganggunya, sebab ia telah berada dalam jaminan Allah Ta’ala dan menjadi tanggunganNya, untuk mendapatkan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan.

    (c) Orang yang berani mengganggu orang sebagaimana di atas itu, bererti menghina pada jaminan atau dzimmah Allah Ta’ala yang telah diberikan kepadanya dan oleh sebab itu maka patutlah apabila dilemparkan saja nanti di akhirat dalam neraka dalam keadaan tertelungkup yakni mukanya di bawah.

    4- Betapa besar meresapnya Hadis di atas itu dalam kalbu kaum Muslimin, dapatlah kami kutipkan sebahagian keterangan yang ditulis oleh Imam as-Sya’rani dalam kitab al-Haudh, demikian intisarinya:
    “Di zaman Bani Umayyah memerintah kaum Muslimin, iaitu sepeninggalnya Khulafa’ Rasyidin, ada seorang gubernur yang diangkat oleh mereka untuk memerintahdan mengamankan daerah Kufah dan sekitarnya. Gubernur tersebut bernama al-Hajjaj yang terkenal kejam, zalim dan bengis. Banyak alim-ulama yang ia bunuh secara teraniaya atas perintahnya. Namun demikian, manakala ada orang yang dicurigai hendak melawan atau menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah dan orang itu sudah menghadap di mukanya sesudah dipanggil, biasanya al-Hajjaj bertanya kepadanya: “Apakah anda tadi bersembahyang Subuh?” Jika dijawab: “Ya,” maka orang yang hendak dipenggal lehernya itu dilepaskan kembali. Al-Hajjaj amat takut sekali terlaknat atau mendapatkan azab Allah, sebab ia tentunya juga pernah membaca atau mendengar Hadis sebagaimana yang tersebut di atas itu.”

    Tema hadist yang berkaitan dengan Al quran :

    • Bahwa keutamaan shalat Subuh itu disaksikan oleh para malaikat yang telah bertugas di malam hari dan para malaikat yang akan bertugas di siang hari.

    إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

    Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (Al- Isra: 78)

     
  • erva kurniawan 1:28 am on 30 January 2022 Permalink | Balas  

    Gua Hira 

    One Day One Sirah

    72

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Gua Hira

    Berhala-berhala yang bernama Hubal, Lata dan Uzza itu tidak pernah menciptakan seekor lalat sekali pun, bagaimana mungkin mereka akan mendatangkan kebaikan bagi manusia?” demikian pikir Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
    “Siapakah yang berada di balik semua ini? Siapa yang berada di balik luasnya langit dan tebaran bintang? Siapa yang berada di balik padang pasir yang panas terbakar kilauan matahari? Siapa pencipta langit yang jernih dan indah, langit yang bermandi cahaya bulan dan bintang yang begitu lembut, begitu sejuk? Siapa pembuat ombak yang berdebur dan penggali laut yang begitu dalam? Siapa yang berada di balik semua keindahan ini?”

    Demikianlah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mencari kebenaran dalam kisah kisah lama atau tulisan para pendeta. Ia mencari kebenaran lewat alam. Ia mengasingkan dirinya dari keramaian dan pergi ke Gua Hira.

    “Betapa sia-sianya hidup manusia, waktu terus berlalu, sementara jiwa jiwa rusak karena dikuasai khayal tentang berhala berhala yang mampu melakukan ini dan itu. Betapa sia-sianya hidup manusia karena tertipu dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.

    Beliau mengasingkan diri seperti itu beberapa hari setiap bulan dan sepanjang bulan Ramadhan. Semakin lama, jiwanya semakin matang dan semakin terisi penuh. Sampai suatu ketika, saat usia Muhammad menginjak 40 tahun, datanglah seseorang yang bukan dari dunia ini menemui beliau di Gua Hira. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang pemberani dan tenang itu amat terkejut melihatnya. Tahukah kalian siapa yang datang itu?

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya….
    In syaa Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:26 am on 29 January 2022 Permalink | Balas  

    Dakwah Paling Pertama dan Utama yaitu Tauhid 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Dakwah Paling Pertama dan Utama yaitu Tauhid

    عن معاذ رضي الله عنه قَالَ: بَعَثَنِي رَسُول الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ((إنَّكَ تَأتِي قَوْمًا مِنْ أهلِ الكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أنْ لا إلَهَ إلا الله، وَأنِّي رسولُ الله، فَإنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذلِكَ، فَأعْلِمْهُمْ أنَّ اللهَ قَدِ افْتَرضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَواتٍ في كُلِّ يَوْمٍ وَلَيلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أطَاعُوا لِذَلِكَ، فَأعْلِمْهُمْ أنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤخَذُ مِنْ أغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإنْ هُمْ أطَاعُوا لِذَلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أمْوَالِهِمْ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ المَظْلُومِ؛ فإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَها وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ)). مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.

    Dari Mu’az Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Saya diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
    “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari ahlul kitab – Yahudi dan Nasrani, maka ajaklah mereka itu untuk bersaksi bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwasannya saya adalah utusan Allah. Jikalau mereka telah mentaati untuk melakukan itu, maka beritahukanlah bahwasannya Allah telah mewajibkan atas mereka akan lima kali shalat dalam setiap sehari semalam. Jikalau mereka telah mentaati yang sedemikian itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwasannya Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah – zakat – yang diambil dari kalangan mereka yang kaya-kaya, kemudian dikembalikan – diberikan -kepada golongan mereka yang fakir-miskin. Jikalau mereka mentaati yang sedemikian itu, maka jagalah harta-harta mereka yang dimuliakan – yakni yang menjadi milik peribadi mereka. Takutlah akan permohonan – doa – orang yang dianiaya – baik ia muslim atau kafir, karena sesungguhnya saja tidak ada tabir yang menutupi antara permohonannya itu dengan Allah – yakni doanya pasti terkabul.” (Muttafaq ‘alaih)

    Pelajaran yang terdapat didalam hadist:

    1- Sesungguhnya hal pertama sekali yang mereka dakwahkan adalah syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sebab itulah pondasi dan pokok (Islam -pen) yang dibangun di atasnya perkara agama yang lain.

    2- Jika syahadat Laa Ilaaha Illallah telah kokoh maka perkara agama yang lain akan sangat memungkinkan untuk dibangun. Namun jika syahadat Laa Ilaaha Illallah belum kokoh maka tidak ada faidahnya perkara agama selainnya.

    3- Hadits ini menerangkan tahapan-tahapan yang wajib dilalui oleh da’i yang menyeru kepada Allah. Tahap pertama seorang da’i wajib untuk memulai dengan dakwah kepada tauhid, mengesakan Allah semata dalam ibadah, dan menjauhi syirik kecil maupun besar. Hal itu terwujud dengan persaksian bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah.

    4- Maka janganlah anda mengajak manusia untuk shalat padahal mereka masih berbuat syirik. Jangan pula anda mengajak mereka untuk puasa, sedekah, zakat, menyambung silaturahim dan seterusnya padahal mereka masih melakukan berbagai kesyirikan. 

    5- Sesungguhnya tauhid adalah asas Islam.

    6- Bahwa rukun terpenting setelah tauhid adalah menegakkan sholat.

    7- Bahwa rukun Islam yang paling wajib setelah sholat adalah shadaqah fardlu (zakat), yang merupakan haknya harta.

    8- Bahwasannya imam / pemimpin adalah yang berkuasa untuk menarik zakat dan membagikannya, baik dilakukannya sendiri atau melalui wakilnya.

    9- Dalam hadits ini terdapat dalil cukupnya mengeluarkan zakat kepada satu golongan saja.

    10- Tidak boleh menyerahkan zakat kepada orang kaya.

    11- Haram bagi ‘amil (panitia) zakat mengambil harta yang berharga.

    12- Peringatan untuk berhati-hati dari segala jenis kezholiman.

    13- Agar seorang da’i memulai dari yang terpenting kemudian yang penting.

    Tema hadist yang berkaitan dengan Al qur’an :

    1- Sesungguhnya hal pertama sekali yang mereka dakwahkan adalah syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sebab itulah pondasi dan pokok (Islam -pen) yang dibangun di atasnya perkara agama yang lain. Jika syahadat Laa Ilaaha Illallah telah kokoh maka perkara agama yang lain akan sangat memungkinkan untuk dibangun. Namun jika syahadat Laa Ilaaha Illallah belum kokoh maka tidak ada faidahnya perkara agama selainnya.

    وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

    “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thoghut”. (QS. An Nahl [16] : 36)

    2- Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kisah Luqman dengan sebutan yang baik, bahwa Dia telah menganugerahinya hikmah; dan Luqman menasihati anaknya yang merupakan buah hatinya, maka wajarlah bila ia memberikan kepada orang yang paling dikasihinya sesuatu yang paling utama dari pengetahuannya. Karena itulah hal pertama yang dia pesankan kepada anaknya ialah hendaknya ia menyembah Allah semata, jangan mempersekutukannya dengan sesuatu pun. Kemudian Luqman memperingatkan anaknya, bahwa:

    إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

    sesungguhnya mempersekutukan (Allah)adalah benar-benar kezaliman yang besar.(Luqman: 13)

    3- Berdakwah menuju Allah yaitu kepada syahadat Laa Ilaaha Illallah merupakan kewajiban bagi setiap orang sesuai kemampuannya

    فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

     “Bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian”. (QS. At Taghobun [64] : 16)

    4- Maka barangsiapa yang menyelewengkan sedikit dari ibadah-ibadah tersebut atau selainnya untuk selain Allah, sungguh dia telah menyekutukan Allah. Allah berfirman,

    إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

    “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al Maidah: 72).

     
  • erva kurniawan 1:23 am on 28 January 2022 Permalink | Balas  

    Para Pecinta Kebenaran 

    One Day One Sirah

    71

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Para Pecinta Kebenaran

    Sahabat fillahku, selain para penyembah berhala, orang Nasrani, dan orang Yahudi, masih ada satu kelompok yang lain. Mereka adalah penganut ajaran Nabi Ibrahim. Jumlah mereka sangat sedikit. Hati mereka sangat gelisah menyaksikan orang menyembah batu.

    “Kalian harus mempunyai agama,” kata mereka kepada para penyembah berhala, “Sebab kalian belum mempunyai Tuhan.”

    Namun, orang-orang tidak menggubris nasihat itu dan menganggapnya sebagai angin lalu. Satu di antara penganut ajaran Nabi Ibrahim yang gigih adalah Zaid bin Amir. Ia adalah paman Umar bin Khattab.

    “Tidak seorangpun di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain saya,” demikian kata Zaid kepada keluarganya. “Kalian menyembah batu yang tidak bisa berbuat apa apa. Sungguh, kalian telah berada dalam kesesatan!”

    Zaid bin Amir mengatakan hal itu berkali-kali sehingga orang orang pun marah kepadanya. Bahkan, keluarganya sendiri menjadi geram dan gelisah. Mereka pun beramai-ramai mengusir Zaid dari Mekah. Zaid terusir dari negerinya sendiri. Ia terlunta-lunta mencari kebenaran. Dalam perjalanan menuju Syam, ia pun terbunuh di tangan para perampok.

    Kita tahu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat membenci berhala. Beliau lebih dekat kepada ajaran Nabi Ibrahim ini. Namun, hal tersebut tidaklah cukup memuaskan hatinya. Bagaimana cara menyembah Allah? Bagaimana Allah menuntun manusia agar keluar dari kesesatan seperti sekarang ini?

    Hati Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam semakin gundah karena kemaksiatan tambah merajalela. Tahukah kalian, apa yang kemudian beliau lakukan untuk menenangkan hati?

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya…
    In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Kaum Hanif

    Para ahli sejarah menamakan para pengikut ajaran Nabi Ibrahim ini sebagai kaum hanif. Abu Dzar Al Ghiffari, Ubaidillah bin Jahsy, serta beberapa orang lain termasuk golongan ini. Mereka amat membenci berhala dan pantang meminum minuman keras.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:21 am on 27 January 2022 Permalink | Balas  

    Dua Nikmat yang Seringkali Manusia Tertipu 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Dua Nikmat yang Seringkali Manusia Tertipu

    نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
    ”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

    Pelajaran yang terdapat di dalam hadist :

    1- Ibnu Baththol mengatakan, ”Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan.

    2- Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah.

    3- Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu.”

    4- Ibnul Jauzi mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”

    5- Ibnul Jauzi juga mengatakan nasehat yang sudah semestinya menjadi renungan kita, “Intinya, dunia adalah ladang beramal untuk menuai hasil di akhirat kelak. Dunia adalah tempat kita menjajakan barang dagangan, sedangkan keuntungannya akan diraih di akhirat nanti.

    6- Barangsiapa yang memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat dalam rangka melakukan ketaatan, maka dialah yang akan berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa memanfaatkan keduanya dalam maksiat, dialah yang betul-betul tertipu.

    Tema hadits yang berkaitan dengan Al-Quran:

    1- Dunia itu kesenangan yang menipu

    وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

    Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
    [Surat Aal-E-Imran : 185]

    2- Menggunakan waktu luang dengan sebaik-baiknya

    فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ

    Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
    [Surat Al-Sharh : 7]

    3- peringatan akan penyesalan orang-orang yang tidak mau menggunakan waktu luang dan sehat

    يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ

    (Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan, itulah hari dinampakkan kesalahan-kesalahan.

    4- Pertanggungan jawab terhadap nikmat yang diberikan

    ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

    Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
    (At-Takastur:8).

     
  • erva kurniawan 1:19 am on 26 January 2022 Permalink | Balas  

    Pandai Bergaul 

    One Day One Sirah

    70

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Pandai Bergaul

    Sahabat fillahku, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat pandai bergaul dengan siapa saja. Beliau mempunyai banyak kenalan baik, mulai dari budak sampai ke para pembesar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menghormati sahabat-sahabatnya. Bahkan, banyak di antara mereka yang beliau beri julukan “kesayangan”. Sebaliknya, para sahabat pun amat menyayangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian mereka memberi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan julukan “kesayangan” juga. Abu Dzar memberi julukan “khalil” kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Khalil berarti ‘teman’ atau ‘kekasih’.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak undangan. Sesibuk apa pun, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu bisa membagi waktu dengan baik untuk memenuhi undangan. Hal-hal seperti ini membuat beliau amat dihormati dan dihargai lawan ataupun kawan.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menjadi orang yang disayangi dengan tidak banyak mengumbar bicara. Sebaliknya, beliau malah lebih suka mendengar daripada berbicara. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu berkata seperlunya. Kalau bicara, kata katanya mengalir lancar dari celah gigi-giginya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bicara ke pokok masalah, jelas, tanpa bertele-tele.

    Jika sedang marah, wajah beliau berubah, tetapi beliau selalu menyembunyikan dari orang lain. Kalau disakiti, beliau membuang wajahnya ke samping. Kalau gembira, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menundukkan kepala. Canda beliau selalu sopan dan tidak pernah tertawa terbahak-bahak. Tertawa beliau hanya senyum.

    Selain amat menyayangi sesama manusia, beliau adalah penyayang binatang. Tahun 630 M, beliau pernah berjalan memimpin 10.000 tentara Muslim. Saat itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melihat seekor anjing bersama anak-anaknya menghalangi jalan. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar pasukan tidak mengganggu sang induk anjing dan anak anaknya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan memerintahkan seorang prajurit menjaga anjing itu sampai semua pasukan lewat.

    Mungkin terbersit pertanyaan, dengan pribadi yang sehebat itu , Apakah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sudah tau tentang Allah sebelum beliau diangkat menjadi utusan -Nya?

    Kita lanjutkan besok kisahnya…..Insya Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 24 January 2022 Permalink | Balas  

    Mencintai Anak-Anak 

    69

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Mencintai Anak-Anak

    Sejak masa mudanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam amat mencintai anak-anak. Sewaktu pulang dari Perang Badar, beliau mengajak Usamah, putra Zaid bin Haritsah, naik unta bersama. Saat itu, Usamah berusia 10 tahun.

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah kakek yang penyayang. Beliau sangat sering bermain dengan cucu cucunya. Beliau membiarkan Umamah, putri Zainab dan Abu Al Ash, menarik-narik jubah saat beliau sedang sholat. Bahkan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membiarkan Umamah menunggangi punggung ketika beliau juga sedang shalat.

    Suatu hari, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berkumpul dengan para istrinya. Beliau menggendong Umamah sambil mengeluarkan seuntai kalung.

    “Kalung ini akan kuberikan kepada orang yang paling aku cintai,” kata Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sambil memandang istrinya satu per satu.

    Para istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam saling memandang dengan memendam rasa berdebar. Siapakah di antara mereka yang akan mendapatkan kalung itu? Ketika Rasulullah melihat candanya mengena, sambil tersenyum, beliau memberikan kalung itu kepada Umamah.

    Pada saat lain, Rasulullah pernah dikencingi seorang bayi sampai baju beliau basah. Ibu sang anak merenggut anaknya dari gendongan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan keras. Melihat hal itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam langsung berkata, “Air kencing ini bisa dibersihkan, tetapi hati seorang anak yang dipukul akan tetap terluka.”

    Setelah itu, beliau pun melaksanakan shalat tanpa berwudhu lagi. Beliau hanya mencipratkan air pada pakaian yang terkena kencing.

    Ada seorang anak yang sering dikunjungi oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Suatu saat, anak itu tampak murung karena burung peliharaannya lepas. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pun segera datang dan membuat anak itu tersenyum kembali. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga banyak menghabiskan waktu bermain dengan anak anak kaum Muslimin yang lahir di negeri hitam Habasyah. Beliau tersenyum melihat mereka mengucapkan kata kata dalam bahasa Habasyah yang terdengar lucu.

    📝Catatan Tambahan📝

    Kuda Kesayangan Rasulullah

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam punya kuda kesayangan.
    Kuda itu berwarna coklat dengan belang putih di dahi. Keempat kakinya pun berwarna putih dari lutut ke bawah.

    Kita lanjutkan besok kisahnya….Insya Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:35 am on 22 January 2022 Permalink | Balas  

    Ali bin Abu Thalib 

    One Day One Sirah

    68

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Ali bin Abu Thalib

    Sahabat fillahku, selain Zaid bin Haritsah, ada penghuni laki-laki lagi di dalam rumah tangga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam yang penuh berkah itu. Ia adalah Ali bin Abu Thalib. Mulanya, Ali bin Abu Thalib tinggal di rumah ayahnya. Namun, suatu saat Mekah dilanda musim paceklik. Kekeringan yang mengganas itu membuat kehidupan menjadi bertambah sulit. Abu Thalib yang hidup sederhana sangat merasakan keadaan ini. Apalagi, Abu Thalib memiliki banyak putra yang harus diberi makan.

    Melihat hal itu, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam mengajak Abbas dan Hamzah, adik-adik Abu Thalib, untuk memelihara putra-putra Abu Thalib. Abbas dan Hamzah setuju dengan usul yang mulia ini. Mereka bertiga pun menemui Abu Thalib.

    Abu Thalib hanya pasrah bercampur lega. Ia memperbolehkan kedua adiknya dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk mengasuh anak-anaknya. Abbas mengambil Thalib, Hamzah memelihara Ja’far, dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam mengasuh Ali. Hanya Aqil, sang putra bungsu yang masih dipelihara Abu Thalib.

    Saat tinggal di rumah Muhammad, Ali berumur lima atau enam tahun. Ia anak yang sehat. Kulitnya agak kecoklatan. Tubuhnya gempal dan tegap. Sorot matanya tajam. Kalau tersenyum giginya tampak.

    Tindakan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam ini dilakukan untuk membalas budi Abu Thalib yang tidak terhingga, yakni telah memelihara beliau sejak kakeknya, Abdul Muthalib wafat. Selain itu, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam juga ingin mencurahkan kasih sayang kepada seorang anak laki laki sebagai pengganti kedua putra beliau, Qasim dan Abdullah.

    Dibawa asuhan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Abu Thalib tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian luhur. Kemudian ia menjadi menantu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan mempunyai dua orang putra yang terkenal dalam sejarah Islam, Hasan dan Husain. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam amat menyayangi kedua cucunya ini.

    Kita lanjutkan kisahnya besok insya Allah …

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:34 am on 21 January 2022 Permalink | Balas  

    Memelihara Sunah 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Memelihara Sunah

    عن أَبي نَجيحٍ العِرباضِ بنِ سَارية رضي الله عنه قَالَ: وَعَظَنَا رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَوعظةً بَليغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ، فَقُلْنَا: يَا رسولَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأوْصِنَا، قَالَ: ((أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإنْ تَأمَّر عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، وَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اختِلافًا كَثيرًا، فَعَليْكُمْ بسُنَّتِي وسُنَّةِ الخُلَفاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيِّنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّواجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ؛ فإنَّ كلَّ بدعة ضلالة)). رواه أَبُو داود والترمذي، وَقالَ: ((حديث حسن صحيح)).

    Dari Abu Najih al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiallahu ‘anhu, katanya: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan Kami Nasehat Yang membuat hati kami bergetar dan air mata Kami bercucuran. Maka kami berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan Nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    “Saya wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi. Karena diantara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah Khulafauurrasyidin yang mendapat petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan gerahammu. Hendaklah kalian menghindari perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya segala sesuatu kebid’ahan itu adalah sesat.”
    Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan shahih.

    Pelajaran yang terdapat dalam hadits:

    1- Hadist ini menunjukkan tentang sunnahnya memberikan wasiat saat berpisah karena di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

    2- Taqwa kepada Allah merupakan hal paling penting untuk disampaikan seorang Muslim kepada Muslim lainnya, kemudian mendengar dan taat kepada pemimpin-pemimpin kita yang memegang pemerintahan itu, apabila mereka tetap menjalankan pemerintahan selama tidak terdapat di dalamnya maksiat sebagaimana yang diridhai oleh Allah.

    3- Sunnahku yakni perjalanan dan sari hidupku.

    4- Keharusan untuk berpegang teguh terhadap Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Sunnah Khulafaurrasyidin, karena di dalamnya terdapat kemenangan dan kesuksesan, khusus nya tatkala banyak terjadi perbedaan dan perpecahan. Khulafaurrasyidin adalah pengganti-pengganti Nabi yang bijaksana dan senantiasa mengikuti kebenaran. Mereka itu adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali radhiallahu ‘anhum.

    5- Gigitlah dengan teguh sekuat-kuatnya dan jangan sampai terlepas sedikitpun.

    6- Apa yang disabdakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan kebenaran, saat ini bermacam-macam perselisihan yang kita hadapi sekarang, baik karena banyaknya faham baru yang tumbuh dan perpecahan sesama ummat Islam sendiri serta hal-hal lain.

    7- Karena itu satu-satunya jalan agar kita tetap selamat di dunia dan akhirat adalah dengan berpegang teguh pada sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah khulafaurrasyidin, yang intinya di dalam kandungan al-Quran dan Hadist.

    8- Bid’ah yakni sesuatu yang tidak ada dalam agama lalu diada-adakan sehingga seolah-olah itu juga termasuk dalam agama. Bid’ah yang sedemikian inilah yang sesat dan setiap yang sesat pasti ke neraka sebagaimana dalam Hadis lain disebutkan:
    “Maka sesungguhnya setiap sesuatu yang diada-adakan, itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di dalam neraka.”

    9- Tetapi kalau yang diada-adakan itu baik (masholihul mursalah), maka tentu saja tidak terlarang seperti mendirikan sekolah-sekolah (madrasah), pondok-pondok, dengan cara yang serba modern. Semua tidak terlarang sekalipun dalam zaman  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam belum ada.

    Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:

    • Perintah Memelihara Sunnah Dan Adab-adabnya

    وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

    “Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu semua, maka ambillah itu – yakni lakukanlah – dan apa saja yang dilarang olehnya, maka hentikanlah itu.” (al-Hasyr: 7)

    Allah Ta’ala berfirman lagi:

    وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ

    إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

    “Ia – yakni Muhammad – itu tidaklah berkata-kata dengan kemauannya sendiri. Itu tiada lain kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm: 3-4)

    Juga Allah Ta’ala berfirman pula:

    قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

    “Katakanlah-hai Muhammad, jikalau engkau semua mencintai Allah, maka ikutilah aku, maka Allah tentu mencintai engkau semua dan akan mengampuni dosa-dosamu.” (ali-lmran:31).

     
  • erva kurniawan 1:31 am on 20 January 2022 Permalink | Balas  

    Ruqayyah dan Ummu Kultsum 

    One Day One Sirah

    67

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Ruqayyah dan Ummu Kultsum

    Bagaimana kisah putra-putri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang lain?

    Ruqayyah menikah dengan Utbah. Sementara itu, Ummu Kultsum menikah dengan Utaibah. Utbah dan Utaibah adalah kakak-beradik. Mereka adalah putra Abdul Uzza yang ketika Islam datang, sangat keras memusuhi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Begitu kerasnya permusuhan mereka sampai kaum muslimin menamai Abdul Uzza sebagai “Abu Lahab”. Lahab berarti ‘gejolak api’.

    Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mendakwahkan Islam, Ruqayyah dan Ummu Kultsum jadi amat menderita. Hampir setiap hari ibu mertua mereka, Ummu Jamil, mencaci maki Rasulullah. Ummu Jamil adalah adik Abu Sufyan yang memimpin penindasan terhadap kaum Muslimin.

    Ummu Jamil semakin tidak kuasa menahan marahnya melihat kesabaran Ruqayyah dan Ummu Kultsum walau ia selalu menyumpah serapahi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di depan mereka setiap ada kesempatan. Kemarahan itu pun segera mencapai puncaknya.

    “Ceraikan mereka!” teriak Ummu Jamil kepada kedua putranya, Utbah dan Utaibah. “Usir mereka dari sini!”

    Utbah dan Utaibah pun menceraikan Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Sesuai dengan janji kaum kafir, Utbah dan Utaibah dinikahkan dengan dua putri seorang jutawan Quraisy, Abu Uhaihah. Sementara itu, Ruqayyah dan Ummu Kultsum yang diusir begitu saja, kembali ke rumah orangtua mereka sambil menangis tersedu-sedu.

    Sudah tentu dapat dimengerti betapa hancurnya hati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah melihat kedua putri mereka diperlakukan secara semena-mena. Namun, Maha suci Allah yang kemudian memberi jodoh yang lebih baik.

    Ruqayyah kemudian menikah dengan Utsman bin Affan, salah seorang sahabat besar. Ruqayyah sempat ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah. Namun ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam baru pulang dari Perang Badar, beliau menemui Ruqayyah telah wafat.

    Beliau kemudian menikahkan Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum. Namun, tidak lama kemudian Ummu Kultsum pun wafat menyusul kakaknya. Kedua putri Rasulullah ini wafat tanpa meninggalkan keturunan.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:27 am on 18 January 2022 Permalink | Balas  

    Zainab 

    One Day One Sirah

    66

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Zainab

    Zainab adalah putri tertua Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Ia menikah dengan sepupunya, Abu Al-Ash bin Rabi. Ibu Abu Al-Ash bernama Halah. Ia adalah kakak perempuan Bunda Khadijah. Pernikahan itu berlangsung jauh sebelum Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam di angkat menjadi seorang Rasulullah.
    Sahabat fillahku, kisah cinta Zainab dan Abu Al-Ash masyhur karena gelombang kesulitan yang kemudian mereka hadapi.

    Abu Al-Ash adalah orang yang jujur. Bisnisnya sangat maju dan ia berpeluang menjadi seorang yang sangat sukses dalam perdagangan. Namun, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai memperkenalkan Islam, Abu Al-Ash memilih tetap menyembah berhala. Sementara itu, Zainab bersegera memeluk agama baru itu. Ketika Islam makin menyebar, perlawanan kaum Quraisy semakin kuat. Ummu Jamil, istri Abu Lahab, menyerukan agar Abu Al-Ash menceraikan istrinya. Namun, Abu Al-Ash menolak.

    Dalam Perang Badar, Abu Al-Ash menjadi prajurit Quraisy menghadapi pasukan Muslim. Abu Al-Ash tertangkap dan dibawa sebagai tawanan. Zainab yang masih tinggal di Mekah mengirimkan kalung ibunya untuk menebus Abu Al-Ash. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam amat terharu melihat kalung almarhumah Khadijah.

    “Kalau kalian berpendapat tawanan ini dibebaskan tanpa uang tebusan, bebaskanlah dia,” kata Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabat.

    Para sahabat terdiam. Uang tebusan biasanya berjumlah sangat besar. Jika Abu Al-Ash di bebaskan tanpa uang tebusan, itu berarti mengurangi jatah uang mereka. Padahal, mereka telah mempertaruhkan nyawa dalam perang. Apalagi saat itu banyak sahabat yang hidup melarat karena kekayaan hidup mereka diambil kaum Quraisy ketika mereka berhijrah ke Madinah. Namun, para sahabat mengerti bahwa uang bukanlah tujuan mereka berperang. Terlebih, mereka tidak ingin melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berduka memikirkan perasaan putrinya. Para sahabat pun segera membebaskan Abu Al Ash.

    Allah kemudian melarang pernikahan antara wanita Muslim dengan seorang kafir. Mengetahui hal itu, Zainab pun meninggalkan Abu Al Ash dan pergi ke Madinah untuk bergabung dengan ayahnya. Tentu, Zainab dan Abu Al Ash amat menderita karena harus berpisah. Namun, bagi Zainab, firman Allah berada di atas derita pribadi. Abu Al Ash pun melepas Zainab justru karena ia amat mencintai istrinya itu.

    Insya Allah kita lanjutkan besok kisahnya

    📝Catatan Tambahan📝

    Abu Al Ash Masuk Islam

    Suatu ketika, kafilah dagang Abu Al Ash dicegat pasukan Muslim. Abu Al Ash memohon bantuan Zainab di Madinah. Saat itulah Abu Al Ash kemudian masuk Islam. Mereka dikaruniai seorang putra bernama Ali yang wafat ketika bayi dan seorang putri bernama Umamah.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:26 am on 17 January 2022 Permalink | Balas  

    Membangun Kepedulian 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rosyid
    Membangun Kepedulian

    وعن أَبي قَتادَةَ الْحارِثِ بنِ ربْعي قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه ﷺ: إِنِّي لأَقُومُ إِلَى الصَّلاةِ وَأُرِيدُ أَنْ أُطَوِّل فِيها، فَأَسْمعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجوَّزَ فِي صلاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ رواه البخاري.

    Dari Abu Qatadah, Harits bin Rib’i Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
    “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
    “Sesungguhnya saya berdiri untuk shalat dan saya bermaksud hendak memperpanjangkannya, kemudian saya mendengar tangisan bayi, dan sayapun memperingan shalatku. Saya tidak ingin memberatkan ibunya. (HR. Ahmad 2202 dan Bukhari 707).”

    Pelajaran yang terdapat didalam hadist :

    1- Hadist ini memberi petunjuk bahwa adanya kemurahan hati dan kepedulian kepada sesama orang Islam.

    2- Sesama orang Islam harus ditumbuh suburkan adanya saling mencintai, menghargai, menyayangi dan saling tolong menolong.

    3- Tatkala hendak berbuat sesuatu tidak boleh memaksakan kehendak lebih lagi didasari dengan emosi. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berdiri untuk shalat dan beliau bermaksud hendak memperpanjangkannya, kemudian mendengar tangis seorang bayi, lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam meringankan shalatnya itu karena beliau tidak suka memberatkan Ibu si bayi.

    Tema hadist yang berkaitan dengan Al quran :

    • Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hal ini dinamakan ketakwa­an. Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diha­ramkan.

    وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

    Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2).

     
  • erva kurniawan 1:13 am on 16 January 2022 Permalink | Balas  

    Zaid bin Haritsah 

    One Day One Sirah

    65

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Zaid bin Haritsah

    Suatu hari, keponakan Bunda Khadijah yang bernama Hakim bin Hizam membawa seorang budak laki laki bernama Zaid bin Haritsah. Zaid tiba dibawa ke rumah Bunda Khadijah dalam keadaan mengenaskan. Lehernya dibelenggu sehingga ia terpaksa merangkak seperti seekor kuda. Bunda Khadijah membeli Zaid dan memperlakukannya dengan baik.

    Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam amat menyukai Zaid. Apalagi ketika Zaid bercerita bahwa ia dijadikan budak dengan cara diculik.

    Lima belas tahun yang lalu, Zaid kecil sedang berjalan pulang bersama ibunya ketika datang para perampok gurun. Zaid disergap dan dibawa lari. Sejak itulah ia hidup sebagai seorang budak yang diperjualbelikan ke sana kemari. Nasiblah yang membawanya bertemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, orang yang amat Zaid cintai.

    Melihat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam amat menyayangi Zaid, Bunda Khadijah memberikan Zaid kepada suaminya itu. Bunda Khadijah yang bijaksana mengerti bahwa suaminya menganggap Zaid seolah sebagai pengganti Qasim dan Abdullah yang telah tiada. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam segera memerdekakan Zaid. Namun, secara tidak terduga, datanglah Haritsah, ayah Zaid.

    Haritsah telah bertahun-tahun mencari Zaid sejak anaknya itu menghilang. Haritsah amat menyayangi dan merindukan Zaid sehingga ia membuat puisi kesedihan tentang anaknya itu. Zaid pun amat menyayangi ayahnya.

    “Silakan membawa Zaid pulang,” kata Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam kepada Haritsah. “Tetapi, seandainya Zaid memilih tetap bersama saya, saya tidak akan menolaknya.”

    Ternyata, Zaid lebih memilih tinggal bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam amat bahagia sehingga mengangkat Zaid sebagai putra beliau. Sejak saat itu, Zaid sering dipanggil Zaid bin Muhammad. Kelak, ketika Islam telah datang, Allah melarang anak angkat mewarisi harta ayah angkatnya yang telah wafat. Harta seorang ayah tetaplah menjadi hak anak kandung, bukan anak angkat. Mahaadil Allah Yang Agung.

    Besok kita lanjutkan dengan kisah para putri Rasulullah ya….
    In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Syahid pada Perang Mu’tah

    Sebetulnya, Zaid tidaklah terlalu tampan. Kulitnya cokelat kehitaman, usianya sebelas tahun lebih muda dari Rasulullah. Namun, semangat jihadnya tidak tertandingi. Kelak, ia gugur sebagai syuhada ketika menjadi panglima pasukan muslim pada perang Mu’tah melawan pasukan Romawi.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:09 am on 14 January 2022 Permalink | Balas  

    Rumah Tangga Muhammad 

    One Day One Sirah

    64

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Rumah Tangga Muhammad

    Sahabat fillahku, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu membuat suasana rumahnya menjadi hidup dengan canda dan keramahan. Beliau suka berkelakar kepada siapa pun. Bukan hanya kepada istri dan putri putrinya, beliau juga amat ramah kepada pembantunya.

    Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu adalah pembantu rumah tangga Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau diangkat menjadi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan hijrah ke Madinah. Ia pernah ikut keluarga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selama dua belas tahun. Dengarlah apa yang Anas katakan, “Saya melayani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sejak saya berusia 8 tahun. Selama 12 tahun, beliau belum pernah memarahi saya satu kali pun walau saya melakukan kesalahan.”

    “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam paling suka makan sambil duduk bersila di lantai,” kata Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu lagi. “Beliau paling suka makan bersama. Beliau pernah berkata, ‘Sungguh malang orang yang makan sendirian.'”

    “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam gemar makan daging, tetapi beliau lebih sering menyantap kurma dan minum susu. Kalau ada yang menyuguhinya semangkuk susu, beliau akan berkata, ‘Allah memberi rahmat pada susu. Mudah-mudahan masih ada lagi.'”

    Sahabat fillahku, sejak muda, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam amat gemar memakai parfum. Bau wewangian itu akan membuat orang orang di sekitar beliau merasa senang. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak menyukai baju berwarna merah. Beliau lebih suka baju berwarna lurik atau putih. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam juga gemar memakai surban dengan salah satu ujungnya menggelantung antara pundak. Beliau tidak pernah menggunakan baju yang seluruhnya terbuat dari sutera.

    Sahabat fillahku, kemudian datanglah satu orang yang amat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sayangi. Begitu sayangnya sampai beliau mengangkatnya sebagai anak. Siapakah orang yang beruntung itu?

    Kita lanjutkan esok ya…. In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Siwak

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam amat bersih. Beliau sangat sering berwudhu. Pakaiannya juga tidak pernah kotor. Beliau selalu membawa siwak ke mana mana. Siwak adalah batang semak gurun sebesar pensil. Siwak digunakan untuk membersihkan gigi. “Kalau saya tidak ingin nanti memberatkan umat, saya akan mewajibkan kegiatan membersihkan gigi,” sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 8:04 pm on 12 January 2022 Permalink | Balas  

    PUTRA PUTRI NABI MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM 

    One Day One Sirah

    63

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    PUTRA PUTRI NABI MUHAMMAD SHALALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

    Sahabat fillahku, Bunda Khadijah adalah wanita teladan yang terbaik. Beliau wanita yang penuh kasih, setia, dan menyerahkan seluruh hidupnya untuk suami tercinta. Bunda Khadijah juga wanita yang subur. Setelah lima belas tahun berumah tangga, beliau melahirkan enam orang anak. Mereka adalah Ruqayyah, Zainab, Ummi Kultsum, Fatimah, Qasim dan Abdullah. Namun, Qasim dan Abdullah wafat ketika masih bayi, sedangkan keempat anak perempuan yang lain tetap hidup hingga dewasa. Kita dapat membayangkan betapa sedihnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah.

    Ketika pulang ke rumah dan duduk disamping Bunda Khadijah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sering melihat kesedihan di wajah istrinya itu. Saat itu, mempunyai anak laki laki bagi masyarakat jahiliah adalah hal yang amat penting dan dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Sebaliknya, mempunyai anak perempuan adalah hal yang amat memalukan, bahkan banyak orang yang memilih mengubur bayi perempuannya hidup hidup daripada memelihara nya.

    Tentu saja Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Bunda Khadijah tidak merasa malu memiliki anak anak perempuan. Mereka menyayangi semua anak mereka tanpa pilih kasih. Apalagi putri bungsu mereka, Fatimah, yang saat itu berusia lima tahun, anak cantik yang sedang lucu lucunya. Hanya saja kehilangan dua anak laki laki yang masih bayi merupakan derita yang berat bagi orangtua manapun.

    Untuk mengusir rasa sedih yang sering datang merundung itu, apa yang dilakukan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam?

    Kita lanjutkan esok ya….
    In syaa Allah

    📖Catatan Tambahan📖

    KEKAYAAN TERBESAR

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata bahwa kekayaan terbesar adalah istri yang salehah. Bunda Khadijah adalah kekayaan terbesar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pada saat saat paling sulit dalam hidup beliau.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:02 am on 11 January 2022 Permalink | Balas  

    HAJAR ASWAD 

    One Day One Sirah

    62

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    HAJAR ASWAD

    Sahabat fillah, ternyata yang datang pertama kali dari pintu Shafa adalah Muhammad. Orang orang pun bersorak lega.

    “Ini dia Al Amin” seru mereka. “Dia adalah orang yang bisa dipercaya. Kami yakin dia bisa memecahkan persoalan ini. Kami akan menerima putusannya. “

    Orang-orang Quraisy pun menceritakan persoalan yang mereka alami. Muhammad yang saat itu belum berumur 30 tahun, memandang mereka dengan matanya yang teduh dan bijaksana. Muhammad melihat berkobarnya api permusuhan pada mata setiap orang dari masing masing kabilah Quraisy. Keadaan ini benar-benar genting. Kalau salah mengambil keputusan, akan terjadi pertumpahan darah diantara kabilah-kabilah itu.

    Muhammad berpikir sejenak, lalu dia berkata,” tolong bawakan sehelai kain.”

    Kain pun segera diberikan. Muhammad mengambil dan menghamparkan kain itu. Dia lalu mendekati Hajar Aswad. Diangkatnya batu hitam itu dan diletakkan di tengah-tengah.

    “Hendaknya, setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini,” kata beliau lagi.

    Kemudian, para ketua kabilah memegang ujung kain dan bersama sama mengangkat Hajar Aswad. Di tempat Hajar Aswad semula berada. Muhammad mengangkat dan meletakkannya kembali.

    Semua pihak merasa amat puas dengan keputusan Muhammad yang adil itu. Demikianlah, pada waktu muda. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah menjadi orang yang cerdas dan bijaksana.

    Kita lanjutkan besok ya ceritanya… Insya Allah

    📖Catatan Tambahan📖

    HAJAR ASWAD DICURI

    Tanggal 18 Januari 930 muncul 1500 orang gerombolan sekte Qaramithah yang menyusup dalam rombongan jamaah haji. Enam hari kemudian, mereka mencuri dan menyandera Hajar Aswad. Lebih dari dua puluh tahun kemudian, yaitu tahun 951 masehi. Khalifah Al Mansur dari dinasti Fatimiah menebusnya dengan harga luar biasa dan mengembalikannya ke Mekah.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 6:53 am on 8 January 2022 Permalink | Balas  

    Membangun Ka’bah 

    One Day One Sirah

    61

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Membangun Ka’bah

    Sahabat fillahku, oleh Quraisy, pengerjaan Ka’bah dibagi menjadi empat bagian. Setiap kabilah masing masing mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Pemugaran Ka’bah dimulai dengan memindahkan patung Hubal dan patung kecil lainnya. Setelah itu, pekerjaan dilanjutkan dengan membersihkan pelataran dan membongkar dinding serta fondasi. Muhammad ikut terlibat dalam pekerjaan yang berlangsung berhari-hari itu.

    Ada sebuah batu fondasi berwarna hijau yang tidak bisa dibongkar dengan cara apa pun. Karena itu, batu itu mereka biarkan. Selanjutnya, didatangkanlah batu batu granit biru dari bukit sekitar. Sebuah bahan pencampur semen bernama bitumen yang didatangkan dari Syiria pun mulai digunakan. Pemugaran Ka’bah ini sebenarnya lebih menyerupai perbaikan hasil karya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

    Pondasi Ka’bah ditinggikan sampai empat hasta ditambah satu jengkal atau sekitar dua meter. Ke dalamnya diuruk tanah menjadi lantai yang sulit dicapai air apabila banjir datang kembali. Bersamaan dengan itu, pintu di sisi timur laut pun diangkat setinggi pondasi. Dinding dinaikkan sampai 18 hasta. Saat itulah Ka’bah mulai diberi atap bekas kapal yang kandas itu. Sebuah tangga untuk naik turun juga disiapkan. Kini Ka’bah bebas dari banjir. Isinya terlindungi dari hujan, panas dan tangan jahil pencuri.

    Pembangunan berjalan lancar sesuai dengan rencana sampai dinding tembok mencapai tinggi satu setengah meter dan tiba saatnya batu hitam, Hajar Aswad, ditempatkan kembali ke tempatnya semula di sudut timur. Karena ini merupakan upacara suci penuh kehormatan, berebut lah setiap kabilah untuk melaksanakannya. Kabilah Abdu Dar merasa lebih berhak daripada Kabilah lain sehingga kedua kelompok saling beradu mulut sampai suasana menjadi semakin panas.

    Di tengah keadaan itu, muncul Abu Umayyah bin Al Mughirah. Ia adalah orang tua yang dihormati dan dipatuhi. Ia pun mengajukan sebuah usul yang disetujui oleh semua pihak, “Serahkanlah putusan ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa.”

    Orang orang pun menoleh dan menanti. Siapakah yang kiranya akan datang pertama sekali?

    Nantikan besok ya…. In syaa Allah

    🖋CATATAN TAMBAHAN🖋

    Sifat Muhammad

    Sahabat fillahku, Muhammad telah mendapat karunia Allah dengan pernikahan ini. Dari seorang pemuda miskin, Allah telah mengangkatnya menjadi laki-laki berkedudukan tinggi dengan harta yang mencukupi.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:34 am on 2 January 2022 Permalink | Balas  

    Perawakan Muhammad 

    One Day One Sirah

    58

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Perawakan Muhammad

    Sahabat fillahku, jarang ada pernikahan dilangsungkan demikian agung. Dalam acara itu, semua pemimpin Quraisy dan pembesar Mekah diundang. Mempelai laki-laki menunggang kuda yang gagah diiringi para pemuda Bani Hasyim yang menghunus pedang. Sementara itu, kaum wanita Bani Hasyim berjalan lebih dulu dan telah diterima di rumah mempelai wanita.

    Rumah Khadijah yang megah saat itu telah diterangi cahaya lilin dalam lampion-lampion yang digantung dengan rantai-rantai emas. Setiap lampion terdiri atas 7 batang lilin. Semua pembantu Khadijah diberi seragam khusus untuk menyambut para tamu yang datang menjelang sore hari. Kamar pengantin benar-benar istimewa. Kain sutera dan brokat digantung begitu serasi. Lantainya tertutup karpet putih dan diharumi dupa dari guci perak.

    Khadijah sendiri begitu anggun hingga tampak bercahaya seperti matahari terbit. Ia mengenakan pakaian pengantin yang sangat indah dan jarang ada duanya saat itu. Abu Thalib adalah wakil mempelai laki-laki dalam memberi sambutan, sedangkan Waraqah bin Naufal adalah wakil pengantin wanita.

    Tidak ada laki-laki segagah Muhammad. Paras mukanya manis dan indah. Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek. Rambutnya hitam sekali dan bergelombang. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung, lebat dan bertaut. Sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi putih matanya agak kemerahan, tampak lebih menarik dan kuat. Pandangannya tajam dengan bulu mata yang hitam pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah.
    Cambangnya lebar, berleher jenjang, dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kaki yang tebal. Jika berjalan, badannya agak condong ke depan, melangkah cepat-cepat, dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.

    Bagaimanakah rumah tangga Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ?

    Nantikan kelanjutannya esok ya….In syaa Allah

    📝Catatan Tambahan📝

    Nabi yang Tampan

    Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa Allah tidaklah mengutus seorang Nabi dan Rasul melainkan mereka itu gagah dan berwajah tampan. Dan Nabi kita tercinta, Muhammad adalah salah satu yang tertampan di antara mereka.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:30 am on 31 December 2021 Permalink | Balas  

    Pernikahan Agung 

    One Day One Sirah

    57

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Pernikahan Agung

    Sahabat fillahku, Khadijah memiliki teman seorang wanita bangsawan bernama Nafisah binti Munyah. Nafisah tahu setelah suami kedua Khadijah meninggal, banyak bangsawan Quraisy yang melamarnya, namun Khadijah menolak semua itu. Nafisah tahu bahwa Khadijah takut semua lamaran itu hanya bertujuan mengincar hartanya. Lebih dari itu, Nafisah juga tahu bahwa yang diinginkan Khadijah adalah seorang laki-laki berakhlak agung. Nafisah juga tahu bahwa ada satu laki-laki yang seperti itu di Mekah: Muhammad.

    Karena itulah, begitu Khadijah membuka diri kepadanya tentang Muhammad, Nafisah tidak terkejut lagi. Khadijah meminta Nafisah mencari jalan untuk mengetahui bagaimana pandangan Muhammad tentang diri Khadijah. Maka, ketika Muhammad dalam perjalanan pulang dari Ka’bah, Nafisah menghentikannya. Nafisah pun bertanya, “Wahai Muhammad, Anda telah menjadi seorang pemuda. Banyak lelaki yang lebih muda daripada Anda telah menikah dan beberapa di antaranya bahkan telah mempunyai anak. Mengapa Anda tidak menikah?”

    “Aku belum mampu menikah, ya Nafisah. Aku tidak mempunyai kekayaan yang cukup untuk menikah.”

    “Apa jawaban Anda jika ada seorang wanita yang cantik, kaya, dan terhormat mau menikah dengan Anda walaupun Anda miskin?”

    Muhammad balik bertanya dengan sedikit terperangah, “Siapakah wanita yang seperti itu?”

    Nafisah tersenyum, “Wanita itu adalah Khadijah putri Khuwailid.”

    Alis Muhammad tambah terangkat, “Khadijah? Bagaimana mungkin Khadijah mau menikah denganku? Bukankah Anda tahu bahwa banyak bangsawan kaya raya dan kepala kepala suku di Arab ini yang telah melamarnya dan ia telah menolak mereka semua?”

    “Jika Anda mau menikahinya, katakan saja dan serahkan semuanya kepadaku. Aku akan mengurus semuanya.”

    Ketika Abu Thalib menyetujuinya, Muhammad pun mengiyakan Nafisah. Maka, pernikahan pun dilangsungkan. Sebagai pengantin, Muhammad datang didampingi paman-pamannya yang ikut berbahagia.

    Bagaimanakah suasana pernikahan yang agung ini?

    Nantikan esok ya….
    Insya Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:27 am on 29 December 2021 Permalink | Balas  

    Perasaan Khadijah 

    One Day One Sirah

    56

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Perasaan Khadijah

    Beberapa bulan setelah kepergiannya, kafilah Mekah pun datang kembali. Di tempat perhentian Marr Al Zahran, sehari perjalanan dari Mekah, para agen biasanya mendahului datang ke Mekah untuk memberi laporan perdagangan. Muhammad pun demikian. Ia lebih dulu tiba di Mekah. Namun, sebelum bertemu Khadijah, ia berthawaf dulu tujuh keliling mengelilingi Ka’bah.

    Dari atas balkonnya yang megah, Khadijah bergegas datang menyambut dan Muhammad pun melaporkan hasil penjualan, barang yang dibeli, serta berbagai pengalaman kecil dalam perjalanan. Saat itu, Khadijah sudah sangat terkesan dengan hasil yang diperoleh Muhammad, tetapi itu belum seberapa. Setelah Muhammad pulang, Maisarah menceritakan sendiri kesan-kesannya terhadap Muhammad.

    “Sungguh, belum pernah aku melihat pemuda yang demikian sempurna memandang masa depan. Keputusan-keputusannya selalu tepat dan perkiraannya tidak pernah salah. Ia juga sangat jujur dan sopan, ” demikian sebagian kisah Maisarah.

    Khadijah betul-betul sangat terkesan dengan agen barunya itu. Waraqah bin Naufal pun datang dan mendengar sendiri kisah Maisarah tentang Muhammad. Ada hal yang aneh pada diri Maisarah. Biasanya, ia sangat menekankan laporannya pada masalah masalah bisnis. Akan tetapi, kini persoalan dagang seolah-olah menjadi hal kecil. Yang dibicarakan Maisarah kali ini melulu tentang Muhammad, Muhammad, dan Muhammad. Padahal, keuntungan yang mereka dapat kali ini benar benar luar biasa. Jika dikatakan bahwa Khadijah memiliki “Sentuhan Emas”, tepatlah apabila Muhammad disebut memiliki “Sentuhan penuh berkah”.

    Ketika Waraqah telah mendengar semua itu, ia tenggelam dalam pemikiran yang sungguh sungguh. Setelah cukup lama berdiam diri, ia berkata kepada Khadijah, “Mendengar darimu dan dari Maisarah mengenai Muhammad dan juga dari apa yang kulihat sendiri, aku berpendapat bahwa ia memiliki semua sifat dan kemampuan sebagai seorang utusan Allah. Mungkin dialah yang ditakdirkan untuk menjadi salah seorang di antara para rasul pada masa yang akan datang.”

    Kita lanjutkan besok ya kisahnya…Insya Allah

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 6:23 am on 27 December 2021 Permalink | Balas  

    Berdagang ke Syam 

    One Day One Sirah

    55

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Berdagang ke Syam

    Di perjalanan, Muhammad mendapati bahwa Maisarah adalah teman yang baik. Dengan senang hati, Maisarah menunjukkan dan menceritakan sejarah berbagai tempat menarik yang mereka lewati. Muhammad juga menemui bahwa anggota kafilah yang lain sangat ramah dan akrab terhadapnya. Setelah satu bulan berjalan, tibalah mereka di Syiria.

    Setelah beristirahat beberapa hari, mulailah para pedagang menuju ke pasar. Walaupun ini adalah pengalaman pertama. Muhammad sama sekali tidak bingung dengan tugasnya. Maisarah tercengang melihat kelihaian Muhammad mengambil keputusan, pikirannya yang tajam, serta kejujurannya. Semua barang yang mereka bawa laku terjual dengan jumlah keuntungan yang belum pernah didapatkan Khadijah sebelum itu. Setelah itu, Muhammad membeli barang-barang berkualitas yang pasti akan terjual dengan harga tinggi di Mekah.

    Di Syiria itu, setiap orang yang berjumpa dengan Muhammad pasti sangat terkesan olehnya. Penampilan Muhammad sangat mompesona, ramah dan sangat besar perhatiannya pada setiap orang. Di tengah-tengah kesibukan itu, Maisarah melihat bahwa Muhammad selalu memanfaatkan setiap waktu senggang untuk menyendiri dan berpikir. Ini benar benar tidak lazim bagi Maisarah. Ia tidak menyadari bahwa tuan mudanya ini memang sangat terbiasa meluangkan waktu untuk memikirkan nasib umat manusia.

    Muhammad juga amat heran melihat perpecahan berbagai kelompok Nasrani di Syiria. Setiap masing masing dari mereka memiliki jalan dan pendapat sendiri padahal seharusnya mereka bergabung dalam satu kelompok. Manakah yang paling benar dari semuanya? Pikiran pikiran seperti ini membuat mata Muhammad selalu terbuka pada saat orang orang lain terlelap tidur.

    Akhirnya, waktu untuk pulang pun tiba. Oleh-oleh untuk handai taulan pun dibeli dan semua barang dikemas. Waktu pulang adalah waktu yang paling menggembirakan karena mereka akan berjumpa lagi dengan orang orang tercinta di kampung halaman. Mereka tidak sabar lagi mendengar tawa ria anak-anak mereka saat kembali nanti dan mereka sadar jika waktu itu tiba, tidak akan kuat lagi mereka menahan air mata.

    Nantikan besok kelanjutannya …. InsyaAllah

    📝Catatan Tambahan📝

    *Hari Jumat *

    Hari Jumat pada zaman jahiliyah adalah hari bersuka ria di seluruh jazirah. Semua orang sibuk di pasar. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah khutbah Jumat Rasulullah hampir terganggu karena saat itu datang kafilah membawa barang dagangan. Pada hari Jumat, semangat berdagang mengaliri darah semua orang pada kala itu.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 6:22 am on 26 December 2021 Permalink | Balas  

    Pentingnya Menuntut Ilmu 

    ONE DAY ONE HADITS

    Oleh Ustadz Muslih Rasyid
    Pentingnya Menuntut Ilmu

    عن أبي هريرة رضي اللَّه عنه أنه قال، قال رسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
    الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلاَّ ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالاَهُ أَوْ عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ

    Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    “Dunia dan seluruh isinya dilaknati, kecuali dzikir mengingat Allah, taat pada-Nya (mau mengikuti tuntunan, pen.), orang yang berilmu (seorang alim) atau orang yang belajar ilmu agama.” (HR Ibnu Majah, no. 4112; Tirmidzi, no. 2322. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

    Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

    1- Kalimat di atas seakan-akan maksudnya adalah dunia itu dicela, artinya dunia itu tidak dipuji kecuali bagi yang rajin berdzikir, yang beribadah pada Allah, seorang alim, atau yang mau belajar atau mendalami agama.

    2- Kesimpulannya jika ingin selamat maka jadilah bagian dari empat orang berikut ini:
    -Orang yang rajin berdzikir
    -Orang yang beribadah sesuai tuntunan

    • Orang yang ‘alim (berilmu)
    • Orang yang mau belajar.

    3- Dari Al-Hasan Al-Bashri, dari Abu Ad-Darda’, ia berkata,

    كُنْ عَالِمًا ، أَوْ مُتَعَلِّمًا ، أَوْ مُسْتَمِعًا ، أَوْ مُحِبًّا ، وَلاَ تَكُنْ الخَامِسَةَ فَتَهْلَكُ. قَالَ : فَقُلْتُ لِلْحَسَنِ : مَنِ الخَامِسَةُ ؟ قال : المبْتَدِعُ

    “Jadilah seorang alim atau seorang yang mau belajar, atau seorang yang sekedar mau dengar, atau seorang yang sekedar suka, janganlah jadi yang kelima.”

    4- Humaid berkata pada Al-Hasan Al-Bashri, yang kelima itu apa. Jawab Hasan, “Janganlah jadi ahli bid’ah (yang beramal asal-asalan tanpa panduan ilmu, pen.) (Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Batthah)

    Tema hadist yang berkaitan dengan Al qur’an :

    1- Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan atau hanya sekedar menyinggung tentang keutamaan menuntut ilmu,

    وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

    Tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[At taubah :122]

    2- Sesungguhnya barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah, niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan namanya. 

    يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

    niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11).

     
  • erva kurniawan 6:19 am on 25 December 2021 Permalink | Balas  

    Pembicaraan Abu Thalib 

    One Day One Sirah

    54

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    Pembicaraan Abu Thalib

    Pada musim semi tahun 595 Masehi, para pedagang Mekah kembali mulai menyusun kafilah perdagangan musim panas mereka untuk membawa barang dagangan ke Syiria. Khadijah juga sedang mempersiapkan barang dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin khafilahnya. Beberapa nama diusulkan orang, namun, tidak satu pun yang berkenan di hatinya.

    Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan menawarkan kepadanya Muhammad, keponakannya yang baru berusia 25 tahun, untuk menjadi agen Khadijah. Abu Thalib tahu bahwa Muhammad belum cukup berpengalaman, tetapi ia sangat yakin bahwa Muhammad lebih dari sekadar mampu. Seperti penduduk Mekah lain, Khadijah pun telah mendengar nama Muhammad. Satu hal yang Khadijah yakin adalah kejujuran Muhammad. Bukankah orang Mekah menjulukinya “Al Amin” atau “Orang yang bisa dipercaya”? Maka, Khadijah segera menyetujui tawaran Abu Thalib. Bahkan ia hendak memberi Muhammad upah dua kali lipat daripada yang diberikan kepada orang lain. Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira.

    Segera saja Abu Thalib dan Muhammad menemui Khadijah yang kemudian menerangkan tentang seluk beluk perdagangan. Otak Muhammad yang cerdas bekerja dengan tangkas. Ia segera memahami semuanya. Tidak satu penjelasan pun yang ia minta diterangkan ulang.

    Maka, kafilah pun disiapkan dengan suara riuh rendah. Khadijah menyertakan seorang pembantu laki-lakinya yang terpercaya. Maisarah, untuk mendampingi Muhammad di perjalanan.

    Diantar Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain, Muhammad datang pada hari yang telah ditentukan. Mereka disambut seorang paman Khadijah yang sedang menanti mereka dengan surat-surat perdagangan.

    Pemimpin kafilah membunyikan bel dan semuanya segera berangkat. Pada musim panas, kafilah Mekah berangkat menjelang senja dan terus berjalan pada malam hari. Mereka beristirahat pada siang hari karena perjalanan siang akan sangat melelahkan semua orang. Maka, berangkatlah Muhammad menempuh jalur yang pernah ditempuh bersama pamannya 13 tahun yang lalu.

    Nah, sahabat fillahku, berhasilkah Muhammad menjalankan tugasnya?

    Nantikan besok ya kelanjutannya…In syaa Allah

    📌Catatan Tambahan📌

    Upah untuk Muhammad

    Tadinya, upah yang diberikan Khadijah bagi seorang agen adalah 2 ekor unta. Namun, Abu Thalib menawarnya menjadi 4 ekor unta. Maka, Khadijah pun menjawab, “Kalau permintaan itu bagi orang yang jauh dan tidak kusukai saja akan kukabulkan, apalagi buat orang yang dekat dan kusukai.”

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 5:32 am on 19 December 2021 Permalink | Balas  

    HILFUL FUDHUL 

    One Day One Sirah

    50

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

    HILFUL FUDHUL

    Sahabat Fillahku, selain mengikuti peperangan, Muhammad yang masih remaja juga mengikuti sebuah perjanjian yang amat baik. Perjanjian itu kelak dikenal dengan nama Hilful Fudhul.

    Perjanjian ini bertujuan untuk melindungi hak-hak para pedagang asing yang sering kali terzhalimi. Pencetus perjanjian ini adalah protes seorang pedagang asing dari Yaman. Saat itu, Ash bin Wa’il, seorang saudagar Mekah, tidak mau membayar utang kepada si pedagang. Pedagang itu lalu menggubah syair dan membacakannya di depan umum.

    Syair ini amat menggugah perasaan para pemuka Quraisy. Mereka khawatir apabila dibiarkan terus, para pedagang Asing tidak mau lagi memasuki Mekah. Apalagi Perang Fijar mengakibatkan mulai terjadinya perpecahan di pihak Quraisy. Sepeninggal Abdul Munthalib, orang-orang Quraisy dari keluarga yang lain sudah mulai berani mencoba menantang kekuasaan pemerintahan Quraisy. Maka dari itu, atas usulan Zubair bin Abdul Munthalib, seorang paman Muhammad, orang-orang Quraisy dari keluarga Hasyim, Zuhra, Taim berkumpul. Mereka bersepakat dan berjanji atas nama Tuhan Maha Pembalas bahwa Tuhan akan berada di pihak yang terzalimi sampai orang itu tertolong.

    Pertemuan ini sendiri berlangsung di rumah Abdullah bin jud’an At Taimi yang megah. Perjanjian Hilful Fudhul ini menjamin perlindungan terhadap hak-hak orang lemah. Muhammad ikut menyaksikan perjanjian dan amat menyukainya. Setelah kelak diutus menjadi seorang Rasulullah, Muhammad bersabda: ” Aku tidak suka mengganti perjanjian yang kuhadiri di rumah Ibn Jud’an itu dengan jenis unta yang baik. Kalau sekarang aku diajak, pasti akan kutolak”

    Demikianlah, sahabat fillah, beberapa kejadian penting yang pernah diikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam pada masa remajanya. Namun, selain kejadian-kejadian itu, apa pekerjaan utama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ketika remaja ?

    Insya Allah kita lanjutkan lagi esok ya kisahnya

    📝Catatan Tambahan📝

    Besarnya Diyat

    Diyat adalah pembayaran ganti rugi.
    Untuk kematian/wajah cacat total ganti ruginya sebanyak 100 ekor unta. Satu kaki/tangan/mata jadi buta diganti dengan 50 ekor unta.
    Luka sampai menembus otak, 33 ekor unta. Cacat kelopak mata, 25 ekor unta. Satu jari hilang/tulang retak, 15 ekor unta. Luka sampai tulang kelihatan, 10 ekor unta.
    Satu gigi copot, 5 ekor unta. Demikian seterusnya dalam ketetapan yang rinci.

    Kisah ini diambil dari Buku Muhammad Teladanku

     
  • erva kurniawan 1:54 am on 27 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abdullah Bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Abdullah bin Zubair Radhiyallahu ‘Anhu merupakan salah satu sosok sahabat yang istimewa, karena ia berhijrah ketika dalam kandungan ibunya. Ibunya pun seorang yang istimewa, Asma binti Abu Bakar, yang mempunyai peran besar ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan Ayahnya dalam awal hijrah dicari-cari oleh orang kafir Quraisy untuk dibunuh. Ayahnya adalah seorang sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidup, salah satu dari sepuluh sahabat, Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘Anhu.

    Allah menambah keistimewaannya karena ia menjadi bayi pertama yang lahir di masa hijrah. Tidak bisa dibayangkan bagaimana beratnya Asma binti Abu Bakar berhijrah, ia dalam keadaan hamil tua ketika harus menempuh panasnya padang pasir sejauh hampir 500 km. Ketika baru beberapa hari di Quba, ia melahirkan dan bayinya dibawa kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau mengecup pipi dan mulutnya, hingga air liur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memasuki rongga mulutnya, dan memberi nama ‘Abdulah’.

    Tidak cukup sampai disitu saja, seluruh kaum muslimin, baik Muhajirin atau Anshar, menggendong bayi Abdullah ini keliling kota Madinah sambil menggemakan tahlil dan takbir. Apa yang sebenarnya terjadi? Ternyata, Beberapa waktu sebelumnya orang-orang Yahudi menyebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin hingga menjadi mandul. Bagi penduduk Madinah, ancaman ini bukan hal sepele, karena selama ini mereka menganggap kaum Yahudi sebagai orang yang ‘dekat’ dengan Tuhan. Tetapi dengan kelahiran Abdullah ini, mereka memperoleh bukti bahwa orang-orang Yahudi tersebut hanya menyebarkan kabar bohong semata.

    Ibnu Zubair hanya dalam masa kanak-kanak ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam masih hidup, tetapi itu cukup membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan teguh dengan keislaman, sebagaimana kedua orang tuanya. Ia berba’iat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika masih berusia 7 tahun, dan beliau menerima ba’iatnya, padahal biasanya beliau tidak mau menerima ba’iat dari anak-anak. Ia tumbuh menjadi seorang ahli ibadah sebagaimana orangtuanya, dan sahabat sahabat senior Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam lainnya. Kesehariannya banyak diisinya dengan membaca dan mengkaji Al Qur’an, serta sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, memperbanyak ibadah dan berpuasa di hari-hari yang panas karena rasa takutnya kepada Allah. Ketika sedang shalat, yakni saat sedang ruku dan sujud, tak jarang burung-burung dara bertengger di punggungnya tanpa sedikitpun merasa terganggu shalatnya.

    Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tercenung, seperti menerawang jauh, kemudian bersabda lagi, “Tetapi bagaimanapun engkau akan membunuh orang, atau orang itu yang akan membunuhmu.”

    Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam semacam ramalan bagaimana akhir kehidupan Ibnu Zubair. Bahkan saat kelahirannya, beliau pernah mengibaratkan bahwa Ibnu Zubair ini seperti seekor domba yang dikelilingi harimau yang berbulu domba.

    Pada masa khalifah Utsman bin Affan, ia bergabung dengan pasukan muslim yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang, sementara pasukan muslim sendiri hanya 20.000 orang. Pimpinan pasukan adalah gubenur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Pasukan ini ditujukan untuk membebaskan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel dari penjajahan dan tirani Romawi.

    Pimpinan pasukan Romawi yang bernama Jarjir mengadakan sayembara, barang siapa bisa membunuh Abdullah bin Abi Sarah, ia berhak memperoleh hadiah sebesar 100.000 dinar dan menikahi anaknya. Sayembara ini disebarkan juga di kalangan kaum muslim. Abdullah bin Zubair melihat bahaya adu domba ini dalam strategi Jarjir itu. Karena itu dengan persetujuan komandannya, ia membuat sayembara tandingan, ia berkata, “Kita tidak perlu khawatir, kita juga mengumumkan, bahwa barang siapa yang bisa membunuh Jarjir, ia memperoleh hadiah 100.000 dinar, dan berhak menikahi putrinya.”

    Ternyata tidak mudah membangkitkan semangat pasukan muslim hanya dengan sekedar sayembara tandingan seperti itu. Karena itu, Abdullah bin Zubair bersama sekelompok sahabat dan temannya menjadi pasukan perintis untuk menjebol pagar betis pasukan Romawi yang berlipat sepuluh kali lipat banyaknya tersebut. Ia berkata kepada pasukan perintis yang mendukungnya, “Lindungilah punggungku, dan marilah menyerbu musuh bersamaku…!!”

    Pasukan ini berhasil membelah pasukan Romawi, dan terus merangsek maju menuju satu titik, yakni tempat pengendali dan komandan pasukan, Jarjir. Seolah bahtera yang membelah gelombang, pasukan perintis ini seolah tidak terbendung hingga akhirnya sampai berhadapan dengan Jarjir. Abdullah bin Zubair sendiri yang bertempur dengan komandan pasukan Romawi yang ditakuti itu, dan akhirnya ia berhasil membunuhnya.

    Panji-panji Islam berkibar di pusat komando pasukan Romawi, dan pasukan muslim yang terus bergerak di belakangnya juga berhasil memporak-porandakan pasukan Romawi lainnya. Kemenangan yang gemilang ini tak lepas dari peran dan keberanian Abdullah bin Zubair, karena itu Abdullah bin Abi Sarah, komandan pasukan muslim, memberikan kehormatan kepadanya untuk menyampaikan sendiri berita kemenangan ini kepada Khalifah Utsman di Madinah.

     
  • erva kurniawan 8:10 am on 26 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Usamah Bin Zaid Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Tiba-tiba saja wajah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berubah merah padam tanda beliau marah, beliau berkata, “Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap orang yang mengucap ‘La ilaaha illallah’??”

    “Wahai Rasulullah,” Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dengan ketakutan, “Dia mengatakan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan diri saja….!!”

    “Begitu!!” Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, masih dengan nada tinggi, pertanda beliau masih marah, “Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu ikhlas dari hatinya atau karena pura-pura semata??”

    Memang, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang tampil dan terlihat itu saja yang menjadi ukuran kita dalam mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yang ingin disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pada pemuda kesayangan beliau tersebut, sekaligus kepada kita semua.

    Atas peristiwa tersebut, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyatakan Usamah telah bersalah, tetapi tidak ditetapkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, karena “pembunuhan” yang dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengumpulkan harta benda untuk membayar diyat (seratus ekor unta) kepada keluarga pemanggul panji musyrik yang mengucap “La ilaaha illallaah” tersebut.

    Usamah sendiri tak henti-hentinya bertobat dan menyesali “kelancangannya” tersebut, yang menyebabkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam marah kepadanya, walaupun kemudian beliau mendoakan untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah baginya. Tetapi setiap kali mengingat peristiwa tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, “Andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku…..!!”

    Beberapa hari sebelum wafat, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menghimpun pasukan besar yang akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada tempat bernama Abna. Latar belakang pengiriman pasukan ini adalah terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yang berpihak Romawi, yang juga gubernur Ma’an karena keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina.

    Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang-pejuang senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khaththab dan para Ahlul Badr lainnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kepada Usamah bin Zaid. Keputusan beliau ini ternyata menimbulkan perbincangan dan kritikan dari beberapa orang sahabat. Yang paling keras komentarnya adalah Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, “Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??”

    Saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah sakit cukup parah dan beliau tidak mengetahui secara langsung perbincangan pro-kontra yang terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah. Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, beliau bangkit dan mengikat kepala beliau dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit. Sambil memakai selimut, beliau naik ke atas mimbar di mana orang-orang sedang berkumpul. Setelah memuji Allah, beliau bersabda, “Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, jika kalian mengecam dirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan sepeninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikan karena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!”

    Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi’ul Awal. Setelah khutbah beliau itu, para sahabatyang ikut dalam pasukan tersebut berpamitan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, termasuk Umar bin Khaththab. Hari Ahadnya, Usamah menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, keadaan sakit beliau makin parah dan sempat pingsan. Setelah siuman, Usamah membungkuk dan mencium beliau sambil matanya berkaca-kaca. Tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam hanya mengangkat tangannya, seakan-akan berdoa, kemudian beliau mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat tersebut sebagai doa restu untuk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju tempat pasukan berkumpul di Jurf, sebuah tempat tidak jauh di luar Madinah, sekitar tiga mil.

    Senin pagi tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukannya ke Palestina, tetapi Usamah merasa tidak tenang dengan kondisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang ditinggalkannya kemarin. Karena itu ia kembali ke rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan setibanya disana, beliau tampak sehat, Usamah-pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, “Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah…!!”

     
  • erva kurniawan 8:08 am on 24 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Utbah Bin Ghazwan Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Begitulah cara Utbah mengajarkan pola hidup yang dipeganginya, semuanya disandarkan dan dikembalikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Tentu, bagi pemeluk Islam belakangan yang tidak sempat hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan tidak mengalami masa-masa sulit mempertahankan keimanan dan keislaman, hal-hal tersebut terasa mustahil, seperti dongeng saja dan bukan kenyataan. Bagaimanapun juga, suasana dan pengaruh magnetis yang dipancarkan dari sosok Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bisa memotivasi seseorang berbuat sesuatu yang di luar nalar, seolah di bawah kendali kekuatan ghaib yang bernama keimanan.

    Orang-orang tersebut terus mendorongnya untuk merubah pola hidupnya, dan seakan ingin menyadarkan kedudukannya sebagai seorang penguasa muslim. Keteguhan sikapnya dalam zuhud dan kesederhanan seolah-olah mencoreng ‘nama-baik’ Islam di antara penguasa lainnya seperti Persia dan Romawi. Tetapi dengan tegas Utbah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari sanjungan orang-orang terhadap diriku karena kemewahan duniawi, yang sesungguhnya nilainya sangat kecil di sisi Allah…!!”

    Ketika tampak sekali ekspresi wajah-wajah tidak sepakat dengan pendiriannya tersebut, ia berkata lagi, “Besok atau lusa, kalian akan menjumpai dan melihat amir (yang kalian inginkan itu), menggantikan diriku!”

    Pada suatu musim haji, ia menyerahkan pimpinan pemerintahan Bashrah kepada sahabatnya dan ia pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Usai haji, ia pergi ke Madinah dan menghadap Khalifah Umar, dan mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan wali negeri Bashrah. Tetapi seperti bisa diduga, Umar menolak dengan tegas keinginannya tersebut, dengan ucapannya yang sangat terkenal, “Apakah kalian membai’at aku dan menaruh amanat khilafah di pundakku, kemudian kalian meninggalkan aku dan membiarkan aku memikulnya seorang diri? Tidak, demi Allah tidak kuizinkan kalian melakukan itu!!”

    Kalaulah tipikal amir atau wali negeri itu suka bermewah-mewahan dengan harta duniawiah, tidak perlu diminta, Umar akan segera memecatnya seperti terjadi pada Muawiyah ketika menjabat amir di Syam. Terpaksalah Utbah harus meninggalkan Madinah, kota Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang selalu menjadi kerinduannya, dan kembali ke Bashrah yang justru sangat ingin dihindarinya karena harus memegang jabatan wali negeri di sana. Tampak keresahan dan kegamangan melingkupi wajahnya. Sebelum menaiki tunggangannya, ia menghadap kiblat dan berdoa, “Ya Allah, janganlah aku Engkau kembalikan ke Bashrah, janganlah aku Engkau kembalikan kepada jabatan pemerintahan selama-lamanya….!!”

    Ternyata Allah Subhanahu Wata’ala mengabulkan permintaannya. Walaupun ia tidak mengingkari perintah khalifah Umar untuk kembali ke Bashrah, tetapi dalam perjalanan kembali tersebut, Allah berkenan memanggilnya ke haribaan-Nya, menghindarkan dirinya dari kegalauan dan keresahan jiwa karena memegang jabatan wali negeri. Sebagian riwayat menyebutkan ia terjatuh dari tunggangannya ketika belum jauh meninggalkan kota Madinah. Tampaknya ia tidak ingin dipisahkan lagi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam terlalu jauh.

     
  • erva kurniawan 8:07 am on 22 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu Anhu (3) 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Maka dimulailah babak baru perjuangannya. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan, para penguasa dan hartawan, khususnya yang tidak lagi meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam mengemban amanat harta dan jabatan. Dalam menyampaikan kebenaran, lidahnya tak kalah tajamnya dengan pedangnya. Ia mengutip Surah at Taubah ayat 34-35, dan merangkaikannya menjadi syair singkat yang segera saja menjadi simbol perjuangannya, “Berilah kabar gembira para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat….”

    Segera saja Abu Dzar mendapat sambutan hangat di seluruh penjuru negeri yang dikunjunginya. Banyak sekali orang yang bergabung dan berdiri di belakangnya untuk mendukung perjuangannya. Kalau orang Islam biasa yang mengucapkan kalimat tersebut di hadapan penguasa dan para hartawan, tentulah tidak begitu besar pengaruhnya. Tetapi seorang sahabat sekaliber Abu Dzar, yang berdiri kokoh menghadapi penguasa dan hartawan, dengan tegas dan tanpa gentar sedikitpun menasehati mereka, seolah memunculkan kutub baru, kutub kaum tertindas dan teraniaya dalam negeri Islam yang begitu kaya dan melimpah.

    Inilah rahasianya, kenapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam menasehatinya langsung pada titik tertinggi, “Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui aku…!!”

    Dan beliau tidak menasehatinya untuk berjuang dengan lisannya. Kutub baru yang terjadi karena perjuangannya bisa menimbulkan fitnah baru yang lebih besar daripada fitnah yang telah ada, yakni perpecahan umat. Dan Abu Dzar menyadari satu hal, tidak semua orang tulus dan murni berjuang untuk menegakkan kalimat dan agama Allah. Ada sebagian orang yang memanfaatkan perjuangannya menegakkan kebenaran, untuk memenuhi ambisi dan keinginan nafsunya. Maka ketika Khalifah Utsman memanggilnya untuk kembali ke Madinah, ia segera memenuhinya.

    Tiba di Madinah, Khalifah Utsman memintanya dengan halus untuk tinggal bersamanya, segala kebutuhannya akan dipenuhi. Tentu saja tawaran seperti itu ditolaknya, ia hanya meminta izin untuk mengasingkan diri di pedalaman padang pasir di Rabadzah. Ia ingin melaksanakan wasiat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam kepadanya untuk bersabar di tempat terpencil, sehingga tidak terganggu dengan fitnah-fitnah yang mulai menyebar. Khalifah Utsman mengijinkannya.

    Abu Dzar tinggal di Rabadzah bersama istri, anak dan pembantunya yang sudah tua, dan beberapa ekor unta sebagai sumber kehidupannya. Suatu ketika datang seseorang dari Bani Sulaim menemuinya dan berkata “Saya ingin tinggal bersama engkau, agar aku dapat mendalami pengetahuan tentang perintah Allah, dan juga mengenal sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Saya bersedia membantu hambamu yang sudah tua itu dalam memelihara onta-ontamu!”

    “Aku tidak mau tinggal dengan orang yang tidak menuruti kehendakku,” Kata Abu Dzar, “Jika kamu berjanji akan melakukan apa yang suruh, aku akan mengijinkanmu tinggal bersamaku.”

    “Bagaimana cara menuruti kehendak-kehendakmu?” Tanya orang Bani Sulaim itu.

    “Apabila aku menyuruh membelanjakan hartaku, hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu.” Kata Abu Dzar. Orang itu menyetujuinya, dan ia tinggal bersama Abu Dzar sambil menggembalakan unta-untanya.

    Suatu ketika ada kabar bahwa ada sekelompok orang-orang miskin yang kehabisan bekal makanan, berkemah di dekat mata air. Abu Dzar memerintahkan pembantunya dari bani Sulaim untuk menyembelih satu ekor unta buat mereka. Ia memilih yang terbaik dari unta yang dimiliki Abu Dzar, dan ternyata ada dua, salah satunya tampak lebih bagus untuk ditunggangi. Karena dimaksudkan untuk bekal makanan dan akan disembelih, ia memilih unta yang satunya kemudian dibawa menghadap Abu Dzar. Ketika melihat unta tersebut, Abu Dzar berkata, “Engkau mengkhianati janjimu dulu?”

    Orang tersebut sadar apa yang dimaksudkan Abu Dzar, ia membawa kembali unta tersebut dan menukarnya dengan unta yang lebih bagus untuk ditunggangi. Abu Dzar menyuruh dua pembantunya menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya. Untuk keluarganya, sama banyaknya dengan keluarga dalam kelompok orang miskin tersebut.

     
  • erva kurniawan 8:04 am on 20 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Pada perang Tabuk yang terkenal dengan nama Jaisyul Usrah (Pasukan di masa sulit), beberapa orang tertinggal dari rombongan besar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Dan ketika ini dilaporkan, beliau bersabda, “Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah kepada kalian. Dan jika tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya.”

    Salah seorang yang tertinggal tersebut adalah Abu Dzar. Keledai yang ditungganginya sangat lelah sehingga tidak bisa bergerak lagi. Berbagai cara dicoba Abu Dzar agar keledainya berjalan lagi tetapi tidak berhasil, bahkan akhirnya mati.

    Sementara itu rombongan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sedang beristirahat ketika pagi tiba. Seorang sahabat melaporkan ada satu sosok terlihat berjalan sendiri di jauh di ufuk. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!!”

    Setelah dekat dan sampai di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, ternyata memang Abu Dzar-lah orangnya. Ia memanggul barang dan perbekalan di punggungnya dan meneruskan perjalanan menyusul rombongan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dengan berjalan kaki. Walau jelas terlihat kelelahannya, tetapi wajahnya bersinar gembira bisa bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan anggota pasukan lainnya. Beliau menatapnya penuh takjub, kemudian dengan senyum yang santun dan penuh kasih, beliau bersabda, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan ia akan dibangkitkan sendirian…”

    Sebuah bentuk pujian, atau sebuah ramalan, atau sebuah bentuk rasa kasihan, atau apapun itu, hanyalah sebuah gambaran tentang apa yang telah dan akan dijalani oleh Abu Dzar, bahkan pada hari kebangkitan nanti.

    Dari sejak pertama memeluk Islam, keberaniannya mengekspresikan keimanannya di saat dan tempat yang bisa membahayakan dirinya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam langsung mengetahui watak dan karakter Abu Dzar, apalagi dengan kondisi lingkungan Bani Ghifar yang mendidiknya. Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya, “Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya.”

    Dengan tegas Abu Dzar menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, aku akan luruskan mereka dengan pedangku!”

    Beliau tersenyum, kemudian bersabda, “Maukah aku beri jalan yang lebih baik dari itu…”

    Abu Dzar mengangguk, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Bersabarlah engkau, sampai engkau menemui aku…!!”

    Inilah gambaran situasi yang akan dihadapi oleh Abu Dzar sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Tetapi di masa khalifah Abu Bakar dan Umar, tidak ada sesuatu yang mengusik kehidupan Abu Dzar, situasi tidak jauh berbeda seperti masa hidupnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Setelah wafatnya Umar bin Khaththab, yang memang digelari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dengan istilah “Pintunya Fitnah” atau “Gemboknya Fitnah”, sedikit demi sedikit fitnah duniawiah menjalari umat Islam. Apalagi wilayah Islam makin luas dan harta kekayaan melimpah ruah. Gaya hidup Romawi dan Persia sedikit demi sedikit diadopsi oleh para penguasa muslim. Jurang pemisah antara kaum fakir miskin dan penguasa atau hartawan mulai terbentuk. Pada keadaan seperti inilah jiwa Abu Dzar terusik. Abu Dzar menerawang jauh ke belakang, teringat akan waktu bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan apa yang beliau sabdakan tentang dirinya. Beliau sudah mewasiatkan dirinya untuk bersabar dan tidak menggunakan pedangnya. Tetapi jiwa perjuangan untuk menegakkan kebenaran seakan tidak bisa terbendung. “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melarang aku untuk meluruskan mereka dengan pedang, tetapi beliau tidak pernah melarang untuk meluruskan dengan lidah dan nasihat,” begitu pikirnya.

     
  • erva kurniawan 7:59 am on 18 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu Anhu (1) 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu’ Anhu, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kota Makkah, tetapi ia merupakan kelompok sahabat yang pertama memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, karena itu ia langsung tertarik ketika mendengar kabar tentang seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.

    Ia merupakan orang dewasa ke lima atau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi Shallallahu ’Alaihi Wassalam bahwa ia berasal dari Ghifar, beliau tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar terkenal sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat ahli melakukan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, karena itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar datang sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang beliau bawa, yang sebenarnya baru didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya bisa berkata, “Sungguh Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…”

    Setelah keislamannya, beliau menyarankan agar ia menyembunyikan keimanannya dan kembali kepada kaumnya sampai waktunya Allah memberikan kemenangan. Karena sebagai perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya jika diketahui ia telah memeluk agama baru yang menentang penyembahan berhala. Ia bisa memahami saran beliau tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan menyerah seolah memberontak, ia berkata, “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku takkan pulang sebelum meneriakkan keislamanku di Masjid.”

    Ia berjalan ke Masjidil Haram, dan di sana di ia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan.

    Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang mendengar kabar tersebut segera datang ke masjid, tetapi melihat kondisinya, tidak mudah melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa, karena itu ia berkata diplomatis, “Wahai orang Quraisy, dia adalah orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan kalian semua adalah kaum pedagang yang selalu melewati daerah mereka. Apa jadinya jika mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??”

    Merekapun melepaskannya. Tetapi pada hari berikutnya, ketika Abu Dzar melihat dua wanita mengelilingi berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon, lagi-lagi jiwa tauhidnya terusik. Ia mencegat dua wanita tersebut dan menghina dua berhala itu sejadi-jadinya, sehingga dua wanita itu menjerit ketakutan. Tak pelak orang-orang musyrik berkumpul dan sekali lagi menghajarnya beramai-ramai hingga pingsan. Melihat kejadian tersebut, sekali lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkannya untuk segera pulang ke kabilahnya.

    Kembali ke daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga sedikit demi sedikit mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini. Beberapa tahun kemudian ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sudah tinggal di Madinah, serombongan besar manusia datang dengan suara gemuruh, kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang diserang musuh. Ternyata mereka adalah Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua kabilah yang terkenal jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allah tersebut datang melalui tangan Abu Dzar.

    Ketika dua rombongan besar ini menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berkaca-kaca diliputi keharuan, suka cita dan rasa kasih berlimpah. Beliau bersabda kepada Kabilah Bani Ghifar, “Ghifaarun ghafarallahu laha….” (Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah).

    Kemudian beliau berpaling kepada Kabilah Bani Aslam sambil bersabda, “Wa Aslamu Saalamahallahu….” (Suku Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).

     
  • erva kurniawan 7:57 am on 16 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Hamzah Bin Abdul Muthalib Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Hamzah bin Abdul Muthalib adalah sahabat sekaligus paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Walau sebagai paman, Hamzah seusia (lebih kurang sama) dengan beliau, bahkan ia juga saudara sesusu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, sama-sama dipelihara dan disusui oleh Halimah as Sa’diyah. Bahkan sebelum dibawa kepada Bani Sa’d bin Bakr, kabilahnya Halimah as Sa’diyah, keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah satu sahaya Abu Lahab yang saat itu sedang menyusui anaknya, Masruh. Mereka berdua juga teman sepermainan dan tumbuh dewasa bersama-sama.

    Hamzah adalah seorang lelaki Quraisy yang sangat terpandang dan sangat disegani. Ia sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan keluarganya. Ia mempunyai kegemaran (hobbi) berburu, dan hal itu membuat dirinya makin ditakuti oleh orang-orang Quraisy lainnya.

    Suatu hari di bulan Dzulhijjah tahun ke enam dari nubuwwah, ketika baru pulang dari perburuannya, seorang budak wanita milik Abdullah bin Jad’an berkata kepadanya, “Wahai Abu Ammarah (nama kunyahnya Hamzah), ketika berada di Shafa, aku melihat Abu Jahal mencaci maki dan melecehkan keponakanmu, Muhammad. Bahkan ia memukul kepalanya hingga terluka!!”

    Mendengar laporan tersebut Hamzah sangat marah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam adalah putra kakak kandungnya, sedangkan Abu Jahal hanya saudara sepupunya. Penghinaan kepada beliau sama artinya dengan penghinaan kepada dirinya, apalagi ayahnya telah wafat. Masih dengan menenteng busur panahnya, ia berjalan berkeliling mencari Abu Jahal, setiap orang yang ditemuinya selalu ditanya keberadaan Abu Jahal. Ketika ditemuinya di dekat masjid, ia berkata, “Wahai orang yang berpantat kuning (yakni, Abu Jahal), beraninya engkau mencela anak saudaraku, sedangkan aku berada di atas agamanya…!!”

    Setelah itu Hamzah memukul kepala Abu Jahal dengan busur panah yang dipegangnya hingga luka menganga. Orang-orang Bani Makhzum (kabilahnya Abu Jahal) berdiri ingin melakukan perlawanan, dan orang-orang Bani Hasyim (kabilahnya Hamzah dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam) juga segera berdiri di belakang Hamzah. Kalau dibiarkan mungkin bisa terjadi perang saudara saat itu. Tetapi Abu Jahal berkata kepada kaumnya, “Biarkan saja Abu Ammarah, karena aku memang telah mencaci maki anak saudaranya dengan cacian yang sangat menyakitkan!!”

    Mungkin apa yang dikatakan Hamzah bahwa ia berada di atas agama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam adalah hanya ungkapan kemarahan dan perasaan harga dirinya yang tersinggung. Tetapi bisa jadi itu memang jalan hidayah Allah, karena setelah itu ia menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan menyatakan dirinya memeluk Islam.

    Keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib seolah menjadi pemicu bangkitnya kekuatan Islam, apalagi tiga hari kemudian disusul dengan keislaman Umar bin Khaththab. Atas inisiatif Umar, kaum muslimin yang selama ini beribadah dan berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, jadi berani melakukannya dengan terang-terangan. Saat itu juga, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengeluarkan kaum muslimin dalam dua barisan, barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin Umar. Mereka berjalan menuju Baitullah dengan menggemakan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kemudian berkumpul di dekat Ka’bah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tanpa berani berbuat apa-apa.

    Ketika perang Badar mulai pecah, seorang lelaki perkasa dari Quraisy, Aswad bin Abdul Asad al Makhzumy sesumbar akan menghabisi kaum muslimin. Maka Hamzah maju menghadapi orang sombong tersebut dan dengan mudah membunuhnya. Kemudian tampillah tiga pahlawan kafir Quraisy yang masih bersaudara, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, menantang duel. Tiga orang pemuda Anshar, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah berniat menghadapi mereka, tetapi mereka hanya menginginkan sesama Quraisy saja. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Hamzah, Ali dan Ubadah bin Harits yang juga bersaudara untuk menghadapinya, dan dengan mudah mengalahkan mereka. Hanya saja Ubadah sempat terluka parah, dan akhirnya gugur sebagai syahid.

    Dalam perang Badar itu, Hamzah memakai tanda bulu burung pada bajunya. Ia berperang dengan perkasanya sehingga pasukan musuh porak poranda. Seorang lelaki musyrik bertanya tentang siapa dia, dan dijawab kalau dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia berkata, “Dialah yang banyak menimbulkan kesusahan pada kita.”

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 12 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Pada masa khalifah Abu Bakar, ia mengikuti pasukan besar yang dipimpin oleh Khalid bin Walid untuk menghadang pasukan Romawi, yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk. Walau ia seorang sahabat besar, senior dan seorang kepercayaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam serta kepercayaan ummat, ia hanyalah seorang prajurit biasa sebagaimana banyak sahabat besar lainnya. Dan tidak ada masalah baginya kalau komandannya adalah Khalid bin Walid, yang baru memeluk Islam setelah perjanjian Hudaibiyah, sebelum terjadinya Fathul Makkah. Padahal sebelumnya ia sangat gencar memerangi kaum muslimin sewaktu masih kafirnya. Bahkan Khalid bin Walid juga yang berperan besar menggagalkan kemenangan pasukan muslim di perang Uhud dan memporak-porandakan kaum muslimin, bahkan hampir mengancam jiwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Tetapi itulah gambaran umum karakter sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang sebenarnya, termasuk Abu Ubadiah bin Jarrah. Ikhlas berjuang di jalan Allah, tidak karena jabatan, kekuasaan, harta, nama besar, atau bahkan tidak untuk kemenangan itu sendiri. Tetapi semua ikhlas karena Allah dan RasulNya.

    Kembali ke perang Yarmuk, ketika pertempuran berlangsung sengit dan kemenangan sudah tampak di depan mata, datanglah utusan dari Madinah menemui Abu Ubaidah membawa dua surat dari khalifah. Pertama mengabarkan tentang kewafatan khalifah Abu Bakar, dan Umar diangkat sebagai khalifah atau penggantinya. Kedua, tentang keputusan khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai komandan seluruh pasukan, menggantikan Khalid bin Walid.

    Setelah membaca dua surat tersebut, Abu Ubaidah menyuruh utusan tersebut menyembunyikan diri di tenda sampai pertempuran selesai, ia meneruskan menyerang musuh. Setelah perang usai dan pasukan Romawi dipukul mundur, Abu Ubaidah menghadap Khalid layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dengan hormat dan penuh ta’dhimnya, dan menyerahkan dua surat dari khalifah Umar tersebut. Usai membaca dua surat itu, Khalid ber-istirja’ (mengucap Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji’un), dan memberitahukan kepada seluruh pasukan tentang isi dua surat tersebut, kemudian ia menghadap Abu Ubaidah, tak kalah hormat dan ta’dhimnya, dan berkata, “Semoga Allah memberi rahmat anda, wahai Abu Ubaidah, mengapa anda tidak menyampaikan surat ini padaku ketika datangnya..??”

    Abu Ubaidah yang cukup mengenal ketulusan dan keikhlasan Khalid dalam berjuang, menjawab dengan santun, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda! Kekuasaan dunia bukanlah tujuan kita, dan bukan pula untuk dunia kita beramal dan berjuang! Tidak masalah dimana posisi kita, kita semua bersaudara karena Allah!!”

    Sebagian riwayat menyatakan utusan tersebut menemui Khalid bin Walid, setelah membacanya ia menyuruh utusan bersembunyi sampai perang usai. Setelah kemenangan tercapai, Khalid bin Walid menghadap Abu Ubaidah layaknya seorang prajurit kepada komandannya, dan peristiwa berlangsung penuh ketulusan dan keikhlasan seperti riwayat sebelumnya.

    Abu Ubaidah wafat ketika menjabat sebagai gubernur Syam, pada masa khalifah Umar bin Khaththab. Saat itu berjangkit penyakit tha’un (semacam wabah penyakit) yang menyerang dan membunuh beberapa orang sekaligus Ketika wafatnya ini, sahabat Mu’adz bin Jabal berkata khalayak ramai yang turut menghantar jenazahnya, “Sesungguhnya kita sekalian telah kehilangan seseorang yang, Demi Allah, aku menyangka tidak ada oranglain yang lebih sedikit dendamnya, lebih bersih hatinya, dan paling jauh dari perbuatan merusak, lebih cintanya pada kehidupan akhirat, dan lebih banyak memberikan nasehat kecuali Abu Ubaidah ini. Keluarlah kalian untuk menyalatkan jenazahnya, dan mohonkan rahmat Allah untuknya.”

    Mu’adz memimpin shalat jenazahnya dan turun ke liang lahat bersama Amru bin ‘Ash dan Dhahak bin Qais.

     
  • erva kurniawan 1:49 am on 10 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Hamzah Bin Abdul Muthalib Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Hamzah bin Abdul Muthalib adalah sahabat sekaligus paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Walau sebagai paman, Hamzah seusia (lebih kurang sama) dengan beliau, bahkan ia juga saudara sesusu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, sama-sama dipelihara dan disusui oleh Halimah as Sa’diyah. Bahkan sebelum dibawa kepada Bani Sa’d bin Bakr, kabilahnya Halimah as Sa’diyah, keduanya pernah disusui oleh Tsuwaibah, salah satu sahaya Abu Lahab yang saat itu sedang menyusui anaknya, Masruh. Mereka berdua juga teman sepermainan dan tumbuh dewasa bersama-sama.

    Hamzah adalah seorang lelaki Quraisy yang sangat terpandang dan sangat disegani. Ia sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan keluarganya. Ia mempunyai kegemaran (hobbi) berburu, dan hal itu membuat dirinya makin ditakuti oleh orang-orang Quraisy lainnya.

    Suatu hari di bulan Dzulhijjah tahun ke enam dari nubuwwah, ketika baru pulang dari perburuannya, seorang budak wanita milik Abdullah bin Jad’an berkata kepadanya, “Wahai Abu Ammarah (nama kunyahnya Hamzah), ketika berada di Shafa, aku melihat Abu Jahal mencaci maki dan melecehkan keponakanmu, Muhammad. Bahkan ia memukul kepalanya hingga terluka!!”

    Mendengar laporan tersebut Hamzah sangat marah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam adalah putra kakak kandungnya, sedangkan Abu Jahal hanya saudara sepupunya. Penghinaan kepada beliau sama artinya dengan penghinaan kepada dirinya, apalagi ayahnya telah wafat. Masih dengan menenteng busur panahnya, ia berjalan berkeliling mencari Abu Jahal, setiap orang yang ditemuinya selalu ditanya keberadaan Abu Jahal. Ketika ditemuinya di dekat masjid, ia berkata, “Wahai orang yang berpantat kuning (yakni, Abu Jahal), beraninya engkau mencela anak saudaraku, sedangkan aku berada di atas agamanya…!!”

    Setelah itu Hamzah memukul kepala Abu Jahal dengan busur panah yang dipegangnya hingga luka menganga. Orang-orang Bani Makhzum (kabilahnya Abu Jahal) berdiri ingin melakukan perlawanan, dan orang-orang Bani Hasyim (kabilahnya Hamzah dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam) juga segera berdiri di belakang Hamzah. Kalau dibiarkan mungkin bisa terjadi perang saudara saat itu. Tetapi Abu Jahal berkata kepada kaumnya, “Biarkan saja Abu Ammarah, karena aku memang telah mencaci maki anak saudaranya dengan cacian yang sangat menyakitkan!!”

    Mungkin apa yang dikatakan Hamzah bahwa ia berada di atas agama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam adalah hanya ungkapan kemarahan dan perasaan harga dirinya yang tersinggung. Tetapi bisa jadi itu memang jalan hidayah Allah, karena setelah itu ia menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan menyatakan dirinya memeluk Islam.

    Keislaman Hamzah bin Abdul Muthalib seolah menjadi pemicu bangkitnya kekuatan Islam, apalagi tiga hari kemudian disusul dengan keislaman Umar bin Khaththab. Atas inisiatif Umar, kaum muslimin yang selama ini beribadah dan berdakwah dengan sembunyi-sembunyi, jadi berani melakukannya dengan terang-terangan. Saat itu juga, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengeluarkan kaum muslimin dalam dua barisan, barisan pertama dipimpin oleh Hamzah dan barisan kedua dipimpin Umar. Mereka berjalan menuju Baitullah dengan menggemakan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir kemudian berkumpul di dekat Ka’bah. Kaum kafir Quraisy hanya bisa memandang tanpa berani berbuat apa-apa.

    Ketika perang Badar mulai pecah, seorang lelaki perkasa dari Quraisy, Aswad bin Abdul Asad al Makhzumy sesumbar akan menghabisi kaum muslimin. Maka Hamzah maju menghadapi orang sombong tersebut dan dengan mudah membunuhnya. Kemudian tampillah tiga pahlawan kafir Quraisy yang masih bersaudara, Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah, menantang duel. Tiga orang pemuda Anshar, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah berniat menghadapi mereka, tetapi mereka hanya menginginkan sesama Quraisy saja. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Hamzah, Ali dan Ubadah bin Harits yang juga bersaudara untuk menghadapinya, dan dengan mudah mengalahkan mereka. Hanya saja Ubadah sempat terluka parah, dan akhirnya gugur sebagai syahid.

    Dalam perang Badar itu, Hamzah memakai tanda bulu burung pada bajunya. Ia berperang dengan perkasanya sehingga pasukan musuh porak poranda. Seorang lelaki musyrik bertanya tentang siapa dia, dan dijawab kalau dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib. Ia berkata, “Dialah yang banyak menimbulkan kesusahan pada kita.”

     
  • erva kurniawan 1:46 am on 8 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di dekat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Namun walau Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah melihat dirinya, beliau masih mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah, beliau bersabda, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka, dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!”

    Inilah dia orang terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu Ubaidah yang dimaksudkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’, orang kepercayaan ummat Islam ini.

    Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran, sebagaimana diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Sebagian riwayat menyebutkan, dua dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan, dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang memeluk Islam.

     
  • erva kurniawan 1:43 am on 6 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah AbdulRahman Bin Auf Radhiyallahu ‘Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Suatu hari, beberapa tahun setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, terdengar suara bergemuruh dan debu mengepul menuju kota Madinah, seolah-olah ada pasukan yang sedang menyerbu kota Madinah. Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Apa yang sedang terjadi di kota Madinah ini?”

    Seseorang menjelaskan bahwa kafilah dagang Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam, sebanyak 700 kendaraan penuh dengan barang yang bermacam-macam. Masyarakat Madinah menyambut dengan gembira kedatangan kafilah tersebut karena mereka pasti akan ikut merasakan manfaatnya. Mendengar penjelasan tersebut, Aisyah tercenung sesaat seolah-olah mengingat sesuatu, kemudian ia berkata, “Aku ingat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bersabda : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan. Ini yang mungkin dimaksud beliau….”

    Sebagian riwayat menyebutkan, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tentang dirinya tersebut dengan redaksi yang berbeda, yakni : Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak, dan beberapa redaksi lainnya yang intinya adalah ia “tertunda” karena terlalu banyaknya harta kekayaannya. Walaupun ia memperoleh harta kekayaannya dengan jalan halal dan membelanjakan atau mengeluarkan dengan jalan halal pula, tetapi ia harus melewati hisab yang tentunya lebih lama dibanding sahabat-sahabat as Sabiqunal Awwalin lainnya.

    Sebagian sahabat yang mendengarkan ucapan Aisyah tersebut menyampaikan ucapan tersebut kepada Abdurrahman bin Auf. Ia segera ingat, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memang pernah bersabda seperti itu, dan ia juga ingat bahwa beliau memberitakan, bahwa pertanyaan akhirat tentang umur dan ilmu hanya satu, tetapi tentang harta ada dua, bagaimana mendapatkannya dan dimana/bagaimana membelanjakannya?
    Sebelum sempat barang perniagaannya diturunkan dari kendaraan, ia bergegas menemui Aisyah, dan berkata, “Anda telah mengingatkanku akan hadits, yang sebelumnya tak pernah kulupakan. Dengan ini saya memohon dengan sangat anda menjadi saksi, bahwa kafilah dagang dan semua muatan berikut kendaraan dan perlengkapannya kubelanjakan di jalan Allah Subhanahu Wata’ala.”

    Sewaktu ia sakit keras menjelang ajalnya, Aisyah mendatanginya dan menawarkan agar jenazahnya nanti dimakamkan di halaman rumahnya, sehingga berdekatan dengan makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Bakar dan Umar yang ada di dalam rumahnya. Tetapi ia memang seorang yang rendah hati, ia merasa malu diberikan penghargaan yang setinggi itu, ia memilih untuk dimakamkan didekat makam sahabatnya yang telah mendahuluinya, Utsman bin Madz’um Radhiyallahu ‘Anhu di Baqi.

    Pada detik-detik terakhir nyawanya akan dicabut, ia sempat menangis dan berkata, “Aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ini…”

     
  • erva kurniawan 1:39 am on 4 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abdurrahman Bin Auf Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Abdurrahman bin Auf termasuk dalam kelompok sahabat as Sabiqunal Awwalun, ia memeluk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan, yakni lewat perantaraan Abu Bakar ash Shiddiq. Ia juga termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. Sembilan orang lainnya adalah empat khalifah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘Anhuma.

    Abdurrahman bin Auf termasuk seorang sahabat yang selalu berhasil dalam perniagaannya, sehingga hartanya selalu berlimpah. Apapun bidang usaha yang ditekuninya selalu memberikan keuntungan, sehingga ia sempat takjub atas dirinya sendiri, dan berkata, “Sungguh mengherankan diriku ini, seandainya aku mengangkat batu tentulah kutemukan emas dan perak di bawahnya.”

    Namun kekayaannya yang melimpah tidak menjadikannya takabur. Orang yang belum pernah mengenalnya, bila bertemu untuk pertama kali, mereka tidak akan bisa membedakan antara dirinya sebagai tuan dan pelayan/pegawainya, karena kesederhanaan penampilannya.

    Pernah ia dipusingkan dengan hartanya yang begitu berlimpah sehingga ia begitu gelisah dan tidak bisa tidur. Istrinya yang bijak dan penuh keimanan memberikan saran yang bisa menentramkan hatinya. Sang istri berkata, “Hendaknya hartamu engkau bagi tiga, dengan sepertiganya, engkau carilah saudaramu seiman yang berhutang dan lunasilah hutang mereka. Sepertiganya lagi, carilah saudaramu seiman yang memerlukan uang dan berilah mereka pinjaman. Dan sepertiganya lagi, engkau pakai sebagai modal perniagaanmu…”

    Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyeru agar umat Islam bersedekah untuk mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 200 uqiyah atau 8000 dirham. Umar bin Khaththab mengadukan sikap Abdurrahman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam karena tidak menyisakan apapun untuk keluarganya, sedangkan ia sendiri menyedekahkan separuh hartanya sebanyak 100 uqiyah, separuhnya lagi ditingalkan untuk keperluan keluarganya.

    Karena pengaduan Umar ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memanggilnya, kemudian bertanya, “Wahai Abdurrahman, apakah engkau meninggalkan sesuatu untuk keluarga yang engkau tinggalkan!”

    “Benar, ya Rasulullah!” Kata Abdurrahman, “Aku telah meninggalkan untuk keluargaku sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak daripada apa yang kusedekahkan!”

    “Berapa?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya.

    “Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya!”

    Rasulullah Shallallahu’
    ‘Alaihi Wassalam membenarkan sikapnya dan menerima alasan Abdurrahman tersebut.

     
  • erva kurniawan 3:01 am on 2 February 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (4) 

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu

    Beberapa waktu kemudian, Umar ingin mengangkatnya menjadi amir di suatu daerah lain. Dengan meminta maaf, Abu Hurairah menolak penawaran tersebut. Ketika Umar menanyakan alasannya, Abu Hurairah menjawab, “Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, dan punggungku tidak dipukul…”

    Beberapa saat berhenti, ia meneruskan lagi seakan ingin memberi nasehat kepada Umar, “Dan aku takut menghukum tanpa ilmu, dan bicara tanpa belas kasih…”

    Umar pun tak berkutik dan tidak bisa memaksa lagi seperti biasanya.

    Pada masa kekhalifahan selanjutnya, Abu Hurairah selalu mendapat penghargaan yang tinggi berkat kedekatannya bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan periwayatan hadits-hadits beliau, sehingga secara materi sebenarnya ia tidak pernah kekurangan, sebagaimana masa kecilnya atau masa-masa bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Tetapi dalam kelimpahan harta dan ketenaran ini, Abu Hurairah tetap bersikap zuhud dan sederhana dalam kehidupannya, sebagaimana dicontohkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Pernah suatu kali di masa khalifah Muawiyah, ia mendapat kiriman uang seribu dinar dari Marwan bin Hakam, tetapi keesokan harinya utusan Marwan datang menyatakan kalau kiriman itu salah alamat. Dengan tercengang ia berkata, “Uang itu telah habis kubelanjakan di jalan Allah, satu dinar-pun tidak ada yang bermalam di rumahku. Bila hakku dari baitul mal keluar, ambillah sebagai gantinya!!”

    Abu Hurairah wafat pada tahun 59 hijriah dalam usia 78 tahun, pada masa khalifah Muawiyah.

    Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada??”

    Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!!”

    Tidak lama kemudian nyawanya terbang kembali ke hadirat Ilahi, dan jasadnya dimakamkan di Baqi, di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lain yang telah mendahuluinya.

     
  • erva kurniawan 3:01 am on 31 January 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (3) 

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu

    Sepeninggal Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Hurairah selalu mengisi sisa waktu hidupnya dengan ibadah dan berjihad di jalan Allah. Ia mempunyai kantung yang berisi biji-biji kurma untuk menghitung dzikirnya, ia mengeluarkannya satu persatu dari kantung, setelah habis ia memasukkannya lagi satu persatu. Secara istiqamah, ia mengisi malam hari di rumahnya dengan beribadah secara bergantian dengan istri dan anaknya (atau pelayannya pada riwayat lainnya), masing-masing sepertiga malam. Kadang ia pada sepertiga malam pertama, atau sepertiga pertengahan dan terkadang pada sepertiga malam akhirnya yang merupakan saat mustajabah. Sehingga malam hari di keluarganya selalu terisi penuh dengan ibadah.

    Pada masa khalifah Umar, ia sempat diangkat menjadi amir di Bahrain. Seperti kebanyakan sahabat pilihan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam lainnya, ia menggunakan gaji atau tunjangan yang diterima dari jabatannya untuk menyantuni dan membantu orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kehidupannya, ia mempunyai kuda yang diternakkannya, dan dan ternyata berkembang sangat cepat sehingga ia menjadi lumayan kaya dibanding umumnya sahabat lainnya. Apalagi banyak juga orang-orang yang belajar hadits dari dirinya, dan seringkali mereka memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih dan penghargaan kepadanya.

    Ketika Umar mengetahui Abu Hurairah memiliki kekayaan yang melebihi penghasilannya, ia memanggilnya menghadap ke Madinah untuk mempertanggung-jawabkan hartanya tersebut. Begitu tiba di Madinah dan menghadap, Umar langsung menyemprotnya dengan pedas, “Hai musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?”

    Abu Hurairah yang sangat mengenal watak dan karakter Umar, dan juga mengetahui sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa Umar adalah “kunci/gemboknya fitnah”, dengan tenang berkata, “Aku bukan musuh Allah Subhanahu Wata’ala, dan juga bukan musuh kitab-Nya, tetapi aku hanyalah orang yang memusuhi orang yang menjadi musuh keduanya, dan aku bukan orang yang mencuri harta Allah…!”

    “Darimana kauperoleh harta kekayaanmu tersebut?”

    Abu Hurairah menjelaskan asal muasal hartanya, yang tentu saja dari jalan halal. Tetapi Umar berkata lagi, “Kembalikan harta itu ke baitul mal..!!”

    Abu Hurairah adalah didikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang bersikap zuhud dan tidak cinta duniawiah. Walau bisa saja ia berargumentasi untuk mempertahankan harta miliknya, tetapi ia tidak melakukannya. Karena itu tanpa banyak pertanyaan dan protes, ia menyerahkan hartanya tersebut kepada Umar, setelah itu ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin Umar…!!”

     
  • erva kurniawan 2:56 pm on 29 January 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu

    Abu Hurairah, atau nama aslinya Abdu Syamsi bin Sakher hanyalah seorang buruh upahan penggembala kambing dari keluarga Busrah bin Ghazwan, salah satu pemuka dari kabilah Bani Daus di Yaman. Tetapi sepertinya Allah menghendaki akan meningkatkan derajadnya setinggi mungkin, dengan jalan membawanya kepada hidayah Islam.

    Ketika salah satu pemuka Bani Daus, yakni Thufail bin Amr ad Dausi melaksanakan ibadah haji ke Makkah (tentunya sebagai ritual ibadah jahiliah) pada tahun ke sebelas dari kenabian, ia bertemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Sebenarnya kaum kafir Quraisy telah ‘menasehati’ dirinya agar tidak bertemu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, tidak hanya sekali tetapi berkali-kali ia diingatkan. Tetapi justru karena intensitas peringatan itu yang membuatnya penasaran dan tergelitik untuk menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akhirnya memeluk Islam. Sepulangnya ke Yaman, ia mendakwahkan Islam kepada kaumnya. Pada mulanya hanya sedikit saja orang yang menanggapi seruannya, yang salah satunya adalah Abu Hurairah tersebut.

    Pada awal tahun 7 hijriah, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berencana menggerakkan pasukan untuk menyerang kaum Yahudi di Khaibar. Kabar ini sampai juga ke Yaman, maka Thufail bin Amr mengajak kaum muslimin dari kabilahnya, Bani Daus untuk berhijrah ke Madinah dan menyertai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam medan jihad tersebut. Walau dalam keadaan miskin dan tidak memiliki harta yang mencukupi, Abu Hurairah turut juga menyambut seruannya, dan bergabung dalam rombongan hijrah ini.

    Setibanya di Madinah, ternyata Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan sebagian besar sahabat baru saja berangkat ke Khaibar. Rombongan Bani Daus tersebut langsung menyusul ke Khaibar untuk bergabung dengan pasukan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, tetapi Abu Hurairah tertinggal di Madinah karena tidak memiliki kendaraan dan perbekalan. Usai shalat subuh keesokan harinya, Abu Hurairah bertemu shahabat yang ditunjuk menjadi wakil Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di Madinah, yakni Siba’ bin Urfuthah al Ghifary (atau sebagian riwayat menyebutkan Numailah bin Abdullah al Laitsy), ia memberi Abu Hurairah kendaraan dan perbekalan untuk bisa menyusul ke Khaibar. Ia berhasil menjumpai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan beliau menyuruhnya langsung bergabung dengan pasukan yang telah siap bertempur.

    Dalam pertemuan pertama itu, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya kepadanya, “Siapakah namamu?”

    Abu Hurairah berkata, “Abdu Syamsi!!”

    Abdu Syamsi artinya adalah hamba atau budaknya matahari. Tampaknya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kurang berkenan dengan namanya itu, maka beliau bersabda, “Bukankah engkau Abdur Rahman!!”

    Maksud Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah ia dan manusia semua itu adalah hamba Allah Ar-Rahman, maka dengan gembira Abu Hurairah berkata, “Benar, ya Rasulullah, saya adalah Abdurrahman!!”

    Sejak itu namanya berganti dari Abdu Syamsi bin Sakher menjadi Abdurrahman bin Sakher, sesuai dengan pemberian Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Sedangkan nama gelaran Abu Hurairah yang berarti ‘bapaknya kucing (betina)’, berawal ketika ia menemukan seekor anak kucing yang terlantar, maka ia mengambil dan merawatnya. Setelah itu ia selalu membawa anak kucing itu dalam lengan jubahnya kemanapun ia pergi, sehingga orang-orang memanggilnya dengan Abu Hurairah. Ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mendengar kisah tentang nama gelarannya itu, beliau terkadang memanggilnya dengan nama ‘Abul Hirr”, yang artinya adalah : bapaknya kucing (jantan).

    Sepulangnya dari Khaibar, sebagaimana sahabat pendatang (Muhajirin) miskin lainnya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menempatkan Abu Hurairah di serambi masjid yang dikenal sebagai Ahlus Shuffah, yang berarti menjadi tetangga Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Mereka tidak makan kecuali apa yang diberikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, sehingga mereka sering mengalami hal-hal yang bersifat mu’jizat dalam hal ini. Misalnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mendapat hadiah segantang susu, beliau akan menyuruh Abu Hurairah memanggil seluruh penghuni Ahlus Shuffah yang berjumlah sekitar 70 orang (sebagian riwayat, 40 orang) untuk menikmati susu tersebut, dan mencukupi. Kadang hanya sepanci masakan daging, atau setangkup kurma, atau sedikit makanan lainnya, tetapi mencukupi untuk mengenyangkan keluarga Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan para penghuni Ahlus Shuffah.

     
  • erva kurniawan 2:53 pm on 27 January 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu (1) 

    Kisah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu

    Sebagai buruh gembala kambing, Abu Hurairah juga seorang yang buta huruf (ummi). Tetapi kalau Allah Subhanahu Wata’ala memang telah berkehendak akan memberikan kemuliaan kepada seseorang, mudah sekali ‘jalannya’ walau mungkin ia memiliki banyak kekurangan, bahkan derajat yang rendah dalam pandangan manusia. Seperti halnya terjadi pada Bilal bin Rabah, ternyata Allah Subhanahu Wata’ala mengaruniakan kelebihan lain pada Abu Hurairah, yakni otak yang sangat jenius sehingga mempunyai kemampuan menghafal yang tidak ada bandingannya. Dengan karunia Allah ini, akhirnya ia menjadi seseorang yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Kemampuan Abu Hurairah tersebut ternyata didukung dengan berkah yang diperolehnya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Suatu ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bersabda pada beberapa sahabat, “Siapa yang membentangkan surbannya di depanku hingga selesai pembicaraanku, kemudian meraihnya atau menangkupkan ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan sesuatu apapun yang didengarnya dari diriku…”

    Abu Hurairah bereaksi cepat mendahului para sahabat lainnya membentangkan surbannya di depan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Setelah beliau selesai berbicara, ia segera menangkupkan surbannya tersebut ke dirinya.

    Dalam peristiwa lainnya, Abu Hurairah bersama dua orang sahabat lainnya tengah berdzikir dan berdoa. Tiba-tiba Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam datang sehingga mereka menghentikan aktivitasnya untuk menghormati, tetapi beliau bersabda, “Lanjutkanlah doa kalian!!”

    Maka salah seorang sahabat melanjutkan berdoa, dan setelah ia selesai berdoa, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengaminkannya. Sahabat satunya ganti berdoa, dan setelah selesai Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengaminkan doanya. Giliran Abu Hurairah, ia berdoa, “Wahai Allah, aku memohon kepadamu, apa yang dimohonkan oleh dua sahabatku ini, dan aku juga bermohon kepada-Mu karuniakanlah kepadaku ilmu yang tidak akan dapat aku lupakan!!”

    Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tersenyum mendengar doa Abu Hurairah itu dan mengaminkannya pula.

    Setelah kejadian itu, ia tidak pernah terlupa apapun yang pernah disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Ia pernah berkata tentang kemampuannya itu, walau bukan bermaksud menyombongkan dirinya,”Tidak ada sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang lebih hafal dari pada aku akan hadits-hadits beliau, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia mendengar dan menuliskannya, sedangkan aku mendengar dan menghafalkannya.”

    Sebenarnyalah cukup banyak sahabat yang mempertanyakan bagaimana mungkin ia tahu begitu banyak hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam padahal ia tidak termasuk sahabat yang memeluk Islam dan bergaul langsung dengan beliau sejak awal. Tetapi sebenarnya mudah dipahami dengan melihat kondisi yang ada. Walaupun hanya sekitar empat tahun hidup bersama Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, tetapi ia hampir selalu bersama-sama beliau, kecuali ketika beliau sedang bersama istri-istri beliau. Ia tidak memiliki perniagaan untuk dijalankannya sebagaimana kebanyakan kaum Muhajirin. Ia juga tidak memiliki tanah pertanian dan perkebunan yang menyibukkannya seperti kebanyakan kaum Anshar. Di waktu-waktu senggangnya, kadang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menceritakan berbagai hal dan peristiwa sebelum keislamannya, atau terkadang Abu Hurairah yang menanyakannya kepada beliau. Jadi, pantaslah ia lebih banyak mengetahuinya dari pada kebanyakan sahabat lainnya.

    Pada masa khalifah Muawiyah, sang khalifah pernah mengetes kemampuan hafalannya, walau tanpa sepengetahuannya. Abu Hurairah dipanggil menghadap Muawiyah, kemudian diperintahkan menyebutkan semua hadits yang ia dengar dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Diam-diam Muawiyah menyiapkan beberapa penulis di tempat tersembunyi untuk mencatat semua hadits yang disampaikan Abu Hurairah itu secara berurutan. Setahun kemudian, Abu Hurairah dihadapkan kembali kepada Muawiyah dan disuruh menyebutkan hadits-hadits tersebut, dan diam-diam juga, Muawiyah memerintahkan para pencatat itu untuk mengecek kebenarannya.

    Setelah Abu Hurairah berlalu, para penulis hadits tersebut mengatakan pada Muawiyah bahwa yang disampaikannya tersebut seratus persen persis sama dengan setahun sebelumnya, termasuk urut-urutannya, bahkan tidak ada satu hurufpun yang terlewat atau berbeda. Muawiyah hanya geleng-geleng kepala seolah tidak percaya, tetapi ini memang nyata.

    Lebih dari seribu enam ratus hadits yang diriwayatkan dari jalan sahabat Abu Hurairah. Tidak akan mencukupi jika semua kisah yang menyangkut dirinya dalam riwayat-riwayat tersebut dijabarkan dalam halaman ini.

     
  • erva kurniawan 2:53 am on 25 January 2021 Permalink | Balas  

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu (5) Menjadi Khalifah 

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu

    Menjadi Khalifah

    Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.

    Pembunuhan Ali di Kuffah

    Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kuffah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh. Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak). Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah) pada usia 59 tahun.

    Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali.

     
  • erva kurniawan 2:49 pm on 23 January 2021 Permalink | Balas  

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu (4) 

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu

    Lanjutan

    Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu

    Salah satu bentuk didikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri, “Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya.”

    Itulah prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.

    Bekerja pada Orang Yahudi

    Suatu ketika Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah. Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?”

    Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah.”

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.

    Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi

    Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.

    Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi.Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama Qanbar.

    Mendengar penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas, “Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!”

    “Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?” Tanya Ali kepada Shuraih, “Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga?”

    “Bukan begitu Ali,” Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan, “Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya.”

    Karena Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.

    Si Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui

    kalau baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham. Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.

     
  • erva kurniawan 2:49 pm on 21 January 2021 Permalink | Balas  

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu (3) : Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia 

    Kisah Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    ==== Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu ====

    === Lanjutan ===

    === Ali Memuliakan Seorang Lanjut Usia ===

    Suatu ketika di shalat jamaah subuh, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ruku’ dalam waktu cukup lama. Bukan karena apa, tetapi malaikat Jibril datang dan menggelar salah satu sayapnya di punggung beliau sehingga beliau tidak bisa bangkit. Setelah Jibril pergi barulah beliau bisa i’tidal dan meneruskan shalat hingga selesai. Usai shalat para sahabat terheran-heran, dan salah satunya bertanya, “Apa yang terjadi, wahai Rasulullah, sehingga engkau memperpanjang ruku begitu lama yang sebelumnya belum pernah engaku lakukan??”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menceritakan tentang malaikat Jibril yang menahan beliau dalam ruku. Sahabat itu bertanya lagi, “Mengapa bisa seperti itu??”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Aku tidak tahu!!”

    Tidak berapa lama Jibril datang lagi dan berkata, “Wahai Muhammad, Ali tergesa-gesa untuk ikut berjamaah, tetapi di depannya ada seorang lelaki tua nashrani yang berjalan sangat pelan. Ali tidak mau mendahuluinya karena sangat memuliakan lelaki tua itu!! Karena itu Allah memerintahkan aku untuk menahanmu dalam ruku, agar Ali dapat ikut jamaah!!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tampak terkagum-kagum dengan penjelasan Jibril tersebut, tetapi Jibril meneruskan, “Yang lebih mengagumkan lagi, Allah memerintahkan malaikat Mikail untuk menahan perputaran matahari dengan sayapnya, sehingga waktu subuh tidak habis karena menunggu Ali hadir!!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Ali untuk meng-konfirmasi hal itu, Ali berkata dengan tenangnya seolah-olah tidak ada sesuatu yang ajaib terjadi, “Benar, ya Rasulullah, lelaki tua itu sangat pelan jalannya dan aku tidak suka untuk mendahuluinya karena memuliakannya. Tetapi ternyata ia tidak datang untuk shalat, untungnya engkau masih dalam keadaan ruku’ sehingga aku tidak tertinggal shalat jamaah bersamamu!!”
    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam hanya tersenyum, dan menceritakan duduk permasalahannya kepada para sahabat. Setelah itu beliau bersabda, “Inilah derajat orang yang memuliakan seorang lanjut usia, walau ia bukan seorang muslim!!”

    === Ali di Jalan Zakaria dan Fathimah di Jalan Maryam ===

    Suatu ketika Ali bertanya kepada istrinya, “Wahai Fathimah, ada makanan untuk kusantap hari ini?”

    Fathimah berkata, “Tidak ada, aku berpagi hari dalam keadaan tidak ada makanan untukmu, begitu juga untukku dan kedua anak kita!!”

    “Tidakkah engkau menyuruhku untuk untuk mencari makanan?” Tanya Ali.

    “Aku malu kepada Allah untuk meminta kepadamu yang engkau tidak memilikinya!!”

    Kemudian Ali keluar rumah, ia yakin dan khusnudzon kepada Allah dan meminjam uang satu dinar untuk membeli makanan bagi keluarganya. Tetapi belum sempat membelanjakan uang satu dinar itu, ia melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam lainnya, Miqdad al Aswad, sedang berjalan sendirian di padang pasir yang panas. Ali menghampirinya dan berkata, “Wahai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu??”
    Miqdad berkata, “Wahai Abul Hassan, Janganlah menggangguku. Janganlah menanyakan kepadaku sesuatu yang di belakangku (peristiwa yang menimpa sebelumnya)!!”

    Ali berkata lagi, “Wahai Miqdad, tidak seharusnya engkau menyembunyikan keadaanmu dari aku!!”

    “Baiklah kalau engkau memang memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan kenabian, tidak ada yang menggelisahkan aku dalam perjalanan ini, kecuali karena aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan. Ketika aku mendengar tangisan mereka, bumi serasa tidak mampu memikulku, aku pergi dengan tidak mempunyai muka (sangat malu)!!”

    Miqdad enggan menceritakan keadaannya karena ia sangat mengenal Ali. Keadaan Ali tidaklah lebih baik daripada dirinya, apalagi ia seorang yang sangat perasa dan pemurah. Dan hasil dari ceritanya itu langsung tampak. Ali mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya. Dengan terbata ia berkata, “Aku bersumpah dengan Dzat yang engkau bersumpah dengan-Nya, tidaklah menggelisahkanku kecuali seperti yang menggelisahkan engkau juga, untuk itu aku telah meminjam uang satu dinar, ini untukmu saja, ambillah!! Aku dahulukan engkau daripada diriku sendiri!!”

    Miqdad menerima uang itu dengan gembira, dan Ali berlalu pergi ke Masjid untuk shalat zhuhur karena waktunya hampir menjelang. Ia tetap tinggal di masjid hingga shalat ashar dan maghrib. Usai shalat mangrib, tiba-tiba Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menghampirinya dan berkata, “Wahai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam??”

    Pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau lebih sering mengerjakan shalat jamaah isya’ pada akhir waktu, yakni menjelang tengah malam. Karena itu setelah shalat magrib biasanya para sahabat pulang dahulu. Ali tersentak kaget mendengar pertanyaan beliau, ia tidak bisa berkata apa-apa karena malu kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Karena ia diam saja, beliau bersabda lagi, “Jika kamu berkata ‘tidak’ maka aku akan pergi. Jika engkau berkata ‘ya’ maka aku akan pergi bersamamu!!”

    “Baiklah, ya Rasulullah, marilah ke rumah saya!!”

    Mereka berjalan beriringan ke rumah Ali, dan Fathimah langsung menyambut ketika mengetahui kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan mengucap salam. Beliau menjawab salam putri tercintanya itu sambil mengusap kepalanya, kemudian bersabda, “Bagaimana engkau malam ini? Sudah siapkah makan malam untuk kita? Semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya!!”

    Fathimah mengambil mangkuk besar berisi makanan, yang beberapa waktu sebelumnya tiba-tiba saja telah berada di rumahnya tanpa tahu siapa yang membawakannya. Ali mencium aroma makanan yang sangat lezat, yang belum pernah rasanya ia menemukan makanan seperti itu. Ia memandang tajam kepada istrinya, sebuah pertanyaan keras dan kemarahan bercampur dalam pandangannya itu. Fathimah berkata, “Subhanallah, alangkah tajamnya pandanganmu!! Apakah aku telah berbuat kesalahan sehingga engkau tampak begitu murka?”

    Ali berkata, “Apakah ada dosa yang lebih besar daripada yang engkau perbuat hari ini? Tadi pada aku menjumpaimu dan engkau bersumpah tidak memiliki makanan apapun, bahkan sudah dua hari lamanya!!”

    Fathimah menengadah ke langit sambil berkata, “Tuhanku Maha Tahu, bahwa aku tidaklah berkata kecuali kebenaran semata!!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tersenyum melihat pertengkaran kecil tersebut. Sambil meletakkan tangan di pundak Ali dan mengguncang-guncangkannya, beliau bersabda, “Wahai Ali, inilah pahala dinarmu, inilah balasan dinarmu. Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendakinya!!”

    Sesaat kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menangis penuh haru, dan bersabda, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah mengeluarkan kalian berdua di dunia ini, yang telah memperjalankan engkau, wahai Ali di jalan (Nabi) Zakaria, dan memperjalankan engkau, wahai Fathimah di jalan Maryam!!”

     
  • erva kurniawan 2:47 pm on 18 January 2021 Permalink | Balas  

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu (2) 

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu

    Lanjutan

    Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua itu tidak membuat Ali gentar, bahkan dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk menyelamatkan diri.

    Menjelang perang Khaibar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan), “Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya”

    Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, ‘Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya’, derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendirioleh beliau. Pandangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri dengan harapan akan ditunjuk beliau. Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”

    Seorang sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendoakan, seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!”

    “Janganlah terburu-buru,” Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, “Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekalipun!!”

    Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na’im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.

    Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.

    Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

     
  • erva kurniawan 2:44 am on 16 January 2021 Permalink | Balas  

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu (1) 

    Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu

    Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran.
    Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sejak usia 6 tahun.

    Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan akhlakul karimah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bersabda, “Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…”(Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).

    Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam , Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam terus berlanjut hingga kewafatan beliau.

    Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib

    Salah satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medan jihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khattab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya.
    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau, “Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…” (Laa fatan illaa aliyyun).

    Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menerjuni medan pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rab’iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.

    Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush’ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata, “Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa’ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!”

    Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat. Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa’ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, “Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…”

     
  • erva kurniawan 2:44 pm on 14 January 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu (3) 

    Kisah Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu

    Pada awal hijrah ke Madinah, kaum Muhajirin mengalami kesulitan air. Sebenarnya ada mata air yang mengeluarkan air tawar yang segar dan enak yang disebut Sumur Raumah. Sayangnya mata air ini dikuasai oleh orang Yahudi, yang menjualnya satu geriba air dengan segantang gandum. Kaum Muhajirin yang kebanyakan meninggalkan kekayaannya di Makkah tentu saja tak mampu membayarnya.

    Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengharapkan ada sahabat yang membeli telaga tersebut untuk kepentingan umat muslim, maka tampillah Utsman bin Affan memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Pada awalnya si Yahudi menolak menjualnya, maka Utsman bersiasat dengan membeli separuhnya saja. Si Yahudi setuju dengan harga 12.000 dirham, dengan pembagian, satu hari untuk Utsman dan satu hari untuk si Yahudi.

    Ketika giliran waktu untuk Utsman, kaum muslimin dan masyarakat Madinah yang membutuhkan air dipersilahkan untuk mengambilnya dengan gratis dan tanpa batas. Karena itu mereka menampung untuk dua hari. Ketika tiba giliran waktu untuk si Yahudi, tak ada lagi orang yang membeli air darinya sehingga ia kehilangan pendapatannya dari telaga tersebut. Akhirnya ia menjual bagiannya tersebut kepada Utsman seharga 8.000 dirham, sehingga masyarakat Madinah bisa memperoleh air segar telaga tersebut kapan saja dengan cuma-cuma.

    Ketika kaum muslimin di Madinah makin banyak dan masjid tidak lagi bisa menampung, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bermaksud melakukan perluasan dengan membeli tanah dan bangunan di sekitar masjid. Tampillah Utsman untuk merealisasikan maksud Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tersebut, dan tanpa segan ia mengeluarkan 15.000 dinar. Begitupun setelah Fathul Makkah, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bermaksud memperluas Masjidil Haram dengan membeli tanah dan bangunan sekitar masjid, sekali lagi Utsman tampil memenuhi harapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dengan mengeluarkan sedekah 10.000 dinar.

    Masih banyak lagi kisah kedermawanan Utsman sehingga tak heran jika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata, bahwa teman beliau di surga adalah Utsman bin Affan.

    Satu peristiwa lagi di jaman Khalifah Abu Bakar, saat itu paceklik melanda kota Madinah, kaum musliminpun mengalami berbagai kesulitan. Ketika dilaporkan kepada Abu Bakar, ia berkata, “Insya Allah, besok sebelum sore tiba, akan datang pertolongan Allah…”

    Pagi hari esoknya, datanglah kafilah dagang Utsman dari Syam yang penuh dengan bahan makanan pokok. Berkumpullah para pedagang, termasuk dari kaum Yahudi yang biasa memonopoli perdagangan bahan makanan, mereka berlomba melakukan penawaran. Utsman berkata, “Berapa banyak kalian akan memberi saya keuntungan?”

    “Sepuluh menjadi dua belas.” Kata seorang pedagang.

    “Ada yang lebih tinggi?” Tanya Utsman.

    “Sepuluh menjadi lima belas.” Pedagang lain menawar.

    “Siapa yang berani menawarnya lebih dari itu, padahal seluruh pedagang Madinah berkumpul di sini?”

    Utsman bertanya, “Ada yang berani memberi keuntungan sepuluh menjadi seratus, atau sepuluh kali lipat?”

    “Apa ada yang mau membayar sebanyak itu?”

    “Ada, yakni Allah Subhanahu Wata’ala….” Kata Utsman dengan tegas. Para pedagang itupun berlalu pergi, dan Utsman membagi-bagikannya dengan cuma-cuma kepada warga fakir miskin Madinah dan mereka yang memerlukannya.

     
  • erva kurniawan 2:41 pm on 12 January 2021 Permalink | Balas  

    Kisah Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu

    Utsman bin Affan berasal dari kalangan bangsawan Suku Quraisy, kaya raya dan pengusaha yang sukses. Ia termasuk kelompok sahabat yang pertama-tama memeluk Islam. Dalam perjalanan pulang dari perniagaannya di Syam, di sebuah tempat teduh antara Ma’an dan Zarqa, ia tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya itu ia mendengar seorang penyeru agar mereka yang tidur segera bangun, karena Ahmad telah bangkit di Makkah!!

    Setibanya di Makkah, ia segera menemui sahabatnya, Abu Bakar dan menceritakan mimpinya. Ternyata Abu Bakar telah memeluk Islam, dan menceritakan tentang dakwah baru yang disampaikan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Utsman yang sebelumnya memang begitu takjub dan terpesona dengan ketinggian dan kemuliaan akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, segera saja meminta Abu Bakar mengantarnya menghadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk berba’iat memeluk Islam.

    Ketika keislamannya diketahui keluarganya, pamannya yang bernama Hakam bin Abul Ash bin Umayyah menangkap dan mengikatnya dengan tali, kemudian berkata, “Apakah kamu membenci agama nenek moyangmu dan lebih suka pada agama baru tersebut? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan ikatanmu selamanya, jika kau tidak kembali ke agama nenek moyangmu!!”

    Tetapi keimanan telah merasuki jiwanya sehingga dengan tegas ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan meninggalkan agama ini selama-lamanya, dan tidak akan berpisah dengannya.”

    Melihat keteguhannya yang rasanya tidak akan tergoyahkan, akhirnya Hakam melepaskan ikatannya.

    Mengenai Utsman bin Affan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyatakan, “Tidak ada yang membahayakan Utsman, setelah apa yang dilakukannya hari ini….”

    Ungkapan ini disabdakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam setelah apa yang dibelanjakan Utsman bin Affan di jalan Allah untuk perang Tabuk. Pasukan yang dibentuk untuk menghadapi serangan pasukan Romawi ini disebut dengan Jaisyul Usrah (Pasukan di Masa Sulit), karena waktu itu musim panas, kekeringan dan paceklik melanda jazirah Arab. Tidak mudah menghimpun dana dan perbekalan sementara kebanyakan kaum muslimin sendiri dalam kesulitan menjalani hidup sehari-hari.

    Utsman bin Affan yang tengah mempersiapkan kafilah dagang ke Syam dengan 200 ekor unta lengkap barang dan perbekalannya berikut 200 uqiyah, langsung dibelokkan ke masjid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam untuk pasukan Tabuk. Itu belum cukup juga, ia menambah dan menambah hingga mencapai 900 unta dan 100 kuda, riwayat lain menyebutkan sebanyak 940 unta dan 60 kuda, lengkap dengan perlengkapan dan perbekalannya. Masih belum puas bersedekah, Utsman datang ke kamar Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan menyerahkan 700 uqiyah emas, riwayat lain menyebutkan 1000 atau 10.000 dinar, yang langsung diterima oleh tangan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sendiri.

    Ungkapan dan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tersebut mungkin merupakan puncak kekaguman dan penghargaan beliau atas pengorbanan Utsman atas kekayaannya, demi kepentingan ummat dan agama Islam.

    InsyaAllah besok kita lanjutkan dengan Kisah Utsman Bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu ini…

     
  • erva kurniawan 7:51 am on 7 February 2020 Permalink | Balas  

    Jenaka dalam Kecerdasan 

    Jenaka dalam Kecerdasan

    By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

    Semua kita pasti sudah pernah mendengar nama Abu Nawas. Jika orang menyebut nama Abu Nawas maka langsung terbayang sosok pelawak kesohor atau tentang fikiran akal bulus yang sangat lembut,- tetapi konotasinya  negatip. Sesungguhnya tokoh Abu Nawas atau Abu Nuwas adalah seorang ahli hukum dan kritikus social yang sangat cerdas yang hidup pada zaman Daulah Abbasiyyah di Bagdad, dan sempat bertemu dengan dua khalifah (raja) pada periode hidupnya, yaitu Harun Al Rasyid dan al Ma`mun.

    Ia juga seorang penyair sufi , tetapi kekhasan Abu Nawas adalah kemampuannya mengekpressikan kecerdasannya secara jenaka,bahkan termasuk kepada Tuhan.. Kumpulan puisinya tercantum dalam buku Diwan- Abu Nuwas yang di Fakultas sastra Arab bukunya dijejerkan bersama dengan kumpulan puisi Imam Syafi`i ,Diwan al Imam al Syafi`i dan puisi Ali bin Abi Thalib,Diwan al Imam ~Ali, Diwan Syi`r Imam al Bulagha. Kecerdasan dan kejenakaan Abu Nuwas dapat dirasakan dari kisah-kisah sebagai berikut.

    Pertama

    Suatu hari Raja iseng-iseng uji nyali staf di kerajaannya. Di halaman depan kerajaan ada pohon jambu yang sedang berbuah. Raja mengikat seekor orang utan yang besar dan galak di pohon itu, lalu Raja mengumumkan; barang siapa bisa mengambil sebutir saja jambu dari pohon itu akan diberi hadiah seribu dinar. Orang banyak berusaha untuk mengambilnya, tetapi tidak ada seorangpun yang bisa, karena setiapkali mendekat pohon,orang utan yang galak itu segera menyongsongnya. Abu Nawas yang kala itu sedang bertamu ditawari ikut. Abu Nawas pun bersedia dan dengan santai ia mengambil beberapa batu kecil. Dengan cermat Abu Nawas melempari orang utan itu dengan batu-batu kecil. Sudah barang tentu orang utan yang galak itupun marah, tetapi ia tidak bisa menjangkau Abu Nawas karena kakinya terikat rantai ke pohon.  Puncak kemarahan orang utan itu terjadi, ia petik jambu didekatnya dan dibalas melemparnya ke Abu Nawas. Nah Abu Nawas tinggal menangkap jambu itu, dan Abu Nawas memenangkan hadiah Raja sebesar seribu dinar.

    Kedua

    Pada suatu hari, salah seorang keponakan Raja yang bernama Jafar berceritera kepada Raja,bahwa ia bermimpi menikahi seorang gadis yang bernama Zainab, seorang gadis yang terkenal di Bagdad karena kecerdasan dan kecantikannya. Raja dengan tanpa berfikir mendalam langsung mengomentari ceritera mimpi ponakannya. Wah itu mimpi yang baik, mimpimu itu isyarat petunjuk Tuhan. Begini saja, kalau kamu memang mau menikah dengan Zainab, serahkan pada pamanmu ini, biar aku yang urus. Sudah barang tentu Jafar, sang keponakan sangat gembira. Esoknya, Zainab dan kedua orang tuanya dipanggil menghadap raja, dan kepada mereka disampaikan bahwa ada isyarat Tuhan yang harus dilaksanakan , yaitu menjodohkan Jafar, keponakannya dengan Zainab. Biarlah kerajaan yang menyelenggarakan hajatannya.

    Kedua orang tua Zainab sudah barang tentu bersukacita, tetapi Zainab sendiri tidak bisa menerimanya. Hatinya menolak keras dijodohkan, apalagi hanya berdasar mimpi, tetapi mulutnya terkunci rapat. Kerajaan dengan bersukacita mengumumkan rencana pernikahan itu, dan tak lupa Raja pun menceriterakan kepada publik mimpi ponakanya yang ia fahami sebagai isyarat dari Tuhan yang harus dilaksanakan.

    Di rumah, Zainab  bingung tak tahu harus berbuat apa. Kedua orang tuanya dan bahkan segenap keluarganya dalam suasana bahagia menyongsong hari perkawinan dirinya, tapi dia sendiri hatinya hancur karena tidak menyukai Jafar, ponakan raja yang ia ketahui perilakunya tidak terpuji. Inginnya ia kabur dari rumah, tetapi itu pasti mencelakakan keluarga karena mempermalukan kerajaan.

    Sekedar mencari ketenangan Zainab mengadu kepada Abu Nawas. Abu Nawas bertanya. Kamu ingin pernikahanmu dengan Jafar berlangsung atau inginya gagal?  Pokoknya Saya tidak ingin menikah dengan Jafar, paman , jawab Zainab. Abu Nawas melanjutkan. Jika engkau ingin perkawinan itu gagal,engkau harus segera menghadap raja dan mengucapkan terima kasih karena Paduka telah menjalankan isyarat Tuhan melalui mimpi Jafar. Tapi, tapi bagaimana ? Zainab protes. Pokoknya, kata Abu Nawas, jika engkau ingin perkawinan itu gagal,laksanakan kata-kata saya.

    Dengan tidak begitu faham jalan fikiran Abu Nawas, Zainab menghadap Raja dan mengucapkan terimakasih. Sudah barang tentu Raja sangat senang mendengar kata-kata Zainab.

    Suatu pagi, ketika halaman kerajaan sudah didirikan tenda untuk acara pernikahan , Abu Nawas berada di atap istana raja, mencabuti genting-2 dan melemparkannya ke halaman. Sudah barang tentu gegerlah  istana. Abu Nawas di tangkap dan langsung di sidang di depan raja untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya–. Abu Nawas diancam dengan hukuman berat.

    Ketika Abu Nawas ditanya  oleh raja tentang motivasi dari apa yang dilakukan, dengan sangat sopan Abu Nawas menjawab. Paduka tuanku junjungan kami, ampunilah hamba orang kecil ini,hamba adalah orang kecil yang selalu mengidolakan baginda. Apapun yang menjadi kehendak paduka,kami selalu mengikutinya. Paduka junjungan kami,tiga malam berturut hamba bermimpi menaiki atap istana tempat paduka bersemayam. Hamba gelisah, dan akhirnya hamba yakin bahwa mimpi hamba adalah isyarat dari Tuhan untuk menyelamatkan paduka, dari ancaman yang kita belum tahu. Jangan-jangan di atap ada ancaman terhadap baginda. Oleh karena itu sebelum bencana itu menimpa baginda,hamba segera naik atap untuk melaksanakan isyarat Tuhan yang kami dapati dalam mimpi kami.Mohon ampun baginda.

    Sang Raja tercenung mendengar jawaban Abu Nawas. Raja sadar bahwa Abu Nawas itu orang cerdas. Raja pun sadar bahwa mengambil keputusan berdasar mimpi Jafar, keponakannya adalah sangat tidak bijaksana, bahkan berbahaya. Terbayang dalam fikiran Raja, apa lagi yang akan dilakukan Abu Nawas besok-besoknya dengan alasan mimpi. Sungguh berbahaya. Akhirnya Raja membatalkan rencana menikahkan Zainab dengan keponakannya.

    Ketiga

    Suatu hari Raja yang repressip itu melakukan kunjungan incognito meninjau proyek pembangunan taman di pinggir sungai Tigris. Ketika berada di pinggir sungai dan jauh dari rumah tiba-tiba sang raja ingin buang hajat. Rupanya raja sedang kena diare karena salah makan. Dengan sigap pengawal melakukan langkah darurat, yaitumembuyat WC tenda di pinggir sungai. Rajapun apa boleh buat masuk ke WC darurat itu.

    Melihat pemandangan itu, Abu nawas tiba-tiba lari ke arah hulu sungai dan langsung buang hajat di situ. Sudah barang tentu raja marah, karena tahi Abu Nawas pelan-pelan mendekati raja mengikuti arus air. Usai buang hajat, raja langsung memerintahkan pengawal untuk menangkap Abu Nawas. Abu Nawas di sidang dengan tuduhan menghina raja karena buang air besar di depan raja. Tetapi dengan amat sopan Abu Nawas menjawab. Aduh mohon ampun paduka junjungan kami. Sama sekali tidak ada setitikpun niat hamba menghina paduka. Hamba ini  orang yang sangat mengidolakan paduka. Dalam keadaan apapun paduka adalah pemimpin kami. Hamba selalu patuh berada di belakang paduka. Sedikitpun kami tidakberani mendahului paduka. Tetapi kamu buang hajat di depanku, bentak Raja.

    Adapun tentang buang hajat, mohon maaf paduka. Semula kami berada di belakang paduka, tiba-tiba hamba terkena diare.. Seandainya hamba langsung buang hajat di tempat, maka pasti tahi hamba akan mendahului tahi paduka yang mulia.Ini tidak boleh karena ini adalah satu penghinaan. Oleh karena itu paduka, dengan sangat berat kami—buru-buru lari ke depan untuk buang air di sana,agar tahi hamba tidak mendahului tahi paduka.

    Mendengar keterangan Abu Nawas, raja manggut-manggut dan bisa menerima alasan Abu Nawas. Abu Nawas bukan saja tidak dihukum,malah raja memberinya hadiah seribu dinar.

    Keempat,

    Abu Nawas jenaka bukan hanya kepada sesama manusia,kepada Tuhan pun ia suka bercanda. Salah satu candanya terekam dalam teks doa yang hingga kini banyak dihafal orang. Kata Abu Nawas,Ilahy,lastu lil firdausi ahla. Wala aqwa `alannar aljahimi. Fahabl itaubatan waghfir dzunubi.fa innaka ghofirun dzambil`adzimi. Artinya.Ya Tuhanku, rasanya hamba tak pantas masuk surgamu. Tetapi untuk masuk neraka, waduh sorry,hamba tak kuaaaat. Oleh karena itu ya Tuhan,mudahkanlah hamba untuk bertaubat dan ampunilah dosa kami. Bukankah Engkau Maha Pengampun bahkan terhadap dosa-dosa besar?.

     
  • erva kurniawan 1:47 am on 6 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Ayyasy Bin Abi Rabiah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Ayyasy Bin Abi Rabiah Radhiyallahu Anhu

    Ayyasy bin Abi Rabiah masih kerabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan memeluk Islam pada masa-masa awal. Ketika akan hijrah ke Madinah, ia berencana berangkat bertiga dengan Umar bin Khattab dan Hisyam bin Ash, dan bertemu di lembah Tanadhib, 6 mil dari Makkah. Tetapi Hisyam dihalangi dan disiksa oleh kaum kafir Quraisy, sehingga mereka hanya berangkat berdua.

    Setelah beberapa saat tiba di Quba, Abu Jahal bin Hisyam dan Harits bin Hisyam, yang masih saudara sepupunya datang membawa berita bahwa ibunya bersumpah tidak akan menyisir rambutnya bertemu dengannya, tidak akan berteduh dari panas matahari hingga melihat wajahnya. Mendengar hal itu, Ayyasy menjadi kasihan dengan ibunya, iapun bermaksud kembali ke Makkah. Tetapi Umar mengingatkannya, bahwa itu hanyalah tipu muslihat orang kafir agar ia meninggalkan agama Islam. Karena cintanya kepada sang ibu, Ayyasy berkata, “Aku akan kembali dan melaksanakan sumpah ibuku itu, sekaligus aku akan mengambil hartaku yang kutinggalkan di Makkah.”

    Sekali lagi Umar mengingatkan akan kelicikan muslihat orang kafir Quraisy, bahkan ia menjanjikan membagi dua hartanya dengan Ayyasy asalkan tidak kembali ke Makkah. Tetapi Ayyasy telah berketetapan hati kembali demi ibunya yang sangat dicintai dan dihargainya. Akhirnya Umar merelakan sahabatnya tersebut kembali, tetapi ia memberikan untanya yang penurut kepada Ayyasy, dengan pesan, jika sewaktu-waktu ia melihat gelagat tidak baik, hendaknya ia memacu unta tersebut kembali ke Madinah.

    Mereka bertiga kembali ke Makkah. Dan seperti yang dikhawatirkan Umar, Abu Jahal dan Harits memperdaya Ayyasy, tidak lama setelah mereka meninggalkan batas Madinah. Abu Jahal berkata, “Wahai keponakanku, demi Allah, ontaku ini sudah sangat kepayahan. Maukah engkau memboncengkan aku di punggung ontamu??”

    “Boleh!!” Kata Ayyasy, tanpa prasangka apapun.

    Kemudian ia menderumkan untanya, dan Abu Jahal naik di belakang Ayyasy. Tetapi seketika itu ia mendekap tubuh Ayyasy dengan erat, dan Hisyam mengeluarkan tali yang telah dipersiapkannya, dan mengikat Ayyasy dengan erat. Mereka membawanya ke Makkah dalam keadaan terikat. Sampai di Makkah, ia disiksa dengan hebat dan dipaksa untuk murtad, sehingga akhirnya ia menuruti kemauan mereka. Hal yang sama terjadi pada Hisyam bin Ash yang terpaksa murtad karena beratnya siksaan yang ditimpakan kepada mereka.

    Saat itu ada anggapan, orang yang murtad tidak akan diterima lagi taubatnya dan tidak berarti lagi keislamannya. Karena itu keduanya selalu dirundung kesedihan walaupun dalam keadaan bebas bergerak di Makkah. Tetapi kemudian turun wahyu Allah, surat az Zumar ayat 53-55, yang berisi larangan berputus asa dari Rahmat Allah, bahwa Allah mengampuni semua dosa-dosa. Umar mengirim seorang utusan dengan membawa surat kepada dua sahabatnya itu, yang memberitahukan turunnya wahyu Allah tersebut. Kemudian keduanya mengikuti utusan Umar tersebut ke Madinah dengan sembunyi-sembunyi, dan kembali ke pangkuan Islam.

    Sebagian riwayat menyebutkan, mereka berdua tidak sampai murtad, karena itu mereka diikat dan dipenjarakan di suatu tempat. Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepada para sahabat yang sedang berkumpul, “Siapakah yang sanggup mempertemukan aku dengan Ayyasy (bin Abi Rabiah) dan Hisyam (bin Amr)??”

    Walid bin Walid, yakni saudara Khalid bin Walid yang telah memeluk Islam sejak awal didakwahkan, berkata, “Wahai Rasulullah, sayalah yang akan membawa keduanya ke hadapan engkau!!”

    Setelah berpamitan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Walid segera memacu untanya menuju Makkah. Ia memasuki kota Makkah dengan sembunyi-sembunyi, dan secara kebetulan ia bertemu dengan wanita yang ditugaskan mengantar makanan untuk Hisyam dan Ayyasy. Iapun mengikuti wanita tersebut, hingga mengetahui tempat penahanan keduanya, yakni sebuah rumah tanpa atap, tetapi pintunya dikunci dengan kuat.

    Ketika keadaan sepi dan aman, Walid memanjat tembok rumah tersebut untuk memasukinya. Setelah melepaskan ikatan yang membelenggu Hisyam dan Ayyasy, ketiganya keluar dengan memanjat tembok juga, dan meninggalkan Makkah dengan menunggang unta milik Walid yang memang cukup kuat, sehingga mampu membawa tiga orang tersebut hingga sampai di Madinah dengan selamat.

    Dalam perang Yarmuk di masa Khalifah Umar, Ayyasy terluka parah, begitu juga dengan Harits bin Hisyam dan Ikrimah bin Abu Jahl. Harits meminta dibawakan air, tetapi kemudian menyuruhnya untuk diberikan kepada Ikrimah. Sebelum sempat minum, Ikrimah meminta agar air diberikan kepada Ayyasy. Tetapi Ayyasy wafat sebelum sempat minum air tersebut. Ketika dibawa kembali ke Ikrimah, ia telah meninggal. Begitu juga ketika dibawa kepada Harits, ia telah wafat sebelum air minum itu kembali kepadanya.

     
  • erva kurniawan 1:45 am on 5 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Thulaib Bin Umair Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Thulaib Bin Umair Radhiyallahu Anhu

    Thulaib bin Umair masih saudara sepupu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, ia memeluk Islam ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi di Darul Arqam, sehingga bisa dikatakan ia sebagai kelompok as Sabiqunal Awwalin. Setelah keislamannya, ia menemui ibunya, Arwa binti Abdul Muthalib, dan mengatakan kalau dirinya telah menjadi pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan berserah diri kepada Allah. Menanggapi pengakuannya tersebut, sang ibu berkata, “Sesungguhnya yang lebih berhak kamu bantu adalah anak pamanmu itu (Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam), demi Allah jika kami mampu melakukan seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki, sudah pasti aku akan mengikuti dan melindunginya.”

    Saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memang banyak mengalami halangan, cacian dan penyiksaan dalam mendakwahkan Islam. Mendengar jawaban ibunya tersebut, Thulaib berkata, “Apakah yang menghalangi ibu mengikutinya, padahal saudara laki-laki ibu, Hamzah, telah memeluk Islam?”

    “Aku akan menunggu apa yang dilakukan oleh saudara-saudara perempuanku, kemudian aku akan menjadi seperti mereka,” Kata Arwa.

    Tetapi Thulaib tidak puas dengan jawaban ibunya ini, ia terus mendesak dan berkata, “Sesungguhnya aku meminta dengan nama Allah, agar ibu menemuinya (yakni Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam), mengucapkan salam dan membenarkannya, dan mengucapkan kesaksian kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.”

    Melihat tekad dan kesungguhan Thulaib dalam mengajaknya kepada Islam, akhirnya Arwa luluh juga. Pada dasarnya ia memang ingin membela Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang masih keponakannya sendiri, ketika begitu banyak orang yang memusuhi dan menyakitinya. Ia akhirnya berkata, “Jika memang begitu, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah pesuruh-Nya.”

    Thulaib merasa gembira dengan keputusan ibunya, apalagi ia selalu didorong untuk membantu Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan juga menyiapkan kebutuhan Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam perjuangannya.

    Di riwayatkan bahwa Thulaib Bin Umair adalah Muslim pertama yang melukai seorang Musyrik yang bersikap lancang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Suatu ketika Auf Bin Sabrah as-Sahmi tengah melontarkan caci-maki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam lalu Thulaib Bin Umair mengangkat tulang rahang unta dan memukulkannya kepadanya sehingga luka. Ada yang mengadukan hal itu kepada ibu beliau. Ibunya menjawab, “Thulaib telah membantu sepupunya, ia telah bersikap simpatik dengan perantaraan darahnya dan hartanya.”

    Sebagian berpendapat bahwa orang yang dipukul itu bernama Abu Ihab bin Aziz ad-Darimi. Sedangkan sebagian lagi berpendapat orang itu adalah Abu Lahab atau Abu Jahal. Menurut riwayat lain, ketika perbuatan itu diadukan kepada Ibunya , Ibunya  mengatakan, “Hari terbaik dalam kehidupan Thulaib adalah pada saat membela sepupunya. Dia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang telah datang dengan kebenaran dari Allah Ta’ala.”

    Thulaib termasuk Muslim yang berhijrah ke Habasyah. Namun ketika sebuah kabar burung dari Makkah sampai ke Habasyah yang menyatakan bahwa Quraisy telah masuk Islam, beberapa Muhajirin Muslim kembali ke Makkah tanpa mengkonfirmasi kebenaran kabar itu. Salah satu dari mereka adalah Thulaib.

    Sekembalinya ke Makkah, mereka meminta perlindungan kepada para tokoh Makkah.

    Setelah Thulaib hijrah dari Makkah ke Madinah, dia tinggal di rumah Abdullah Bin Salamah al-Ajlani. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengikat persaudaraan antara Thulaib dengan Mundzir Bin Amru.

    Thulaib ikut serta pada perang Badar.

    Thulaib juga ikut serta pada perang Ajnadain yang terjadi pada bulan Jumadil Ula 13 Hijri. Pada perang tersebut beliau syahid pada usia 35 tahun. Ajnadain adalah nama tempat di Syria, di sana terjadi peperangan antara pasukan Muslim dengan Romawi, namun sebagian berpendapat bahwa beliau wafat pada perang Yarmuk.

     
  • erva kurniawan 1:43 am on 4 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (3) 

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (3)

    Secara penampilan fisik, mungkin Abdullah bin Mas’ud tidak meyakinkan. Perawakan tubuhnya kurus dan kecil, tidak terlalu tinggi, kedua betisnya kecil dan kempes sehingga pernah menjadi bahan tertawaan beberapa sahabat. Hal itu terjadi ketika ia sedang memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk digunakan sikat gigi (siwak) oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Melihat sikap mereka ini, beliau bersabda, “Tuan-tuan mentertawakan kedua betis Ibnu Mas’ud, padahal di sisi Allah, timbangan (kebaikan) keduanya lebih berat daripada gunung Uhud….”

    Abdullah bin Mas’ud tidak pernah tertinggal mengikuti pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, begitu juga beberapa pertempuran pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar.

    Ketika perang Badar usai, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ingin mengetahui keadaan Abu Jahal, maka Abdullah bin Mas’ud pun beranjak pergi mencarinya, begitu juga beberapa sahabat lainnya. Sebenarnya saat pertempuran berlangsung, beliau telah didatangi dua pemuda Anshar, Mu’adz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra. Mereka berdua mengaku telah membunuh Abu Jahal. Setelah memeriksa pedang kedua pemuda tersebut, beliau pun membenarkan pengakuan mereka. Hanya saja beliau ingin memperoleh kejelasan informasinya dan kepastian kematiannya.

    Ibnu Mas’ud bergerak di antara mayat yang bergelimpangan, dan akhirnya menemukan tubuh Abu Jahal, yang masih sekarat, nafasnya tinggal satu-satu. Tubuh Ibnu Mas’ud yang kecil berdiri di atas tubuh Abu Jahal yang kokoh kekar terkapar. Ia menginjak leher Abu Jahal dan memegang jenggotnya untuk mendongakkan kepalanya, dan berkata, “Apakah Allah telah menghinakanmu, wahai musuh Allah!!”

    “Dengan apa ia menghinakan aku? Apakah aku menjadi hina karena menjadi orang yang kalian bunuh? Atau justru orang yang kalian bunuh itu lebih terhormat? Andai saja bukan pembajak tanah yang telah membunuhku…”

    Memang, dua pemuda Anshar yang membunuhnya adalah para pekerja kebun kurma. Mungkin ia merasa lebih berharga jika saja yang membunuhnya adalah seorang pahlawan perang seperti Hamzah atau Umar. Kemudian ia berkata kepada Ibnu Mas’ud yang masih menginjak lehernya, “Aku sudah naik tangga yang sulit, wahai penggembala kambing….”

    Ibnu Mas’ud mengerti maksud Abu Jahal, ia melepaskan injakan pada lehernya. Tak berapa lama kemudian Abu Jahal tewas, ia memenggal kepala Abu Jahal dan membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Sampai di hadapan beliau, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini kepala musuh Allah, Abu Jahal…!”

    “Demi Allah yang tiada Ilah selain Dia,” Beliau mengucap tiga kali, kemudian bersabda lagi, “Allahu Akbar, segala puji bagi Allah yangtelah memenuhi janjiNya, menolong hambaNya dan mengalahkan pasukan musuhNya…”

    Ada suatu peristiwa berkesan pada Perang Tabuk yang selalu menjadi keinginan dan angan-angan Abdullah bin Mas’ud. Suatu malam ia terbangun dan ia melihat ada nyala api di arah pinggir perkemahan. Ia berjalan ke perapian tersebut, dan ia melihat tiga orang bersahabat, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sedang memakamkan jenazah salah seorang sahabat, Abdullah Dzulbijadain al Muzanni. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam berada di lubang kuburan, Abu Bakar dan Umar berada di atas. Ia mendengar beliau bersabda, “Ulurkanlah kepadaku lebih dekat…!!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menerima jenazah Abdullah tersebut dan meletakkan di liang lahat, kemudian beliau berdo’a, “Ya Allah, aku telah ridha padanya, maka ridhai pula ia olehMu..!!”

    Melihat pemandangan tersebut, Ibnu Mas’ud berkata, “Alangkah baiknya jika akulah pemilik liang kubur itu….”

    Namun ternyata keinginannya tidak terpenuhi karena tiga orang mulia yang terbaik tersebut mendahuluinya menghadap Allah. Ia wafat pada zaman khalifah Utsman, dan dalam satu riwayat disebutkan, yang memimpin (mengimami) shalat jenazahnya adalah sahabat Ammar bin Yasir.

     
  • erva kurniawan 1:40 am on 3 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (2)

    Suatu ketika Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ingin ada seseorang yang membacakan Al Qur’an kepada orang-orang Quraisy karena mereka belum pernah mendengarnya, dan ternyata Abdullah bin Mas’ud yang mengajukan dirinya. Tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengkhawatirkan keselamatannya, beliau ingin orang lain saja, yang mempunyai kerabat kaum Quraisy, yang bisa memberikan perlindungan jika ia disiksa. Tetapi Ibnu Mas’ud tetap mengajukan diri, bahkan setengah memaksa, sambil berkata, “Biarkanlah saya, ya Rasulullah, Allah pasti akan membela saya…!!”

    Sungguh suatu semangat besar yang didorong jiwa muda yang berapi-api, sehingga kurang mempertimbangkan keselamatan dirinya. Dan tanpa menunggu lagi, ia berjalan ke majelis pertemuan kaum Quraisy di dekat Ka’bah, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam membiarkannya. Sampai di sana, ia berdiri di panggung atau mimbar di mana orang-orang Quraisy biasanya melantunkan syair-syair mereka, dan mulai membaca ayat-ayat Qur’an dengan mengeraskan suaranya. Yang dibacanya adalah Surah ar Rahman. Orang-orang kafir itu memperhatikan dirinya sambil bertanya, “Apa yang dibaca oleh Ibnu Ummi Abdin itu?”

    Saat itu mereka belum mengetahui kalau Ibnu Mas’ud telah memeluk Islam, jadi mereka membiarkannya saja untuk beberapa saat lamanya.

    Salah satu dari orang Quraisy itu tiba-tiba berkata, “Sungguh, yang dibacanya itu adalah apa yang dibaca oleh Muhammad…!!”

    Merekapun bangkit menghampiri, dan memukulinya hingga babak belur. Namun selama dipukuli, ia tidak segera menghentikan bacaannya sebatas ia masih mampu melantunkannya. Ketika mereka berhenti memukulinya, ia segera kembali ke tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan para sahabat berkumpul. Melihat keadaan tubuhnya yang tidak karuan akibat pukulan-pukulan tersebut, salah seorang sahabat berkata, “Inilah yang kami khawatirkan akan terjadi pada dirimu!!”

    Tetapi dengan tegar Ibnu Mas’ud berkata, “Sekarang ini tak ada lagi yang lebih mudah bagiku daripada menghadapi musuh-musuh Allah tersebut. Jika tuan-tuan menghendaki, esok saya akan mendatangi mereka lagi dan membacakan lagi surah lainnya…”

    Mereka berkata, “Cukuplah sudah, engkau telah membacakan hal yang tabu atas mereka…!!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam hanya tersenyum melihat perbincangan di antara sahabat-sahabat beliau, tanpa banyak memberikan komentar apa-apa.

    Peristiwa tersebut menjadi pertanda awal dari apa yang diramalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, ia akan menjadi seorang yang terpelajar, yakni dalam bidang Al Qur’an dan ilmu keislaman lainnya. Sungguh suatu lompatan besar, dari seorang buruh upahan penggembala kambing, miskin dan terlunta-lunta, tiba-tiba menjadi seseorang yang ilmunya dibutuhkan banyak orang, khususnya dalam bidang Al Qur’an.

    Ia memang hampir tidak pernah terpisah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, pengetahuannya terus tumbuh dan berkembang dalam bimbingan beliau. Ia mendengar 70 surah Al Qur’an langsung dari mulut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan tidak ada sahabat lainnya yang sebanyak itu mendengar langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Ia juga selalu merekam (mengingat) peristiwa demi peristiwa yang berhubungan dengan surah-surah Al Qur’an. Jika ia mendengar kabar tentang seseorang yang mengetahui suatu peristiwa yang berhubungan dengan Al Qur’an, yang ia belum mengetahuinya, segera saja ia memacu untanya untuk menemui orang tersebut demi melengkapi pemahamannya.

    Tentang kemampuannya di bidang Al Qur’an, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Barang siapa yang ingin mendengar Al Qur’an tepat seperti ketika diturunkannya, hendaknya ia mendengar bacaan Al Qur’an Ibnu Ummi Abdin (yakni, Abdullah bin Mas’ud). Barang siapa ingin membaca Al Qur’an tepat seperti saat diturunkan, hendaklah ia membaca seperti bacaan Ibnu Ummi Abdin…” Beliau juga pernah bersabda, “Berpegang teguhlah kalian kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummi Abdin…”

    Bahkan tak jarang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Abdullah bin Mas’ud untuk membacakan suatu surah untuk beliau, dan beliau akan memerintahkannya berhenti setelah beliau tak dapat menahan tangis karena mendengar bacaannya. Beliau seolah dibawa “bernostalgia” dengan suasana ketika ayat tersebut diturunkan, karena bacaannya memang tepat seperti saat ayat-ayat Al Qur’an itu diturunkan.

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 2 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (1) 

    Kisah Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu Anhu (1)

    Abdullah bin Mas’ud adalah seorang sahabat Muhajirin dari Bani Zahrah, termasuk dalam sahabat as sabiqunal awwalin, sahabat yang memeluk Islam pada masa awal didakwahkan. Perawakan tubuhnya pendek dan kurus, tidak seperti umumnya orang-orang Arab di masanya. Tetapi dalam hal ilmu-ilmu keislaman, khususnya dalam hal Al Qur’an, ia jauh melampaui para sahabat pada umumnya.

    Kisah keislamannya cukup unik, karena ia melihat dan mengalami secara langsung mu’jizat Rasulullah SAW.

    Ketika masih remaja, Abdullah bin Mas’ud bekerja mengembalakan kambing milik Uqbah bin Abi Mu’aith, salah seorang tokoh Quraisy yang sangat memusuhi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Suatu ketika saat sedang bekerja di suatu padang, dia didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan Abu Bakar yang sedang kehausan dan meminta susu. Tetapi karena hanya melaksanakan amanah menggembalakan, Abdullah bin Mas’ud pun tidak bisa memenuhi permintaan itu. Karena memang sedang kehausan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam meminta/meminjam anak kambing betina yang belum digauli pejantan, yang tentunya tidak mungkin mengeluarkan air susu.

    Ibnu Mas’ud remaja memenuhi permintaan beliau tersebut. Setelah anak kambing itu diletakkan di depan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau mengikat dan mengusap susunya dan berdoa dengan kata-kata yang tidak difahami Ibnu Mas’ud. Sungguh ajaib, kantung susunya jadi penuh dengan air susu, Abu Bakar datang dengan membawa batu cekung, dan memerah air susunya, Abu Bakar meminum susu tersebut sampai kenyang, kemudian memerah lagi dan memberikan kepada Ibnu Mas’ud. Dan terakhir Abu Bakar memerah lagi untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Setelah selesai minum, beliau berkata, “Mengempislah!!”

    Seketika kantung susu anak kambing itu mengempis kembali seperti semula, dan ia berlari kembali ke kumpulannya.

    Ibnu Mas’ud sangat takjub melihat pemandangan tersebut, ia mendekati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan minta diajarkan kata-kata yang diucapkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tersebut. Maka beliau menyampaikan tentang risalah Islamiah yang beliau bawa, dan seketika itu Abdullah bin Mas’ud memeluk Islam.

    Nabi Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam memandang cukup dalam kepadanya, kemudian bersabda, “Engkau akan menjadi seorang yang terpelajar..!!”

    Tentu saja Ibnu Mas’ud tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, apalagi saat itu ia hanyalah seorang miskin yang mencari upah dengan menggembala kambing milik orang lain. Tetapi di sela-sela waktu senggangnya, ia selalu mendatangi majelis pengajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sejak sebelum beliau menggunakan rumah Arqam bin Abi Arqam. Sedikit demi sedikit pengetahuannya makin bertambah, bahkan dengan cepat ia mampu menghafal dan menguasai wahyu-wahyu, yakni Al Qur’an.

     

     
  • erva kurniawan 1:33 am on 1 February 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Ja’far Bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Ja’far Bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu (2)

    Ja’far-pun menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus dilaksanakan dan juga larangan-larangan yang harus ditinggalkan. Kemudian ia meneruskan, “….Tetapi kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan mengembalikan kami kepada penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam keburukan seperti dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami, menghalangi kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang lainnya…!! Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap agar kami tidak didzalimi di sisi tuan, Wahai tuan Raja!!”

    Najasyi terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja’far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata, “Apakah kalian bisa membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku??”

    “Bisa, tuan Raja, ” Kata Ja’far.

    Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta’dhim mendengar bacaan Ja’far, tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya.

    “Cukup,” Kata Najasyi, “Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…”

    Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.

    Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata, “Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian, tidak akan pernah !!”

    Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash sempat berkata pelan, “Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka.”

    “Jangan lakukan itu,” Kata Ibnu Abi Rabiah, “Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun mereka menentang kita…!!”

    Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap Najasyi dan berkata, “Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!!”

    Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa. Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.

    Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja’far berkata diplomatis, “Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan Suci…”

    Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, “Isa bin Maryam bukan Tuhan”. Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja’far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi yang terjadi jauh di luar dugaan. Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata, “Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian.”

    Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, “Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya.”

    Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.

    Ja’far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib.

     
  • erva kurniawan 1:13 am on 31 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Ja’far Bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu (1) 

    Kisah Ja’far Bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu (1)

    Ja’far bin Abu Thalib masih saudara sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, putra dari Abu Thalib, paman yang mengasuh beliau dari kecil, dan menjadi pelindung Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan dakwah Islamiah ketika masih di Makkah, walaupun akhirnya meninggal dalam kekafiran.

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sangat menyayangi Ja’far karena ia termasuk sahabat yang paling mirip dengan beliau. Beliau sendiri pernah bersabda kepadanya, “Engkau adalah yang paling mirip dengan akhlak dan rupaku!!”

    Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak pelak lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbab bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja’far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.

    Kaum kafir Quraisy merasa kecolongan karena beberapa orang muslim (sebanyak 83 lelaki dan 18/19 perempuan) lolos dari pengawasan mereka, dan berhasil hijrah ke Habasyah. Tetapi mereka tidak berdiam diri begitu saja, mereka berupaya keras bagaimana bisa mengembalikan mereka ke Makkah. Dikirimlah dua orang ahli diplomasi, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. untuk mempengaruhi Najasyi agar bersedia mengembalikan kaum muhajirin tersebut ke Makkah. Mereka menyiapkan berbagai macam hadiah dan bingkisan untuk memuluskan rencana tersebut. Setibanya di Habasyah, Amr bin Ash menemui para uskup terlebih dahulu dan memberikan berbagai hadiah, dengan harapan mereka memberikan dukungan kepadanya.

    Tiba waktu yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan hadiah dan bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. Para uskuppun ikut berbicara, “Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai Baginda Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa dikembalikan ke negerinya dan kepada kaum kerabatnya.”

    Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang adil, berilmu dan beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan berakhlak mulia, persis seperti yang digambarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada para sahabat yang akan berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabiah. Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut dibawa menghadap kepadanya.

    Kaum muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka memang telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak terjangnya dalam upaya mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun menunjuk Ja’far bin Abu Thalib sebagai juru bicara menghadapi Najasyi. Setibanya di majelis itu, Najasyi berkata, “Agama seperti apakah yang kalian pegangi itu, sehingga karena agama tersebut kalian memecah belah kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama kami atau agama lainnya yang kami kenali?”

    Sebagai juru bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja’far maju menghadap ke Najasyi. Apa yang dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka akan tetap tinggal di Habasyah dan dengan tenang bisa melaksanakan ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke Makkah dan menjadi sasaran siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali ke agama jahiliahnya?

    Ja’far berkata, “Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat menindas yang lemah, memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti buruk lainnya. Lalu Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami sendiri, yang sangat kami kenali nasab, kejujuran, amanah dan kesucian hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya menyembah Allah dan tidak menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk berbuat jujur, amanah…..”

     
  • erva kurniawan 1:10 am on 30 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Utsman Bin Mazh’un Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Utsman Bin Mazh’un Radhiyallahu Anhu

    Utsman bin Mazh’un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.

    Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, “Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…”

    Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, “Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa.”

    Labidpun meneruskan bait syairnya, “Dan semua nikmat niscaya pasti sirna.”

    Spontan Utsman berteriak, “Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…”

    Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”

    Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, “Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!”

    Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh’un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, “Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”

    Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, “Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia.”

    Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, “Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia.”

    Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh’un..!!”

     
  • erva kurniawan 1:06 am on 29 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Khabbab Bin Arats Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Khabbab Bin Arats Radhiyallahu Anhu

    Khabbab bin Arats adalah seorang sahabat Muhajirin yang memeluk Islam pada masa-masa awal, ketika umat Islam belum mencapai dua puluh orang. Ia berasal dari golongan lemah, yakni hanya seorang budak yang bertugas membuat pedang atau peralatan dari besi lainnya. Sebagaimana sahabat-sahabat yang masuk Islam pada periode awal, ia mengalami penyiksaan yang tidak tanggung-tanggung. Statusnya sebagai budak membuat tuannya, Ummu Anmar bebas menyiksa dirinya. Ia diseterika dengan besi panas yang merah menyala, dipakaikan baju besi kemudian dijemur di panas padang pasir, juga pernah diseret di atas timbunan bara sehingga lemak dan darahnya mengalir mematikan bara tersebut.

    Khabbab pernah mengeluhkan beratnya siksaan yang dialaminya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau yang saat itu tengah bersandar pada Ka’bah beralaskan burdah, bersabda, “Wahai Khabbab, orang-orang yang sebelum kalian pernah disisir kepalanya dengan sisir besi, sehingga terlepas tulang dari dari daging dan uratnya, tetapi ia tidak berpaling dari agamanya. Ada pula yang dipenggal lehernya hingga kepalanya putus, namun ia tetap teguh dengan agamanya. Sungguh Allah Subhanahu Wata’ala akan memenangkan perjuangan agama ini sehingga suatu saat nanti, orang akan berkendaraan dari Shan’a hingga Hadramaut tanpa merasa takut kecuali hanya kepada Allah, sampai serigala bisa berdampingan dengan kambing (tanpa memangsanya). Namun sungguh kalian adalah orang yang suka tergesa-gesa.”

    Mendengar penuturan beliau itu, Khabbab pun ikhlas dengan penderitaannya dan berteguh dengan keimanannya. Ketika Islam telah mengalami kejayaan dan berbagai harta kekayaan melimpah, Khabbab justru duduk menangis sambil berkata, “Tampaknya Allah telah memberikan ganjaran atas segala penderitaan yang kita alami, aku khawatir tidak ada lagi ganjaran yang kita terima di akhirat, setelah kita terima berbagai macam kemewahan ini!!”

    Setelah itu Khabbab meletakkan seluruh hartanya pada bagian rumahnya yang terbuka, dan mengumumkan agar siapa saja yang memerlukan untuk mengambilnya tanpa meminta ijin dirinya. Ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan mengikatnya dengan tali (yakni, tidak mempertahankan hartanya tersebut), dan tidak akan melarang orang yang akan meminta/mengambilnya!!”

    Setelah Khabbab terbebas dari perbudakannya karena ditebus dan dimerdekakan oleh Abu Bakar, ia berkhidmad untuk belajar Al Qur’an dan akhirnya menjadi salah seorang yang ahli (Qari) dalam Al Qur’an. Ia tengah mengajarkan Al Qur’an kepada Fathimah binti Khaththab dan suaminya ketika Umar datang menghajar keduanya karena keislamannya. Tetapi peristiwa itu justru menjadi pemicu Umar memeluk Islam.

    Khabbab hampir tidak tertinggal dalam berbagai pertempuran di medan jihad. Pada Perang Badr, ia bertugas menjaga kemah Rasulullah pada malam sebelum perang, dan ia melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam shalat semalaman hingga menjelang fajar. Ketika Khabbab bertanya tentang shalat yang sangat panjang itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab, “Itu adalah shalat yang penuh harapan dan ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegahNya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, Janganlah umatku engkau binasakan sampai habis karena serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Aku berdoa : Ya Allah, janganlah terjadi perpecahan dan perselisihan di antara umatku, maka Dia mencegah doaku ini.”

     
  • erva kurniawan 1:58 am on 28 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Sa’id Bin Zaid Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Sa’id Bin Zaid Radhiyallahu Anhu

    Sa’id bin Zaid al Adawy Radhiyallahu ‘Anhu merupakan kelompok sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa awal, sehingga ia termasuk dalam kelompok as Sabiqunal Awwalun. Ia memeluk Islam bersama istrinya, Fathimah binti Khaththab, adik dari Umar bin Khaththab. Sejak masa remajanya di masa jahiliah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya. Sikap dan pandangan hidupnya ini ternyata diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.

    Sejak lama Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menyimpang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka’bah ketika kaum Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku??”

    Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena dianggap sebagai aib, seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa jahiliahnya. Ia selalu menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut. Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah saat penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.

    Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, “Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!”

    Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sebelum beliau dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok pemuda ini (yakni, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping akhlaknya yang mulia, pemuda ini juga mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya tentang kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy.

    Tetapi Zaid meninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka’bah, yakni, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berusia 35 tahun.

    Dengan didikan seperti itulah Sa’id bin Zaid tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyampaikan risalahnya, ia dan istrinya langsung menyambut seruan beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran walau saat itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khatthab, kakak iparnya sendiri yang merupakan jagoan duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras itu mengetahuinya juga.

    Ketika itu Sa’id dan istrinya sedang mendapatkan pengajaran al Qur’an dari sahabat Khabbab bin Arats, tiba-tiba terdengar ketukan, atau mungkin lebih tepat gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan siapa yang mengetuk tersebut, terdengar jawaban yang garang, “Umar..!!”

    Suasana khusyu’ dalam pengajaran al Qur’an tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambil terus berdoa memohon pertolongan Allah untuk mereka. Sa’id dan istrinya menuju pintu sambil menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka oleh Sa’id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan, “Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?”

    Sebelum kejadian itu, sebenarnya Umar telah membulatkan tekad untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Kemarahannya telah memuncak karena kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab kesemuanya itu adalah dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Dalam pemikiran Umar, jika ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy kembali tenang seperti semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya telah memeluk Islam. Nu’aim menyarankan agar ia mengurus kerabatnya sendiri saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran jika kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.

    Sebenarnya Sa’id melihat bahaya yang tampak dari sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan tambahan kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, “Wahai Umar, bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu ternyata berada di pihak mereka ??”

     
  • erva kurniawan 1:54 am on 27 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Ubaidah Bin Harits Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Abu Ubaidah Bin Harits Radhiyallahu Anhu

    Sebelum perang Badar mulai pecah dan dua pasukan sedang berhadapan, tokoh kafir Quraisy, Utbah bin Rabiah, menantang duel satu persatu.

    Majulah putranya, Walid bin Utbah dan Ali bin Abi Thalib maju menghadapinya dan Ali berhasil membunuhnya.

    Kemudian majulah saudaranya Syaibah bin Rabiah dan paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Hamzah bin Abdul Muthalib melayani tantangannya dan dengan mudah membunuhnya pula.

    Melihat anak dan saudaranya tewas di hadapannya, Utbah sendiri yang maju menuntut balas. Kali ini ia dihadapi oleh Ubaidah bin Harits. Mereka laksana dua tiang yang kokoh, saling beradu pukulan dan tampaknya kekuatan mereka seimbang. Ubaidah berhasil memukul pundak Utbah hingga patah, tetapi Utbah berhasil memotong betis kaki Ubaidah, keduanya tampak sekarat.

    Ali dan Hamzah maju membunuh Utbah, dan mereka membawa Ubaidah ke tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sedang berteduh.

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam meletakkan kepala Ubaidah di paha beliau, beliau mengusap wajahnya yang penuh debu. Ubaidah memandang beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, jika Abu Thalib melihat keadaanku ini, ia pasti akan mengetahui bahwa aku lebih berhak atas kata-kata yang pernah diucapkannya tersebut.

    Ubaidah memang masih paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan sepupu dari Abu Thalib. Ketika kaum kafir Quraisy berniat untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, bahkan mereka menawarkan seorang anak muda sebagai pengganti. Abu Thalib dengan tegas berkata, “(Kalian berdusta jika mengatakan) bahwa kami akan menyerahkannya (yakni Muhammad, tanpa kami melindunginya) sampai kami terkapar di sekelilingnya dan bahkan (untuk itu akan) menelantarkan anak-anak dan istri-istri kami sendiri.”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tersenyum mendengar perkataannya, dan Ubaidah bertanya, “Apakah aku syahid, ya Rasulullah?””Ya,” Kata beliau, “Dan aku akan menjadi saksi untukmu!!”

    Sesaat kemudian Ubaidah meninggal, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menguburkannya di Shafra’, sebuah wadi antara Badar dan Madinah. Beliau sendiri yang turun ke kuburnya, dan beliau tidak pernah turun ke kuburan siapapun sebelumnya kecuali pada pemakaman Ubaidah bin Harits ini.

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 26 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Salamah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Abu Salamah Radhiyallahu Anhu

    Abu Salamah Radhiyallahu ‘Anhu, atau nama aslinya Abdullah bin Abdul Asad, memeluk Islam pada masa permulaan Islam, begitu juga dengan istrinya, Ummu Salamah. Sebagian riwayat menyebutkan, ia orang ke sepuluh yang memeluk Islam.

    Karena tekanan dan gangguan yang begitu hebat dari kaum Quraisy, mereka berdua ikut hijrah ke Habasyah. Disanalah lahir anak mereka yang pertama Salamah.

    Setelah beberapa waktu di Habasyah, mereka kembali lagi ke Makkah.

    Ketika datang perintah hijrah ke Madinah, Abu Salamah dan Istrinya, Ummu Salamah pun memenuhi perintah ini, mereka berangkat menaiki onta. Anak satu-satunya yang masih kecil, Salamah dalam gendongan ibunya di dalam sekedup.

    Tetapi kaum kerabat Ummu Salamah, Bani Mughirah, tidak rela jika salah satu anggota kaumnya pergi ke Madinah, karena itu beberapa orang mengejar Abu Salamah dan merebut kendali onta yang membawa istri dan anaknya, mereka berkata, “Ini jiwamu, engkau memenangkannya atas kami. Tidakkah engkau tahu, atas dasar apa kami membiarkanmu berjalan dengannya di negeri ini?”

    Abu Salamah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi tidak cukup sampai disitu, kerabat Abu Salamah dari Banu Abdul Asad ternyata tidak rela kalau Salamah sebagai bagian dari kaumnya berada di Banu Mughirah, karena itu mereka merebutnya dari Ummu Salamah. Setelah berhasil, ternyata mereka tidak membiarkan Salamah untuk ikut ayahnya hijrah ke Madinah.

    Walau kecintaannya begitu besar terhadap istri dan anaknya, perintah Allah dan RasulNya di atas segalanya. Abu Salamah tetap meneruskan hijrah ke Madinah tanpa orang-orang yang dicintainya. Setelah sekitar satu tahun berpisah, barulah Ummu Salamah dibiarkan kaumnya menyusul suaminya ke Madinah. Salamahpun diberikan bani Abdul Asad pada Ummu Salamah untuk dibawa ke Madinah.

    Abu Salamah ikut terjun dalam perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud, ia mengalami luka parah, yang berakibat ia menderita berkepanjangan.

    Ketika lukanya belum sembuh sepenuhnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menunjuk dirinya untuk memimpin pasukan kecil berkekuatan 150 orang sahabat, untuk menyerang Bani Asad bin Khuzaimah.

    Bani Asad menghimpun kekuatan secara rahasia untuk menyerang Madinah, yang dikoordinasikan oleh dua orang bersaudara, Thalhah dan Salamah bin Khuwailid.

    Pasukan yang dipimpin Abu Salamah ini berhasil melumpuhkan Bani Asad. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharam tahun 4 Hijriah. Tetapi akibat pertempuran ini, luka-lukanya pada perang Uhud yang belum sepenuhnya sembuh, menjadi kambuh kembali, bahkan semakin parah, sehingga akhirnya ia menemui syahid pada bulan Jumadil Akhir tahun 4 Hijriah.

    Dari pernikahannya dengan Ummu Salamah, ia mempunyai empat anak. Selain Salamah, anak lainnya adalah Umar, Durah, dan Zainab. Zainab ini masih di dalam kandungan ketika Abu Salamah wafat.

    Ketika masih hidupnya, Ummu Salamah pernah menginginkan agar mereka saling berjanji untuk tidak menikah lagi, jika salah satu dari mereka meninggal terlebih dahulu. Tetapi Abu Salamah menginginkan agar Ummu Salamah taat kepadanya sebagai suaminya, dan ia berkata, “Jika aku meninggal dahulu, menikahlah engkau.”

    Setelah itu Abu Salamah berdoa, “Ya Allah, apabila saya meninggal nanti, nikahkanlah Ummu Salamah dengan lelaki yang lebih baik daripada saya, yang tidak akan menjadikan hatinya bersedih, yang tidak akan memberikan kesulitan kepadanya.”

    Allah mengabulkan doa Abu Salamah ini, dan sepeninggal dirinya, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berkenan untuk menikahi Ummu Salamah.

     
  • erva kurniawan 1:44 am on 25 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah Radhiyallahu Anhu

    Ketika itu waktunya shalat dhuhur, Umar berusaha menampilkan dirinya di dekat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Namun walau Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah melihat dirinya, beliau masih mencari-cari seseorang. Ketika pandangan beliau jatuh pada Abu Ubaidah, beliau bersabda, “Wahai Abu Ubaidah, pergilah berangkat bersama mereka, dan selesaikan apabila terjadi perselisihan di antara mereka….!”

    Inilah dia orang terpercaya itu, dan para sahabat lainnya tidak heran kalau ternyata Abu Ubaidah yang dimaksudkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan berbeda, beliau menyebut Abu Ubaidah sebagai ‘Amiinul Ummah’, orang kepercayaan ummat Islam ini.

    Abu Ubaidah-pun menyertai rombongan tersebut kembali ke Najran, sebagaimana diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Sebagian riwayat menyebutkan, dua dari tiga pemimpinnya masuk Islam setelah mereka tiba di Najran, Yakni Al Aqib atau Abdul Masih, pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan, dan As Sayyid atau Al Aiham atau Syurahbil, pemimpin yang mengendalikan masalah peradaban dan politik. Lambat laun Islam menyebar di Najran berkat bimbingan ‘Amiinul Ummah’ ini. Bahkan akhirnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengirimkan Ali bin Thalib untuk membantu Abu Ubaidah dalam urusan Shadaqah dan Jizyah dari masyarakat Najran yang makin banyak yang memeluk Islam.

     
  • erva kurniawan 1:41 am on 24 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Al Arqam Bin Abil Arqam Radhiyallahu Anhu… 

    Kisah Al-Arqam Bin Abil Arqam Radhiyallahu Anhu

    Al-Arqam bin Abil Arqam termasuk orang – orang yang pertama memeluk Islam. Ada ulama yang mengatakan ia termasuk orang ketujuh yang memeluk Islam, sementara ulama yang lain mengatakan ia termasuk orang kesebelas. Namun yang jelas, rumah Al-Arqam adalah rumah tempat pusat dakwah pertama. Di rumah yang penuh berkah inilah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengajarkan Islam secara diam – diam kepada para pemeluk Islam pertama.

    Di saat Islam baru mulai diajarkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerlukan sebuah tempat yang tenang untuk mengajarkan agama Allah ini. Maklumlah, saat itu seperti pemeluk Islam dimusuhi dan disiksa kaum musyrik. Akhirnya beliau memutuskan bahwa rumah Al-Arqam bin Abil Arqam yang terletak di dataran Shafa ini adalah tempat yang cocok. Tempat ini letaknya agak terpencil dan tak meimbulkan kecurigaan. Terbukti selama rumah itu digunakan tak ada satu pun tindakan penggerebekan dilakukan orang kafir.

    Banyak sekali orang memeluk Islam di rumah Al-Arqam yang diberkahi itu. Salah satu orang terakhir yang memeluk Islam di tempat itu adalah Umar bin Khattab. Setelah Umar memeluk Islam, dakwah mulai dilakukan secara terang – terangan. Ketika itu jumlah Kaum Muslimin telah mencapai 40 orang. Jadi sebelum itu, rumah Arqam telah menjadi sekolah dan tempat berlindung bagi 40 orang pemeluk Islam pertama.

    Ke – 40 orang pemeluk Islam pertama itu dikenal dengan nama Assabiqunal Awwalun. Mereka beriman ketika semua orang lain masih ingkar. Kelak mereka harus akan mengalami hijrah ke seberang lautan di Habasyah dan menempuh berbagai ujian berat lainnya.

    Al-Arqam bin Abil Arqam termasuk kelompok Muhajirin pertama yang hijrah ke Madinah. Ia juga terjun dalam Pertempuran Badar. Di perang ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memberikan rampasan perang berupa pedang kepada Al-Arqam. Baktinya kepada Islam diteruskan dengan terjun ke semua pertempuran genting yang lain.

    Para sejarawan masih berselisih tentang kapan Al-Arqam wafat. Ada yang bilang ia wafat pada hari yang sama dengan wafatnya Abu Bakar Ash-Shidiq. Ada juga yang mengatakan ia wafat setelah Abu Bakar di usia 80 tahun lebih. Ketika wafat, salah satu yang hadir dalam menshalatkan jenazahnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Rupanya wasiat Al-Arqam kepada Sa’ad adalah bila ia wafat, Sa’ad diminta menshalati dan mendoakan jenazahnya.

     
  • erva kurniawan 1:20 am on 23 January 2020 Permalink | Balas  

    Kisah Abdurrahman Bin Auf Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Abdurrahman Bin Auf Radhiyallahu Anhu

    Abdurrahman bin Auf termasuk dalam kelompok sahabat as Sabiqunal Awwalun, ia memeluk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan, yakni lewat perantaraan Abu Bakar ash Shiddiq. Ia juga termasuk dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga ketika masih hidupnya. Sembilan orang lainnya adalah empat khalifah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar Utsman dan Ali, kemudian Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam Radhiyallahu ‘Anhuma.

    Abdurrahman bin Auf termasuk seorang sahabat yang selalu berhasil dalam perniagaannya, sehingga hartanya selalu berlimpah. Apapun bidang usaha yang ditekuninya selalu memberikan keuntungan, sehingga ia sempat takjub atas dirinya sendiri, dan berkata, “Sungguh mengherankan diriku ini, seandainya aku mengangkat batu tentulah kutemukan emas dan perak di bawahnya.”

    Namun kekayaannya yang melimpah tidak menjadikannya takabur. Orang yang belum pernah mengenalnya, bila bertemu untuk pertama kali, mereka tidak akan bisa membedakan antara dirinya sebagai tuan dan pelayan/pegawainya, karena kesederhanaan penampilannya.

    Pernah ia dipusingkan dengan hartanya yang begitu berlimpah sehingga ia begitu gelisah dan tidak bisa tidur. Istrinya yang bijak dan penuh keimanan memberikan saran yang bisa menentramkan hatinya. Sang istri berkata, “Hendaknya hartamu engkau bagi tiga, dengan sepertiganya, engkau carilah saudaramu seiman yang berhutang dan lunasilah hutang mereka. Sepertiganya lagi, carilah saudaramu seiman yang memerlukan uang dan berilah mereka pinjaman. Dan sepertiganya lagi, engkau pakai sebagai modal perniagaanmu…”

    Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyeru agar umat Islam bersedekah untuk mendanai Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf menyedekahkan seluruh hartanya yang berjumlah sekitar 200 uqiyah atau 8000 dirham. Umar bin Khaththab mengadukan sikap Abdurrahman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam karena tidak menyisakan apapun untuk keluarganya, sedangkan ia sendiri menyedekahkan separuh hartanya sebanyak 100 uqiyah, separuhnya lagi ditingalkan untuk keperluan keluarganya.

    Karena pengaduan Umar ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memanggilnya, kemudian bertanya, “Wahai Abdurrahman, apakah engkau meninggalkan sesuatu untuk keluarga yang engkau tinggalkan!”

    “Benar, ya Rasulullah!” Kata Abdurrahman, “Aku telah meninggalkan untuk keluargaku sesuatu yang lebih baik dan lebih banyak daripada apa yang kusedekahkan!”

    “Berapa?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bertanya.

    “Kebaikan dan rezeqi yang dijanjikan oleh Allah dan RasulNya!”

    Rasulullah Shallallahu’ ‘Alaihi Wassalam membenarkan sikapnya dan menerima alasan Abdurrahman tersebut.

    ***

     
  • erva kurniawan 2:59 am on 25 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Zubair Bin Awwam Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Zubair Bin Awwam Radhiyallahu Anhu (2)

    Inilah memang dahsyatnya bahaya fitnah, sehingga orang-orang terpilih di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam saling berperang satu sama lainnya.

    Ada perbedaan pendapat tentang syahidnya Zubair. Satu riwayat menyebutkan, ketika pertempuran mulai berlangsung dan dari kedua pihak berjatuhan korban tewas, Ali menangis dan menghentikan pertempuran, padahal saat itu posisinya dalam keadaan memang. Ali meminta kehadiran Thalhah dan Zubair untuk melakukan islah. Ali mengingatkan Thalhah dan Zubair berbagai hal ketika bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, termasuk ramalan-ramalan beliau tentang mereka bertiga. Thalhah dan Zubair menangis mendengar penjabaran Ali dan seolah diingatkan akan masa-masa indah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, apalagi saat itu mereka melihat Ammar bin Yasir ikut bergabung dalam pasukan Ali. Masih jelas terngiang sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika ‘kerja bakti’ membangun masjid Nabawi, “Aduhai Ibnu Sumayyah (yakni, Ammar bin Yasir), ia akan terbunuh oleh kaum pendurhaka…..!!”

    Zubair dan Thalhah memutuskan menghentikan pertempuran dan ia menyarungkan senjatanya, kemudian berbalik menemui pasukannya. Tetapi ada anggota pasukan yang tidak puas dengan keputusan ini dan mereka memanah keduanya hingga tewas. Sebagian riwayat menyebukan pembunuhnya dari pasukan Ali, riwayat lain dari pasukan Bashrah sendiri.

    Sedangkan riwayat lain menyebutkan, pertempuran berlangsung seru dan pasukan Bashrah dikalahkan oleh pasukan Ali, Thalhah dan Zubair bin Awwam gugur menemui syahidnya. Sedangkan Ummul Mukminin Aisyah dikirimkan lagi ke Madinah dengan pengawalan saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar yang ada di fihak Ali.

    Zubair meninggal dalam usia 64 tahun, dan jenazahnya di makamkan di suatu tempat yang disebut Waadis Sibba, sekitar 7,5 km dari kota Bashrah, di Irak sekarang ini.

    Usai pertempuran, ketika Ali sedang beristirahat, datang salah seorang prajuritnya dan berkata, “Amr bin Jurmuz at Tamimi, pembunuh Zubair bin Awwam menunggu di luar, minta ijin untuk menghadap!!”

    Ali mengijinkannya. Amr masuk dengan pongahnya, ia mengira akan memperoleh pujian dan penghargaan karena telah membunuh seseorang yang memusuhi khalifah Ali. Tapi begitu bertatap muka, Ali membentaknya dengan keras, dan berkata, “Apakah pedang yang kamu bawa itu pedang Zubair??”

    Dengan gemetar ketakutan, ia berkata, “Benar, ini pedang Zubair, saya merampasnya setelah saya membunuhnya!”

    Ali mengambil pedang tersebut dari tangannya dan menggenggamnya penuh perasaan dan khusyu, diciumnya pedang yang pernah didoakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tersebut penuh rindu dan haru, hingga air mata membasahi pipinya, kemudian Ali berkata, “Pedang ini, Demi Allah, adalah pedang yang selama ini digunakan pemiliknya untuk membebaskan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dari berbagai marabahaya…..!!”

    Setelah itu Ali memandang Amr bin Jurmuz dengan mata menyala, “Mengenai dirimu, wahai pembunuh Zubair, bergembiralah dengan masuk neraka, atas apa yang kamu lakukan kepada putra Shafiyah ini….!”

    Amr berlalu dengan dongkol karena maksudnya tidak tercapai, sambil ia bergumam, “Aneh sekali tuan-tuan ini, telah kami bunuh musuh tuan, tetapi tuan katakan saya akan masuk neraka….!!”

     
  • erva kurniawan 1:47 am on 24 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Zubair Bin Awwam Radhiyallahu Anhu (1) 

    Kisah Zubair Bin Awwam Radhiyallahu Anhu (1)

    Sebagaimana para sahabat pada masa awal, keislamannya membawanya kepada penyiksaan dari kaum Quraisy, walau sebenarnya ia dari keluarga terhormat dan sangat disegani.

    Pamannya sendiri, Naufal bin Khuwailid yang dikenal dengan nama “Singa Quraisy”, pernah menggulungnya dengan tikar dan menggantungnya terbalik dalam keadaan terikat, dan di bawahnya ada api sehingga asapnya menyesakkan dadanya. Berbagai siksaan ditimpakan oleh kaum kerabatnya sendiri, tetapi semua itu tidak mampu mengembalikannya ke agama jahiliahnya.

    Karena makin kerasnya tekanan dan siksaan yang ditimpakan kaum kafir Quraisy pada orang-orang yang memeluk Islam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengijinkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah, dan Zubair termasuk di antaranya.

    Raja Habasyah, Najasyi memberikan perlindungan kepada para muhajirin ini, dan memberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadahnya sendiri. Hal itu menimbulkan sekelompok orang melakukan pemberontakan, tidak setuju dengan sikap Najasyi tersebut. Sempat terjadi pertempuran, yang dalam pertempuran tersebut Zubair ikut berperan serta sebagai mata-mata untuk kepentingan Najasyi dan kaum muhajirin lainnya. Jika ternyata Najasyi kalah, ia harus segera memberitahukan agar kaum muslimin bisa segera meninggalkan bumi Habasyah. Tetapi Allah menghendaki kemenangan ada di pihak Najasyi, sehingga kaum muslimin dengan tenang tinggal di negeri Nashrani tersebut.

    Walau hidup dalam keadaan damai dan tenang melaksanakan ibadah, tetapi hati Zubair selalu gelisah. Sejak ia memeluk Islam, hatinya seolah terikat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Ada kerinduan menggejolak untuk selalu bersama beliau, walau ada juga kekhawatiran. Karena itu, begitu mendengar keislaman Hamzah dan Umar bin Khaththab, yang membuat posisi kaum muslimin lebih kuat, ia segera kembali ke Makkah untuk bisa selalu bertemu dan melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, kapan saja kerinduannya itu datang.

    Zubair juga dikenal sebagai penunggang kuda yang handal. Dialah salah satu dari hanya dua penunggang kuda pasukan muslim pada Perang Badar, dan ia diserahi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memimpin front/sisi kanan. Satu lagi adalah Miqdad bin Aswad, diserahi untuk memimpin front kiri. Dengan pedang yang pernah didoakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, jiwa kepahlawanannya jadi makin menonjol. Dalam perang Badar tersebut ia mampu membunuh jagoan-jagoan Quraisy yang jadi andalan, seperti Naufal bin Khuwailid, Si Singa Quraisy yang masih pamannya sendiri, Ubaidah bin Said, Ibnul Ash bin Umayyah, dan lain-lain.

    Pada awal perang Uhud, Nabi Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam mengangkat sebuah pedang dan berkata, “Siapa yang mau mengambil pedang ini dengan memberikan haknya??”

    Beberapa sahabat yang berkumpul tidak segera memberikan kesanggupan, maka Zubair bin Awwam segera menyahutnya, “Saya, ya Rasulullah.”

    Tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam hanya memandangnya sekilas, kemudian mengulangnya hingga tiga kali, dan hanya Zubair yang dengan segera menyanggupinya. Namun demikian beliau tidak menyerahkan pedang tersebut kepadanya. Ketika Abu Dujanah yang menyanggupinya, beliau langsung menyerahkannya. Ini bukan berarti Nabi Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam tidak mempercayainya, tetapi Zubair telah memiliki pedang yang pernah didoakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sehingga ia tidak memerlukan pedang lainnya. Biarlah pedang tersebut dipegang dan dimiliki sahabat lain untuk mengukirkan kepahlawanannya kepada Islam.

     
  • erva kurniawan 1:42 am on 23 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Sa’d Bin Abu Waqash (3) 

    Kisah Sa’d Bin Abu Waqash (3)

    Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, dunia Islam dilanda badai fitnah dan telah membawa korban dengan syahidnya Utsman sendiri. Disusul ketika Khalifah ke-4 Ali bin Abi Thalib, badai fitnah belum juga reda. Banyak orang yang ambisius tampil ke gelanggang untuk merebut kedudukan Khalifah.

    Sa’d sebagai sahabat yang waktu itu masih hidup pun tidak urung ditampilkan orang untuk merebut kedudukan Khalifah Ali. Bahkan Hasyim bin Utbah, keponakannya sendiri mengusulkan agar Sa’d tampil dan merebut kekuasaan Ali. Dengan pongah, Hasyim berkata kepadanya : “Paman, di sini telah siap 100.000 pedang yang mengagap paman adalah orang yang lebih berhak duduk dalam kursi Khalifah. Bangkitlah wahai Paman dan rebutlah kursi kepemimpinan Khalifah itu”

    Sa’d terperanjat dan dengan tegas berkata kepada Hasyim :

    “Dari 100 ribu pedang yang akan kau berikan kepadaku, aku hanya ingin sebuah saja. Dan sebuah itu pun bila kutebaskan kepada sesama mukmin tidak akan mempan sedikit juga. Tapi sebaliknya bila kutebaskan ke leher orang musyrik pastilah putus batang lehernya”

    Mendengar jawaban sang paman, Hasyim mundur, ia memahami bahwa pamannya bukan orang yang gila pangkat atau jabatan. Apalagi untuk merebut kedudukan Ali, pantang baginya. Sa’d memang orang yang sederhana, meski kekayaannya melimpah dan banyak jabatan disodorkan kepadanya. Dalam usianya yang makin menua, hanya satu keinginannya, yaitu bisa menghadap Allah Subhanahu Wata’ala dengan tenang, membawa ketenangan manis dalam membela Islam.

    Pernah suatu ketika seblum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, dalam suatu majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam duduk bersama sahabatnya, tiba-tiba beliau berkata:

    “Tunggulah, sekarang akan datang di hadapan kalian seorang laki-laki penduduk Surga”

    Para sahabat kaget bercampur bingung, menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, “Laki-laki penduduk Surga”. Ketika para sahabat sedang memikirkan maksud ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam itu, datanglah Sa’d. Para sahabat pun gembira menyambut kedatangannya.

    Hadiah berupa doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, muncul lantaran keikhlasan mematuhi segala perintah Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia memang dikenal seorang ahli ibadah dalam pengertian luas, bukan semata-mata ibadah khusus seperti Sholat, puasa, zakat dan haji, tapi setiap amal perbuatannya itu semata-mata dilandasi oleh semangat pengabdian kepada Allah Subhanahu Wata’ala, yang berkobar-kobar di lubuk hatinya.

    Abdullah bin Amru bin Ash pernah datang menemuinya, menanyakan jenis ibadat dan amal perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Sa’d menjawab sederhana: “Aku beribadah seperti yang biasa kita sama-sama lakukan, hanya saja aku tak pernah menaruh dendam atau niat jahat terhadap siapapun selagi ia masih sama-sama muslim”

    Cita-citanya itu terkabulkan, Ia wafat hanya dikafani oleh kain putih yang pernah dipakaikannya sewaktu ikut perang Badar, Peperangan yang sangat dasyat yang untuk pertama kalinya dihadapi kaum muslimin.

    Dalam perang itu, Sa’d mengenakan kain (lusuh) yang sampai akhir hayatnya disimpan baik-baik dan sekarang digunakan untuk mengkafani jasadnya.

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 22 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Sa’d Bin Abu Waqash Radhiyallahu Anhu (2) 

    Kisah Sa’d Bin Abu Waqash Radhiyallahu Anhu (2)

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pernah menyatakan ada sepuluh sahabat yang dijamin pasti masuk surga, ketika mereka masih hidup. Selain empat sahabat Khulafaur Rasyidin, mereka adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’id bin Zaid, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah dan tentunya Sa’d bin Abi Waqqash sendiri. Ia memang tidak pernah tertinggal berjuang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, bahkan ia adalah orang Arab pertama yang memanah di jalan Allah. Ia pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dalam suatu pasukan tanpa bahan makanan yang mencukupi, kecuali hanya daun-daun pohon hublah dan pohon samurah. Akibatnya ada beberapa anggota pasukan yang kotorannya seperti kotoran kambing karena sangat keringnya.

    Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam merasa begitu senang dan berkenan dengan perilaku Sa’d, beliaupun berdoa, “Ya Allah, tepatkanlah panahnya, dan kabulkanlah doanya.”

    Sejak saat itu, panah Sa’d merupakan senjata andalan dan sangat ditakuti oleh musuh. Siapapun yang menjadi sasaran panahnya, ia tidak akan lolos dan selamat lagi. Begitu juga dengan doanya, apapun yang dipanjatkannya seolah tak ada penghalang antara dirinya dengan Allah Subhanahu Wata’ala.

    Pernah suatu ketika ada seseorang yang memaki Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bib Awwam. Sa’d menasehatinya untuk menghentikan perbuatannya tersebut, tetapi orang tersebut masih terus saja memaki tiga orang sahabat utama tersebut. Sa’d pun mengancam akan mendoakan kepada Allah, tetapi dengan sinis ia berkata kepada Sa’d, “Kamu menakut-nakuti aku seolah engkau seorang Nabi saja….!”

    Sa’d pun akhirnya pergi ke masjid, ia berwudhu dan shalat dua rakaat, kemudian berdoa, “Ya Allah, kiranya menurut ilmu-MU, orang ini telah memaki sekelompok orang yang telah memperoleh kebaikan dari Engkau, dan sekiranya sikapnya tersebut mengundang kemurkaan-MU, aku mohon Engkau tunjukkan suatu pertanda yang akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya….”

    Tidak lama kemudian, ada seekor unta yang menjadi liar masuk kerumunan orang. Anehnya ia seolah-olah mencari seseorang, dan ketika ditemukan lelaki yang memaki tiga sahabat tersebut, ia menerjang, menyepak dan menginjak-injak lelaki tersebut hingga tewas.

     
  • erva kurniawan 1:03 am on 21 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Sa’d Bin Abi Waqash Radhiyallahu Anhu (1) 

    Kisah Sa’d Bin Abi Waqash Radhiyallahu Anhu (1)

    Sa’d bin Malik az Zuhri, atau lebih dikenal sebagai Sa’d bin Abi Waqqash masih termasuk paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, tetapi usianya jauh lebih muda daripada beliau. Ia memeluk Islam ketika berusia 17 tahun, dan termasuk as sabiqunal awwalun. Sebagian riwayat menyatakan ia orang ke tiga, ke empat atau ke tujuh dari kalangan lelaki remaja/dewasa, yang jelas ia memeluk Islam lewat informasi dan pengaruh Abu Bakar.

    Hidayah itu datang berawal dari sebuah mimpi. Sa’d bermimpi matahari tidak muncul lagi sehingga dunia diliputi kegelapan. Tidak ada lagi bedanya siang dan malam. Tetapi kemudian muncul seberkas cahaya, yang di antara cahaya tersebut ada wajah-wajah yang dikenalinya, Abu Bakar, Zaid bin Haritsah dan Ali bin Abi Thalib. Ia bertanya, “Kapan kalian datang, tiba-tiba saja sudah ada di sini?”

    Mereka berkata, “Ya saat ini kami datang….”

    Setelah itu mereka lenyap dan Sa’d terbangun dari mimpinya. Ia gelisah memikirkan mimpinya sehingga fajar menjelang. Pagi harinya ia berangkat ke tempat pekerjaannya seperti biasa, tetapi tidak ada kegairahan kerja seperti hari-hari sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, Abu Bakar muncul. Mereka berbincang-bincang dan Abu Bakar menceritakan tentang risalah yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, Abu Bakar mengajaknya untuk memeluk Islam seperti dirinya. Tiba-tiba saja suasana hatinya berubah menjadi cerah, seperti suasana mimpinya ketika berkas cahaya muncul menyibak kegelapan tanpa matahari. Tanpa pikir panjang ia menerima ajakan Abu Bakar, mereka berdua berjalan menuju tempat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan Sa’d berba’iat memeluk Islam.

    Ketika diketahui Sa’d bin Abi Waqqash masuk Islam, ibunya sangat tidak menyetujuinya, padahal Sa’d orang yang sangat menghormati dan menyantuni ibunya. Sang ibu menyuruh Sa’d untuk meninggalkan Islam, dan mengancam, “Wahai Sa’d, agama apa yang kamu peluk itu? Sekarang kau harus pilih, kau kembali ke agama nenek moyangmu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati karena perbuatanmu itu?”

    Sa’d hanya berkata, “Jangan kau lakukan itu wahai Ibu, tetapi aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.”

    Ibunya pun melaksanakan ancamannya, ia tidak makan dan minum. Hingga hari ketiga, ketika keadaan ibunya sudah sangat payah dan mengkhawatirkan, Orang-orang menjemput Sa’d dan menghadapkan pada ibunya. Sa’d akhirnya berkata, “Demi Allah, jika ibu mempunyai seribu nyawa, dan keluar satu persatu, aku tidak akan meninggalkan agama Islam ini.”

    Melihat tekad anaknya yang begitu kuat, tidak bisa ditawar-tawar lagi, akhirnya sang ibu mengalah dan makan minum lagi seperti biasanya, dan Sa’d pun tetap dengan baik bergaul dengan ibunya, walau tetap dalam agama jahiliahnya. Sebagian riwayat menyebutkan, peristiwa Sa’d dengan ibunya ini menjadi asbabun nuzul dari Surah Luqmanayat 14-15, tentang bagaimana bergaul dengan orang tua.

     
  • erva kurniawan 1:40 am on 20 December 2019 Permalink | Balas  

    Kisah Zaid Bin Haritsah Radhiyallahu Anhu 

    Kisah Zaid Bin Haritsah Radhiyallahu Anhu

    Keluarga Zaid bin Haritsah keluarga Arab biasa, yang ketika itu sedang mengunjungi kerabatnya di kampung Kabilah Bani Ma’an, dan Zaid kecil diajak serta. Takdir Allah menghendaki akan mengangkat derajadnya setinggi-tingginya, tetapi melalui jalan musibah. Tiba-tiba sekelompok perampok badui menjarah perkampungan Bani Ma’an tersebut, harta bendanya dikuras habis dan sebagian penduduknya ditawan untuk dijual sebagai budak, termasuk di antaranya adalah Zaid bin Haritsah.

    Zaid bin Haritsah yang masih kecil itu dijual di pasar Ukadz di Makkah, ia dibeli oleh Hakim bin Hizam. Oleh Hakim, ia diberikan kepada bibinya, Khadijah binti Khuwailid, yang tak lain adalah istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, dan akhirnya ia diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam untuk menjadi khadam (pelayan) beliau. Walau saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam belum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, tetapi pendidikan yang diperoleh Zaid dari beliau merupakan pendidikan berbasis akhlak mulia, didikan yang berbasis kenabian yang menaikkan derajadnya, dan mengantarnya menjadi salah seorang kelompok sahabat as sabiqunal awwalin.

    Ketika ayahnya, Haritsah mendengar kabar bahwa putranya dimiliki olekeluarga bangsawan Quraisy di Makkah, ia bergegas mengumpulkan harta semampunya untuk menebusnya dari perbudakan. Ia mengajak saudaranya untuk menemaninya ke Makkah. Sesampainya di Makkah, ia menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata, “Kami datang kepada anda untuk meminta anak kami, kami mohon anda bersedia mengembalikannya kepada kami dan menerima uang tebusan yang tidak seberapa banyaknya ini!!”

    “Tidak harus seperti itu,” Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, “Biarlah ia memilih sendiri. Jika ia memilih anda, saya akan mengembalikannya kepada anda tanpa tebusan apapun. Tetapi jika ia memilih saya, maka saya tidak bisa menolak orang yang dengan sukarela mengikuti saya…!”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Sementara itu tampak kegembiraan Haritsah dengan penjelasan beliau. Ia akan memperoleh kembali anaknya tanpa tebusan apapun, begitu pikirnya. Ketika Zaid telah datang, beliau berkata kepadanya, “Tahukah engkau, siapa dua orang ini?”

    “Ya, saya tahu,” Kata Zaid, “Yang ini ayahku, satunya lagi adalah pamanku…”

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menjelaskan permintaan ayahnya, dan juga tentang pilihan yang beliau berikan kepadanya. Tanpa berfikir panjang, Zaid berkata, “Tak ada pilihanku kecuali anda, andalah ayahku, dan andalah juga pamanku…!”

    Mendengar jawaban Zaid ini ayah dan pamannya terkejut, tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam tampak berlinang air mata karena haru dan syukur. Beliau memang sangat menyayanginya seperti anak sendiri, sehingga bagaimanapun secara manusiawi, beliau akan merasa kehilangan jika Zaid memutuskan untuk kembali kepada keluarganya sendiri. Segera saja Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam membawa Zaid ke Ka’bah dimana biasanya para pembesar Quraisy berkumpul, kemudian beliau berkata lantang, “Saksikanlah oleh kalian semua, mulai hari ini Zaid adalah anakku, ia ahli warisku dan aku ahli warisnya…”

    Memang, budaya Arab saat itu membenarkan mengangkat anak yang statusnya sama seperti anak kandung. Sejak itu, Zaid dikenal dengan nama Zaid bin Muhammad.

    Setelah hijrah ke Madinah, Zaid tidak pernah terlewat berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq dan lain-lainnya, semua diterjuninya tanpa kenal menyerah. Jika Nabi Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam mengirim suatu pasukan sementara beliau sendiri tidak mengikutinya, pastilah Zaid yang ditunjuk sebagai pemimpinnya. Misalnya perang al Jumuh, at Tharaf, al Ish, al Hismi dan beberapa peperangan lainnya.

    Tibalah pertempuran Mu’tah, sebuah pertempuran tidak berimbang antara pasukan muslim yang hanya 3.000 orang melawan pasukan Romawi dan sekutunya sebanyak 200.000 orang. Pemicu pertempuran ini adalah terbunuhnya utusan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ke Bushra, Harits bin Umair oleh Syurahbil bin Amr, pemimpin Balqa yang berada di bawah kekuasaan kaisar Romawi. Pasukan muslim 3.000 orang saat itu adalah yang terbesar yang pernah dipersiapkan beliau, dan beliau tidak pernah menyangka bahwa pasukan Romawi akan menghadapinya dengan prajurit sebanyak itu. Tetapi seperti memperoleh pandangan ke depan (vision), beliau menunjuk tiga orang sebagai komandan secara berturutan, pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja’far bin Abi Thalib dan ketiga Abdullah bin Rawahah.

    Ketika pasukan tiba di Mu’an, tidak jauh dari Mu’tah, mereka baru memperoleh informasi bahwa pasukan Romawi sebanyak 200.000 orang. Mereka bermusyawarah tentang jalan terbaik, sebab kalau nekad bertempur, sama saja dengan bunuh diri. Setelah banyak pendapat yang masuk, diputuskan untuk memberitahukan Nabi Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam jumlah pasukan yang harus dihadapi. Setelah itu terserah petunjuk beliau, apa akan terus melawan? Menunggu bantuan? Atau apa nanti, terserah perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

    Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam telah memerintahkan dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat Ibnu Rawahah tersebut seolah menyadarkan mereka, dan menggelorakan semangat berjihad kaum muslimin tersebut, bukan semata-mata takut dan bunuh diri.

    Pertempuran hebat antara 3.000 pasukan melawan 200.000 pasukan, sangat mudah diramalkan bagaimana kesudahannya. Dan seperti “diramalkan” Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam, Zaid bin Haritsah gugur dengan luka-luka yang tidak bisa dibayangkan bagaimana parahnya, jauh lebih parah daripada luka-lukanya sepulang dari Thaif. Namun demikian tampak sesungging senyum di bibirnya, karena sesungguhnya-lah ia tak sempat melihat dan mengamati medan pertempuran. Kebun-kebun surga dan bidadari-bidadari yang jelita seolah menyerunya untuk segera datang, sehingga apapun dan siapapun yang menghalangi jalannya, ditebasnya habis dengan pedang dan tombaknya. Dan ia benar-benar telah merasa gembira dan ridha ketika tubuhnya roboh tak bergerak karena luka-luka yang dialaminya, sementara ruh-nya terbang tinggi memenuhi panggilan kasih sayang Ilahi. “Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji-‘ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fadhkhuuli fii ‘ibaadii, wadhkhuulii jannatii….!!”

     
  • erva kurniawan 1:33 am on 19 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu (2) 

    Biografi Kehidupan Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu (2)

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Sebagian Kisah Pancaran Akhlak Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu

    Salah satu bentuk didikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang jelas-jelas mencerminkan kepribadian beliau pada diri Ali adalah kesederhanaan (zuhud)-nya. Beberapa orang sahabat sering melihat Ali bin Abi Thalib menangis pada malam-malamnya, sambil berbicara sendiri, “Wahai dunia, apakah engkau hendak menipuku? Apakah kamu mengawasiku? Jauh sekali…jauh sekali… Godalah orang selain aku, sesungguhnya aku telah menceraikanmu dengan thalak tiga. Umurmu pendek, majelis-majelismu sangat hina, kemuliaan dan kedudukanmu sangat sedikit dan tidak berarti (akan habis). Alangkah sengsaranya aku, bekalku sedikit sedangkan perjalanan sangat jauh dan jalannya sangat berbahaya.”

    Itulah prinsip-prinsip mendasar dari akhlak Ali bin Abi Thalib, yang secara umum mewarnai jalan kehidupannya, termasuk ketika ia menjabat sebagai khalifah.

    Bekerja pada Orang Yahudi

    Suatu ketika Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengunjungi kedua cucunya, Hasan dan Husain, tetapi di sana beliau hanya menjumpai putrinya, Fathimah. Ketika beliau bertanya tentang keberadaan kedua cucunya, Fathimah berkata kalau keduanya sedang mengikuti ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang sedang bekerja menimba air pada orang Yahudi karena pada hari itu memang tidak ada persediaan makanan bagi mereka sekeluarga.

    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menjumpai Ali di kebun orang Yahudi itu, ia menimba air untuk menyiram tanaman di kebun tersebut dengan upah satu butir kurma untuk satu timba air. Hasan dan Husain sendiri sedang bermain-main di suatu ruang sementara tangannya sedang menggenggam sisa-sisa kurma. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apa tidak sebaiknya engkau bawa pulang anak-anakmu sebelum terik matahari akan menyengat mereka?”

    Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, pagi ini kami tidak memiliki sesuatu pun untuk dimakan, karena itu biarkanlah kami disini hingga bisa mengumpulkan lebih banyak kurma untuk Fathimah.”

    Rasulullah Shallallahu  ‘Alaihi Wassalam akhirnya ikut menimba air bersama Ali, hingga terkumpul beberapa butir kurma untuk bisa dibawa pulang.

    Pengadilan Atas Kepemilikan Baju Besi

    Ketika menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib telah kehilangan baju besinya pada perang Jamal. Suatu ketika ia berjalan-jalan di pasar, ia melihat baju besinya ada pada seorang lelaki Yahudi. Ali menuntut haknya atas baju besi itu dengan menunjukkan ciri-cirinya, tetapi si Yahudi bertahan bahwa itu miliknya.

    Ali mengajak si Yahudi menemui kadhi (hakim) untuk memperoleh keputusan yang adil. Yang menjadi kadhi adalah Shuraih, seorang muslim. Ali menyampaikan kepada kadhi tuntutan kepemilikannya atas baju besi yang sedang dibawa oleh si Yahudi. Ia menunjukkan ciri-cirinya, dan membawa dua orang saksi, Hasan putranya sendiri dan hambanya yang bernama Qanbar.

    Mendengar penuturan Ali, yang tak lain adalah Amirul Mukminin yang menjadi ‘Presiden’ kaum muslimin saat itu, Shuraih berkata dengan tegas, “Gantikan Hasan dengan orang lain sebagai saksi, dan kesaksian Qanbar saja tidak cukup!”

    “Apakah engkau menolak kesaksian Hasan?” Tanya Ali kepada Shuraih, “Padahal Rasulullah pernah bersabda Hasan dan Husain adalah penghulu pemuda di surga?”

    “Bukan begitu Ali,” Kata Shuraih, ia sengaja tidak menyebut Amirul Mukminin, karena begitulah kedudukannya di depan hukum, ia meneruskan, “Engkau sendiri pernah berkata bahwa tidak sah kesaksian anak untuk bapaknya.”

    Karena Ali tidak bisa menunjukkan saksi lain yang menguatkan kepemilikannya atas baju besi itu, Shuraih memutuskan baju besi itu milik si Yahudi, dan Ali menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.

    Si Yahudi begitu takjub dengan peristiwa ini. Ia-pun mengakui kalau baju itu ditemukannya di tengah jalan, mungkin terjatuh dari unta milik Ali. Ia langsung mengucapkan syahadat, menyatakan dirinya masuk Islam, dan mengembalikan baju besinya kepada Ali. Tetapi karena keislamannya ini, justru Ali menghadiahkan baju besi tersebut kepadanya, dan menambahkan beberapa ratus uang dirham. Lelaki ini selalu menyertai Ali sehingga ia terbunuh syahid dalam perang Shiffin.

    Menjadi Khalifah

    Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika dia masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut. Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.

    Pembunuhan Ali di Kufah

    Pada tanggal 19 Ramadan 40 Hijriyah, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh. Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tersebut, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak). Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah) pada usia 59 tahun.

    Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali.

     
  • erva kurniawan 1:26 am on 18 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu (1) 

    Biografi Kehidupan Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu (1)

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Tumbuh dalam Didikan Kenabian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Ali bin Abi Thalib masih sepupu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, putra dari Abi Thalib bin Abdul Muthalib, paman yang mengasuh beliau sejak usia delapan tahun. Pamannya ini bersama Khadijah, istri beliau menjadi pembela utama beliau untuk mendakwahkan Islam selama tinggal di Makkah, walau Abi Thalib sendiri meninggal dalam kekafiran.

    Ali bin Abi Thalib lahir sepuluh tahun sebelum kenabian, tetapi telah diasuh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam sejak usia 6 tahun.

    Sebagian riwayat menyebutkan ia orang ke dua yang memeluk Islam, yakni setelah Khadijah, riwayat lainnya menyebutkan ia orang ke tiga, setelah Khadijah dan putra angkat beliau Zaid bin Haritsah. Bisa dikatakan ia tumbuh dan dewasa dalam didikan akhlakul karimah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan bimbingan wahyu. Maka tidak heran watak dan karakter Ali bin Abi Thalib mirip dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Dan secara keilmuan, ia mengalahkan sebagian besar sahabat lainnya, sehingga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bersabda, “Ana madinatul ilmu, wa Ali baabuuha…”(Saya kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya).

    Apalagi, ia kemudian dinikahkan dengan putri kesayangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam , Fathimah az Zahra, sehingga bimbingan pembentukan kepribadian Ali bin Abi Thalib oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam terus berlanjut hingga kewafatan beliau.

    Jiwa Perjuangan dan Kepahlawanan Ali bin Abi Thalib

    Salah satu yang terkenal dari Ali bin Abi Thalib adalah sifat ksatria dan kepahlawanannya. Bersama pedang kesayangannya yang diberi nama Dzul Fiqar, sebagian riwayat menyatakan pedangnya tersebut mempunyai dua ujung lancip, ia menerjuni hampir semua medan jihad tanpa sedikitpun rasa khawatir dan takut. Walau secara penampilan fisiknya Ali tidaklah kekar dan perkasa seperti Umar bin Khattab misalnya, tetapi dalam setiap duel dan pertempuran dengan pedangnya itu ia hampir selalu memperoleh kemenangan. Tidak berarti bahwa ia tidak pernah terluka dan terkena senjata musuh, hanya saja luka-luka yang dialaminya tidak pernah menyurutkan semangatnya.

    Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam seolah mengokohkan kepahlawanannya dengan sabda beliau, “Tiada pedang (yang benar-benar hebat) selain pedang Dzul Fiqar, dan tiada pemuda (yang benar-benar ksatria dan gagah berani) selain Ali bin Abi Thalib…” (Laa fatan illaa aliyyun).

    Ali bin Abi Thalib tidak pernah ketinggalan berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menerjuni medan pertempuran. Ketika perang Badar akan dimulai, tiga penunggang kuda handal dari kaum musyrik Quraisy maju menantang duel. Mereka dari satu keluarga, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rab’iah dan Walid bin Utbah. Tampillah tiga pemuda Anshar menyambut tantangan mereka, Auf bin Harits al Afra, Muawwidz bin Harits al Afra dan Abdullah bin Rawahah. Tetapi tokoh Quraisy ini menolak ketiganya, dan meminta orang terpandang dari golongan Quraisy juga. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Ali menghadapi Walid, sebagian riwayat menyatakan ia menghadapi Syaibah. Ini adalah pertempuran pertamanya, tetapi dengan mudah Ali mengalahkan lawannya, yang jauh lebih terlatih dan berpengalaman.

    Pada perang Uhud, ketika pemegang panji Islam, Mush’ab bin Umair menemui syahidnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam memerintahkan Ali menggantikan kedudukannya. Tangan kiri memegang panji, tangan kanan mengerakkan pedang Dzul Fiqarnya, menghadapi serangan demi serangan yang datang. Tiba-tiba terdengar tantangan duel dari pemegang panji pasukan musyrik, yakni pahlawan Quraisy Sa’ad bin Abi Thalhah. Karena masing-masing sibuk menghadapi lawannya, tantangan tersebut tidak ada yang menanggapi, ia pun makin sesumbar, dan Ali tidak dapat menahan dirinya lagi. Setelah mematahkan serangan lawannya, ia meloncat menghadapi orang yang sombong tersebut, ia berkata, “Akulah yang akan menghadapimu, wahai Sa’ad bin Abi Thalhah. Majulah wahai musuh Allah…!!”

    Merekapun terlibat saling serang dengan pedangnya, di sela-sela dua pasukan yang bertempur rapat. Pada suatu kesempatan, Ali berhasil menebas kaki lawannya hingga jatuh tersungkur. Ketika akan memberikan pukulan terakhir untuk membunuhnya, Sa’ad membuka auratnya dan Ali-pun berpaling dan berlalu pergi, tidak jadi membunuhnya. Ketika seorang sahabat menanyakan alasan mengapa tidak membunuhnya, ia berkata, “Ia memperlihatkan auratnya, sehingga saya malu dan kasihan kepadanya…”

    Pada perang Khandaq, sekelompok kecil pasukan musyrik Quraisy berhasil menyeberangi parit, mereka ini antara lain, Amr bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahl dan Dhirar bin Khaththab. Segera saja Ali bin Abi Thalib dan sekelompok sahabat yang berjaga pada sisi tersebut mengepung mereka. Amr bin Abdi Wudd adalah jagoan Quraisy yang jarang memperoleh tandingan. Siapapun yang melawannya kebanyakan akan kalah. Ia melontarkan tantangan duel, dan segera saja Ali bin Abi Thalib menghadapinya. Amr bin Wudd sempat meremehkan Ali karena secara fisik memang ia jauh lebih besar dan gagah. Setelah turun dari kudanya, ia menunjukkan kekuatannya, ia menampar kudanya hingga roboh. Namun semua itu tidak membuat Ali gentar, bahkan dengan mudah Ali merobohkan dan membunuhnya. Melihat keadaan itu, anggota pasukan musyrik lainnya lari terbirit-birit sampai masuk parit untuk menyelamatkan diri.

    Menjelang perang Khaibar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda sambil memegang bendera komando (panji peperangan), “Sesungguhnya besok aku akan memberikan bendera ini pada seseorang, yang Allah akan memberikan kemenangan dengan tangannya. Ia sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya”

    Esoknya para sahabat berkumpul di sekitar Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan sangat berharap dialah yang akan ditunjuk Beliau untuk memegang bendera tersebut. Alasannya jelas, ‘Sangat Mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya’, derajad apalagi yang lebih tinggi daripada itu, dan itu diucapkan sendirioleh beliau. Pandangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam berkeliling untuk mencari seseorang, para sahabat mencoba menunjukkan diri dengan harapan akan ditunjuk beliau. Tetapi beliau tidak menemukan yang dicari, maka beliau bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”

    Seorang sahabat menjelaskan kalau Ali sedang mengeluhkan matanya yang sakit. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyuruh seseorang untuk menjemputnya, dan ketika Ali telah sampai di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau mengusap mata Ali dengan ludah beliau dan mendoakan, seketika sembuh. Sejak saat itu Ali tidak pernah sakit mata lagi. Beliau menyerahkan panji peperangan kepada Ali. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita!!”

    “Janganlah terburu-buru,” Kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, “Turunlah kepada mereka, serulah mereka kepada Islam. Demi Allah, lebih baik Allah memberi hidayah mereka melalui dirimu, daripada ghanimah berupa himar yang paling elok sekalipun!!”

    Sebagian riwayat menyebutkan, pemilihan Ali sebagai pemegang komando atau panji, setelah dua hari sebelumnya pasukan muslim gagal merebut atau membobol benteng Na’im, benteng terluar dari Khaibar. Khaibar sendiri memiliki delapan lapis benteng pertahanan yang besar, dan beberapa benteng kecil lainnya.

    Ketika perisainya pecah pada peperangan ini, Ali menjebol pintu kota Khaibar untuk menahan serangan panah yang bertubi-tubi, sekaligus menjadikannya sebagai tameng untuk terus menyerang musuh. Usai perang, Abu Rafi dan tujuh orang lainnya mencoba membalik pintu tersebut tetapi mereka tidak kuat. Dalam peperangan ini benteng Khaibar dapat ditaklukkan dan orang-orang Yahudi yang berniat menghabisi Islam justru terusir dari jazirah Arabia.

    Begitulah, hampir tidak ada peperangan yang tidak diterjuninya, dan Ali bin Abi Thalib selalu menunjukkan kepahlawanan dan kekesatriaannya, sekaligus kualitas akhlaknya sebagai didikan wahyu, didikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

     
  • erva kurniawan 1:15 am on 17 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu 

    Biografi Kehidupan Utsman Bin Affan Radhiyallahu Anhu

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Utsman bin Affan, adalah sahabat Nabi Muhammad yang termasuk Khulafaur Rasyidin  (khalifah rasyid) yang ke-3. beliau dijuluki dzu nurain, yang berarti pemiliki dua cahaya, Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Beliau juga dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal dan sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam.

    Nasab

    Beliau adalah Utsman bin Affan bin Abi al-Ash bin Umayyah bin Abdu asy-Syam bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwai bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan (ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 53).

    Amirul mukminin, dzu nurain, telah berhijrah dua kali, dan suami dari dua orang putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabiah bin Hubaib bin Abdu asy-Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim, Bidha binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah. Dari sisi nasab, orang Quraisy satu ini memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain sebagai keponakan Rasulullah, Utsman juga menjadi menantu Rasulullah dengan menikahi dua orang putrinya.

    Utsman bin Affan termasuk di antara sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga, beliau juga menjadi enam orang anggota syura, dan salah seorang khalifah al-mahdiyin, yang diperintahkan untuk mengikuti sunahnya.

    Sifat

    Utsman bin Affan adalah sahabat nabi yang memiliki sifat yang sangat pemalu, seperti dalam hadis berikut ini:

    “Orang yang paling penyayang di antara umatku adalah Abu Bakar, yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar, yang paling pemalu adalah Utsman, yang paling mengetahui tentang halal dan haram adalah Muadz bin Jabal, yang paling hafal tentang Alquran adalah Ubay (bin Ka’ab), dan yang paling mengetahui ilmu waris adalah Zaid bin Tsabit. Setiap umat mempunyai seorang yang terpercaya, dan orang yang terpercaya di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3:184)

    Utsman adalah seorang yang rupawan, lembut, mempunyai janggut yang lebat, berperawakan sedang, mempunyai tulang persendirian yang besar, berbahu bidang, rambutnya lebat, dan bentuk mulutnya bagus.

    Az-Zuhri mengatakan, “Beliau berwajah rupawan, bentuk mulut bagus, berbahu bidang, berdahi lebar, dan mempunyai telapak kaki yang lebar.”

    Sejarah

    Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Ia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan As-Sabiqun al-Awwalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam).  Rasulullah sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah, ‘Abu Bakar masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?’ Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?”

    Ikut hijrah

    Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ke Habbasyiah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Tak lama tinggal di Mekah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwa Hudaibiyah, Utsman dikirim oleh Rasullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam untuk menemui Abu Sofyan di Mekkah. Utsman diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.

    Dermawan

    Pada saat Perang Dzatirriqa dan Perang Ghatfahan berkecamuk, dimana Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang lelaki suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.

    Terpilih Menjadi khalifah ketiga

    Setelah wafatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilih khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdul Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selanjutnya Abdul Rahman bin Auff, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah  mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.

    Peran setelah terpilih menjadi khalifah ketiga

    Utsman bin Affan adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). Ia mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.

    Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah.

    Wafat

    Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah.

    Khalifah Utsman dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak (Ghafiki dan Sudan), yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah perihal kematian Utsman yang syahid nantinya, peristiwa pembunuhan usman berawal dari pengepungan rumah Utsman oleh para pemberontak selama 40 hari. Utsman wafat pada hari Jumat 18 Dzulhijjah 35 H. Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.

    ***

    Disebutkan sebuah riwayat yang shahih dari Abu Bakar ash-Shiddiq   bahwa beliau mendikte ‘Utsman   untuk menuliskan wasiatnya ketika akan meninggal dunia. Ketika sampai pada masalah tentang kekhalifahan, Abu Bakar   jatuh pingsan. Maka, ‘Utsman   menuliskan nama ‘Umar  . Ketika Abu Bakar siuman, ia berkata, “Nama siapa yang ditulis?”, ‘Utsman menjawab, “‘Umar.”. Abu Bakar berkata, “Seandainya kamu menulis namamu sendiri, maka sebenar-nya kamu layak untuk menjabatnya.”.

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 16 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Umar Bin Khatab Radhiyallahu Anhu 

    Biografi Kehidupan Umar Bin Khatab Radhiyallahu Anhu

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    “Ya Allah…buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab.” Salah satu dari doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan Islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.

    Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan.

    Beliau dibesarkan di dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar As Siddiq.

    Nasabnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab binLu’ay bin Ghalib.

    Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam pada kakeknya Ka’ab. Antara beliau dengan Nabi selisih 8 kakek. lbu beliau bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumiyah. Rasulullah memberi beliau “kun-yah” Abu Hafsh (bapak Hafsh) karena Hafshah adalah anaknya yang paling tua; dan memberi “laqab” (julukan) al Faruq.

    Umar bin Khattab masuk Islam

    Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai seorang yang keras permusuhannya dengan kaum Muslimin, bertaklid kepada ajaran nenek moyangnya, dan melakukan perbuatan-perbuatan jelek yang umumnya dilakukan kaum jahiliyah, namun tetap bisa menjaga harga diri. Beliau masuk Islam pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 kenabian, tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam.

    Ringkas cerita, pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi. Waktu itu Nabi membaca surat al-Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- “Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy.” Kemudian beliau mendengar Rasulullah membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur’an bukan syair), lantas beliau berkata, “Kalau begitu berarti dia itu dukun.” Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, “Telah terbetik lslam di dalam hatiku.” Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.

    Kemudian pada suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Nabi. Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu`aim bin Abdullah al ‘Adawi, seorang laki-laki dari Bani Zuhrah. Lekaki itu berkata kepada Umar bin Khattab, “Mau kemana wahai Umar?” Umar bin Khattab menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana kamu akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah meninggalkan agama yang kamu yakini.”

    Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang sedang belajar Al Qur’an, surat Thaha kepada Khabab bin al Arat. Tatkala mendengar Umar bin Khattab datang, maka Khabab bersembunyi. Umar bin Khattab masuk rumahnya dan menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan Umar bin Khattab dan suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” Umar bin Khattab menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.”

    Iparnya menjawab, “Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?”

    Mendengar ungkapan tersebut Umar bin Khattab memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, Umar bin Khattab berputus asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya.

    Umar bin Khattab berkata, ‘Berikan kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.’ Maka adik perempuannya berkata,” Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih dahulu!” lantas Umar bin Khattab mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik perempuannya. Ketika dia membaca surat Thaha, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta ditunjukkan keberadaan Rasulullah.

    Tatkala Khabab mendengar perkataan Umar bin Khattab, dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, ‘Ya Allah, muliakan Islam. Dengan Umar bin Khatthab atau Abu Jahl (Amru) bin Hisyam.’ Waktu itu, Rasulullah berada di sebuah rumah di daerah Shafa.” Umar bin Khattab mengambil pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang melihat Umar bin Khattab datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya, dikabarkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Muthalib bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, ‘Umar (datang)!” Hamzah bin Abdul Muthalib berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya, tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.” Kemudian Nabi menemui Umar bin Khattab dan berkata kepadanya. “… Ya Allah, ini adalah Umar bin Khattab. Ya Allah, muliakan Islam dengan Umar bin Khattab.” Dan dalam riwayat lain: “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.”

    Seketika itu pula Umar bin Khattab bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullah bin Mas’ud berkomentar, “Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak Umar bin Khattab masuk Islam.

    Kepemimpinan Umar bin Khattab

    Keislaman beliau telah memberikan andil besar bagi perkembangan dan kejayaan Islam. Beliau adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikan urusan kaum muslimin. Pemimpin yang menegakkan ketauhidan dan keimanan, merobohkan kesyirikan dan kekufuran, menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Beliau adalah orang yang paling baik dan paling berilmu tentang al-Kitab dan as-Sunnah setelah Abu Bakar As Siddiq.

    Kepemimpinan Umar bin Khattab tak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

    Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.

    Penyerangan Islam terhadap Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab di tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

    Selain pemberani, Umar bin Khattab juga seorang yang cerdas. Dalam masalah ilmu diriwayatkan oleh Al Hakim dan Thabrani dari Ibnu Mas’ud berkata, ”Seandainya ilmu Umar bin Khattab diletakkan pada tepi timbangan yang satu dan ilmu seluruh penghuni bumi diletakkan pada tepi timbangan yang lain, niscaya ilmu Umar bin Khattab lebih berat dibandingkan ilmu mereka. Mayoritas sahabatpun berpendapat bahwa Umar bin Khattab menguasai 9 dari 10 ilmu. Dengan kecerdasannya beliau menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al Qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum “khamr” (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya.

    Namun dengan begitu beliau tidaklah menjadi congkak dan tinggi hati. Justru beliau seorang pemimpin yang zuhud lagi wara’. Beliau berusaha untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhan rakyatnya.

    Dalam satu riwayat Qatadah berkata, ”Pada suatu hari Umar bin Khattab memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang sebagiannya dipenuhi dengan tambalan dari kulit, padahal waktu itu beliau adalah seorang khalifah, sambil memikul jagung ia lantas berjalan mendatangi pasar untuk menjamu orang-orang.” Abdullah, puteranya berkata, ”Umar bin Khattab berkata, ”Seandainya ada anak kambing yang mati di tepian sungai Eufrat, maka Umar merasa takut diminta pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wata’ala.”

    Beliaulah yang lebih dahulu lapar dan yang paling terakhir kenyang. Beliau berjanji tidak akan makan minyak samin dan daging hingga seluruh kaum muslimin kenyang memakannya…

    Tidak diragukan lagi, khalifah Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang arif, bijaksana dan adil dalam mengendalikan roda pemerintahan. Bahkan ia rela keluarganya hidup dalam serba kekurangan demi menjaga kepercayaan masyarakat kepadanya tentang pengelolaan kekayaan negara. Bahkan Umar bin Khattab sering terlambat salat Jum’at hanya menunggu bajunya kering, karena dia hanya mempunyai dua baju.

    Kebijaksanaan dan keadilan Umar bin Khattab ini dilandasi oleh kekuatirannya terhadap rasa tanggung jawabnya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Sehingga jauh-jauh hari Umar bin Khattab sudah mempersiapkan penggantinya jika kelak dia wafat. Sebelum wafat, Umar berwasiat agar urusan khilafah dan pimpinan pemerintahan, dimusyawarahkan oleh enam orang yang telah mendapat ridha Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.  Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidilah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.

    Umar menolak menetapkan salah seorang dari mereka, dengan berkata, aku tidak mau bertanggung jawab selagi hidup sesudah mati. Kalau AIlah menghendaki kebaikan bagi kalian, maka Allah akan melahirkannya atas kebaikan mereka (keenam orang itu) sebagaimana telah ditimbulkan kebaikan bagi kamu oleh Nabimu.

    Wafatnya Umar bin Khattab

    Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Kattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dan Abu Bakar as Siddiq. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.

     
  • erva kurniawan 1:06 am on 15 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (3) 

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (3)

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Keutamaan

    Tidak ada lelaki yang memiliki keutamaan sebanyak keutamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah salah seorang mufti di masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam

    Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menugasi beliau sebagai Amirul Hajj pada haji sebelum haji Wada’. Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

    “Abu Bakar Ash Shiddiq mengutusku untuk dalam sebuah ibadah haji yang terjadi sebelum haji Wada’, dimana beliau ditugaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menjadi Amirul Hajj. Ia mengutusku untuk mengumumkan kepada sekelompok orang di hari raya idul adha bahwa tidak boleh berhaji setelah tahunnya orang musyrik dan tidak boleh ber-thawaf di ka’bah dengan telanjang”

    Abu Bakar juga sebagai pemegang bendera Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Tabuk.

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq menginfaqkan seluruh hartanya ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan sedekah

    Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah, maka kami pun melaksanakannya. Umar berkata: ‘Semoga hari ini aku bisa mengalahkan Abu Bakar’. Aku pun membawa setengah dari seluruh hartaku. Sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya: ‘Wahai Umar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Kujawab: ‘Semisal dengan ini’. Lalu Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang kau sisakan untuk keluargamu?’. Abu Bakar menjawab: ‘Ku tinggalkan bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya’. Umar berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selamanya’” (HR. Tirmidzi)

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang paling dicintai Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

    ‘Amr bin Al Ash Radhiallahu’anhu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alahi Wasallam:

    “Siapa orang yang kau cintai?. Rasulullah menjawab: ‘Aisyah’. Aku bertanya lagi: ‘Kalau laki-laki?’. Beliau menjawab: ‘Ayahnya Aisyah’ (yaitu Abu Bakar)” (HR. Muslim)

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalil bagi Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

    Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu’anhu, ia berkata:

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia, beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala memilih hamba di antara dunia dan apa yang ada di dalamnya. Namun hamba tersebut hanya dapat memilih apa yang Allah tentukan’. Lalu Abu Bakar menangis. Kami pun heran dengan tangisan beliau itu, hanya karena Rasulullah mengabarkan tentang hamba pilihan. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lah orangnya, dan Abu Bakar lebih paham dari kami. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    ‘Sesungguhnya orang yang sangat besar jasanya padaku dalam kedekatan dan kerelaan mengeluarkan harta, ialah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat seorang kekasihku selain Rabbku pastilah aku akan memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya. Maka jangan ditinggalkan pintu kecil di masjid selain pintu Abu Bakar saja’”

    1. Allah Ta’ala mensucikan Abu Bakar Ash Shiddiq

    Allah Ta’ala berfirman:

    “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)

    Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Selain itu beliau juga termasuk as sabiquunal awwalun, dan Allah Ta’ala berfirman:

    “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)

    1. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberi tazkiyah kepada Abu Bakar

    Ketika Abu Bakar bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

    “Barangsiapa yang membiarkan kainnya terjulur karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot kecuali jika aku ikat dengan baik. Rasulullah lalu berkata: ‘Engkau tidak melakukannya karena sombong”” (HR. Bukhari dalam Fadhail Abu Bakar Radhiallahu’anhu)

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq didoakan oleh Nabi untuk memasuki semua pintu surga

    “Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: “Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah” (HR. Al Bukhari – Muslim)

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq melakukan banyak perbuatan agung dalam sehari

    Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    “Siapa yang hari ini berpuasa? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

    “Siapa yang hari ini ikut mengantar jenazah? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

    “Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

    “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit? Abu Bakar menjawab: ‘Saya’”

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Tidaklah semua ini dilakukan oleh seseorang kecuali dia akan masuk surga’”

    1. Orang musyrik mensifati Abu Bakar Ash Shiddiq sebagaimana Khadijah mensifati Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

    Mereka berkata tentang Abu Bakar:

    “Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?” (HR. Bukhari)

    1. Ali Radhiallahu’anhu mengenal keutamaan Abu Bakar Ash Shiddiq

    Muhammad bin Al Hanafiyyah berkata, aku bertanya kepada ayahku, yaitu Ali bin Abi Thalib:

    “Manusia mana yang terbaik sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Ali menjawab: Abu Bakar. Aku berkata: ‘Kemudian siapa lagi?’. Ali berkata: ‘Lalu Umar’. Aku lalu khawatir yang selanjutnya adalah Utsman, maka aku berkata: ‘Selanjutnya engkau?’. Ali berkata: ‘Aku ini hanyalah orang muslim biasa’” (HR. Bukhari)

     

     
  • erva kurniawan 1:04 am on 14 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (2) 

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (2)

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Keutamaan

    Tidak ada lelaki yang memiliki keutamaan sebanyak keutamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dari golongan umat beliau.

    Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu berkata:

    “Kami pernah memilih orang terbaik di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami pun memilih Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, lalu ‘Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu” (HR. Bukhari)

    Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata:

    “Aku pernah duduk di sebelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba datanglah Abu Bakar menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sambil menjinjing ujung pakaiannya hingga terlihat lututnya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Sesungguhnya teman kalian ini sedang gundah‘. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, antara aku dan Ibnul Khattab terjadi perselisihan, aku pun segera mendatanginya untuk meminta maaf, kumohon padanya agar memaafkan aku namun dia enggan memaafkanku, karena itu aku datang menghadapmu sekarang’. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu berkata: ‘“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar‘. Sebanyak tiga kali, tak lama setelah itu Umar menyesal atas perbuatannya, dan mendatangi rumah Abu Bakar sambil bertanya, “Apakah di dalam ada Abu Bakar?” Namun keluarganya menjawab, tidak. Umar segera mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sementara wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terlihat memerah karena marah, hingga Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar dan memohon sambil duduk di atas kedua lututnya, “Wahai Rasulullah Demi Allah sebenarnya akulah yang bersalah”, sebanyak dua kali. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ketika aku diutus Allah kepada kalian, ketika itu kalian mengatakan, ”Engkau pendusta wahai Muhammad”, Sementara Abu Bakar berkata, ”Engkau benar wahai Muhammad”. Setelah itu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Lalu apakah kalian tidak jera menyakiti sahabatku?‘ sebanyak dua kali. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti” (HR. Bukhari)

    Beliau juga orang yang paling pertama beriman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan membenarkan perkataannya. Hal ini terus berlanjut selama Rasulullah tinggal di Mekkah, walaupun banyak gangguan yang datang. Abu Bakar juga menemani Rasulullah ketika hijrah.

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah orang yang menemani Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam di gua ketika dikejar kaum Quraisy

    Allah Ta’ala berfirman,

    “Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS. At Taubah: 40)

    As Suhaili berkata: “Perhatikanlah baik-baik di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam  berkata ‘janganlah kamu bersedih’ namun tidak berkata ‘janganlah kamu takut’ karena ketika itu rasa sedih Abu Bakar terhadap keselamatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sangat mendalam sampai-sampai rasa takutnya terkalahkan.”

    Dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, Abu Bakar berkata kepadanya:

    “Ketika berada di dalam gua, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada dekat dengan kepala kami. Aku pun berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kalau di antara mereka ada yang melihat kakinya, mereka akan melihat kita di bawah kaki mereka’. Rasulullah berkata: ‘Wahai Abu Bakar, engkau tidak tahu bahwa bersama kita berdua yang ketiga adalah Allah’”

    Ketika hendak memasuki gua pun, Abu Bakar masuk terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada hal yang dapat membahayakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Juga ketika dalam perjalanan hijrah, Abu Bakar terkadang berjalan di depan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, terkadang di belakangnya, terkadang di kanannya, terkadang di kirinya.

    Oleh karena itu ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu ada sebagian orang yang menganggap Umar lebih utama dari Abu Bakar, maka Umar Radhiallahu’anhu pun berkata:

    “Demi Allah,  satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar, satu harinya Abu Bakar masih lebih baik dari seharinya keluarga Umar. Abu Bakar bersama Rasulullah pergi ke dalam gua. Ketika berjalan, dia terkadang berada di depan Rasulullah dan terkadang di belakangnya. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam heran dan berkata: ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau berjalan terkadang di depan dan terkadang di belakang?’. Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, ketika saya sadar kita sedang dikejar, saya berjalan di belakang. Ketika saya sadar bahwa kita sedang mengintai, maka saya berjalan di depan’. Rasulullah lalu berkata: ‘Wahai Abu Bakar, kalau ada sesuatu yang aku suka engkau saja yang melakukannya tanpa aku?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, tidak ada yang lebih tepat melainkan hal itu aku saja yang melakukan tanpa dirimu’. Ketika mereka berdua sampai di gua, Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah aku akan berada di tempatmu sampai memasuki gua. Kemudian mereka masuk, Abu Bakar berkata: Turunlah wahai Rasulullah. Kemudian mereka turun. Umar berkata: ‘Demi Allah, satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar’‘” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah)

    1. Ketika kaum muslimin hendak berhijrah, Abu Bakar Ash Shiddiq menyumbangkan seluruh hartanya. (Dalilnya disebutkan pada poin 8, pent.)
    2. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama

    Dan kita diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk meneladani khulafa ar rasyidin, sebagaimana sabda beliau:

    “Hendaknya kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin setelahku. Gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Ahmad, At Tirmidzi dan lainnya. Hadits ini shahih dengan seluruh jalannya)

    1. Abu Bakar Ash Shiddiq dipilih sebagai khalifah berdasarkan nash

    Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit keras, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Dalam Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata:

    “Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’”

    Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

    “Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?”

    Juga diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:

    “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepadaku ketika beliau sakit, panggilah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata: ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mu’minin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah). Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: ‘Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang’” (HR. Bukhari-Muslim)

    1. Umat Muhammad diperintahkan untuk meneladani Abu Bakar Ash Shiddiq

    Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

    “Ikutilah jalan orang-orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Maajah, hadits ini shahih)

     
  • erva kurniawan 1:02 am on 13 December 2019 Permalink | Balas  

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (1) 

    Biografi Kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu (1)

    Penulis: Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim hafizhahullah

    Nama

    Nama beliau -menurut pendapat yang shahih- adalah Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taiym bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay Al Qurasyi At Taimi.

    Kun-yah

    Beliau memiliki kun-yah: Abu Bakar

    Laqb (Julukan)

    Beliau dijuluki dengan ‘Atiq (عتيق) dan Ash Shiddiq (الصدِّيق).

    Sebagian ulama berpendapat bahwa alasan beliau dijuluki ‘Atiq karena beliau tampan. Sebagian mengatakan karena beliau berwajah cerah. Pendapat lain mengatakan karena beliau selalu terdepan dalam kebaikan. Sebagian juga mengatakan bahwa ibu beliau awalnya tidak kunjung hamil, ketika ia hamil maka ibunya berdoa,

    “Ya Allah, jika anak ini engkau bebaskan dari maut, maka hadiahkanlah kepadaku”

    Dan ada beberapa pendapat lain.

    Sedangkan julukan Ash Shiddiq didapatkan karena beliau membenarkan kabar dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan kepercayaan yang sangat tinggi. Sebagaimana ketika pagi hari setelah malam Isra Mi’raj, orang-orang kafir berkata kepadanya: ‘Teman kamu itu (Muhammad) mengaku-ngaku telah pergi ke Baitul Maqdis dalam semalam’. Beliau menjawab:

    “Jika ia berkata demikian, maka itu benar”

    Allah Ta’ala pun menyebut beliau sebagai Ash Shiddiq:

    “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan yang membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Az Zumar: 33)

    Tafsiran para ulama tentang ayat ini, yang dimaksud ‘orang yang datang membawa kebenaran’ (جَاء بِالصِّدْقِ) adalah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan yang dimaksud ‘orang yang membenarkannya’ (صَدَّقَ بِهِ) adalah Abu Bakar Radhiallahu’anhu.

    Beliau juga dijuluki Ash Shiddiq karena beliau adalah lelaki pertama yang membenarkan dan beriman kepada Nabi Muhammad  Shallallahu’alaihi Wasallam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah menamai beliau dengan Ash Shiddiq sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:

    “Dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Gunung Uhud pun berguncang. Nabi lalu bersabda: ‘Diamlah Uhud, di atasmu ada Nabi, Ash Shiddiq (yaitu Abu Bakr) dan dua orang Syuhada’ (‘Umar dan ‘Utsman)”

    Kelahiran

    Beliau dilahirkan 2 tahun 6 bulan setelah tahun gajah.

    Ciri Fisik

    Beliau berkulit putih, bertubuh kurus, berambut lebat, tampak kurus wajahnya, dahinya muncul, dan ia sering memakai hinaa dan katm.

    Jasa-jasa

    Jasanya yang paling besar adalah masuknya ia ke dalam Islam paling pertama.

    Hijrahnya beliau bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

    Ketegaran beliau ketika hari wafatnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

    Sebelum terjadi hijrah, beliau telah membebaskan 70 orang yang disiksa orang kafir karena alasan bertauhid kepada Allah. Di antara mereka adalah Bilal bin Rabbaah, ‘Amir bin Fahirah, Zunairah, Al Hindiyyah dan anaknya, budaknya Bani Mu’ammal, Ummu ‘Ubais

    Salah satu jasanya yang terbesar ialah ketika menjadi khalifah beliau memerangi orang-orang murtad

    Abu Bakar adalah lelaki yang lemah lembut, namun dalam hal memerangi orang yang murtad, beliau memiliki pendirian yang kokoh. Bahkan lebih tegas dan keras daripada Umar bin Khattab yang terkenal akan keras dan tegasnya beliau dalam pembelaan terhadap Allah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

    “Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”

    Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:

    “Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Qur’an)”

    Abu Bakar pun memerangi orang-orang yang murtad dan orang-orang yang enggan membayar zakat ketika itu

    Musailamah Al Kadzab dibunuh di masa pemerintahan beliau

    Beliau mengerahkan pasukan untuk menaklukan Syam, sebagaimana keinginan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan akhirnya Syam pun di taklukan, demikian juga Iraq.

    Di masa pemerintahan beliau, Al Qur’an dikumpulkan. Beliau memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkannya.

    Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:

    “Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya)

    Ketika masa pemerintahan beliau, terjadi peperangan. Beliau pun bertekad untuk pergi sendiri memimpin perang, namun Ali bin Abi Thalib memegang tali kekangnya dan berkata: ‘Mau kemana engkau wahai khalifah? Akan kukatakan kepadamu perkataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika perang Uhud:

    ‘Simpanlah pedangmu dan janganlah bersedih atas keadaan kami. Kembalilah ke Madinah. Demi Allah, jika keadaan kami membuatmu sedih Islam tidak akan tegak selamanya‘. Lalu Abu Bakar Radhiallahu’anhu pun kembali dan mengutus pasukan.

    Beliau juga sangat mengetahui nasab-nasab bangsa Arab.

     
  • erva kurniawan 10:07 am on 25 July 2019 Permalink | Balas  

    Halal Buat Kami, Haram Buat Tuan 

    HALAL BUAT KAMI, HARAM BUAT TUAN

    ulama Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al Hanzhali al Marwazi ulama terkenal di makkah yang menceritakan riwayat ini.

    Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka:

    “Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.

    “Tujuh ratus ribu,” jawab malaikat lainnya.

    “Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”

    “Tidak satupun”

    Percakapan ini membuat Abdullah gemetar.

    “Apa?” ia menangis dalam mimpinya. “Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”

    Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.

    “Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni . Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.”

    “Kok bisa”

    “Itu Kehendak Allah”

    “Siapa orang tersebut?”

    “Sa’id bin Muhafah tukang sol sepatu di kota Damsyiq (damaskus sekarang)”

    Mendengar ucapan itu, ulama itu langsung terbangun, Sepulang haji, ia tidak langsung pulang kerumah, tapi langsung menuju kota Damaskus, Siria.

    Sampai disana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah.

    “Ada, di tepi kota” Jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya. Sesampai disana ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh,

    “Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Ulama itu

    “Betul, siapa tuan?”

    “Aku Abdullah bin Mubarak”

    Said pun terharu, “bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?”

    Sejenak Ulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, akhirnya iapun men ceritakan perihal mimpinya.

    “Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”

    “Wah saya sendiri tidak tahu!”

    “Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini.

    Maka Sa’id bin Muhafah bercerita.

    “Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar : Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka.

    Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala ni’mat dan puji adalah kepunyaanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu.

    Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis

    Ya allah aku rindu Mekah. Ya Allah aku rindu melihat kabah. Ijinkan aku datang…..Ijinkan aku datang ya Allah..

    Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu.

    Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji.

    “Saya sudah siap berhaji”

    “Tapi anda batal berangkat haji”

    “Benar”

    “Apa yang terjadi?”

    “Istri saya hamil, dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat”

    “Suami ku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?

    “ya sayang” “Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku”

    “Ustadz, sayapun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya.

    Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.

    Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan :

    “tidak boleh tuan”

    “Dijual berapapun akan saya beli”

    “Makanan itu tidak dijual, tuan” katanya sambil berlinang mata.

    Akhirnya saya tanya kenapa?

    Sambil menangis, janda itu berkata “daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan” katanya.

    Dalam hati saya: Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim?

    Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa?”

    “Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Dirumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak.

    “Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram”.

    Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang. Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.

    “Ini masakan untuk mu”

    Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka.

    ”Pakailah uang ini untuk mu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”

    Ya Allah……… disinilah Hajiku

    Ya Allah……… disinilah Mekahku.

    Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata.

    ( buat yang akan naik haji …. atau yang sdh berhaji…. )

    Saudaraku ………………Ingat … Ada dua yang tidak kekal dalam diri manusia ! Yakni : Masa Muda dan Kekuatan Fisiknya. Jangan Lupa … Ada dua juga yang akan bermanfaat bagi semua orang ! Yakni : Budi Pekerti yang luhur serta Jiwa yang ikhlas memaafkan. Perhatikan .. Ada dua pula yang akan mengangkat derajat kemulian manusia ! Yakni : Rendah hati dan suka meringankan beban hidup orang lain. Dan ada dua yang akan menolak datangnya bencana ! Yakni : Sedekah serta menjalin hubungan silaturrahim. Semoga kita menjadi orang orang yang dimuliakan Allah swt aamiin.

    ***

    Rasulullah S.A.W bersabda :”Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala.”

    (HR. Al-Bukhari)

     
  • erva kurniawan 1:22 am on 18 June 2019 Permalink | Balas  

    Peristiwa Karbala 

    Peristiwa Karbala

    Pada tahun enam puluh Hijriyah Kholifah Muawiyah meninggal dunia di Syam. Kemudian sesuai dengan wasiatnya maka yang menggantikannya adalah putranya yang bernama Yazid.

    Penunjukan ini tentu mengundang reaksi dari para tokoh, terutama dari keluarga besar Bani Hasyim. Sebab kebiasaan jelek dari Yazid, seperti meminum minuman keras dan lainnya yang jelas jelas melanggar agama, bukan rahasia lagi bagi masyarakat saat itu.

    Tapi karena tangan besi yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, maka sangat sedikit dari masyarakat yang berani menentangnya.

    Selanjutnya guna mendapatkan Baiat dari Sayyidina Husin ra yang berada di Madinah, maka Yazid memerintahkan Walid bin Ugbah Kepala daerah Madinah, untuk mendapatkan Baiat dari cucu Rosululloh Saw tesebut.

    Malam harinya Walid bin Ugbah segera mendatangi Sayyidina Husin ra, tapi beliau beralasan bahwa orang seperti dia tidak boleh Baiat sembunyi-sembunyi, tapi harus Baiat dihadapan halayak ramai.

    Kemudian dalam rangka menghindari Baiat kepada Yazid, malam itu juga Sayyidina Husin ra bersama keluarganya secara diam-diam meninggalkan Madinah menuju Mekah. Tepatnya malam minggu tanggal dua puluh delapan Rajab tahun enam puluh Hijriyah.

    Berita sampainya Sayyidina Husin ra dan keluarganya di Mekah tersebar keberbagai daerah .Orang-orang Kufah yang dikenal sebagai Syi’ ahnya Imam Ali kw dan Imam Husin ra begitu mendengar berita tersebut, segera berkirim surat ke Sayyidina Husin ra. Mereka meminta agar Sayyidina Husin ra mau datang ke Kufah untuk di baiat sebagai Kholifah. Dan apabila tidak mau, maka beliau harus bertanggung jawab dihadapan Alloh SWT, atas kedholiman yang terjadi.

    Namun meskipun surat yang dikirim dari Kufah tidak ada henti-hentinya, Sayyidina Husin ra tetap tidak mau pergi ke Kufah.

    Hal mana karena beliau masih ingat penghianatan orang-orang Kufah terhadap ayahnya dan saudaranya. Mereka mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, tapi kenyataannya mereka justru berkhianat.

    Setelah melalui berbagai surat gagal, maka orang-orang Kufah tersebut mengutus beberapa orang guna menemui Sayyidina Husin ra, meminta pada beliau agar mau datang ke Kufah untuk di Baiat sebagai Kholifah.

    Sebagai orang yang arif lagi bijaksana, walaupun sudah berkali kali di khianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, beliau akhirnya mengutus Muslim bin Agil (sepupunya) ke Kufah guna membuktikan apa yang sudah mereka sampaikan.

    Sesampainya Muslim bin Agil ra di Kufah, puluhan ribu penduduk Kufah menyambutnya serta membaiatnya sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra.

    Muslim bin Agil segera mengirim surat ke Sayyidina Husin ra, memberitahukan mengenai keadaan dan apa yang terjadi di Kufah, serta mengharap agar Sayyidina Husin ra segera berangkat ke Kufah.

    Setelah menerima surat tersebut, Sayyidina Husin ra. segera memutuskan untuk segera berangkat ke Kufah. Kemudian rencana tersebut beliau sampaikan ke famili-familinya serta sahabat-sahabatnya.

    Abdulloh bin Abbas sepupu Imam Ali kw begitu mendengar rencana Sayyidini Husin ra tersebut, segera mendatangi Sayyidina Husin ra dan menasihatinya agar menggagalkan rencananya. Sebab Abdulloh bin Abbas ra tahu benar watak orang-orang Kufah yang selalu mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait tersebut.

    Dengan harapan dapat menyelamatkan negara dari orang-orang yang tidak layak memimpin negara, maka Sayyidina Husin ra terpaksa menolak nasehat Abdulloh bin Abbas dan tetap akan berangkat ke Kufah.

    Kemudian pada tanggal sembilan Dhulhijjah (hari Tarwiyah) Sayyidina Husin ra bersama keluarganya dan beberapa orang Anshor meninggalkan Mekah menuju Kufah.

    Namun apa yang terjadi di Kufah ?

    Yazid yang menggantikan ayahnya di Syam, begitu mendengar bahwa orang-orang Kufah sudah memihak dan membaiat Muslim bin Agil ra sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra , segera mengangkat Ubaidillah bin Ziyad sebagai Kepala Daerah Kufah yang baru menggantikan Nu’man bin Basyir.

    Berbeda dengan Kepala Daerah yang lama, Ubaidillah bin Ziyad orangnya tegas, kejam, cerdik, dan lihai serta pandai mempengaruhi penduduk Kufah. Sehingga tidak lama kemudian penduduk Kufah sudah berpaling dari Muslim bin Agil ra. Mereka yang menyatakan dirinya sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait dan membaiat Muslim bin Agil ra sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra itu telah berkhianat. Mereka berubah haluan , mereka terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Ubaidillah bin Ziyad dan berbalik menjadi pengikut Yazid.

    Muslim bin Agil ra tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa melihat keadaan yang menyedihkan tersebut, bahkan setelah melalui pengejaran, akhirnya Muslim bin Agil ra meninggal dunia (Syahid).

    Sayyidina Husin ra yang sedang diperjalanan bersama rombongannya dari Mekah ditambah orang-orang yang bergabung dengannya diperjalanan, ketika mendengar berita mengenai keadaan di Kufah serta kematian Muslim bin Agil ra, segera berkata kepada rombongannya sbb;

    Hai orang-orang, kita telah dikhianati oleh orang-orang Kufah. Barang siapa akan meninggalkan rombongan, saya persilahkan dan dia tidak bersalah.

    Mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra dan mengetahui keadaan di Kufah, maka sebagian rombongannya ada yang meninggalkan rombongan. Tinggal Sayyidina Husin ra dan rombongannya yang datang bersamanya dari Mekah.

    Tidak lama kemudian, Sayyidina Husin ra dan rombongannya dihadang oleh pasukan Ibin Ziyad yang berkekuatan seribu personil dipimpin oleh Al Hur bin Yazid At Tamimi.

    Selanjutnya begitu berhadapan dengan mereka, Sayyidina Husin ra segera berkata; Wahai orang-orang, sebelumnya saya mohon maaf kepada Alloh dan kepada kalian, sebenarnya saya tidak akan datang ketempat kalian terkecuali setelah menerima surat-surat dari kalian dan utusan kalian yang meminta pada saya agar saya mau datang ketempat kalian. Dan sekarang saya sudah datang, apabila kalian dengan senang hati mau menerima kami, maka kami akan masuk kota kalian. Tapi jika kalian tidak senang dengan kedatangan kami, maka kami akan kembali ketempat dari mana kami berangkat.

    Setelah mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra mereka menjawab; Kami hanya diperintah untuk membawa kalian ke Ibin Ziyad.

    Mendengar kata-kata tersebut Sayyidina Husin ra segera mengajak rombongannya kembali ke Mekah, tapi dihalangi oleh Al Hur dan anak buahnya.

    Melihat kelakuan mereka tersebut Sayyidina Husin ra bertanya ; Apa maksud kalian?

    Al Hur menjawab; Saya tidak diperintah untuk memerangimu, tapi saya diperintah untuk membawamu kehadapan Ibin Ziyad. Karenanya jangan kemana – mana dulu, sampai aku mengirim surat ke Ibin Ziyad. Dan kamu juga berkirimlah surat ke Yazid dan Ibin Ziyad, semoga Alloh menyelamatkan saya dari urusanmu.

    Tidak berapa lama kemudian, datang Umar bin Saad bersama tentaranya yang berjumlah empat ribu orang. Tepatnya hari itu, jum’at tanggal lima Muharrom tahun enam puluh satu Hijriyah.

    Kemudian Umar bin Saad memberi tahu Sayyidina Husin ra bahwa Ibin Ziyad memerintahkannya, agar melarang Sayyidina Husin ra mengambil air, sampai Sayyidina Husin ra mau membaiat Yazid.

    Selanjutnya oleh karena Sayyidina Husin ra tidak mau Baiat kepada Yazid, maka sejak saat itu Sayyidina Husin ra dan rombongannya dilarang mengambil air.

    Tapi tidak lama kemudian, melihat banyak anak anak yang kehausan dan melihat akibat dari tindakannya tersebut, hati Umar mulai iba, kemudian dia berkirim surat ke Ibin Ziyat meminta Izin.

    Mengapa Umar bin Saad berubah sikapnya agak lunak? Diceritakan bahwa perubahan tersebut diantaranya dikarenakan telah terjadi satu peristiwa yang luar biasa, dimana saat itu Sayyidina Husin ra karena haus, pergi kesungai untuk minum dan mengambil air untuk minumnya kaum wanita dan anak-anak. Tapi beliau dihalangi oleh perajurit Umar bin Saad. Saat itu ada seorang yang bernama Abdulloh bin Abi Hushoin berkata kepadanya: Hai Husin, tidakah engkau melihat air yang jernih itu?. Tapi demi Alloh aku bersumpah bahwa engkau tidak akan meminumnya, meskipun satu tetes., hingga engkau mati kehausan.

    Mendengar dan melihat sikap orang yang benar-benar ingin melihat dia mati kehausan itu, Sayyidina Husin ra segera meninggalkan tempat tersebut dalam keadaan haus yang luar biasa, sambil berdoa memohon kehadirat Alloh Swt agar orang tersebut merasakan dahaga yang tidak bisa dihilangkan.

    Tidak lama setelah Sayyidina Husin ra memanjatkan doanya, Abdullah bin Abi Hushoin merasa haus yang luar biasa. Sehingga dia tidak sanggup menahan dahaganya. Iapun segera minum, namun meskipun dia sudah minum banyak, tapi rasa hausnya masih tetap. Karenanya dia terus minum, sampai perutnya yang besar itu terasa kembung.

    Tak tahan merasa dahaga tapi perutnya terasa penuh air, maka diapun akhirnya tuntah tuntah. Namun kejadian ini tidak berhenti, karena rasa haus yang dia rasakan tidak berhenti. Selanjutnya setiap dia minum, dia selalu tuntah, karena perutnya yang sudah kembung itu tidak bisa lagi menerima air.

    Akhirnya dalam keadaan lemas dan tidak berdaya dia menghembuskan nafas yang terakhir sambil memegang lehernya

    Kejadian tersebut disaksikan oleh beberapa temannya sehingga menjadi pembicaraan anak buah Umar bin Saad. Mungkin kejadian ini menambah alasan, mengapa sikap Umar bin Saad berubah agak lunak dan meminta izin Ke Ibin Ziyad.

    Ternyata Ibin Ziyad setelah membaca surat dari Umar bin Saad tersebut justru marah. Kemudian dia Segera mengirim Syamer bin Dhil Jausyan membawa surat untuk Umar bin Saad yang isinya menolak permintaan Umar dan memberi tahu bahwa dia dalam menghadapi Sayyidina Husin ra, hanya diberi dua pilihan yaitu antara Baiat kepada Yazid atau perang.

    Selanjutnya oleh karena Sayyidina Husin ra tidak mau Baiat kepada Yazid, maka pagi harinya Umar bin Saad segera mempersiapkan tentaranya guna menyerang Sayyidina Husin ra.

    Kemudian melihat musuh sudah bersiap-siap akan menyerang, maka Sayidina Husin ra segera mempersiapkan pasukannya guna menghadapi Umar bin Saad dan pasukannya. Sedang kaum wanita disuruh tetap tinggal didalam kemah bersama putranya yang bernama Ali Al Aushot yang sedang sakit.

    Melihat musuh yang begitu banyak jumlahnya, diperkirakan mencapai lima ribu orang, sedang beliau dan orang-orangnya hanya berjumlah tujuh puluh dua orang, maka beliau hanya bisa pasrah kepada Alloh Swt. Namun beliau tidak takut dan tidak gentar serta tidak mengenal Tagiyah dalam menghadapi musuh-musuhnya yang begitu banyak.

    Beliau menghadapi mereka dalam keadaan puasa, karena hari itu tepat tanggal sepuluh Muharrom. Dimana Rosululloh Saw berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para Sahabat agar berpuasa. Bahkan agar berbeda dengan orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada hari itu, maka Rosululloh Saw juga memerintahkan agar Umatnya berpuasa pada tanggal sembilan Muharrom, yang kemudian dikenal dengan puasa Tasua dan Asyuro.

    Tetesan air mata

    Ada satu kejadian yang luar biasa, yang perlu kami sampaikan disini, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi kita.

    Pagi sepuluh Muharrom itu, disaat Sayyidina Husin ra sedang memperhatikan musuh yang ada dihadapannya dan akan menyerangnya, tiba-tiba air matanya menetes. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuatnya menangis.

    Melihat kejadian tersebut, Siti Zainab ra yang ada didekatnya segera bertanya ; Mengapa air matamu sampai menetes wahai saudaraku, apakah engkau takut?. Padahal engkau akan bertemu dengan saudaramu, ibumu, ayahmu dan datukmu Rosululloh Saw

    Sayyidina Husin ra segera menjawab: Bukan karena itu air mataku menetes, tapi aku melihat orang-orang yang akan membunuhku itu masuk Neraka. Maka aku merasa kasihan pada mereka dan aku memohon kepada Alloh Swt agar mereka dimasukkan Surga.

    Sungguh kejadian ini membuktikan kebesaran jiwa serta kemuliaan sifat dan akhlaq Sayyidina Husin ra. Sesuatu yang telah diwarisinya dari datuknya baginda Rosululloh Saw. Seorang yang telah menyandang gelar, sebagai Rahmatan Lil Alamin.

    Alloh Swt telah berfirman: Dan kami tidak mengutusmu terkecuali membawa Rahmat bagi seluruh Alam.

    Bukan hanya anak buahnya atau pecintanya yang didoakan masuk Surga, tapi sampai musuh musuhnya dan orang-0rang yang akan membunuhnya , beliau doakan masuk Surga.

    Beliau Sayyidina Husin ra menginginkan kehidupan mereka, tapi mereka justru menginginkan kematiannya.

    Demikian Sayyidina Husin ra, seorang Ahlul Bait yang berhati mulia, pemaaf dan tidak sedikitpun mempunyai rasa dendam pada orang lain. Baik terhadap musuh-musuhnya atau orang-orang yang akan membunuhnya, apalagi terhadap orang-orang yang telah berjasa terhadap Rosululloh Saw dan islam .

    Kejadian diatas sebagai pelajaran bagi kita, agar kita tidak cepat-cepat mengumpat atau mencacimaki orang-orang yang yang berbuat jelek kepada kita dan Ahlul Bait, tapi kita doakan mereka, semoga mereka mendapat hidayah dari Alloh Swt.

    Selanjutnya tidak lama kemudian kedua pasukan sudah berhadapan. Pada awalnya difihak Sayyidina Husin ra, barisan depan ditempati oleh putra-putra Sayyidina Husin ra dan putra-putra saudaranya. Namun kemudian orang-orang Anshar yang bersamanya sejak awal, memerotes dan berkata kepadanya; Wahai putra dari putri Rosululloh Saw, kita sudah ada kesepakatan, bahwa dalam setiap pertempuran kami orang-orang Anshor akan selalu ditempatkan dibarisan terdepan. Tapi mengapa sekarang kami ditempatkan dibarisan kedua?.

    Kemudian Sayyidina Husin ra menjawab; Benar kami ada perjanjian dengan kalian, tapi kali ini biarlah keluargaku yang berada digaris depan, dan kalian cukup dibarisan kedua saja.

    Mendengar jawaban Sayyidina Husin ra tersebut, orang-orang Anshor itu berkata; Jadi kami diletakkan dibarisan kedua itu agar apabila kalian gugur, maka kami akan dibiarkan oleh musuh. Sebab yang dikehendaki oleh musuh adalah kalian. Dan selanjutnya apabila kami pulang, maka penduduk Madinah akan berkata; Kalian senang karena pulang dalam keadaan selamat, sedang pemimpin (Sayid) kita, kalian tinggalkan dalam keadaan gugur, dibunuh oleh musuh-musuh kita.

    Demi Alloh kami akan gugur bersama kalian, dalam mempertahankan kebenaran.

    Akhirnya mereka diijinkan untuk menempati barisan terdepan.

    Tidak lama kemudian terjadilah pertempuran, dan oleh karena pertempuran ini tidak seimbang, meskipun dari fihak Sayyidina Husin ra sudah menunjukan perlawanan yang luar biasa, maka dari fihak Sayyidina Husin ra korban mulai berjatuhan. Satu demi satu sahabatnya dan keluarganya gugur dan akhirnya Sayyidina Husin ra sendiri juga gugur Syahid.

    Berbagai cara mereka lakukan saat menyerang dan membunuh Sayyidina Husin ra, tapi kami selaku penulis buku ini tidak dapat menguraikan kebiadaban tersebut. Dan Kami hanya bisa berucap, Innaa Lillaah Wa Innaa Ilaihi Roojiuun.

    Sebenarnya Sayyidina Husin ra sudah merasa bahwa dirinya akan meninggal pada hari itu , sebab pada pagi hari itu, beliau bermimpi bertemu dengan datuknya, dimana Rosululloh Saw saat itu berkata kepadanya; Malam ini engkau berbuka bersama kami.

    Karenanya disaat saudarinya meminta kepadanya agar beliau mau membatalkan puasanya sebelum berperang, beliau menjawab: Saya akan berbuka bersama datukku.

    Dengan demikian hari itu atau hari Asyuro adalah hari kemenangan dan kegembiraan bagi Sayidina Husin ra, sebab pada hari itu beliau bertemu dengan Rosululloh saw, bertemu dengan ayahnya Imam Ali kw dan dengan ibunya Fathimah Az Zahra ra serta dengan saudaranya Sayyidina Hasan ra. Sehingga hari itu merupakan hari yang sudah lama dinanti-nantikannya.

    Karena kebenaranlah beliau berkorban, dan karena berkorban itu beliau mendapat kedudukan yang sangat tinggi disisi Alloh Swt sebagai Syahid.

    Satu-satunya anak lelaki dari Sayyidina Husin ra yang masih hidup dan selamat dari kekejaman orang orang Kufah atau orang-orang yang pernah mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin atau Ali Al Aushot ra. Beliau selamat karena saat itu beliau sedang sakit dan berada didalam kemah bersama kaum wanita.

    Kemudian setelah peperangan selesai, semua keluarga Sayyidina Husin ra yang masih hidup , yang terdiri dari orang orang perempuan dan Sayyidina Ali Zainal Abidin ra ditawan dan dibawa ke Ibin Ziyad di Kufah. Tidak ketinggalan kepala Sayyidina Husin ra dan kepala kepala Sahabatnya juga dibawa kehadapan Ibin Ziyad . Jarak antara Karbala dengan Kufah kurang lebih dua puluh lima Mil.

    Selanjutnya atas perintah Ibin Ziyad, kepala kepala tersebut diarak keliling kota..

    Sayyidina Ali Zainal Abidin ra sendiri hampir dibunuh dihadapan Ibin Ziyad andaikata Sayyidah Zainab ra (saudari Imam Husin ra) tidak melarang mereka, sambil merangkulnya.

    Kemudian para tawanan dan kepala Sayyidina Husin ra dibawa dari Kufah ketempat Yazid di Damaskus (Syam). Pada awalnya Yazid yang sebelumnya senang dengan tindakan Ibnu Ziyad tersebut, begitu menyaksikan apa yang ada dihadapannya mulai menyesal. Terutama setelah melihat reaksi penduduk Damaskus yang tidak senang melihat apa yang terjadi. Tapi karena tujuannya untuk politik, yaitu mempertahankan kekuasaannya, maka selanjutnya kepala Sayyidina Husin ra diarak keberbagai daerah.

    Namun sesampainya arak-arakan tersebut dikota Asgolan (Palestina), maka atas perintah Kepala Daerah Asgolan yang dikenal berbudi baik, kepala Sayyidina Husin ra segera dimakamkan.

    Menurut ahli sejarah keberadaan kepala Sayyidina Husin ra di Asgolan berlangsung hingga tahun lima ratus empat puluh delapan hijriyah.

    Selanjutnya, disaat Asgolan dibawah kekuasaan Fatimiyyun di Mesir. Pada waktu itu Kepala Daerah Asgolan mengirim surat ke Mesir memberi tahu kepada Kholifah, bahwa orang orang barat berencana menguasai Asgolan (Palestina). Saya takut jika Asgolan sampai dikuasai mereka, maka apa yang ada di Asgolan akan dibawa ketempat mereka. Dan oleh karena kepala Sayyidina Husin ra berada di Asgolan, maka saya khawatir mereka juga akan mengambilnya dan dibawa kenegara mereka. Untuk itu kirimlah orang yang anda percayai untuk mengurus dan membawa kepala tersebut.

    Setelah menerima surat tersebut, pemerintahan Fatimiyyun di mesir segera mengirim pasukan ke Asgolan dengan dibekali uang yang cukup guna keperluan pemindahan kepala Sayyidina Husin.

    Ssesampainya kembali mereka di Mesir, maka penduduk Mesir dan pemerintahan saat itu menyambut dengan khidmat kedatangan kepala Sayyidina Husin ra tersebut. Selanjutnya dimandikan, dan yang mengherankan saat itu darahnya masih segar belum kering serta mengeluarkan bau yang sangat harum.

    Setelah selesai dimandikan, kemudian kepala Sayyidina Husin ra dimakamkan disatu tempat di Cairo Mesir, yang sekarang dikenal dengan Masjid Al Husin dan selalu diziarahi oleh kaum Muslimin yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia.

    Demikian akhir dari perjalanan kepala Sayyidina Husin ra

    Adapun Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husin ra dan saudari saudarinya serta bibinya yaitu Siti Zainab ra, maka setelah mereka dibawa kehadapan Yazid, dimana sikap Yazid yang sebelumnya tidak sopan berubah baik dan menghormati mereka, maka mereka segera meninggalkan Damaskus (syam) menuju Madinah.

    Kedatangan mereka disambut oleh penduduk Madinah. Mereka merasa sedih dan ikut berduka cita atas wafatnya Sayyidina Husin ra dan keluarganya di Karbala.

    Yang aneh, penduduk Kufah yang ikut bergabung dengan Ibin Ziyad dan ikut bersekongkel dalam pembunuhan terhadap Sayyidina Husin ra tersebut akhirnya menyesali perbuatan mereka. Mereka banyak yang menangis menyesal, karena perbutan mereka Sayyidina Husin ra dan keluarganya menjadi korban dan meninggal di Karbala.

    Seorang Ahli sejarah yang dikenal dengan sebutan Al Ya’qubi (Ulama Syi’ah) menerangkan dalam buku sejarah yang dikarangnya : Bahwa ketika Sayyidina Ali Zainal Abidin ra memasuki Kota Kufah, beliau melihat orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya ayahnya menangis. Kemudian beliau berkata;

    Kalian membunuhnya tapi kalian menangisinya. Siapa yang membunuhnya jika bukan kalian, kalianlah yang membunuhnya.

    Demikian kesaksian Sayyidina Ali Zainal Abidin ra atas menangisnya orang-orang Syi’ah yang selalu mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait.

    Sejarah mencatat, bahwa orang-orang yang telah membunuh Sayyidina Husin ra itu akhirnya menyesali perbuatan mereka, dan dibawah pimpinan Sulaiman bin Sord mereka segera membentuk persatuan yang mereka namakan Attawwaabuun. Sebagai wadah bagi orang-orang Syi’ah yang telah berkhianat terhadap Sayyidina Husin ra dan keluarganya.

    Itulah sebabnya sampai sekarang orang-orang Syi’ah jika memperingati hari terbunuhnya Sayyidina Husin ra atau hari Asyuro selalu dengan menangis. Bahkan ada yang memukuli badannya sampai berdarah, sebagai penebusan dosa atas perbuatan yang mereka lakukan terhadap Ahlul Bait di Karbala.

    Ulama-ulama kita menilai cara mereka tersebut, merupakan satu perbutan Bid’ah (Dholalah), karena sangat menyimpang dari ajaran Rosululloh Saw.

    Rosululloh Saw pernah bersabda :

    Bukan dari golonganku, orang-orang yang suka memukuli wajahnya dan merobek kantongnya (pakaiannya) serta menyerukan kepada perbuatan jahiliyah.

    Dalam sabdanya yang lain, beliau melarang orang-orang menangisi orang-orang yang sudah mati, seperti yang dilakukan orang-orang syi’ah sekarang, mereka berkumpul dan menangis bersama-sama, dengan berteriak-teriak, sebentar memuji dan sebentar melaknat serta memukuli badannya.

    Selanjutnya guna menguatkan cara mereka tersebut, mereka membuat Hadist-Hadist palsu dengan mengatas namakan Ahlul Bait. diantaranya sebagai berikut:

    1. Barang siapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husin , maka Alloh Swt akan mengampuni semua dosa dosanya, baik yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan.
    2. Barang siapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husin, maka wajiblah (pastilah) dirinya mendapat surga.

    Demikian jaminan dari Ulama-Ulama Syi’ah, cukup menangis atas kematian Sayyidina Husin ra pasti masuk Surga.

    Disamping riwayat-riwayat diatas, masih banyak lagi riwayat-riwayat palsu yang mereka buat, tidak kurang dari 458 (empat ratus lima puluh delapan) riwayat, mengenai ziarah kemakam Imam-imam Syi’ah, bahkan dari jumlah tersebut 338 (tiga ratus tiga puluh delapan) khusus mengenai kebesaran dan keutamaan serta pahala besar bagi peziarah kemakam Imam Husin ra atau ke Karbala. Sebagai contoh :

    1. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin sekali, maka pahalanya sama dengan haji sebanyak 20 kali.
    2. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin di Karbala pada hari arafah, maka pahalanya sama dengan haji 1.000.000 kali bersama Imam Mahdi, disamaping mendapatkan pahalanya memerdekakan 1000 (seribu) budak dan pahalanya bersodaqoh 1000 ekor kuda.
    3. Barang siapa ziarah ke makam Imam Husin pada Nisfu Sya’ban maka sama dengan ziarah Allah di ‘Arasy-Nya.
    4. Barang siapa ziarah kemakam Imam Husin diKarbala pada hari Asyura, maka akan mendapat pahala dari Allah sebanyak pahalanya orang haji 2000 kali dan diberi pahalanya orang umroh sebanyak 2000 kali dan diberi pahalanya orang yang berperang bersama Rasululllah saw 2000 kali.
    5. Andaikata saya katakan mengenai pahalanya ziarah ke makam Husin niscaya kalian tinggalkan ibadah haji dan tidak seorangpun yang akan mengerjakan haji.

    ItuIah diantara hadist-hadist palsu yang bersumber dari kitab Syi’ah “ WASAAIL ASY-SYI’AH” oleh Al Khurrul Amily (ulama Syi’ah).

    Sebenarnya setiap Muslim akan merasa sedih dan berduka, apabila mendengar atau membaca sejarah terbunuhnya Sayyidina Husin ra dan keluarganya di Karbala. Tetapi juga dapat kita ketahui, bagaimana ketabahan beliau dalam menghadapi musuh-musuhnya yang begitu banyak. Beliau tidak takut dan tidak gentar serta tidak mengenal Tagiyah. Karena kebenaranlah beliau berkorban, dan karena berkorban itu beliau mendapat kedudukan yang sangat tinggi sebagai Syahid.

    Demikian Peristiwa Karbala yang oleh Dunia Islam dikenal sebagai : PENGHIANATAN SYI’AH TERHADAP AHLUL BAIT

     

    Kiriman Sahabat: Al Pacitan

     
  • erva kurniawan 1:49 am on 7 April 2019 Permalink | Balas  

    Ilmu Tentang Para Rawi 

    Ilmu Tentang Para Rawi

    Pembahasan tentang rawi sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan derajat hadits, yakni shahih, hasan, dha’if, dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits. Oleh karena itu, pembahasan tentang para rawi menjadi teramat penting dalam Mushthalah al-Hadits.

    Rawi adalah orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya. Para ulama mengklasifikasikan para rawi –dari segi banyak dan sedikitnya hadits yang mereka riwayatkan serta peran mereka dalam bidang ilmu hadits– menjadi beberapa tingkatan. Dan setiap tingkat diberi julukan secara khusus, yaitu:

    1. al-Musnid, adalah orang yang meriwayatkan hadits beserta sanadnya, baik ia mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkannya atau sekedar meriwayatkan tanpa memahami isi kandungannya.
    2. al-Muhaddits. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sayyid an-Nas, al-Muhaddits adalah orang yang mencurahkan perhatiannya terhadap hadits, baik dari segi riwayah maupun dirayah, hapal identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui keadaan mayoritas rawi di setiap jamannya beserta hadits-hadits yang mereka riwayatkan; tambahan dia juga memiliki keistimewaan sehingga dikenal pendiriannya dan ketelitiannya[2]. Dengan kata lain ia menjadi tumpuan pertanyaan umat tentang hadits dan para rawinya, sehingga menjadi masyhur dalam hal ini dan pendapatnya menjadi dikenal karena banyak keterangan yang ia sampaikan lalu ditulis oleh para penanyanya. Ibnu al-jazari berkata, “al-Muhaddits adalah orang menguasai hadits dari segi riwayah dan mengembangkannya dari segi dirayah.”[3]
    3. al-Hafidh, secara bahasa berarti ‘penghapal’ Gelar ini lebih tinggi daripada gelar al-Muhaddits. Para ulama menjelaskan bahwa al-Hafidh adalah gelar orang yang sangat luas pengetahuannya tentang hadits beserta ilmu-ilmunya, sehingga hadits yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak diketahuinya.”[4] Ibnu al-Jazari berkata, “al-Hafidh adalah orang yang meriwayatkan seluruh hadits yang diterimanya dan hapal akan hadits yang dibutuhkan darinya.”
    4. al-Hujjah, gelar ini diberikan kepada al-Hafidh yang terkenal tekun. Bila seorang hafidh sangat tekun, kuat dan rinci hapalannya tentang sanad dan matan hadits, maka ia diberi gelar al-Hujjah. Ulama mutaakhkhirin mendefinisikan al-Hujjah sebagai orang yang hapal tiga ratus ribu hadits, termasuk sanad dan matannya. Bilangan jumlah hadits yang berada dalam hapalan ulama, sebagaimana yang mereka sebutkan itu, mencakup hadits yang matannya sama tetapi sanadnya berbilang; dan yang berbeda redaksi/matannya. Sebab, perubahan suatu hadits oleh suatu kata–baik pada sanad atau pada matan–akan dianggap sebagai suatu hadits tersendiri. Dan seringkali para muhadditsin berijtihad dan mengadakan perlawatan ke berbagai daerah karena adanya perubahan suatu kalimat dalam suatu hadits seperti itu.
    5. al-Hakim adalah rawi yang menguasai seluruh hadits sehingga hanya sedikit saja hadits yang terlewatkan.
    6. Amir al-Mu’minin fi al-Hadits (baca: Amirul Mukminin fil Hadits) adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada orang yang kemampuannya melebihi semua orang di atas tadi, baik hapalannya maupun kedalaman pengetahuannya tentang hadits dan ‘illat-‘illatnya, sehingga ia menjadi rujukan bagi para al-Hakim, al-Hafidh, serta yang lainnya. Di antara ulama yang memiliki gelar ini adalah Sufyan ats-Tsawri, Syu’bah bin al-Hajjaj, Hammad bin Salamah, Abdullah bin al-Munarak, Ahmad bin Hanbal, al-Bukhari, dan Muslim. Dan dari kalangan ulama mutaakhkhirin ialah al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani dan lainnya.[5] Jadi yang menjadi ukuran tingkat keilmuan para ulama hadits adalah daya hapal mereka, bukan banyaknya kitab yang mereka miliki, sehingga orang yang memiliki banyak kitab namun tidak hapal isinya, TIDAK DAPAT disebut sebagai al-Muhaddits.

    Sayangnya, sebagian umat Islam dewasa ini telah menganggap ringan terhadap hadits dan mereka tidak memahaminya kecuali dengan membuka-buka lembaran demi lembaran kitab berdasarkan petunjuk daftar isinya, sehingga sebagian mereka tanpa memikirkan risikonya merendahkan penghapalan al-Qur’an dan hadits dengan hanya mengandalkan bertambahnya naskah kitab. Hal ini menunjukkan rendahnya batas pengetahuan mereka terhadap kelebihan para ulama terdahulu.

    Tercatatlah nama-nama para perawi Hadist ini seperti:

    • Bukhari, yang meninggal tahun 256 Hijriah atau 870 Masehi
    • Abu Daud, meninggal tahun 275 Hijriah atau 888 Masehi
    • Masa’i, meninggal tahun 303 Hijriah atau 915 Masehi
    • Muslim, meninggal tahun 261 Hijriah atau 875 Masehi
    • Tarmidzi, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi
    • Ibnu Majah, meninggal tahun 279 Hijriah atau 892 Masehi

    Catatan Kaki:

    [1] al-Manhaj al-Hadits karya as-Simahi pada bagian rawi, hal. 5

    [2] Tadrib ar-Rawi, hal. 11; pada bagian rawi, hal. 197

    [3] Syarh asy-Syarh karya Mullah Ali al-Qari’i, hal. 3

    [4] Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Sayyid an-Nas dan al-Hafidh al-Mizzi. Lihat Tadrib ar-Rawi, hal. 10-11.

    [5] Dijelaskan oleh Syaikhuna al-‘Allamah Muhammad as-Simahi dalam kitab al-Manhaj al-Hadits bagian rawi, hal. 199-200, dan kami merujuk kepadanya menulis definisi-definisi di atas. adz-Dzahabi telah menulis kitab Tadzkirat al-Huffadh guna menghimpun para rawi yang bergelar al-Hafidh dengan arti mencakup pula para rawi yang bergelar al-Hujjah dan yang lebih tinggi lagi.

     
  • erva kurniawan 1:05 am on 6 April 2019 Permalink | Balas  

    Imam Muslim 

    Imam Muslim

    Keharuman namanya tak akan pernah hilang sepanjang zaman. Dalam setiap ceramah, hampir semua ustadz selalu mengutip karya-karyanya. Beliau adalah ulama kenamaan, terutama dalam bidang dan ilmu hadits. Nama lengkap berikut silsilahnya adalah Imam Abu al-Husain Muslim bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Lahir tahun 204 H/ 820 M atau menurut riwayat lain 206 H/ 822 M.

    Beliau dinisbahkan kepada nenek moyangnya, Qusyair bin Ka’ab bin Rabiah bin Sha’sha’ah, suatu keluarga bangsawan besar di wilayah Arab. Di samping (penisbahan) kepada Qusyair, beliau juga dinisbahkan kepada Naisapur. Hal ini karena beliau putera kelahiran Naisapur, yakni kota kecil di Iran bagian timur laut.

    Pengembaraan

    Semenjak berusia kanak-kanak, Imam Muslim telah rajin menuntut ilmu. Didukung kecerdasan luar biasa, kekuatan ingatan, kemauan yang membaja, dan ketekunan yang mengagumkan, konon ketika berusia 10 tahun, beliau telah hafal al-Qur’an seutuhnya serta ribuan hadits berikut sanadnya. Sungguh prestasi yang teramat mengagumkan.

    Seperti halnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim juga mengadakan pengembaraan intelektual ke berbagai negeri Islam, seperti Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, Baghdad, dan lain-lain guna memburu hadits dan berguru pada ulama-ulama kenamaan. Beliau telah mengunjungi hampir seluruh pusat pengkajian hadits yang ada pada saat itu, bahkan terkadang dilakukannya berkali-kali, seperti ke Baghdad. Semua ini merupakan bukti konkret bahwa perhatian Imam Muslim terhadap peninggalan Nabi saw yang monumental ini sangat besar.

    Pengembaraan perdananya dimulai ke Makkah pada tahun 220 H sekaligus menunaikan ibadah haji. Kemudian pada tahun 230 H beliau melakukan pengembaraan intelektual yang secara spesifik untuk kepentingan hadits. Sedang lawatannya yang terakhir terjadi pada tahun 259 H ke Baghdad saat usianya mencapai 53 tahun. Dalam pengembaraannya itu, beliau tidak mengenal usia. Semenjak usia yang relatif masih sangat muda sampai berusia senja, beliau tidak pernah berhenti apalagi putus asa dalam pengembaraannya mengejar dan memburu Hadits Nabi saw.

    Guru dan muridnya

    Dalam lawatan intelektualnya, Imam Muslim tercatat banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan, tentunya dalam rangka mencari hadits. Beliau berguru kepada Yahya dan Ishak bin Rahawaih di Khurasan, Muhammad bin Mahran dan Abu Ghassan di Ray, Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah di Iraq, Said bin Manshur dan Abu MasUab di Hijaz, Tamr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya di Mesir. Beliau juga belajar dari Usman dan Abu Bakar (keduanya putra Abu Syaibah), Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Jury, Zuhair bin Harb, Amr al-Naqid, Muhammad bin al-Mutsanna, Muhammad bin Yasar, Harun bin Said al-UAili, Qutaibah bin Sa’id, dan yang tak boleh terlupakan beliau juga berguru pada Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari.

    Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim. Di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya, seperti Abu Hafidh al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Tawwanah al-Ishfiroyini, dan Abu Isa al-Tirmidzi. Selain ulama-ulama di atas, yang juga tercatat sebagai murid Imam Muslim antara lain; Ahmad bin Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishak bin al-Siraj. Di antara sekian banyak muridnya itu, yang paling istimewa adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqih lagi zahid. Ia adalah perawat utama kitab Shahih Muslim.

    Selain karya besar Imam Muslim yang sangat monumental, yaitu kitab Shahih Muslim, beliau juga tercatat mempunyai buah karya lebih dari 20; antara lain: al-Ullal, al-Aqran, al-IntifaUbi Uhub al-Siba, Kitab Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid, Aulad al-Shahabah, Al-Musnad al-Kabir, Al-Thabaqat (Thabaqat al-Kubra), Kitab al-Mukhadramin, Al-JamiUal-Kabir, Kitab al-Tamyiz, Kitab al-Asma wa al-Kuna, Kitab Su’alatihi Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya.

    Banyak ulama yang memandang Imam Muslim sebagai ulama hadits nomor dua setelah Imam al-Bukhari. Hal yang tidak mengherankan, mengingat Imam Muslim merupakan murid Imam al-Bukhari.

    Al Khatib al-Baghdadi mengatakan, Muslim telah mengikuti jejak al-Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya. Pernyataan ini tidaklah berarti Imam Muslim hanyalah figur yang hanya mampu bertaqlid pada al-Bukhari, sebab Imam Muslim mempunyai ciri dan pandangan tersendiri dalam menyusun kitabnya. Beliau juga mempunyai metode baru yang belum pernah diperkenalkan ulama sebelumnya.

    Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanad lengkap dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadits sahih atas guru-guru mereka.”

    Ishaq bin Rahawaih pernah memuji Imam Muslim dengan perkataannya “Adakah orang yang seperti Muslim?” Demikian pula Ibn Abi Hatim menyatakan “Muslim adalah seorang hafidh (ahli hadis). Saya menulis hadits yang diterima dari dia di Ray.” Selanjutnya Abu Quraisy al-Hafidh menyatakan bahwa di dunia ini, orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat, salah satunya adalah Muslim. Tentunya, yang dimaksud dengan pernyataan ini adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup pada masa Abu Quraisy.

    Dengan munculnya berbagai komentar dari para ulama terhadap kepakaran Imam Muslim dalam disiplin ilmu Hadits ini, cukuplah kiranya menjadi bukti awal bahwa beliau memang figur yang pantas mendapat sanjungan yang demikian, dan tentunya setelah al-Bukhari.

    Karya monumental

    Sejarah mencatat bahwa Imam Muslim merupakan ulama kedua yang berhasil menyusun kitab al-Jami’ al-shahih yang di kemudian hari terkenal dengan sebutan Shahih Muslim. Kitab ini berisi 10.000 hadits yang disebutkan secara berulang-ulang (mukarrar) atau sebanyak 3.030 buah hadits tanpa pengulangan. Hadits sejumlah itu disaring dengan sangat ketat dari 300.000 buah hadits selama kurun waktu 15 tahun.

    Berdasarkan kualitas keshahihannya, para ulama memasukkan karya Imam Muslim ini pada peringkat kedua setelah karya monumental Imam al-Bukhari (Shahih al-Bukhari). Hal ini karena syarat yang ditetapkan oleh Imam Muslim relatif lebih longgar daripada syarat yang ditetapkan Imam al-Bukhari. Dalam persambungan sanad (ittisal al-sanad) antara yang meriwayatkan (rawi) dengan yang menerimanya (marwi’anhu) atau antara murid dan guru menurut Imam Muslim hanya cukup syarat mu’asharah (semasa), tidak harus terjadi liqa’ (pertemuan) antara keduanya. Sementara Imam Al-Bukhari mensyaratkan terjadinya liqa ‘untuk menyatakan terjadinya persambungan sanad.

    Shahih Muslim merupakan hasil dari sebuah kehidupan yang penuh berkah. Pasalnya, ia dikerjakan secara terus-menerus oleh penulisnya, baik ketika berada di suatu tempat, dalam perjalanan pengembaraan, dalam situasi sulit maupun lapang, serta melalui proses pengumpulan, penghafalan, penulisan, dan penyaringan yang ekstra ketat. Sehingga kitab ini sebagaimana kita lihat, merupakan sebuah kitab shahih yang teramat baik dan sistematis. Oleh karena itu, tidak heran rasanya jika Imam Muslim sangat menyanjung dan mengagungkan kitab monumentalnya. Sebagai wujud kegembiraan atas karunia Allah yang diterimanya, beliau pernah bertutur “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.” Maksud beliau adalah kitab Shahih Muslim itu.

    Adapun ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian beliau terhadap hadits yang dituangkan dalam kitab Shahih-nya itu dapat disimak dari penuturannya sebagai berikut:

    “Aku tidak mencamtumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini melainkan dengan alasan. Aku juga tiada menggugurkan sesuatu hadits dari kitabku ini melainkan dengan alasan pula.”

    Spesifikasi Shahih Muslim

    Secara eksplisit, Imam Muslim tidak menegaskan syarat-syarat tertentu yang diterapkan dalam kitab Shahih-nya. Kendati demikian, para ulama telah menggali dan mengkaji syarat-syarat itu melalui penelitian yang serius terhadap kitab itu. Penelitian dan pengkajian ini membuahkan kesimpulan bahwa syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya adalah antara lain:

    Pertama, beliau tidak meriwayatkan hadits kecuali dari para periwayat yang adil, dlabith (kuat hafalan), dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya.

    Kedua, beliau sama sekali tidak meriwayatkan hadits kecuali hadits-hadits musnad lengkap dengan sanad-nya), muttashil (sanad-nya bersambung), dan marfu’ (berasal dari Nabi saw). Keterangan Imam Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya akan lebih memberikan gambaran yang cukup jelas kepada kita mengenai syarat-syarat yang diterapkan Imam Muslim dalam karya besarnya. Beliau mengklasifikasikan hadits menjadi tiga katagori: hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi adil dan kuat hafalan; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tidak diketahui keadaannya (majhul al-hal) dan sedang-sedang saja kekuatan hafalan dan ingatannya; hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah (hafalan dan ingatan) dan rawi yang haditsnya ditinggalkan orang .

    Untuk hadits katagori ketiga, Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya. Sementara apabila Imam Muslim meriwayatkan hadits katagori pertama, beliau senantiasa menyertakan pula hadits katagori kedua.

    Sebagai buah karya yang monumental, kitab Shahih Muslim memiliki beberapa ciri khusus, di antaranya; beliau menghimpun matan-matan hadits yang satu tema lengkap dengan sanad-nya pada satu tempat (bab), tidak memisahkannya dalam tempat yang berbeda, serta tidak mengulang-ulangnya, kecuali dalam kondisi yang mengharuskan, seperti untuk menambah faedah pada sanad atau matan hadits.

    Ketelitian dan kecermatan dalam menyampaikan kata-kata selalu dipertahankannya secara optimal, sehingga apabila seorang rawi berbeda dengan rawi lain dalam penggunaan redaksi yang berbeda, padahal makna (substansi) dan tujuannya sama ;yang satu meriwayatkan dengan suatu redaksi dan rawi lain meriwayatkan dengan redaksi yang lain pula; maka dalam hal ini Imam Muslim menjelaskannya. Selain itu, beliau berusaha menampilkan hadits-hadits musnad (hadits yang sanad-nya Muttashil) dan marfu’ (hadits yang dinisbahkan kepada Nabi saw). Karenanya, beliau tidak memasukkan perkataan-perkataan sahabat dan tabiin.

    Imam Muslim juga tidak banyak meriwayatkan hadits muallaq (hadits yang sanad-nya tidak ditulis secara lengkap). Di dalam kitab Shahih-nya hanya memuat 12 Hadis muallaq yang kesemuanya difungsikan sebagai mutabi’ atau penguat, bukan sebagai hadits utama (inti).

    Begitulah, akhirnya setelah mencapai usia 55 tahun, Imam Muslim menghembuskan nafas yang terakhir pada Ahad sore, 25 Rajab 261 H. Jenazahnya dikebumikan di salah satu daerah di luar Naisapur pada hari Senin. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Semoga Allah merahmati dan meridhainya, serta menerima jerih payahnya dalam menyebar luaskan ilmu-ilmu keislaman. Amin.

    ***

    Ali Mustofa Yaqub, Pengasuh Pesantren Darus-Sunnah, Guru besar Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 4 April 2019 Permalink | Balas  

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 7) 

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 7)

    Karyanya

    Sebagaimana kita ketahui Imam Bukhari bersungguh-sungguh menyampaikan ilmu melalui percakapan dan penulisan, beliau juga bersungguh-sungguh menulis berbagai ilmu. Allah telah menjadikannya bermanfaat bagi ummat selama kehidupan beliau. Setelah kematian beliau, banyak kitab yang telah dikarangnya dan kebanyakan telah sampai kepada kita. Di antaranya telah di cetak berulang kali. Manakala kitab beliau (At-Taarikh Al-Ausat) makhtuutaat yaitu masih lagi dalam bentuk Kitab ilmu Islam yang terdahulu. Begitu juga masih banyak karya-karya beliau yang masih belum terhitung jumlahnya.

    Pertama: Karya-karya beliau yang telah sampai kepada kita ialah:

    1- Al-Jaami’ As-Sahih:

    Dikenal dengan (Sahih Bukhari).

    2- At-Tarikh Al-Kabir:

    Ini merupakan karya yang paling indah dan baik menurut bab dan juga topiknya: Perawi-perawi Hadits semenjak dari zaman sahabat sampai ke zaman beliau serta mengandung pembahasan tentang kecacatan- kecacatan Hadits, Jarah, Ta’dil dan sebagainya. Ia telah dicetak di Hyderabad di India pada tahun 1691 M oleh Al-Allaamah Abdul Rahman Al-Mu’allimi Rahimahullah.

    3- At-Taarikh Al-Ausat:

    Kitab ini disusun selama beberapa tahun dan sampai kepada kita berbentuk Kitab ilmu Islam yang terdahulu.

    4- At-Taarikh As-Soghir:

    Kitab ini juga disusun selama beberapa tahun dan telah dicetak beberapa kali.

    5- Kitab Al-Kuna:

    Kitab ini dicetak sebagai lampiran kitab At-Taarikh Al-Kabir di percetakan Hyderabad.

    6- Adh-Dhu’afa’:

    Ternyata Imam Bukhari mempunyai dua buah kitab dengan nama tersebut, salah satu daripadanya Soghir (kecil) dan satu lagi Kabir (besar) juga telah sampai kepada kita (Ad-Dhu’afa’ As-Soghir). Kitab ini mengandung sejumlah perawi-perawi Hadits yang lemah dan ia pun telah dicetak.

    7- Al-Adab Al-Mufrad:

    Merupakan kitab adab dan akhlak yang baik menurut bab dengan cara terbaru dan telah dicetak sebanyak beberapa kali.

    8- Al-Qiraat Khalfa Al-Imam (Bacaan di belakang imam):

    Kitab ini dikenali sebagai (Juz Al-Qiraat). Imam Bukhari membentangkan di dalamnya masalah bacaan makmun di belakang imam dan menyokong hujah tentang diwajibkan membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat dalam apapun keadaannya sekalipun orang yang mendirikan shalat tersebut sebagai imam, makmun atau bersendirian, baik di dalam shalat yang tidak dikeraskan bacaannya ataupun yang tidak dan tidak dihitung rakaat tanpanya. Ia telah dicetak lebih dari satu kali.

    9- Mengangkat kedua-dua tangan di dalam shalat:

    Ia dikenali dengan (Juz Raf’ul Yadain) Imam Bukhari membentangkan masalah orang shalat mengangkat kedua-dua tangan ketika melakukan Takbiratul-ihram dan sewaktu berpindah rukun. Ia telah dicetak.

    10- Kejadian Perbuatan-perbuatan Hamba:

    Kandungannya adalah tentang masalah pegangan (akidah) yaitu perbuatan-perbuatan hamba adalah merupakan makhluk dan kalam Allah yaitu Al-Quran adalah bukan makhluk. Kitab ini telah dicetak berulang kali.

    Kedua: Karya-karya beliau yang belum diterbitkan :

    1- Berbuat Baik Terhadap Kedua Orang tua:

    Terdapat juga Haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dan perawi-perawi lain dari kalangan

    mutaakhirin.

    2- Al-Jami’ Al-Kabir:

    Telah disebut oleh Ibnu Tahir Al-Muqaddasi.

    3- Al-Musnad Al-Kabir:

    Telah disebut oleh Al-Farabri.

    4- At-Tafsir Al-Kabir:

    Juga telah disebut oleh Al-Farabri.

    5- Al-Asyribah (minuman):

    Telah disebut oleh Ad-Daaruqutni di dalam kitabnya (Al-Mu’talaf Wal Mukhtalaf).

    6- Al-Hibah (pemberian):

    Telah disebut oleh Waraqah Muhammad bin Abi Hatim.

    7- Usama As-Sahabah (Nama-nama Sahabat):

    Telah disebut oleh Abu Al-Qasim bin Mundah dan juga yang lain.

    8- Al-Mabsut:

    Telah disebut oleh A-Khalili di dalam kitabnya (Al-Irsyad) yaitu petunjuk.

    9- Al-Wihdan:

    Pokok pembahasannya: Orang yang hanya meriwayatkan satu Hadits saja dari kalangan sahabat dan telah diceritakan oleh Ibnu Mundah di dalam (Al-Makrifah).

    10- Al-Ilal (Kecacatan-kecacatan):

    Telah disebut oleh Abu Qasim bin Mundah.

    11- Al-Fawaid (faedah-faedah):

    Telah disebut oleh At-Tirmizi di dalam (Sunannya).

    12- Masalah Sahabat dan Tabi’in:

    Yaitu karya beliau yang pertama.

    13- Guru-guru beliau:

    Di dalamnya beliau telah menyebut tentang guru-gurunya yang menjadi tempat beliau berguru atau menerima ijazah dan ia telah disebut oleh Ibnu As-Subki.

    Kematiannya

    Setelah Imam Bukhari menerima ujian dari pemerintah Bukhara dan telah selamat darinya, beliau tidak tinggal lama di sana. Beliau telah pergi ke Kharatnak (sebuah desa di Samarkand) karena beliau mempunyai kerabat di sana dan beliau tinggal bersama mereka. Pada suatu malam telah kedengaran beliau berdoa selanjut melakukan shalat malam: (Ya Allah sesungguhnya bumi yang telah diluaskan untukku ini telah menyempitkan aku, maka bawalah aku kepadamu) Hampir sebulan setelah itu beliau meninggal dunia. Kejadian itu terjadi pada malam sabtu, malam Hari Raya Aidil Fitri tahun (256 H). Umur beliau ketika itu ialah 62 tahun kurang 13 hari, semoga beliau dirahmati dan diridhai oleh Allah.

    ***

    Sumber : CD Program Al Qur’an HARF Production.

     
  • erva kurniawan 1:08 am on 3 April 2019 Permalink | Balas  

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 6) 

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 6)

    Ujiannya

    Imam Imam Bukhari tidak luput dari ditimpa ujian yang merupakan sunnah Allah s.w.t terhadap orang-orang soleh yang mengikuti jalan para rasul. Dua ujian besar dalam hidupnya:

    Ujian pertama: Berhubung dengan Al-Quran.

    Allah telah menganugerahkan ilmu dan ma’rifat kepada Imam Bukhari melebihi teman sepengajiannya menyebabkan beliau dikenali dan masyhur. Ini telah menimbulkan perasaan dengki di kalangan rekan-rekan beliau, lalu mereka menuduh Imam Bukhari mengatakan (Lafadz ayat Al-Quran yang kita ucapkan adalah makhluk) dan mereka menyebarkan perkara tersebut di Naisabur dan tempat lain supaya Ummat tidak lagi mendekati beliau. Orang yang mengetuai kumpulan itu ialah Al-Hafiz Muhammad bin Yahya Az-Zuhli. Abu Hamid Al-A’masyi berkata:

    Aku telah melihat Muhammad bin Ismail menghadiri jenazah Abu Usman bin Said bin Marwan, ketika itu Muhammad bin Yahya bertanya beliau tentang nama-nama dan gelaran-gelaran serta cacat yang

    tersembunyi dalam Hadits. Imam Bukhari menjawabnya dengan cepat seperti anak panah seolah-olah beliau membaca surah Al-Ikhlas, hampir sebulan kemudian Muhammad bin Yahya berkata: Sesiapa yang menghadiri majelis ilmu Bukhari jangan datang ke majelis pengajian kami, sesungguhnya ada orang yang menulis kepada kami dari Baghdad: Bahwa Bukhari telah berbicara sehubungan dengan beberapa perkara lalu kami melarang dia tetapi dia tidak menghiraukan larangan kami, kamu semua jangan mendekatinya, sesiapa yang mendekatinya jangan mendekati kami.

    Imam Bukhari berkata: Muhammad bin Yahya begitu iri hati terhadapku dengan apa yang aku peroleh dari ilmu. Sedangkan ilmu itu adalah pemberian Allah, Dia berikan kepada siapapun yang Dia kehendaki. Tuduhan yang dilemparkan kepada Imam Bukhari lebih kurang sama dengan apa yang difahamkan oleh Az-Zuhli. Disebabkan kebatilan yang memecah-belahkan masyarakat, Imam Bukhari menulis kitabnya [KHALQA AF’AALUL IBAAD] yaitu kejadian perbuatan hamba di mana beliau menerangkan dalam kitab ini perbedaan antara perbuatan hamba dengan perbuatan Kalamullah yaitu Al-Quran. Perbuatan hamba adalah makhluk, manakala Al-Quran yang tertulis dalam mushaf, dibaca dengan lidah, diturunkan melalui Jibril dengan lafadz dan hurufnya merupakan Kalamullah dan bukan makhluk. Ahli Sunnah telah bersepakat dengan Imam Bukhari dan tuduhan serta fitnahan tersebut adalah batal.

    Ujian kedua:

    Ketika berhadapan dengan ketua Bukhara Khalid bin Ahmad Az-Zuhli. Ketua Bukhara telah mengutus Ahmad bin Khalid berjumpa dengan Imam Bukhari: Silakan datang kepadaku dengan membawa kitab Al-Jami’, sejarah dan selain dari keduanya supaya aku dapat belajar dengan kamu, lalu beliau berkata kepada utusan Khalid: Aku tidak akan merendahkan martabat ilmu dan aku tidak memamerkannya di khalayak banyak. Sekiranya kamu memerlukan sesuatu dariku yang berhubungan dengan ilmu datanglah ke masjidku atau ke rumahku, sekiranya kamu tidak senang hati, kamu adalah sultan, kamu dapat menahan aku dari menyampaikan ilmu supaya keuzuranku itu menjadi hujah bagiku di hadapan Allah pada Hari Kiamat. Aku tidak akan menyembunyikan ilmu karena Rasulullah s.a.w bersabda:

    (Barang siapa yang ditanya tentang sesuatu ilmu dan dia menyembunyikan ilmu tersebut niscaya mulutnya akan dikengkang dengan besi dari neraka).

    Ketegangan yang terjadi antara kedua pihak telah menyebabkan ketua Bukhara meminta pertolongan Huraith bin Abu Al-Warqa’ dan selainnya supaya berbicara tentang mazhab Imam Bukhari dan menyebabkan beliau telah ditimpa dengan ujian sebagaimana yang telah lalu. Selanjutnya ketua Bukhara menghalau Imam Bukhari keluar dari negerinya. Imam Bukhari berdoa kepada Allah supaya membalas kejahatan mereka. Sebulan setelah itu terjadilah satu peristiwa seorang yang bernama At-Thohiriah. Manakala keluarga Huraith ditimpa kesulitan yang dahsyat sehingga tidak dapat digambarkan, adapun orang lain ditimpa kesulitan serta masalah anak masing-masing. Allah telah menimpakan berbagai bala bagi mereka.

     
  • erva kurniawan 1:02 am on 2 April 2019 Permalink | Balas  

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 5) 

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 5)

    Sifat-sifat Terpujinya

    Di samping menuntut ilmu serta menyebarkannya Imam Bukhari juga beramal dengan ilmunya juga benar-benar taat kepada Allah. Dia adalah di antara para auliya’ yang terpilih dan orang-orang soleh serta dari kalangan orang yang baik-baik. Kebaikan yang beliau lakukan menimbulkan rasa kagum dalam hati ummat terhadapnya serta dipuji oleh mereka.

    Beliau banyak mengerjakan shalat, khusyuk dan banyak membaca Al-Quran. Penulis beliau Muhammad bin Abi Hatim berkata: Sesungguhnya Imam Bukhari shalat pada waktu bersahur sebanyak 13 rakaat termasuk 1 rakaat shalat witir. Penulis lain menyebut pula: Pada awal malam bulan Ramadan Imam Bukhari mengerjakan shalat bersama sahabatnya dengan membaca dua puluh ayat pada setiap rakaat sehingga khatam Al-Quran. Manakala pada waktu sahur beliau membaca dari pertengahan hingga satu pertiga Al-Quran serta mengkhatamkannya pada setiap tiga malam ketika waktu sahur. Al-Quran yang dibaca pada siang hari beliau mengkhatamkannya pada waktu berbuka. Dia berkata lagi: (Setiap kali waktu khatam Al-Quran beliau membaca doa).

    Satu cerita mengenainya: Suatu hari ketika beliau shalat, tiba-tiba seekor lebah menyengatnya sebanyak tujuh belas sengatan. Ketika selesai shalat beliau bertanya: Apakah yang membuatku sakit sewaktu aku shalat tadi. Para makmum memberitahu bahwa seekor lebah menyengatnya menyebabkan terdapat tujuh belas bagian yang bengkak. Sebelum meneruskan shalatnya dia berkata: Ketika aku disengat aku ingin sekali menyempurnakan ayat yang aku baca.

    Beliau banyak bersedekah, terlalu baik, sangat memuliakan orang lain, seorang yang suka merendah diri dan wara’. Antara kisah yang menunjukkan sifat-sifat tersebut ialah:

    1- Ketika beliau ingin membuat sesuatu, orang banyak yang datang membantunya. Dia mengangkat kayu yang belum selesai, lalu Ummat berkata kepadanya: Wahai ayah Abdullah, cukuplah (biarkan orang lain membuatnya) lantas beliau menjawab: Inilah yang memberi kebaikan kepadaku.

    Beliau menyembelih seekor lembu untuk Ummat. Ketika makanan masak beliau menjemput Ummat hampir seratus orang atau lebih datang bersamanya. Beliau tidak sangka mereka semua berkumpul sebegitu banyak. Semua orang yang hadir dijamunya, akhirnya hanya tinggal sekeping roti.

    2- Beliau diberi barang dagangan, lalu para pedagang bertemu dengannya pada waktu Isya dan mereka meminta untuk membeli barang dagangan tersebut dari beliau dengan keuntungan lima ribu dirham. Imam Bukhari berkata kepada mereka: Kamu mesti bertolak pada malam ini juga. Keesokannya datang rombongan pedagang yang lain, mereka meminta supaya barang itu dijual kepada mereka dengan keuntungan sebanyak sepuluh ribu dirham, tetapi beliau menolak permintaan tersebut dan berkata: Aku telah berniat untuk menjual barang ini kemarin kepada rombongan yang pertama. Lalu Imam Bukhari menyerahkan barangan itu kepada rombongan pertama. Beliau berkata: Aku tidak suka membatalkan niatku.

    3- Telah disebut bahwa beliau amat takut untuk mengatakan keburukan orang lain di belakang mereka dan beliau telah berkata: Aku tidak sekali-kali mengatakan aib seseorang di belakang mereka setelah aku ketahui bahwa ia adalah haram.

    4- Beliau tidak menjual atau membeli secara langsung karena takut melakukan perkara yang dilarang, beliau berkata: Aku tidak mengurusi membeli sesuatu barang secara langsung demikian juga menjualnya, aku menyuruh seseorang membeli untukku. Orang bertanya kepadanya: Kenapa? Beliau menjawab: Karena sewaktu proses jual beli terdapat penambahan, pengurangan dan bercampur-aduk antara yang benar dan salah.

     
  • erva kurniawan 1:01 am on 1 April 2019 Permalink | Balas  

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 4) 

    Riwayat Hidup: Al Imam Bukhari Rahimahullah (Bagian 4)

    Guru-gurunya

    Imam Bukhari dapat mengetahui ada sekumpulan Atba’ At-Tabi’in lalu beliau meriwayatkan Hadits dari mereka begitu juga beliau meriwayatkan dari banyak lagi guru selain daripada mereka. Imam Bukhari pernah berkata: Aku telah menulis dari seribu delapan puluh orang. Mereka semuanya Ulama Hadits.

    Di antara guru-guru Imam Bukhari yang terkemuka ialah:

    1- Abu Asim An-Nabil.

    2- Makkiy bin Ibrahim.

    3- Muhammad bin Isa At-Tabba’.

    4- Ubaidullah bin Musa.

    5- Muhammad bin Salam Al-Bikandi.

    6- Ahmad bin Hambal.

    7- Ishak bin Mansur.

    8- Khalad bin Yahya bin Safuan.

    9- Ayub bin Sulaiman bin Bilal.

    10- Ahmad bin Isykab.

    dan masih banyak lagi selain daripada mereka yang menjadi tempat Imam Bukhari mengambil Hadits.

     

    Murid-muridnya

    Allah s.w.t mengaruniakan ingatan yang kuat kepada Imam Bukhari sebagaimana karunia Allah kepada penghafal Hadits, ilmu serta pengetahuan yang mendalam, beliau bersungguh-sungguh dalam menunaikan hak-hak Allah s.w.t melalui pemberianNya itu, maka beliau menumbuhkan majelis-majelis pengajian ilmu di mana beliau bersama dengan ummat membincangkan masalah mereka dan begitulah keadaan beliau biasanya apabila masuk ke sebuah negeri. Beliau akan dihadiri oleh banyak dari golongan manusia. Di kalangan mereka itu terdapat Hafiz-hafiz, ahli-ahli Fiqih dan lain-lain.

    Al-Hafiz Soleh Jazarah berkata: Sewaktu Muhammad bin Ismail berada di Baghdad, di mana aku menuntut ilmu dengannya dan majelis beliau juga dihadiri oleh lebih daripada dua puluh ribu orang manusia, dan hasil dari keadaan itu telah melahirkan berbagai golongan manusia cerdik pandai, di antara mereka ialah golongan para ilmuwan dan cendikiawan yang menggariskan manhaj beliau dan mereka menuruti jejak langkah beliau dari segi ilmu dan beristiqamah. Mereka ialah:

    1- Al-Imam Abu Al-Husin Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi (204 – 261).

    Beliau ialah pengarang kitab (As-Sahih) yang terkenal. Sesungguhnya Ad-Daruqutni telah berkata: (Kalaulah bukan karena Imam Bukhari tentu Muslim tidak pergi dan datang)

    2- Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmizi (210 – 279).

    Beliau ialah pengarang kitab (As-Sunan) yang terkenal.

    3- Al-Imam Soleh bin Muhammad, yang bergelar (Jazarah), (205 – 293).

    4- Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah (223 – 311)

    pengarang kitab (As-Sahih Al-Masyhur).

    5- Al-Imam Abu Al-Fadli Ahmad bin Salamah An-Naisaburi (000 – 286).

    Beliau merupakan teman Imam Muslim dan beliau juga mempunyai kitab Sahih seperti (Sahih Muslim).

    6- Al-Imam Muhammad bin Nasri Al-Maruzi (202 – 294).

    Beliau adalah di antara ulama-ulama fiqih dari ahli Hadits.

    7- Al-Hafiz Abu Bakar bin Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ath (230 – 316).

    8- Al-Hafiz Abu Al-Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz Al-Baghawi (214 – 317).

    9- Al-Hafiz Al-Qadhi Abu Abdullah Al-Husin bin Ismail Al-Mahamili (235 – 330).

    10- Al-Hafiz Abu Ishak Ibrahim bin Mu’aqqal An-Nasafi (*** – 295)

    salah seorang perawi kitab (As-Sahih) daripada Imam Bukhari.

    11- Al-Imam Abi Hamad bin Syakir An-Nasafi (*** – 311).

    Beliau juga merupakan salah seorang perawi kitab (As-Sahih).

    12- Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf bin Matari Al-Farabri (231 – 320).

    Beliau merupakan salah seorang perawi kitab (As-Sahih) dan dari beliaulah tersebarnya di kalangan ummat.

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal