Updates from Juni, 2015 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 4:31 am on 30 June 2015 Permalink | Balas  

    Optimalisasi Ibadah di Bulan Puasa 

    Selamat-Berpuasa-Puasa-Ramadhan-1431-HOptimalisasi Ibadah di Bulan Puasa

    Mungkin Anda termasuk orang yang paling sering berjumpa bulan Ramadlan dan menjalankan ibadah puasa di dalamnya. Anda mungkin juga termasuk orang-orang yang selalu bergembira dengan datangnya bulan Ramadlan dan mengisi bulan itu dengan amalan-amalan wajib dan sunnah.

    Namun, apakah perjumpaan kita dengan bulan Ramadlan itu telah mengubah diri kita, atau minimal semakin meningkatkan kualitas ibadah kita di sisi Allah swt di bulan-bulan lainnya? Pada dasarnya, refleksi keberhasilan ibadah puasa kita di bulan Ramadlan tidak hanya dilihat pada bulan Ramadlan saja, akan tetapi juga harus bisa dirasakan pada bulan-bulan berikutnya.

    Atas dasar itu, ibadah puasa kita di bulan Ramadlan bisa optimal, sudah seharusnya kita memahami tujuan puasa Ramadlan.

    Tujuan puasa Ramadlan adalah membentuk individu-individu yang selalu bertaqwa kepada Allah swt. Allah swt telah berfirman, artinya:

    “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [Al-Baqarah:183]

    Seorang mufassir ternama, Imam Ibnu al-‘Arabiy, menjelaskan makna firman Allah swt, “la’allakum tattaquun” sebagai berikut:

    “Dalam menafsirkan frasa ini, para ‘ulama tafsir terbagi menjadi tiga pendapat.

    Pertama, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “la’allakum tattaquun” adalah “la’allakum tattaquun maa hurrima ‘alaikum fi’luhu” {agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan kepada kalian}.

    Kedua, ada yang berpendapat bahwa, “la’allakum tattaquun” bermakna “la’allakum tudl’ifuun fa tattaquun” [agar kalian menjadi lemah sehingga kalian menjadi bertaqwa]. Sebab, ketika seseorang itu sedikit makannya maka syahwatnya juga akan lemah, ketika syahwatnya melemah maka makshiyyatnya juga akan sedikit.”

    Ketiga, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah swt “la’allakum tattaquun”, adalah la’allakum tattaquun ma fa’ala man kaana qablakum” [agar kalian terjaga dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian {Yahudi dan Nashrani}.” [Imam Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz I/108]

    Alangkah bagusnya jika pendapat-pendapat ahli tafsir di atas kita gabungkan. Artinya, gelar taqwa akan disandang oleh orang-orang yang mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadlan jika ia telah mampu: (1) menghindarkan diri dari perbuatan haram, (2) melemahkan hawa nafsunya, (3) tidak meniru-niru perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani.

    Pertama, puasa yang selama ini kita lakukan harus mampu membentuk sikap untuk selalu membenci dan menjauhi perbuatan-perbuatan, perkataan-perkataan, atau prasangka-prasangka yang diharamkan Allah swt. Seandainya ia masih terbelenggu dengan amaliah-amaliah yang diharamkan Allah, dirinya akan bersungguh-sungguh (yang direfleksikan dengan tindakan konkret) untuk melepaskan diri dari belenggu-belenggu keharaman tersebut. Ia tidak akan rela hidup tanpa dicintai dan diridloi Allah swt. Jika dalam melakukan puasa ia bisa menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa, disiplin waktunya, memenuhi sunnah-sunnah dan keutamaannya, lalu mengapa untuk ibadah-ibadah yang lain ia tidak bisa seserius dan sedisiplin tatkala mengerjakan puasa?

    Kedua, puasa harusnya semakin membersihkan qalbu kita untuk selalu bersemangat dalam ibadah dan lemah dalam bermaksiat. Dengan puasa, syahwat (nafsu negatif) harusnya bisa dilemahkan sedangkan keinginan-keinginan baik semakin ditingkatkan. Jika kita masih memuja hawa nafsu dan melemahkan tuntunan agama yang baik, sungguh puasa kita belum mendapatkan hasil yang optimum.

    Ketiga, puasa harusnya bisa menghindarkan diri kita dari upaya-upaya meniru-niru pemikiran, adat-istiadat dan peradaban kaum kafir yang bertentangan dengan Islam. Lebih jauh lagi, puasa yang selama ini kita lakukan harus mampu menjadikan diri kita hanya ridlo untuk diatur hanya dengan aturan-aturan Allah swt, bukan dengan aturan-aturan produk Yahudi dan Nashrani.

    Sungguh, jika tiga hal ini telah kita pahami bersama, tentu ibadah puasa kita di bulan Ramadlan, dan ibadah-ibadah di bulan yang lain akan bermakna dan semakin optimal.

    Wallahu A’lam bi al-Shawab.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:16 am on 29 June 2015 Permalink | Balas  

    Maaf lahir batin 

    maafMaaf lahir batin

    Istaqimuu

    Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

    Semua amal anak Adam dapat dicampuri kepentingan hawa nafsu, kecuali shaum. Maka sesungguhnya shaum itu semata-mata untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya (Hr. Bukhari Muslim).

    Pernahkan Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang, ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat ini ternyata tidak lama. Pada saatnya nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masuk ke dalam kepompong selama beberapa hari.

    Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud lain: ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian, siapa yang tidak menyukai kupu-kupu dengan sayapnya yang beraneka hiasan indah alami? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksinya sebagai hobi (hiasan) ataupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.

    Semua proses itu memperlihatkan tanda-tanda Kemahabesaran Allah. Menandakan betapa teramat mudahnya bagi Allah Azza wa Jalla, mengubah segala sesuatu dari hal yang menjijikkan, buruk, dan tidak disukai, menjadi sesuatu yang indah dan membuat orang senang memandangnya.

    Semua itu berjalan melalui suatu proses perubahan yang sudah diatur dan aturannya pun ditentukan oleh Allah, baik dalam bentuk aturan atau hukum alam (sunnatullah) maupun berdasarkan hukum yang disyariatkan kepada manusia yakin Al Qur’an dan Al Hadits.

    Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia, maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yang jauh lebih indah, momen yang paling tepat untuk terlahir kembali adalah ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam ‘kepompong’ Ramadhan, lalu segala aktivitas kita cocok dengan ketentuan-ketentuan “metamorfosa” dari Allah, niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yang berderajat muttaqin, yang memiliki akhlak yang indah dan mempesona.

    Inti dari Ibadah Ramadhan ternyata adalah melatih diri agar kita dapat menguasai hawa nafsu. Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” (QS. An Nazii’at [79] : 40 – 41).

    Selama ini mungkin kita merasa kesulitan dalam mengendalikan hawa nafsu. Kenapa? Karena selama ini pada diri kita terdapat pelatihan lain yang ikut membina hawa nafsu kita ke arah yang tidak disukai Allah. Siapakah pelatih itu? Dialah syetan laknatullah, yang sangat aktif mengarahkan hawa nafsu kita. Akan tetapi memang itulah tugas syetan.

    Apalagi seperti halnya hawa nafsu, syetan pun memiliki dimensi yang sama dengan hawa nafsu yakni kedua-duanya sama-sama tak terlihat. “Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuhmu karena syetan itu hanya mengajak golongannya supaya menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala,” demikian firman Allah dalam QS. Al Fathir [25] : 6).

    Akan tetapi kita bersyukur karena pada bulan Ramadhan ini Allah mengikat erat syetan terkutuk sehingga kita diberi kesempatan sepenuhnya untuk bisa melatih diri mengendalikan hawa nafsu kita. Karenanya kesempatan seperti ini tidak boleh kita sia-siakan. Ibadah shaum kita harus ditingkatkan.

    Tidak hanya shaum atau menahan diri dari hawa nafsu perut dan seksual saja akan tetapi juga semua anggota badan kita lainnya agar mau melaksanakan amalan yang disukai Allah. Jika hawa nafsu sudah bisa kita kendalikan, maka ketika syetan dipelas kembali, mereka sudah tunduk pada keinginan kita. Dengan demikian, hidup kita pun sepenuhnya dapat dijalani dengan hawa nafsu yang berada dalam keridhaan-Nya. Inilah pangkal kebahagiaan dunia akhirat.

    Hal lain yang paling utama harus kita jaga juga dalam bulan yang sarat dengan berkah ini adalah akhlak. Barang siapa membaguskan akhlaknya pada bulan Ramadhan, Allah akan menyelamatkan dia tatkala melewati shirah di mana banyak kaki tergelincir, demikianlah sabda Rasulullah SAW.

    Pada bulan Ramadhan ini, kita dianggap sebagai tamu Allah. Dan sebagai tuan rumah, Allah sangat mengetahui bagaimana cara memperlakukan tamu-tamunya dengan baik. Akan tetapi sesungguhnya Allah hanya akan memperlakukan kita dengan baik jika kita tahu adab dan bagaimana berakhlak sebagai tamu-Nya. Salah satunya yakni dengan menjaga shaum kita sesempurna mungkin. Tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga belaka tetapi juga menjaga seluruh anggota tubuh kita ikut shaum.

    Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah, karena tidak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yang dijalani hidup kita, jangan sampai disia-siakan.

    Semoga Allah Yang Maha Menyaksikan senantiasa melimpahkan inayah-Nya sehingga setelah ‘kepompong’ Ramadhan ini kita masuki, kita kembali pada ke-fitri-an bagaikan bayi yang baru lahir. Sebagaimana seekor ulat bulu yang keluar menjadi seekor kupu-kupu yang teramat indah dan mempesona, amiin (pesanggrahanOnline)

    ***

    Marhaban yaa Ramadhan

    Marhaban yaa Syahrul Shabr.

     
    • cvnadagroup2017 1:57 am on 29 Juni 2015 Permalink

      minal aidin walfaidzin mohon maaf lahir dan bathin

  • erva kurniawan 4:59 am on 28 June 2015 Permalink | Balas  

    Puasa Ramadhan 

    normal_berbuka-puasa-021Puasa Ramadhan

    Puasa itu ada dua macam, puasa fardhu dan puasa tathawwu’ atau puasa sunnah. Puasa fardhu ada tiga macam, yaitu puasa Ramadhan, puasa Kaffarah dan puasa Nadzar.

    Puasa Ramadhan adalah salah satu kewajiban yang di bebankan oleh Allah SWT kepada kita. Ia merupakan rukun Islam yang keempat. Kewajiban tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa Ramadhan sebagaimana diwajibkannya puasa itu kepada umat-umat yang terdahulu sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183).

    Arti Puasa

    Puasa secara bahasa (Etimologi) berarti al-imsaak (menahan). Maksudnya menahan dari apa saja. Menahan dari bicara berarti puasa bicara, menahan dari tidur berarti puasa tidur, menahan dari makan dan minum berarti puasa makan dan minum, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di bawah ini:

    “Inni Nadzartu lirrahmaani Shauma” (sesungguhnya aku bernadzar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa). (Maryam: 26). Puasa di sini maksudnya menahan diri dari berbicara.

    Sedang menurut istilah ulama fiqh (terminologi), puasa berarti menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat pada malam harinya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

    Keutamaan Puasa

    1. Puasa itu untuk Allah (sebagai penghargaan dari-Nya), bukan untuk manusia. Artinya Allah-lah yang langsung membalasnya.

    Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam hadis Qudsi-Nya), “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, maka itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya ganjaran Puasa itu merupakan benteng, maka ketika datang saat berpuasa, janganlah seorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencai-maki. Seandainya dia dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaknya dia menjawab, ‘saya ini berpuasa’ dua kali. Demi Allah yang jiwa raga Muhammad berada pada ‘tangan’-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada bau minyak kesturi. Dan orang yang berpuasa itu akan mendapat dua kegembiraan yang menyenangkan hati, yaitu di saat berbuka, ia akan bergembira dengan berbuka itu dan di saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan bergembira dengan puasanya.” (HR Muslim, Nasa’i dan Ahmad).

    Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Puasa itu merupakan benteng. Maka jika salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata keji dan mencaki-maki. Seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci-makinya, hendaklah ia berkata, ‘saya ini berpuasa’ dua kali. Demi Allah yang jiwa raga Muhammad berada pada tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari bau minyak kesturi. Ia meninggalkan makan dan minum dan nafsu syahwatnya karena Aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberinya pahala. Sedang setiap kebajikan itu akan mendapat pahala sepuluh kali lipat.” (HR Bukhari dan Abu Daud)

    2. Apabila puasa itu dilaksanakan dengan baik dan benar, ia akan bisa memberikan syafa’at kepada orang yang melakukannya.

    “Puasa dan Alquran itu akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Ya Tuhan, Engkau larang ia makan dan memuaskan syahwatnya di waktu siang dan sekarang ia meminta syafaat kepadaku karena itu’. Lalu Alquran pun berkata, ‘Engkau larang ia tidur di waktu malam, sekarang ia meminta syafaat kepadaku mengenai itu.’ Akhirnya, syafaat kedua mereka pun di terima oleh Allah SWT.” (HR Ahmad dengan sanad yang sahih).

    3. Puasa akan dapat memasukkan orang yang melakukannya ke sorga dan menjauhkannya dari neraka.

    Dari Abu Umamah berkata, saya datang kepada Rasulullah saw lalu saya berkata kepadanya, “Perintahlah aku dengan semacam amal yang akan dapat memasukkanku ke sorga”, maka Nabi saw bersabda: “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada tandingannya”. Lalu aku datangi Nabi untuk kali keduanya, maka Nabi saw bersabda: “Hendaklah kamu berpuasa.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Hakim seraya menshahihkannya).

    Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba itu berpuasa satu hari karena Allah kecuali Allah mesti menjauhkan dirinya dari neraka sebab puasa itu selama tujuh puluh tahun.” (HR al-Jama’ah [sekelompok ulama hadis] kecuali Abu Daud).

    Dari Sahl bin Sa’d, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya sorga itu mempunyai sebuah pintu yang disebut ‘ar-Rayyan’ (artinya basah yang melimpah). Pada hari Kiamat akan dipanggil-panggil: “Hai, mana orang-orang yang berpuasa?” Lalu bila orang yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itu pun ditutupkanlah.” (HR Bukhari dan Muslim).

    Keutamaan Bulan Ramadhan

    1. Pintu-pintu sorga (jalan-jalan menuju kebaikan) dibuka, pintu-pintu neraka (jalan-jalan menuju amal jelek) ditutup dan syetan-syetan (provokator amal kejahatan) dibelenggu Allah SWT.

    Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda -yakni ketika datang bulan Ramadhan-, “Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan kamu berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam yang nilainya lebih berharga daripada seribu bulan. Maka, barangsiapa tidak berhasil memperoleh kebaikannya, sungguh ia tidak akan mendapatkan kebaikan itu selama-lamanya.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi).

    2. Orang yang melakukan kebaikan di bulan itu diperintah berbahagia dan orang yang melakukan kejahatan di bulan itu diperintah berhenti.

    “…dan seorang malaikat akan berseru, ‘Wahai pencari kebaikan, bergembiralah. Wahai pecinta kejahatan, berhentilah.” (HR Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang baik).

    3. Puasa Ramadhan yang kita lakukan ini menjadi pelebur atas dosa -dosa yang telah kita lakukan dari satu Ramadhan ke Ramadhan yang lain.

    Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Salat yang lima waktu, Salat Jum’at yang satu ke salat Jum’at yang lain itu menghapuskan kesalahan-kesalahan yang terdapat di antara masing-masing selama dosa besar itu dijauhi.” (HR Muslim).

    4. Apabila puasa Ramadhan itu dilakukan dengan ikhlas, maka diampunilah semua dosa-dosanya yang telah lampau.

    Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan ridha Allah SWT, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Ah Ahmad, dan Ashabus Sunan).

    Referensi:

    1. Fiqhus Sunnah, Sayyid sabiq

    2. Tamamul Minnah, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani

    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:13 am on 27 June 2015 Permalink | Balas  

    Spiritualisme dan Materialisme. 

    puasa 4Spiritualisme dan Materialisme.

    Puasa Ramadhan hakekatnya adalah melatih dan mengajari naluri (instink) manusia yang cenderung tak terkontrol. Naluri yang sulit terkotrol dan terkendali itu adalah naluri perut yang selalu menuntut untuk makan dan minum dan naluri seks yang selalu bergelora sehingga manusia kewalahan untuk mengekang dua naluri ini. Dalam sejarah manusia didapatkan dua falsafah yang dapat menguasai dan mendominasi kebanyakan manusia, yakni falsafah materialisme yang berorientsi pada materi saja, dan falsafah spiritualisme yang hanya berorientasi pada rohaniah saja.

    Orang-orang yang berorientasi materi – terdiri dari orang-orang atheis, komunis dan animisme dan berhalaisme – mereka hidup untuk dunianya saja. Mereka melepaskan kenhendak nalurinya dan tak pernah puas. Bila terpenuhi satu keinginannya, timbul keinginan baru begitu seterusnya. Sahwat manusia bila sudah terbakar maka akan mengheret dari sedikit ke yang banyak, dari banyak ke yang terbanyak. Allah mengecam orang-orang seperti ini: “Biarkanlah mereka makan, dan bersenang-senang, mereka dilalaikan oleh angan-angan dan mereka akan mengetahui akibatnya”.(QS Al Hijr 3). Ayat lain: “Orang-orang kafir mereka bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Dan neraka adalah tempat tinggalnya”.(QS Muhammad 12) Mereka hidup di dunia ini dalam keadaan kosong. Jiwanya dikuasai nafsunya, m enghalalkan segala cara, dan dihari kiamat nanti mereka mendapat balasan yang setimpal. “Demikian itu bersenang-senang di bumi tanpa haq dan mereka sombong”.(QS Ghofir 75)

    Sementara filsafat spiritualisme yang didasarkan pada kerahiban, berpandangan bahwa pengabdian kepada Tuhan harus menekan naluri seks mengikis habis pendorong-pendorongnya dan mematikannya yang juga diatasi dengan mengurangi makan. Dengan kata lain mereka masuk dalam kancah peperangan melawan jasad manusiawinya. Filsafat ini dilakukan oleh gereja sejak dahulu kala. Orang-orang Barat dewasaa ini melepaskan diri dari filsafat gereja, mereka menggunakan waktu dan harta kekayaannya untuk memenuhi sahwat jasmaninya. Filsafat spiritualismenya telah lenyap, bahkan gereja-gereja sudah tiada lagi pengunjungnya walaupun pada hari Minggu. Seandainya masih ada, itu hanya sekelompok minoritas yang hidup di dunia Islam.

    Agama Islam adalah agama yang seimbang. Ia menghormati rohani dan jasmani sekaligus, ia memperhatikan nilai-nilai ideal manusia, tapi juga menjamin kebutuhan hidup naluri duniawinya asal dalam ruang keutamaan, ketaatan, kehormatan. Ia membolehkan manusia makan dengan catatan dalam batas kewajaran dan kehormatan. “Makanlah dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tidak diiringi kesombongan”.(HR Bikhari) Islam mengimbangkan antara ruhani dan jasmani. “Ya Allah, a ku berlindung kepadamu dari lapar, karena sesungguhnya seburuk- buruk tidur adalah dalam keadaan lapar. Dan aku berlindung kepadamu dari khianat, karena itu adalah seburuk-buruk suasana kejiwaan”.(HR Abu Daud) Islam memperhatikan kehidupan dunia dan akherat, “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertaqwa: Apa yang Tuhan kalian turunkan? mereka berkata: ‘Keuntungan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini dan akherat lebih baik, dan sebaik tempat bagi orang-orang yang bertaqwa”.(QS AN Nahl 30)

    Ajaran Islam datang untuk mensucikan manusia, mengangkat darjatnya, ia mensucikan fisikalnya dengan mandi dan berwudlu, mensucikan jiwanya denga ruku’ dan sujud. Islam adalah jasmani dan ruhani, dunia dan akherat dengan falsafah puasa. Islam menegaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Nilai manusia tidak terletak pada jasadnya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah swt. Firman Allah: “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: “Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya”.(QS ShAd 71-72) Setelah itu manusia ada yang mengenali siapa yang meniupkan ruh kapadanya dan yang memuliakannya atas seluruh makhluknya. Mereka itu akan bersyukkur kepada pemberi nikmat, sementara ada manusia-manusia yang melupakan Tuhannya, melupakan kepada dzat yang meniupkan ruh kepadanya.

    Demikian juga halnya kebudayaan. Kebudayaan yang memegang kendali alam sekarang ini telah melupakan Tuhannya, melalaikan haknya. Dunia ini tidak memiliki kebudayaan yang mengakui ruhani dan jasmani, berorientasi dunia dan akherat dan menentukan hak-hak manusia disamping hak-hak Allah -kebudayaan Islam-. Puasa Ramadhan sebagaimana Rasulullah jelaskan dapat mengangkat derajat pelakunya menjadi unsur rahmat, kedamaian, ketenangan, kesucian jiwa, aklaq mulia dan perilaku yang indah ditengah-tengah masyarakat. “Bila salah seorang dari kalian berpuasa maka hendaknya ia tidakberbicara buruk dan aib. dan jangan berbicara yang tiada manfaatnya dan bila dimaki seseorang maka berkatalah, ‘Aku berpuasa'”. (HR. Bukhori). Dalam bulan Ramadhan terdapat filsafat Islam yang mengaitkan dunia dengan akhirat, mengaitkan jasmani dan ruhani, mengaitkan bumi dengan langit, mengaitkan manusia dengan wahyu, dan mengaitkan dunia dengan kitab yang menerangi jalannya dan menetukan tujuannya

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 2:10 am on 26 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Shalat ‘Iedul Fithri Dan ‘Iedul Adhha 

    jamaah3Panduan Shalat ‘Iedul Fithri Dan ‘Iedul Adhha

    1. Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata : Adalah Nabi saw. pada hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adhha keluar ke mushalla (padang untuk shalat), maka pertama yang beliau kerjakan adalah shalat, kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap kepada manusia sedang manusia masih duduk tertib pada shof mereka, lalu beliau memberi nasihat dan wasiat (khutbah) apabila beliau hendak mengutus tentara atau ingin memerintahkan sesuatu yang telah beliau putuskan,beliau perintahkan setelah selesai beliu pergi. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    2. Telah berkata Jaabir ra: Saya menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi saw. beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingakan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka. (H.R : Muslim)
    3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Umar mendapati pakaian tebal dari sutera yang dijual, lalu beliau mengambilnya dan membawa kepada Rasulullah saw. lalu berkata : Yaa Rasulullah belilah pakaian ini dan berhiaslah dengannya untuk hari raya dan untuk menerima utusan. Maka beliaupun menjawab : Sesungguhnya pakaian ini adalah bagian orang-orang yang tidak punya bagian di akherat (yakni orang kafir). (H.R Bukhary dan Muslim)
    4. Diriwayatkan dari Ummu ‘Atiyah ra. ia berkata : Rasulullah saw. memerintahkan kami keluar pada ‘iedul fitri dan ‘iedul adhha semua gadis-gadis, wanita-wanita yang haidh, wanita-wanita yang tinggal dalam kamarnya. Adapun wanita yang sedang haidh mengasingkan diri dari mushalla tempat shalat ‘ied), mereka meyaksikan kebaikan dan mendengarkan da’wah kaum muslimin (mendengarkan khutbah). Saya berkata : Yaa Rasulullah bagaimana dengan kami yang tidak mempunyai jilbab? Beliau bersabda : Supaya saudaranya meminjamkan kepadanya dari jilbabnya. (H.R : Jama’ah)
    5. Diriwayatkan dariAnas bin Malik ra. ia berkata : Adalah Nabi saw. Tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    6. Diriwayatkan dari Buraidah ra. ia berkata : Adalah Nabi saw keluar untuk shalat ‘iedul fitri sehingga makan terlebih dahulu dan tidak makan pada shalat ‘iedul adhha sehingga beliau kembali dari shalat ‘ied. (H.R :Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan Ahmad)
    7. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Bahwasanya Nabi saw. Keluar untuk shalat ‘iedul fitri dua raka’at, tidak shalat sunah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. (H.R : Bukhary dan Muslim)
    8. Diriwayatkan dari Jaabir ra. ia berkata : Adalah Nabi saw apabila keluar untuk shalat ‘ied ke mushalla, beliau menyelisihkan jalan (yakni waktu berangkat melalui satu jalan dan waktu kembali melalui jalan yang lain (H.R : Bukhary)
    9. Diriwayatkan dari Yazid bin Khumair Arrahbiyyi ra. ia berkata : Sesungguhnya Abdullah bin Busri seorang sahabat nabi saw. Keluar bersama manusia untuk shalat ‘iedul fitri atau ‘iedul adhha, maka beliau mengingkari keterlambatan imam, lalu berkata : Sesungguhnya kami dahulu (pada zaman Nabi saw.) pada jam-jam seperti ini sudah selesai mengerjakan shalat ‘ied. Pada waktu ia berkata demikian adalah pada shalat dhuha. (H.R : Abu Daud dan Ibnu Majah)
    10. Diriwayatkan dari Abi Umair bin Anas, diriwayatkan dari seorang pamannya dari golongan Anshar, ia berkata : Mereka berkata : Karena tertutup awan maka tidak terlihat oleh kami hilal syawal, maka pada pagi harinya kami masih tetap shaum, kemudian datanglah satu kafilah berkendaraan di akhir siang, mereka bersaksi dihadapan Rasulullah saw.bahwa mereka kemarin melihat hilal. Maka Rasulullah saw. memerintahkan semua manusia (ummat Islam) agar berbuka pada hari itu dan keluar menunaikan shalat ‘ied pada hari esoknya. (H.R : Lima kecuali At-Tirmidzi)
    11. Diriwayatkan dari Azzuhri, ia berkata : Adalah manusia (para sahabat) bertakbir pada hari raya ketika mereka keluar dari rumah-rumah mereka menuju tempat shalat ‘ied sampai mereka tiba di mushalla (tempat shalat ‘ied) dan terus bertakbir sampai imam datang, apabila imam telah datang, mereka diam dan apabila imam ber takbir maka merekapun ikut bertakbir. (H.R : Ibnu Abi Syaibah)
    12. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. bertakbir pada hari-hari tasyriq dengan lafadz sbb : (artinya) : Allah maha besar, Allah maha besar, tidak ada Illah melainkan Allah dan Allah maha besar, Allah maha besar dan bagiNya segala puji. (H.R Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)
    13. Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari neneknya, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada shalat ‘ied dua belas kali takbir. dalam raka’at pertama tujuh kali takbir dan pada raka’at yang kedua lima kali takbir dan tidak shalat sunnah sebelumnya dan juga sesudahnya. (H.R : Amad dan Ibnu Majah)
    14. Diriwayatkan dari Samuroh, ia berkata : Adalah Nabi saw. Dalam shalat kedua hari raya beliau membaca : Sabihisma Rabbikal A’la dan hal ataka haditsul ghosiah. (H.R : Ahmad)
    15. Diriwayatkan dari Abu Waqid Allaitsi, ia berkata : Umar bin Khaththab telah menanyakan kepadaku tentang apa yang dibaca oleh Nabi saw. Waktu shalat ‘ied . Aku menjawab : beliau membaca surat (Iqtarabatissa’ah) dan Qaaf walqur’anul majid). (H.R : Muslim)
    16. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom ra. ia berkata : Nabi saw. Mendirikan shalat ‘ied, kemudian beliau memberikan ruhkshah / kemudahan dalam menunaikan shalat jum’at, kemudian beliau bersabda : Barang siapa yang mau shalat jum’ah, maka kerjakanlah. (H.R : Imam yang lima kecuali At-Tirmidzi)
    17. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. Bersabda pada hari kamu ini, telah berkumpul dua hari raya (hari jum’ah dan hari raya), maka barang siapa yang suka shalat jum’ah, maka shalatnya diberi pahala sedang kami akan melaksanakan shalat jum’ah. (H.R : Abu Daud)

    KESIMPULAN

    Hadits-hadits tersebut memberi pelajaran kepada kita tentang adab-adab shalat hari raya sbb :

    Pakaian

    Pada saat mendirikan shalat kedua hari raya disunnahkan memakai pakaian yang paling bagus. (dalil : 3)

    Makan

    a. Sebelum berangkat shalat hari raya fitri disunnahkan makan terlebih dahulu, jika terdapat beberapa butir kurma , jika tidak ada maka makanan apa saja.

    b. Sebaliknya pada hari raya ‘iedul adhha, disunnahkan tidak makan terlebih dahulu sampai selesai shalat ‘iedul adhha. (dalil : 5 dan 6)

    Mendengungkan takbir

    a. Pada hari raya ‘iedul fitri, takbir didengungkan sejak keluar dari rumah menuju ke tempat shalat dan sesampainya di tempat shalat terus dilanjutkan takbir didengungkan sampai shalat dimulai. (dalil : 11)

    b. Pada hari raya ‘iedul adhha, takbir boleh didengungkan sejak Shubuh hari Arafah (9 Dzul Hijjah) hingga akhir hari tasyriq (13 Dzul Hijjah). (dalil : 12)

    Jalan yang dilalui

    Disunnahkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat shalat hari raya dengan jalan yang dilalui di waktu pulang dari shalat ‘ied (yakni waktu berangkat melalui satu jalan, sedang waktu pulang melalui jalan yang lain). (dalil : 8)

    Bila terlambat mengetahui tibanya hari raya

    Apabila datangnya berita tibanya hari raya sudah tengah hari atau petang hari, maka hari itu diwajibkan berbuka sedang pelaksanaan shalat hari raya dilakukan pada hari esoknya. dalil : 10)

    Yang menghadiri shalat ‘ied

    Shalat ‘ied disunnahkan untuk dihadiri oleh orang dewasa baik laki-laki maupun wanita, baik wanita yang suci dari haidh maupun wanita yang sedang haidh dan juga kanak-kanak baik laki-laki maupun wanita. Wanita yang sedang haidh tidak ikut shalat, tetapi hadir untuk mendengarkan khutbah ‘ied. (dalil :4)

    Tempat shalat ‘ied

    Shalat ‘ied lebih afdhal (utama) diadakan di mushalla yaitu suatu padang yang di sediakan untuk shalat ‘ied, kecuali ada uzur hujan maka shalat diadakan di masjid. Mengadakan shalat ‘ied di masjid padahal tidak ada hujan sementara lapangan (padang) tersedia, maka ini kurang afdhal karena menyelisihi amalan Rasulullah saw. yang selalu mengadakan shalat ‘ied di mushalla (padang tempat shalat), kecuali sekali dua kali beliau mengadakan di masjid karena hujan. (dalil : 1 dan 8)

    Cara shalat ‘ied

    a. Shalat ‘ied dua raka’at, tanpa adzan dan iqamah dan tanpa shalat sunnah sebelumnya dan sesudahnya. (dalil : 1,2 dan 7)

    b. Pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum membaca Al-Fatihah, ditambah 7 kali takbir. Sedang pada raka’at yang kedua sebelum membaca Al-Fatihah dengan takbir lima kali. (dalil 13)

    c. Setelah membaca Fatihah pada raka’at pertama di sunnahkan membaca surat (sabihisma Rabbikal a’la / surat ke 87) atau surat iqtarabatissa’ah / surat ke 54). Dan setelah membaca alFatihah pada raka’at yang kedua disunnahkan membaca surat (Hal Ataka Haditsul Ghaasyiyah / surat ke 88) atau membaca surat (Qaaf walqur’anul majid / surat ke 50).(dalil : 15)

    d. Setelah selesai shalat , imam berdiri menghadap makmum dan berkhutbah memberi nasihat-nasihat dan wasiat-wasiat, atau perintah-perintah penting.

    e. Khutbah hari raya ini boleh diadakan khusus untuk laki-laki kemudian khusus untuk wanita.

    f. Khutbah hari raya ini tidak diselingi duduk .(dalil : 1 dan 2)

    Waktu shalat

    Shalat ‘ied diadakan setelah matahari naik, tetapi sebelum masuk waktu shalat dhuha. (dalil : 9)

    Hari raya jatuh pada hari jum’ah Bila hari raya jatuh pada hari jum’ah, maka shalat jum’ah menjadi sunnah, boleh diadakan dan boleh tidak, tetapi untuk pemuka umat atau imam masjid jami’ sebaiknya tetap mengadakan shalat jum’at. (dalil : 16 dan 17)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 5:02 am on 25 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Mengeluarkan Zakat Fitrah 

    zakatPanduan Mengeluarkan Zakat Fitrah

    1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar t.ia berkata : Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadhan satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari sya’iir. atas seorang hamba, seorang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslilmin. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    2. Diriwayatkan dari Umar bin Nafi’ dari ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata ; Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari sya’iir atas seorang hamba, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar di tunaikan / dikeluarkan sebelum manusia keluar untuk shalat ‘ied. (H. R : Al-Bukhary, Abu Daud dan Nasa’i)
    3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan sia-sia dan dari perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang siapa yang mengeluarkannya sesudah shalat ‘ied, maka itu berarti shadaqah seperti shadaqah biasa (bukan zakat fithrah). (H.R : Abu Daud, Ibnu Majah dan Daaruquthni)
    4. Diriwayatkan dari Hisyam bin urwah dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda : Tangan di atas (memberi dan menolong) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta), mulailah orang yang menjadi tanggunganmu (keluarga dll) dan sebaik-baik shadaqah adalah yang di keluarkan dari kelebihan kekayaan (yang di perlukan oleh keluarga) (H.R : Al-Bukhary dan Ahmad)
    5. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah sw. memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fithrah unutk anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya dari orang yang kamu sediakan makanan mereka (tanggunganmu). (H.R : Daaruquthni, hadits hasan)
    6. Artinya : Diriwayatkan dari Nafi’ t. berkata : Adalah Ibnu Umar menyerahkan (zakat fithrah) kepada mereka yang menerimanya (panitia penerima zakat fithrah / amil) dan mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum ‘iedil fitri. (H.R.Al-Bukhary)
    7. Diriwayatkan dari Nafi’ : Bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menyuruh orang mengeluarkan zakat fithrah kepada petugas yang kepadanya zakat fithrah di kumpulkan (amil) dua hari atau tiga hari sebelum hari raya fitri. (H.R: Malik)

    KESIMPULAN

    Hadits-hadits tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa :

    1. Wajib bagi tiap kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat fithrah untuk dirinya , keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. (dalil : 1,2 dan 5)
    2. Yang wajib mengeluarkan zakat fithrah adalah yang mempunyai kelebihan dari keperluan untuk dirinya dan keluarganya. (dalil : 4)
    3. Sasaran zakat fithrah adalah dibagikan kepada kaum miskin dari kalangan kaum muslimin. (dalil : 3)
    4. Zakat fithrah dikeluarkan dari makanan pokok (di negeri kita adalah beras) sebanyak lebih kurang 3,1 liter untuk seorang. (dalil : 1 dan 2)
    5. Cara menyerahkan zakat fithrah adalah sebagai berikut :

    a. Bila diserahkan langsung kepada yang berhak (fakir miskin muslim) waktu penyerahannya adalah sebelum shalat ‘ied yakni malam hari raya atau setelah shalat Shubuh sebelum shalat ‘iedul fitri. (dalil : 2 dan 3)

    b. Bila diserahkan kepada amil zakat fithrah (orang yang bertugas mengumpulkan zakat fithrah), boleh diserahkan tiga,dua atau satu hari sebelum hari raya ‘iedul fitri. (dalil : 6 dan 7)

    1. Zakat fithrah disyari’atkan untuk membersihkan pelaksanaan shaum Ramadhan dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji di waktu shaum. (dalil : 3)

    ***

    Dari Sahabat

     
    • cvnadagroup2017 6:01 am on 25 Juni 2015 Permalink

      good pos

  • erva kurniawan 11:02 am on 24 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan I’tikaf Ramadhan 

    itikaf2Panduan I’tikaf Ramadhan

    Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang dangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan ) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

    Definisi I’tikaf

    Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. ( al Muhalla V/179)

    Hukum I’tikaf

    Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ” HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: ” Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

    Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf

    Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

    Macam-macam I’tikaf

    I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.

    Waktu I’tikaf

    Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.

    Syarat-syarat I’tikaf

    Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut : 1. Muslim.

    2. Berakal

    3. Suci dari janabah ( junub), haidh dan nifas.

    Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

    Rukun-rukun I’tikaf

    1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat)

    2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)

    Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.

    Awal dan akhir I’tikaf

    Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.

    Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf

    Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

    Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)

    1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)

    2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.

    3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya .

    4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

    Hal-hal yang membatalkan I’tikaf

    1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.

    2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65

    3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk

    4. Haidh

    5. Nifas

    6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.

    7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)

    I’tikaf bagi Muslimah

    I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:

    1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.

    2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.

    Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu ‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 23 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Menggapai Lailatul Qodar 

    malam lailatul qodrPanduan Menggapai Lailatul Qodar

    Muqadimah

    Sesudah disyariatkannya ibadah shaum, dan agar umat Islam dapat merealisasikan nilai taqwa, Allah SWT melengkapi nikmat-Nya dengan memberikan adanya “Lailat al qodr”. Allah berfirman : ” Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada ” Lailat al qodr”. Tahukah kalian apakah ” Lailat al qodr” ?. Itulah malam yang lebih utama dari pada seribu bulan” (QS. Al Qodr : 1-3)

    Keutamaan Lailat al Qodr

    Ayat yang dikutip di atas jelas menunjukkan nilai utama dari ” Lailat al qodr”. Mengomentari ayat di atas Anas bin Malik ra menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan disitu adalah bahwa amal ibadah seperti shalat, tilawah al-Qur’an, dan dzikir serta amal sosial (seperti shodaqoh dana zakat), yang dilakukan pada malam itu lebih baik dibandingkan amal serupa selama seribu bulan (tentu di luar malam lailat al qodr sendiri). Dalam riwayat lain Anas bin Malik juga menyampaikan keterangan Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya Allah mengkaruniakan ” Lailat al qodr” untuk umatku, dan tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya.

    Sementara berkenaan dengan ayat 4 surat al qodr, Abdullah bin Abbas ra menyampaikan sabda Rasulullah bahwa pada saat terjadinya lailat al qodr, para malaikat turun kebumi menghampiri hamba-hamba Allah yang sedang qiyam al lail, atau melakukan dzikir, para malaikat mengucapkan salam kepada mereka. Pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, dan Allah menerima taubat dari para hambaNya yang bertaubat. Dalam riwayat Abu Hurairah ra, seperti dilaporkan oleh Bukhori, Muslim dan al Baihaqi, Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan , “barangsiapa melakukan qiyam ( shalat malam) pada lailat al qodr, atas dasar iman serta semata-mata mencari keridloan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukannya”. Demikian banyaknya keutamaan lailat al qodr, sehingga Ibnu Abi Syaibah pernah menyampaikan ungkapan al Hasan al Bashri, katanya : ” Saya tidak pernah tahu adanya hari atau malam yang lebih utama dari malam yang lainnya, kecuali ‘ Lailat al qodr’, karena lailat al qodr lebih utama dari (amalan) seribu bulan”.

    Hukum “Menggapai” Lailat al Qodr.

    Memperhatikan pada arahan (taujih) Rasulullah SAW, serta contoh yang beliau tampilkan dalam upaya “menggapai” lailat al qodr, dalam hal ini misalnya Umar pernah menyampaikan sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa mencari lailat al qodr, hendaknya ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh” (HR. Ahmad). Maka para ulama’ berkesimpulan bahwa berupaya menggapai lailat al qodr hukumnya sunnah. IV. Kapankah terjadinya Lailat al Qodr Sesuai dengan firman Allah pada awal surat Al Qodr, serta pada ayat 185 surat Al Baqoroh, dan hadits Rasulullah SAW. Maka para ulama’ bersepakat bahwa ” Lailat al qodr” terjadi pada malam bulan Ramadhan. Bahkan seperti diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Abu Dzar, dan Abu Hurairah, lailat al qodr bukannya sekali terjadi pada masa Rasulullah SAW saja, malainkan ia terus berlangsung pada setiap bulan Ramadhan untuk mashlahat umat Muhammad, sampai terjadinya hari qiyamat. Adapun tentang penentuan kapan persis terjadinya lailat al qodr, para ulama berbeda pendapat disebabkan beragamnya informasi hadits Rasulullah, serta pemahaman para shahabat tentang hal tersebut. Sebagaimana tersebut dibawah ini :

    1. Lailat al qodr terjadi pada malam 17 Ramadhan, malam diturunkannya Al Qur’an. Hal ini disampaikan oleh Zaid bin Arqom, dan Abdullah bin Zubair ra. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi dan Bukhori dalam tarikh).

    2. Lailat al qodr terjadi pada malam-malam ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Aisyah dari sabda Rasululah SAW: “Carilah lailat al qodr pada malam-malam ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori, Muslim dan Baihaqi)

    3. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abi Said al Khudri yang dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim.

    4. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 23 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Unais al Juhany, seperti dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim.

    5. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 27 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar, seperti dikutip oleh Ahmad. Dan seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, bahwa Umar bin al Khoththob, Hudzaifah serta sekumpulan besar shahabat, yakin bahwa lailat al qodr terjadi pada malam 27 bulan Ramadhan. Rasulullah SAW seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, juga pernah menyampaikan kepada shahabat yang telah tua dan lemah tak mampu qiyam berlama-lama dan meminta nasehat kepada beliau kapan ia bisa mendapatkan lailat al qodr, Rasulullah SAW kemudian menasehati agar ia mencarinya pada malam ke 27 bulan Ramadhan (HR. Thabroni dan Baihaqi).

    6. Seperti difahami dari riwayat Ibnu Umar dan Abi Bakrah yang dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim, terjadinya lailat al qodr mungkin berpindah-pindah pada malam-malam ganjil sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sesuai dengan informasi terakhir ini, dan karena langka dan pentingnya lailat al qodr, maka selayaknya setiap muslim berupaya selalu mendapatkan lailat al qodr pada sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

    Tanda-tanda terjadinya Lailat al qodr

    Seperti diriwayatkan Oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: ” Pada saat terjadinya lailat al qodr itu, malam terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk tidak terasa panas tidak juga dingin. Dan pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih terang benderang tanpa tertutup sesuatu awan”.

    Apa yang perlu dilakukan pada lailat al qodr dan agar dapat menggapai lailat al qodr

    1. Lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan semua bentuk ibadah pada hari-hari Ramadhan, menjauhkan diri dari semua hal yang dapat mengurangi keseriusan beribadah pada hari-hari itu. Dalam peribadatan ini juga dengan mengikutsertakan keluarga. Hal itulah yang dahulu dicontohkan Rasulullah SAW.

    2. Melakukan i’tikaf dengan berupaya sekuat tenaga. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. 3. Melakukan qiyamu al lail berjama’ah, sampai dengan rekaat terakhir yang dilakukan imam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dzar ra.

    4. Memperbanyak do’a memohon ampunan dan keselamatan kepada Allah dengan lafal : “Allahumma innaka ‘afuwun tuhibul afwa fa’fu ‘anni”. Hal inilah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah ra ketika beliau bertanya : ‘ wahai Rasulullah, bila aku ketahui kedatangan lailat al qodr, apa yang mesti aku ucapkan”? (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

    Menggapai ” Lailat al qodr” bagi Muslimah

    Sebagaimana tersirat dari dialog Rasulullah SAW dengan Aisyah, istri beliau itu, maka mudah disimpulkan bahwa kaum muslimah-pun disyari’atkan dan diperbolehkan menggapai lailat al qodr . Dengan melakukan maksimalisasi ibadah yang memang diperbolehkan untuk dilakukan seorang muslimah. VIII. Khotimah Demikian panduan ringkas ini, mudah-mudahan pada bulan Ramadhan tahun ini Allah memperkenankan kita meraih ” Lailat al qodr”, malam yang utama dari 1000 bulan alias 83 tahun itu.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 9:31 am on 22 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Shalat dan Shaum dalam Bepergian 

    Selamat-Berpuasa-Puasa-Ramadhan-1431-HPanduan Shalat dan Shaum dalam Bepergian

    Hukum-hukum yang berkaitan dengan safar (perjalanan) ialah mengkoshor shalat, menjama’ shalat, menyapu sepatu saat wadhu’ selama tiga hari, berbuka di bulan Ramadhan, boleh tidak shalat jam’at dan sunnat ‘ied, shalat di atas kendaraan dan tayammum. Dalam kesempatan ini – insya Allah – akan dikemukakan lebih lanjut tentang ketentuan shalat dan shaum dalam safar, yang sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam keadaan safar (bepergian)pun Islam memberikan panduan agar umat selalu selamat dan sejahtera.

    Shalat Dalam Safar

    Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan membolehkan hal-hal berikut :

    1. Mengqoshor (memendekkan) shalat:

    a Pada dasarnya qoshor merupakan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk tujuan maksiat. Manyoritas ulama’ berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol. Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW katanya: ” Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Ustman Rasulullah SAW.

    b. Jarak perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan.

    c. Persyaratan teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha’ sebagai berikut :

    1) Bukan safar untuk maksiat, menurut mayoritas ulama’.

    2) Mempunyai tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor

    3) Telah keluar rumah dan wilayah dimana ia tinggal

    4) Tidak berniat untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor

    5) Tidak menjadi makmun bagi imam yang tidak mengqoshor

    6) Niat qoshor saat takbirotul ikhrom .

    2. Menjama’ (mengumpulkan) shalat

    Menjama’ shalat dhuhur dengan ashar atau naghrib dengan isya’ dibolehkan dalam safar, baik dengan jama’ taqdim (didahulukan) maupun jama’ ta’khir (diakhirkan). Asal sudah berniat untuk safar boleh menjama’ taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama’ ta’khir diharuskan berniat sejak tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah (qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama’ tidak diselingi dengan shalat sunnat.

    3. Menjama’ dan mengqoshor shalat

    Selain kedua hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari’at Islam juga membolehkan adanya jama’ dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun ta’khir, yaitu dengan menjama’ qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar, masing-masing dua reka’at dan menjama’ qoshor antara shalat maghrib (tetap 3 reka’at) dengan isya’ dua rekaat.

    4. Shalat di atas kendaraan

    Jika tiba waktu shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu, maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat, minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak memungkinkan menghadap qiblat, boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika tidak memungkinkan melaksanakannya sambil berdiri. Diriwayatkan dari Maemun bin Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: ” Aku bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana caranya shalat di atas kapal laut? jawab beliau : “Shalatlah berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam ( karena oleng). Riwayat ad Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim.Asy Syaukani berkomentar: Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.

    Shaum Dalam Safar

    1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib, seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho’) di waktu lain. Dalil syar’i yang mengaturnya; Al-Qur’an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: “… Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan… “.

    2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama’ adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa ” Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan”, dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah.

    3. Dengan mempertimbangkan (mura’at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka: Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama’ sesuai dengan taujih ayat : ” …. Dan bahwa kamu sekalian melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya” ( QS:2:184)

    Shaum lebih baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho’nya akan terasa berat. Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz. Shaum lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqqoh). Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah para shahabat Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti.

    b. Berbuka lebih baik: Bagi orang yang kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya’. Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang shaum: ” Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala”.

    Demikian pula berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan ini). Sebagaimana kesimpulan Asy Syaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an Nasa’i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW : ya Rasulullah saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ? jawab beliau : ” Ini merupakan rukhshoh dari Allah ta’ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa”.

    Berbuka adalah afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini Rasulullah SAW bersabda tentang musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang banyak: ” Tidak merupakan kebaikan (al birr) as shaum dalam safar “. Demikian Imam Bukhori menyimpulkan. Bebrbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad.

    Bahkan berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad

    Dalam kajian fiqhiyah, ulama’ menyimpulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu :

    a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat

    b. Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya

    c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai.

    Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir) kecuali jika terjadi masyaqqoh. Para ulama’ cenderung bahwa untuk pengamalan sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan yang ada. Wallahu ta’ala ‘alam.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 4:30 am on 21 June 2015 Permalink | Balas  

    Fiqih Shaum Bagi Muslimah 

    ramadhan8Fiqih Shaum Bagi Muslimah

    Muqoddimah

    Dalam surat Al-Baqoroh : 183, Allah SWT memerintahkan umat Islam melaksanakan shiyam, untuk mencapai derajat taqwa. Perintah ini adalah umum, baik untuk pria maupun wanita. Tetapi dalam perincian pelaksanaan shiyam, ada beberapa hukum khusus bagi wanita. Hal ini terjadi karena perbedaan fithrah yang ada pada wanita yang tidak dimiliki oleh pria. Dalam kajian ini- insya Allah- akan dibahas hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita secara khusus.

    Panduan Umum

    1. Wanita sebagaimana pria disyari’atkan memanfaatkan bulan suci ini untuk hal-hal yang bermanfaat, dan memperbanyak menggunakan waktu untuk beribadah. Seperti memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dzikir, do’a, shodaqoh dan lain sebagainya, karena pada bulan ini amal sholeh dilipatgandakan pahalanya.
    2. Mengajarkan kepada anak-anaknya akan nilai bulan Ramadhan bagi umat Islam, dan membiasakan mereka berpuasa secara bertahap (tadarruj), serta menerangkan hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai dengan tingkat kefahaman yang mereka miliki.
    3. Tidak mengabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat berbagai variasi makanan untuk berbuka. Memang wanita perlu menyiapkan makanan, tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub kepada Allah.
    4. Melaksanakan shalat pada waktunya (awal waktu) III. Hukum Berpuasa bagi Muslimah Berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS. Al-Baqoroh: 183) serta hadits Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim), maka para ulama’ ber-ijma’ bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib, apabila memenuhi syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim, dan tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk berpuasa.

    Wanita Shalat Tarawih, I’tikaf dan Lailat al Qodr

    Wanita diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika aman dari fitnah. Rasulullah SAW bersabda: ” Janganlah kalian melarang wanita untuk mengunjungi masjid-masjid Allah ” (HR. Bukhori). Prilaku ini juga dalakukan oleh para salafush shaleh. Namun demikian, wanita diharuskan untuk berhijab (memakai busana muslimah), tidak mengeraskan suaranya, tidak menampakkan perhiasan- perhiasannya, tidak memakai angi-wangian, dan keluar dengan izin (ridlo) suami atau orang tua. Shof wanita berada dibelakang shof pria, dan sebaik-baik shof wanita adalah shof yang di belakang (HR. Muslim). Tetapi jika ia ke masjid hanya untuk shalat, tidak untuk yang lainnya, seperti mendengarkan pengajian, mendengarkan bacaan Al-Qur’an (yang dialunkan dengan baik), maka shalat di rumahnya adalah lebih afdlol. Wanita juga diperbolehkan melakukan i’tikaf baik di masjid rumahnya maupun di masjid yang lain bila tidak menimbulkan fitnah, dan dengan mendapatkan izin suami, dan sebaiknya masjid yang dipakai i’tikaf menempel atau sangat berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas khusus bagi wanita. Disamping itu wanita juga di perbolehkan menggapai ‘lailat al qodr’, sebagaimana hal tersebut dicontohkan Rasulullah SAW dengan sebagian isteri beliau. (Lebih lanjut lihat panduan tentang i’tikaf dan lailat al qodr).

    Wanita Haidh dan Nifas

    Shiyam dalam kondisi ini hukumnya haram. Apabila haid atau nifas keluar meski sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan puasanya dan mengqodo’nya (mengganti) pada waktu yang lain. Apabila ia suci pada siang hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh berpuasa, sebab pada pagi harinya ia tidak dalam keadaan suci. Apabila ia suci pada malam hari Ramadhan meskipun sesaat sebelum fajar, maka puasa pada hari itu wajib atasnya, walaupun ia mandi setelah terbit fajar.

    Wanita Hamil dan Menyusui

    1. Jika wanita hamil itu takut akan keselamatan kandungannya, ia boleh berbuka.
    2. Apabila kekhawatiran ini terbukti dengan pemeriksaan secara medis dari dua dokter yang terpercaya, berbuka untuk ibu ini hukumnya wajib, demi keselamatan janin yang ada dikandungannya.
    3. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan dirinya, bukan kesehatan anak atau janin, mayoritas ulama’ membolehkan ia berbuka, dan ia hanya wajib mengqodo’ (mengganti) puasanya. Dalam keadaan ini ia laksana orang sakit.
    4. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan keselamatan janin atau anaknya (setelah para ulama’ sepakat bahwa sang ibu boleh berbuka), mereka berbeda pendapat dalam hal: Apakah ia hanya wajib mengqodo’ ? atau hanya wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari yang ia tinggalkan) ? atau kedua-duanya qodho’ dan fidyah (memberi makan):
    5. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari yang ditinggalkan.
    6. Mayoritas ulama’ mewajibkan hanya mengqodho’.
    7. Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho’ dan fidyah.
    8. DR. Yusuf Qordhowi dalam Fatawa Mu’ashiroh mengatakan bahwa ia cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup untuk membanyar fidyah (memberi makan orang setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya hamil dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui, kemudian hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengqodho’ puasanya. Lanjut DR. Yusuf al-Qordlowi; apabila kita membebani dengan mengqodho’ puasa yang tertinggal, berarti ia harus berbuasa beberapa tahun berturut-turut sertelah itu, dan itu sangat memberatkan , sedangkan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hambaNya.

    Wanita yang Berusia lanjut

    Apabila puasa membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia boleh tidak berpuasa. Secara umum, orang yang sudah berusia lanjut tidak bisa diharapkan untuk melaksanakan (mengqodho’) puasa pada tahun-tahun berikutnya, karena itu ia hanya wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin).

    Wanita dan Tablet Pengentas Haidh

    Syekh Ibnu Utsaimin menfatwakan bahwa penggunaan obat tersebut tidak dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik bagi kesehatan wanita. Karena haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi wanita, dan kaum wanita di masa Rasulullah SAW tidak pernah membebani diri mereka untuk melakukan hal tersebut. Namun apabila ada yang melakukan, bagaimana hukumnya ?. Jawabnya: – Apabila darah benar-benar terhenti, puasanya sah dan tidak diperintahkan untuk mengulang. – Tetapi apabila ia ragu, apakah darah benar-benar berhenti atau tidak,maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh melakukan puasa. ( Masa’il ash Shiyam h. 63 & Jami’u Ahkam an Nisa’ 2/393)

    Mencicipi Masakan

    Wanita yang bekerja di dapur mungkin khawatir akan masakan yang diolahnya pada bulan puasa, karena ia tidak dapat merasakan apakah masakan tersebut keasinan atau tidak atau yang lain-lainnya. Maka bolehkah ia mencicipi masakannya ?. Para ulama’ memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi rasa masakannya, asal sekedarnya dan tidak sampai di tenggorokan, dalam hal ini diqiyaskan dengan berkumur. (Jami’u Ahkam an Nisa’).

    Khotimah

    Demikian panduan ringkas ini, semoga para wanita muslimah dapat memaksimalkan diri beribadah selama bulan Ramadhan tahun ini, untuk meraih nilai taqwa.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 9:16 am on 20 June 2015 Permalink | Balas  

    Fiqih Shaum 

    ramadan-2012Fiqih Shaum

    Cara Menetapkan Awal Dan Akhir Bulan

    1. “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. beliau berkata : Manusia sama melihat Hilal (bulan sabit), maka akupun mengabarkan hal itu kepada Rasululullah saw. Saya katakan : sesungguhnya saya telah melihat Hilal. Maka beliau saw. shaum dan memerintahkan semua orang agar shaum.” (H.R Abu Dawud, Al-Hakim dan Ibnu Hibban).(Hadits Shahih).
    2. “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Mulailah shaum karena melihat ru’yah dan berbukalah (akhirilah shaum Ramadhan) dengan melihat ru’yah. Apabila awan menutupi pandanganmu, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban selama Tiga Puluh hari. “(HR. Bukhary Muslim).
    3. KESIMPULAN

    a. Menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan melihat ru’yah, meskipun bersumber dari laporan seseorang, yag penting adil (dapat dipercaya).

    b. Jika bulan sabit (Hilal) tidak terlihat karena tertutup awan, misalnya, maka bilangan bulan Sya’ban digenapkan menjadi Tiga Puluh hari. (dalil 1 dan 2).

    c. Pada dasarnya ru’yah y ang dilihat oleh penduduk di suatu negara, berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini akan berlaku jika Khilafah ‘ Ala Minhaajinnabiy sudah tegak (dalil 2).

    4. Selama khilafah belum tegak, untuk menghindarkan meluasnya perbedaan pendapat ummat Islam tentang hal ini, sebaiknya ummat Islam mengikuti ru’yah yag nampak di negeri masing-masing. (ini hanya pendapat sebagian ulama).

    Rukun Shaum

    1. “… dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai alam…(AL-Baqarah : 187).
    2. “Adiy bin Hatim berkata : Ketika turun ayat ; artinya (…hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam…), lalu aku mengambil seutas benang hitam dan seutas benanag putih, lalu kedua utas benang itu akau simpan dibawah bantalku. Maka pada waktu malam saya amati, tetapi tidak tampak jelas, maka saya pergi menemui Rasulullah saw. dan saya ceritakan hal ini kepada beliau. Beliapun bersabda: Yang dimaksud adalah gelapnya malam dan terangnya siang (fajar). ” (H.R. Bukhary Muslim).
    3. “Allah Ta’ala berfirman : ” Dan tidaklah mereka disuruh, kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlashkan ketaatan untukNya ” Al-Bayyinah :5)
    4. “Rasulullah saw. bersabda : Sesungguhnya semua amal itu harus dengan niat, dan setiap orang mendapat balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.” H.R Bukhary dan Muslim).
    5. “Diriwayatkan dari Hafshah , ia berkata : Telah bersabda Nabi saw. : Barangsiapa yang tidak beniat (shaum Ramadhan) sejak malam, maka tidak ada shaum baginya .” (HR. Abu Dawud) Hadits Shahih.
    6. KESIMPULAN:

    Keterangan ayat dan hadit di atas memberi pelajaran kepada kita bahawa rukun shaum Ramadhan adalah sebagai – berikut :

    a.Berniat sejak malam hari (dalil 3,4 dan 5).

    b. Menahan makan, minum koitus (Jima’) dengan istri di siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (Maghrib), (dalil 1 dan 2).

    Yang Diwajibkan Shaum Ramadhan.

    1. “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian untuk shaum, sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa. ” (Al-Baqarah : 183)
    2. “Diriwayatkan dari Ali ra., ia berkata : Sesungguhnya nabi saw telah bersabda : telah diangkat pena (kewajiban syar’i/ taklif) dari tiga golongan . – Dari orang gila sehingga dia sembuh – dari orang tidur sehingga bangun – dari anak-anak sampai ia ia bermimpi / dewasa.” (H.R.Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
    3. KESIMPULAN: Keterangan di atas mengajarkan kepada kita bahwa : yang diwajibkan shaum Ramadhan adalah: setiap orang beriman baik lelaki maupun wanita yang sudah baligh/dewasa dan sehat akal /sadar.

    Yang Dilarang Shaum

    1. “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. ia berkata : Disaat kami haidh di masa Rasulullah saw, kami dilarang shaum dan diperintahkan mengqadhanya, dan kami tidak diperintah mengqadha Shalat “(H.R Bukhary Muslim).
    2. KESIMPULAN: Keterangan di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa wanita yang sedang haidh dilarang shaum sampai habis masa haidhnya, lalu melanjutkan shaumnya. Di luar Ramadhan ia wajib mengqadha shaum yag ditinggalkannya selama dalam haidh.

    Yang Diberi Kelonggaran Untuk Tidak Shaum Ramadhan

    1. “(Masa yang diwajibkan kamu shaum itu ialah) bulan Ramadhan yang padanya diturunkan Al-Qur’an, menjadi pertunjuk bagi sekalian manusia, dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan pertunjuk, dan (menjelaskan) antara yang haq dengan yang bathil. Karenanya, siapa saja dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadhan (atau mengetahuinya), maka hendaklah ia shaum di bulan itu; dan siapa saja yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah ia berbuka, kemudian wajiblah ia shaum) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan, dan Ia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran. Dan juga supaya kamu cukupkan bilangan shaum (sebulan Ramadhan), dan supaya kamu membesarkan Allah karena mendapat pertunjukNya, dan supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah :185.)
    2. “Diriwayatkan dari Mu’adz , ia berkata : Sesungguhnya Allah swt telah mewajibkan atas nabi untuk shaum, maka DIA turunkan ayat (dalam surat AL-Baqarah : 183-184), maka pada saat itu barangsiapa mau shaum dan barangsiapa mau memberi makan seorang miskin, keduanya diterima. Kemudian Allah menurunkan ayat lain (AL-Baqarah : 185), maka ditetapkanlah kewajiban shaum bagi setiap orang yang mukim dan sehat dan diberi rukhsah keringanan) untuk orang yang sakit dan bermusafir dan ditetapkan cukup memberi makan orang misikin bagi oran yang sudah sangat tua dan tidak mampu shaum. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, AL-Baihaqi dengan sanad shahih).
    3. “Diriwayatkan dari Hamzah Al-Islamy : Wahai Rasulullah, aku dapati bahwa diriku kuat untuk shaum dalam safar, berdosakah saya? Maka beliau bersabda : hal itu adalah merupakan kemurahan dari Allah Ta’ala, maka barangsiapa yang menggunakannya maka itu suatu kebaikan dan barangsiapa yang lebih suka untuk terus shaum maka tidak ada dosa baginya ” (H.R.Muslim)
    4. “Diriwayatkan dari Sa’id Al-Khudry ra. ia berkata : Kami bepergian bersama Rasulullah saw. ke Makkah, sedang kami dalam keadaan shaum. Selanjutnya ia berkata : Kami berhenti di suatu tempat. Maka Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya kamu sekalian sudah berada ditempat yang dekat dengan musuh kalian, dan berbuka lebih memberi kekuatan kepada kamu. Ini merupakan rukhsah, maka diantara kami ada yang masih shaum dan ada juga yang berbuka. Kemudian kami berhenti di tempat lain. Maka beliau juga bersabda: Sesungguhnya besoak kamu akan bertemu musuh, berbuka lebih memberi kekuatan kepada kamu sekalian,maka berbukalah. Maka ini merupakan kemestian, kamipun semuanya berbuka. Selanjutnya bila kami bepergian beserta Rasulullah saw. kami shaum .” (H.R Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).
    5. “Diriwayatkan dari Sa’id Al-Khudry ra. ia berkata : Pada suatu hari kami pergi berperang beserta Rasulullah saw. di bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang shaum dan diantara kami ada yang berbuka . Yang shaum tidak mencela yang berbuka ,dan yang berbuka tidak mencela yang shaum. Mereka berpendapat bahwa siapa yang mendapati dirinya ada kekuatan lalu shaum, hal itu adalah baik dan barangsiapa yang mendapati dirinya lemah lalu berbuka,maka hal ini juga baik ” (HR. Ahmad dan Muslim)
    6. “Dari Jabir bin Abdullah : Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. pergi menuju ke Makkah pada waktu fathu Makkah, beliau shaum sampai ke Kurraa?il Ghamiim dan semua manusia yang menyertai beliau juga shaum. Lalu dilaporkan kepada beliau bahwa manusia yang menyertai beliau merasa berat , tetapi mereka tetap shaum karena mereka melihat apa yang tuan amalkan (shaum). Maka beliau meminta segelas air lalu diminumnya. Sedang manusia melihat beliau, lalu sebagian berbuka dan sebagian lainnya tetap shaum. Kemudian sampai ke telinga beliau bahwa masih ada yang nekad untuk shaum. Maka beliaupun bersabda : mereka itu adalah durhaka. “(HR.Tirmidzy)
    7. “Ucapan Ibnu Abbas : wanita yang hamil dan wanita yang menyusui apabila khawatir atas kesehatan anak-anak mereka, maka boleh tidak shaum dan cukup membayar fidyah memberi makan orang miskin ” (Riwayat Abu Dawud). Shahih
    8. “Diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar: Bahwa sesungguhnya istrinya bertanya kepadanya (tentang shaum Ramadhan), sedang ia dalam keadaan hamil. Maka ia menjawab : Berbukalah dan berilah makan sehari seorang miskin dan tidak usah mengqadha shaum .” (Riwayat Baihaqi) Shahih.
    9. “Diriwayatkan dari Sa’id bin Abi ‘Urwah dari Ibnu Abbas beliau berkata : Apabila seorang wanita hamil khawatir akan kesehatan dirinya dan wanita yang menyusui khawatir akan kesehatan anaknya jika shaum Ramadhan. Belberkata : Keduanya boleh berbuka (tidak shaum)dan harus memberi makan sehari seorang miskin dan tidak perlu mengqadha shaum” (HR.Ath-Thabari dengan sanad shahih di atas syarat Muslim , kitab AL-irwa jilid IV hal 19).
    10. KESIMPULAN: Pelajaran yang dapat diambil dari keterangan di atas adalah :

    1) Orang Mu’min yang diberi kelonggaran diperbolehkan untuk tidak shaum Ramadhan, tetapi wajib mengqadha di bulan lain, mereka itu ialah : a) Orang sakit yang masih ada harapan sembuh.

    b) Orang yang bepergian (Musafir).

    Musafir yang merasa kuat boleh meneruskan shaum dalam safarnya, tetapi yang merasa lemah dan berat lebih baik berbuka, dan makruh memaksakan diri untuk shaum.

    2) Orang Mu’min yang diberi kelonggaran diperbolehkan untuk tidak mengerjakan shaum dan tidak wajib mengqadha, tetapi wajib fidyah (memberi makan sehari seorang miskin). Mereka adalah orang yang tidak lagi mampu mengerjakan shaum karena :

    a). Umurnya sangat tua dan lemah.

    b). Wanita yang menyusui dan khawatir akan kesehatan anaknya.

    c). Karena mengandung dan khawatir akan kesehatan dirinya.

    d). Sakit menahun yang tidak ada harapan sembuh.

    e). Orang yang sehari-hari kerjanya berat yang tidak mungkin mampu dikerjakan sambil shaum, dan tidak mendapat pekerjaan lain yang ringan. dalil 2,7,8 dan 9).

    Hal-Hal Yang Membatalkan Shaum

    1. “…dan makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam (fajar), kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai malam…” Al-Baqarah : 187).
    2. “Dari Abu Hurairah ra.: bahwa sesungguhnya nabi saw. telah bersabda : Barangsiapa yang terlupa, sedang dia dalam keadaan shaum, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan shaumnya. Hal itu karena sesungguhnya Allah hendak memberinya karunia makan dan minum ” (Hadits Shahih, riwayat Al-Jama’ah kecuali An-Nasai).
    3. Dari Abu Hurairah ra. bahwa sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : Barang siapa yang muntah dengan tidak sengaja, padahal ia sedang shaum – maka tidak wajib qadha (shaumnya tetap sah), sedang barang siapa yang berusaha sehinggga muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengqadha (shaumnya batal). (H.R : Abu Daud dan At-Tirmidziy)
    4. Diriwayatkan dari Aisyah ra ia berkata : Disaat kami berhaidh (datang bulan) dimasa Rasulullah saw. kami dilarang shaum dan diperintah untuk mengqadhanya dan kami tidak diperintah untuk mengqadha shalat. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    5. Diriwayatkan dari Hafshah, ia berkata : Telah bersabda Nabi saw. Barang siapa yang tidak berniat untuk shaum (Ramadhan) sejak malam, maka tidak ada shaum baginya. (H.R : Abu Daud) hadits shahih.
    6. Telah bersabda Rasulullah saw: Bahwa sesungguhnya semua amal itu harus dengan niat ……… (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    7. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata : Sesungguhnya seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah saya terlanjur menyetubuhi istri saya (di siang hari) padahal saya dalam keadaan shaum Ramadhan), maka Rasulullah saw. bersabda : Punyakah kamu seorang budak untuk dimerdekakan? Ia menjawab : Tidak. Rasulullah saw bersabda : Mampukah kamu shaum dua bulan berturut-turut? Lelaki itu menjawab : Tidak. Beliau bersabda lagi : Punyakah kamu persediaan makanan untuk memberi makan enam puluh orang miskin? Lelaki itu menjawab : Tidak. Lalu beliau diam, maka ketika kami dalam keadaan semacam itu, Rasulullah datang dengan membawa satu keranjang kurma, lalu bertanya : dimana orang yang bertanya tadi? ambilah kurma ini dan shadaqahkan dia. Maka orang tersebut bertanya : Apakah kepada orang yang lebih miskin dari padaku ya Rasulullah? Demi Allah tidak ada diantara sudut-sudutnya (Madinah) keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku. Maka Nabi saw. lalu tertawa sampai terlihat gigi serinya kemudian bersabda : Ambillah untuk memberi makan keluargamu. (H.R : Al-Bukhary dasn Muslim)
    8. KESIMPULAN

    Ayat dan hadits-hadits tersebut di atas menerangkan kepada kita bahwa hal-hal yang dapat membatalkan shaum (Ramadhan) ialah sbb :

    a. Sengaja makan dan minum di siang hari. Bila terlupa makan dan minum di siang hari, maka tidak membatalkan shaum. (dalil : 2)

    b. Sengaja membikin muntah, bila muntah dengan tidak disengajakan, maka tidak membatalkan shaum. (dalil : 3)

    c. Pada siang hari terdetik niat untuk berbuka. (dalil : 5 dan 6)

    d. Dengan sengaja menyetubuhi istri di siang hari Ramadhan, ini disamping shaumnya batal ia terkena hukum yang berupa : memerdekakan seorang hamba, bila tidak mampu maka shaum dua bulan berturut-turut, dan bila tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin.(dalil : 7)

    e. Datang bulan di siang hari Ramadhan (sebelum waktu masuk aghrib).(dalil : 4)

    Hal-Hal Yang Boleh Dikerjakan Waktu Ibadah Shaum.

    1. Diriwayatkan dari Aisyah ra Bahwa sesungguhnya Nabi saw. dalam keadaan junub sampai waktu Shubuh sedang beliau sedang dalam keadaan shaum, kemudian mandi. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    2. Diriwayatkan dari Abi Bakar bin Abdurrahman, dari sebagian sahabat-sahabat Nabi saw. ia berkata kepadanya : Dan sungguh telah saya lihat Rasulullah saw. menyiram air di atas kepala beliau padahal beliau dalam keadaan shaum karena haus dan karena udara panas. (H.R :Ahmad, Malik dan Abu Daud)
    3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa sesungguhnya Nabi saw berbekam sedang beliau dalam keadaan shaum. (H.R : Al-Bukhary) .
    4. Diriwayatkan dari Aisyah ra Adalah Rasulullah saw mencium (istrinya) sedang beliau dalam keadaan shaum dan menggauli dan bercumbu rayu dengan istrinya (tidak sampai bersetubuh) sedang beliau dalam keadaan shaum, akan tetbeliau adalah orang yang paling kuat menahan birahinya. (H.R : Al-Jama’ah kecuali Nasa’i) hadits shahih.
    5. Diriwayatkan dari Abdullah bin Furuuj : Bahwa sesungguhnya ada seorang wanita bertanya kepada Ummu Salamah ra. Wanita itu berkata : Sesungguhnya suami saya mencium saya sedang dia dan saya dalam keadaan shaum, bagaimana pendapatmu? Maka ia menjawab : Adalah Rasulullah r pernah mencium saya sedang beliau dan saya dalam keadaan shaum. (H.R : Aththahawi dan Ahmad dengan sanad yang baik dengan mengikut syarat Muslim).
    6. Diriwayatkan dari Luqaidh bin Shabrah : Sesungguhnya Nabi saw bersabda : Apabila kamu beristinsyaaq (menghisap air ke hidung) keraskan kecuali kamu dalam keadaan shaum. (H.R : Ashhabus Sunan)
    7. Perkataan ibnu Abbas : Tidak mengapa orang yang shaum mencicipi cuka dan sesuatu yang akan dibelinya (Ahmad dan Al-Bukhary).
    8. KESIMPULAN

    Hadits-hadits tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa hal-hal tersebut di bawah ini bila diamalkan tidak membatalkan shaum :

    a. Menyiram air ke atas kepala pada siang hari karena haus ataupun udara panas, demikian pula menyelam kedalam air pada siang hari.

    b. Menta’khirkan mandi junub setelah adzan Shubuh. (dalil : 1)

    c. Berbekam pada siang hari. (dalil : 3)

    d. Mencium, menggauli, mencumbu istri tetapi tidak sampai bersetubuh di siang hari.(dalil 4 dan 5)

    e. Beristinsyak (menghirup air kedalam hidung)terutama bila akan berwudhu, asal tidak dikuatkan menghirupnya. (dalil : 6)

    f. Disuntik di siang hari

    g. Mencicipi makanan asal tidak ditelan.(dalil :7)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:15 am on 19 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Shaum Ramadhan 

    ramadhan 2Panduan Shaum Ramadhan

    Diriwayatkan dari Anas ra. ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : Apabila ada sesuatu dari urusan duniamu, maka kamu lebih tahu tentang hal itu. Jika ada urusan dienmu, maka akulah tempat kembalinya (ikuti aku). (H.R Ahmad).

    Dirwayatkan dari ‘Aisyah ra : Rasulullah saw. telah bersabda : Barangsiapa melakukan perbuatan yang bukan perintah kami, maka ia tertolak tidak diterima). Dan dalam riwayat lain: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perintah kami ini yang bukan dari padanya, maka ia tertolak. Sementara dalam riwayat lain : Barangsiapa yang berbuat sesuatu urusan yang lain daripada perintah kami, maka ia tertolak. (HR.Ahmad. Bukhary dan Abu Dawud).

    Kandungan dua hadits shahih di atas menerangkan dengan jelas dan tegas bahwa segala perbuatan, amalan-amalan yang hubungannya dengan dien/syari’at terutama dalam masalah ubudiyah wajib menurut panduan dan petunjuk yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Tidak boleh ditambah dan/atau dikurangi meskipun menurut fikiran seolah-olah lebih baik.

    Diantara cara syaithan menggoda ummat Islam ialah membisikkan suatu tambahan dalam urusan Dien. Sayangnya, perkara ini dianggap soal sepele, enteng dan remeh. Padahal perbuatan seperti itu adalah merupakan suatu kerusakan yang amat fatal dan berbahaya.

    “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, katanya : Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. berkhutbah kepada manusia pada waktu haji Wada’ . Maka beliau bersabda : Sesungguhnya Syaithan telah berputus asa (dalam berusaha) agar ia disembah di bumimu ini. Tetapi ia ridha apabila (bisikannya) ditaati dalam hal selain itu; yakni suatu amalan yang kamu anggap remeh dari amalan-amalan kamu, berhati-hatilah kamu sekalian. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu , yang jika kamu berpegang kepadanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu: Kitab Allah dan sunnah NabiNya. ” (HR. Hakim).

    Dengan demikian dapat difahami bagaimana Rasulullah saw. mengingatkan kita agar selalu waspada terhadap provokasi setan untuk beramal dengan menyalahi tuntunan Nabi sekalipun hal itu nampak remeh. “Diriwayatkan dari Ghudwahaif bin Al-Harits ra: ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : Setiap suatu kaum mengadakan Bid’ah, pasti saat itu diangkat (dihilangkan) sunnah semisalnya. Maka berpegang teguh kepda sunnah itu lebih baik daripada mengadakan bid’ah “(HR.Ahmad). Jadi, ketika amalan bid’ah ditimbulkan betapapun kecilnya, maka pada saat yang sama Sunnah telah dimusnahkan. Pada akhirnya lama kelamaan yang nampak dalam dien ini hanyalah perkara bid’ah sedangkan yang Sunnah dan original telah tertutup. Pada saat itulah ummat Islam akan menjadi lemah dan dikuasai musuh. Insya Allah tak lama lagi kita akan menyambut kedatangan Ramadhan,dalam bulan yang penuh berkat ini kita diwajibkan menjalankan ibadah Shaum Ramadhan sebulan penuh , yang mana hal tersebut merupakan salah satu bagian dari rukun Islam. Karenanya hal tersebut amat penting.

    Berkaitan dengan hal diatas, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menunaikan ibadah Shaum ini sesempurna mungkin , benar-benar bebas dari bid’ah sesuai dengan panduan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Untuk keperluan itulah dalam risalah yang sederhana ini diterangkan beberapa hal yang berkaitan dengan amaliah shaum Ramadhan, zakat fithrah, dan Shalat ‘Ied berdasarkan Nash-nash yang Shariih (jelas). Dalil – dalil dan kesimpulan dibuat agar mudah difahami antara hubungan amal dengan dalilnya. Dan -tak ada gading yang tak retak- kata pepatah, sudah barang tentu risalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk menuju kesempurnaannya bantuan dari pemakai amat diharapkan. Semoga risalah ini diterima oleh Allah sebagai Amal Shalih yang bermanfaat terutama di akhirat nanti.

    1. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra. telah bersabda Rasulullah saw:Apabila malam sudah tiba dari arah sini dan siang telah pergi dari arah sini, sedang matahari sudah terbenam, maka orang yang shaum boleh berbuka. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    2. Diriwayatkan dari Sahal bin Sa?ad : Sesungguhnya Nabi saw telahbersabda: Manusia (ummat Islam) masih dalam keadaan baik selama mentakjilkan (menyegerakan) berbuka. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    3. Diriwayatakan dari Anas ra., ia berkata : Rasulullah saw berbuka denganmakan beberapa ruthaab (kurma basah) sebelum shalat, kalau tidak ada makadengan kurma kering, kalau tidak ada maka dengan meneguk air beberapa teguk.(H.R : Abu Daud dan Al-Hakiem)
    4. Diriwayatkan dari Salman bin Amir, bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu shaum hendaklah berbuka dengan kurma, bila tidak ada kurma hendaklah dengan air, sesungguhnya airitu bersih. (H.R : Ahmad dan At-Tirmidzi)
    5. Diriwayatkan dari Ibnu Umar : Adalah Nabi saw. selesai berbuka Beliau berdo’a (artinya) telah pergi rasa haus dan menjadi basah semua urat-urat dan pahala tetap ada Insya Allah. (H.R : Ad-Daaruquthni dan Abu Daud hadits hasan)
    6. Diriwayatkan dari Anas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw:Apabila makan malam telah disediakan, maka mulailah makan sebelum shalat Maghrib, janganlah mendahulukan shalat daripada makan malam itu (yang sudah terhidang). (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    7. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra: Sesungguhnya Rasulullah saw.telah bersabda : Makan sahurlah kalian karena sesungguhnya makan sahur itu berkah.(H.R : Al-Bukhary)
    8. Diriwayatkan dari Al-Miqdam bin Ma’di Yaqrib, dari Nabi saw.bersabda :Hendaklah kamu semua makan sahur, karena sahur adalah makanan yang penuh berkah. (H.R : An-Nasa’i)
    9. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit t berkata : Kami bersahur bersama Rasulullah saw. kemudian kami bangkit untuk menunaikan shalat (Shubuh).saya berkata : Berapa saat jarak antara keduanya (antara waktu sahur danwaktu Shubuh)?Ia berkata : Selama orang membaca limapuluh ayat. (H.R :Al-Bukhary dan Muslim)
    10. Diriwayatkan dari Amru bin Maimun, ia berkata : Adalah para sahabat Muhammad saw. adalah orang yang paling menyegerakan berbuka dan melambatkan makan sahur. (H.R : Al-Baihaqi)
    11. Telah bersabda Rasulullah saw: Apabila salah seorang diantara kamu mendengar adzan dan piring masih di tangannya janganlah diletakkan hendaklah ia menyelesaikan hajatnya (makan/ minum sahur) daripadanya. (H.R :Ahmad dan Abu Daud dan Al-Hakiem)
    12. Diriwayatkan dari Abu Usamah ra. ia berkata : Shalat telah di’iqamahkan, sedang segelas minuman masih di tangan Umar ra. beliau bertanya : Apakah ini boleh saya minum wahai Rasulullah ? Beliau r. menjawab : ya, lalu ia meminumnya. (H.R Ibnu Jarir)
    13. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Adalah Rasulullah saw.orang yang paling dermawan dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya, dan Jibril menemuinya pada setiap malam pada bulan Ramadhan untuk mentadaruskan beliau saw. al-qur’an dan benar-benar Rasulullah saw. lebih dermawan tentang kebajikan(cepat berbuat kebaikan) daripada angin yang dikirim.(HR Al-Bukhary)
    14. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata : Adalah Rasulullah saw.menggalakkan qiyamullail (shalat malam) di bulan Ramadhan tanpa memerintahkan secara wajib, maka beliau bersabda : Barang siapa yang shalat malam di bulan Ramadhan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni baginya dosanya yang telah lalu. (H.R : Jama’ah)
    15. Diriwayatkan dari Aisyah ra. Sesungguhnya Nabi saw. Apabila memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan) beliau benar-benar menghidupkan malam (untuk beribadah) dan membangunkan istrinya (agar beribadah) dengan mengencangkan ikatan sarungnya (tidak mengumpuli istrinya). (H.R :Al-Bukhary dan Muslim)
    16. Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata : Adalah Nabi saw. bersungguh-sungguh shalat malam pada sepuluh hari terakhir (di bulan Ramadhan) tidak seperti kesungguhannya dalam bulan selainnya. (H.R : Muslim)
    17. Diriwayatkan dari Abu salamah din Abdur Rahman, sesungguhnya ia telah bertanya kepada Aisyah ra: Bagaimana shalat malamnya Rasulullah saw di bulan Ramadhan ? maka ia menjawab : Rasulullah saw tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas raka’at baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya, caranya : Beliau shalat empat raka’at jangan tanya baik dan panjangnya, kemudian shalat lagi empat raka’at jangan ditanya baik dan panjangnya, kemudian shalat tiga raka?at. (H.R : Al-Bukhary,Muslim dan lainnya)
    18. Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Adalah Rasulullah saw. Apabila bangun shalat malam, beliau membuka dengan shalat dua raka’at yang ringan, kemudian shalat delapan raka’at, kemudian shalat witir. (H.R : Muslim)
    19. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata : Ada seorang laki-laki berdiri lalu ia berkata : Wahai Rasulullah bagaimana cara shalat malam ? Maka Rasulullah r. menjawab : Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at. Apabila kamu khawatir masuk shalat Shubuh, maka berwitirlah satu raka’at. (H.R :Jama’ah)
    20. Dari Aisyah ra. ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw shalat di masjid, lalu para sahabat shalat sesuai dengan shalat beliau (bermakmum di belakang), lalu beliau shalat pada malam kedua dan para sahabat bermakmum dibelakangnya bertambah banyak, kemudian pada malam yang ketiga atau yang keempat mereka berkumpul, maka Rasulullah saw tidak keluar mengimami mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda : Saya telah tahu apa yang kalian perbuat, tidak ada yang menghalangi aku untuk keluar kepada kalian (untuk mengimami shalat) melainkan aku khawatir shalat malam ini difardhukan atas kalian. Ini terjadi pada bulan Ramadhan. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    21. Dari Ubay bin Ka’ab t. ia berkata : Adalah Rasulullah saw. Shalat witir dengan membaca : Sabihisma Rabbikal A’la)dan (Qul ya ayyuhal kafirun) dan (Qulhu wallahu ahad). (H.R : Ahmad, Abu Daud, Annasa’i dan Ibnu Majah)
    22. Diriwayatkan dari Hasan bin Ali t. ia berkata : Rasulullah saw. Telah mengajarkan kepadaku beberapa kata yang aku baca dalam qunut witir : artinya) Ya Allah berilah aku petunjuk beserta orang-orang yang telah engkau beri petunjuk, berilah aku kesehatan yang sempurna beserta orang yang telah engkau beri kesehatan yang sempurna, pimpinlah aku beserta orang yang telah Engkau pimpin, Berkatilah untukku apa yang telah Engkau berikan, peliharalah aku dari apa yang telah Engkau tentukan. Maka sesungguhnya Engkaulah yang memutuskan dan tiada yang dapat memutuskan atas Engkau, bahwa tidak akan hina siapa saja yang telah Engkau pimpin dan tidak akan mulia siapa saja yang Engkau musuhi. Maha agung Engkau wahai Rabb kami dan Maha Tinggi Engkau. (H.R : Ahmad, Abu Daud, Annasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
    23. Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda : Barang siapa yang shalat malam menepati lailatul qadar, maka diampuni dosanya yang telah lalu. (H.R : Jama’ah)
    24. Diriwayatkan dari Aisyah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. Telah bersabda : berusahalah untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir. H.R : Muslim)
    25. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Dinampakkan dalam mimpi seorang laki-laki bahwa lailatul qadar pada malam kedua puluh tujuh, maka Rasulullah saw. bersabda : Sayapun bermimpi seperti mimpimu, (ditampakkan pada sepuluh malam terakhir, maka carilah ia (lailatul qadar) pada malam-malam ganjil. (H.R : Muslim)
    26. Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Saya berkata kepada Rasulullah saw. Ya Rasulullah, bagaimana pendapat tuan bila saya mengetahui lailatul qadar,apa yang saya harus baca pada malam itu ? Beliau bersabda : Bacalah artinya) Yaa Allah sesungguhnya Engkau maha pemberi ampun, Engkau suka kepada keampunan maka ampunilah daku. (H.R : At-Tirmidzi dan Ahmad)
    27. Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Adalah Rasulullah saw mengamalkan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan oleh Allah Azza wa Jalla. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    28. Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Adalah Rasulullah saw. Apabila hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian memasuki tempat i’tikafnya………. (H.R :Jama’ah kecuali At-Tirmidzi)
    29. Diriwayatkan dari Aisyah ra. ia berkata : Adalah Rasulullah saw. Apabila beri’tikaf , beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, maka aku menyisirnya, dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena untuk memenuhi hajat manusia (buang air, mandi dll…) (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    30. Allah ta’ala berfirman : (artinya) Janganlah kalian mencampuri ereka(istri-istri kalian) sedang kalian dalam keadaan i’tikaf dalam masjid. Itulah batas-batas ketentuan Allah, maka jangan di dekati… Al-Baqarah : 187)
    31. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw: Setiap amal anak bani Adam adalah untuknya kecuali shaum, ia adalah untukku dan aku yang memberikan pahala dengannya. Dan sesungguhnya shaum itu adalah benteng pertahanan, pada hari ketika kamu shaum janganlah berbuat keji , jangan berteriak-teriak (pertengkaran), apabila seorang memakinya sedang ia shaum maka hendaklah ia katakan : ” sesungguhnya saya sedang shaum” . Demi jiwa Muhammad yang ada di tanganNya sungguh bau busuknya mulut orang yang sedang shaum itu lebih wangi disisi Allah pada hari kiamat daripada kasturi. Dan bagi orang yang shaum ada dua kegembiraan, apabila ia berbuka ia gembira dengan bukanya dan apabila ia berjumpa dengan Rabbnya ia gembira karena shaumnya. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
    32. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw. Telah bersabda : Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan amalan kebohongan, maka tidak ada bagi Allah hajat (untuk menerima) dalam hal ia meninggalkan makan dan minumnya. (H.R: Jama’ah Kecuali Muslim) Maksudnya Allah tidak merasa perlu memberi pahala shaumnya.
    33. Bahwa sesungguhnya Nabi saw. bersabda kepada seorang wanita Anshar yang sering di panggil Ummu Sinan : Apa yang menghalangimu untuk melakukan haji bersama kami ? Ia menjawab : Keledai yang ada pada kami yang satu dipakai oleh ayahnya si fulan (suaminya) untuk berhaji bersama anaknya sedang yang lain di pakai untuk memberi minum anak-anak kami. Nabipun bersabda lagi Umrah di bulan Ramadhan sama dengan mengerjakan haji atau haji bersamaku. H.R : Muslim)
    34. Rasulullah sw. bersabda : Apabila datang bulan Ramadhan kerjakanlah umrah karena umrah di dalamnya (bulan Ramadhan) setingkat dengan haji. (H.R : Muslim)

    KESIMPULAN

    Ayat dan hadits-hadits tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa dalam mengamalkan shaum Ramadhan kita perlu melaksanakan adab-adab sbb : 1. Berbuka apabila sudah masuk waktu Maghrib. (dalil : 6)

    Sunnah berbuka adalah sbb :

    a. Disegerakan yakni sebelum melaksanakan shalat Maghrib dengan makanan yang ringan seperti kurma, air saja, setelah itu baru melaksanakan shalat. dalil : 2,3 dan 4)

    b. Tetapi apabila makan malam sudah dihidangkan, maka terus dimakan, jangan shalat dahulu. (dalil : 6)

    c. Setelah berbuka berdo’a dengan do’a sbb : Artinya : Telah hilang rasa haus, dan menjadi basah semua urat-urat dan pahala tetap wujud insya Allah. (dalil : 5)

    2. Makan sahur. (dalil : 7 dan 8)

    Adab-adab sahur :

    a. Dilambatkan sampai akhir malam mendekati Shubuh. (dalil 9 dan 10)

    b. Apabila pada tengah makan atau minum sahur lalu mendengar adzan Shubuh, maka sahur boleh diteruskan sampai selesai, tidak perlu dihentikan di tengah sahur karena sudah masuk waktu Shubuh. (dalil 11 dan 12) * Imsak tidak ada sunnahnya dan tidak pernah diamalkan pada zaman sahabat maupun tabi’in.

    3. Lebih bersifat dermawan (banyak memberi, banyak bershadaqah, banyak menolong) dan banyak membaca al-qur’an (dalil : 13)

    4. Menegakkan shalat malam / shalat Tarawih dengan berjama’ah. Dan shalat Tarawih ini lebih digiatkan lagi pada sepuluh malam terakhir(20 hb. Sampai akhir Ramadhan). (dalil : 14,15 dan 16)

    Cara shalat Tarawih adalah :

    a. Dengan berjama’ah. (dalil : 19)

    b. Tidak lebih dari sebelas raka’at yakni salam tiap dua raka’at dikerjakan empat kali, atau salam tiap empat raka’at dikerjakan dua kali dan ditutup dengan witir tiga raka’at. (dalil : 17)

    c. Dibuka dengan dua raka’at yang ringan. (dalil : 18)

    d. Bacaan dalam witir : Raka’at pertama : Sabihisma Rabbika. Roka’t kedua :Qul yaa ayyuhal kafirun. Raka’at ketiga : Qulhuwallahu ahad. (dalil : 21)

    e. Membaca do’a qunut dalam shalat witir. (dalil 22)

    5. Berusaha menepati lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir, terutama pada malam-malam ganjil. Bila dirasakan menepati lailatul qadar hendaklah lebih giat beribadah dan membaca : Yaa Allah Engkaulah pengampun, suka kepada keampunan maka ampunilah aku. (dalil : 25 dan 26)

    6. Mengerjakan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir. (dalil : 27) 7.

    Cara i’tikaf :

    a. Setelah shalat Shubuh lalu masuk ke tempat i’tikaf di masjid. (dalil 28)

    b. Tidak keluar dari tempat i’tikaf kecuali ada keperluan yang mendesak.(dalil : 29)

    a. Tidak mencampuri istri dimasa i’tikaf. (dalil : 30) 7. Mengerjakan umrah. (dalil : 33 dan 34)

    8. Menjauhi perkataan dan perbuatan keji dan menjauhi pertengkaran. (dalil : 31 dan 32)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:10 am on 18 June 2015 Permalink | Balas  

    Panduan Amalan di Bulan Ramadhan 

    ramadhan 2Panduan Amalan di Bulan Ramadhan

    Ramadhan bagi umat Islam bukan sekedar salah satu nama bulan qomariyah, tapi dia mempunyai makna tersendiri. Ramadhan bagi seorang muslim adalah rihlah dari kehidupan materialistis kepada kehidupan ruhiyah, dari kehidupan yang penuh berbagai masalah keduniaan menuju kehidupan yang penuh tazkiyatus nafs dan riyadhotur ruhiyah. Kehidupan yang penuh dengan amal taqorrub kepada Allah, mulai dari tilawah Al-Qur’an, menahan syahwat dengan shiyam, sujud dalam qiyamul lail, ber’itikaf di masjid, dan lain-lain. Semua ini dalam rangka merealisasikan inti ajaran dan hikmah puasa Ramadhan yaitu : Agar kalian menjadi orang yang bertaqwa. (Al-Baqoroh: 183 dan akhir Al-Hijr)

    Ramadhan juga merupakan bulan latihan bagi peningkatan kualitas pribadi seorang mulism. Hal itu terlihat pada esensi puasa yakni agar manusia selalu dapat meningkatkan nilainya dihadapan Allah SWT dengan bertaqwa, disamping melaksanakan amaliyah-amaliyah positif yang ada pada bulan Ramadhan. Diantara amaliyah-amaliyah Ramadhan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW baik itu amaliyah ibadah maupun amaliyah ijtijma’iyah adalah sebagai berikut:

    Shiyam (puasa)

    Amaliyah terpenting selama bulan Ramadhan tentu saja adalah shiyam (puasa), sebagaimana termaktub dalam firman Allah pada surat al Baqoroh : 183-187. Dan diantara amaliyah shiyam Ramadhan yang diajarkan oleh Rasulullah ialah :

    a. Berwawasan yang benar tentang puasa dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya. “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka hal itu akan menjadi pelebur dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya” (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi).

    b. Tidak meninggalkan shiyam, walaupun sehari, dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa : “Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshoh atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus bahkan seandainya ia berpuasa selama hidup” (HR At Turmudzi).

    c. Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai shiyam. Rasulullah SAW pernah bersabda : ” Bukanlah (hakikat) shiyam itu sekedar meninggalkn makan dan minum, melainkan meninggalkan pekerti sia-sia (tak bernilai) dan kata-kata bohong” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). Rasulullah juga pernah bersabda bahwa : ” Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan makan dan minum ” (Hr Bukhori dan Muslim).

    d. Bersungguh – sungguh melakukan shiyam dengan menepati aturan-aturannya. Rasulullah SAW bersabda : ” Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh Iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan ” (HR. Bukhori, Muslim dan Abu Daud).

    e. Bersahur, makanan yang berkah (al ghoda’ al mubarok ). Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda bahwa : ” Makanan sahur semuanya bernilai berkah, maka jangan anda tinggalkan, sekalipun hanya dengan seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang makan sahur” (HR. Ahmad). Dan disunnahkan mengakhirkan waktu makan sahur .

    f. Ifthor, berbuka puasa. Rasululah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthor (berbuka puasa) dan mengakhirkan sahur. Dalam hal berbuka puasa Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa : ” Sesungguhnya termasuk hamba Allah yang paling dicintai olehNya, ialah mereka yang bersegera berbuka puasa. ” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Bahkan beliau mendahulukan ifthor walaupun hanya dengan ruthob (kurma mengkal), atau tamr (kurma) atau air saja ” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

    g. Berdo’a. Sesudah hari itu menyelesaikan ibadah puasa dengan berifthor, Rasulullah SAW seperti prilaku yang beliau lakukan sesudah menyelesaikan suatu ibadah, dan sebagai wujud syukur kepada Allah, beliau membaca do’a sebagai berikut ; Rasulullah bahkan mensyari’atkan agar orang-orang yang berpuasa banyak memanjatkan do’a, sebab do’a mereka akan dikabulkan oleh Allah. Dalam hal ini beliau pernah bersabda bahwa : ” Ada tiga kelompok manusia yang do’anya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah do’a orang-rang yang berpuasa sehingga mereka berbuka” (HR. Ahmad dan Turmudzi).

    Tilawah (membaca) al Qur’an

    Ramadhan adalah bulan diturunkannya al Qur’an. (QS. Al Baqoroh: 185). Pada bulan ini Malaikat Jibril pernah turun dan menderas al Qur’an dengan Rasulullah SAW (HR. Bukhori). Maka tidak aneh kalau Rasulullah SAW (yang selalu menderas al Qur’an disepanjang tahun itu) lebih sering menderasnya pada bulan Ramadhan.

    Imam az Zuhri pernah berkata : ” Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca al Qur’an”. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid (kaedah membaca al Qur’an) dan esensi dasar diturunkannya al Qur’an untuk ditadabburi, dipahami dan diamalkan (QS. Shod: 29).

    Ith’am ath tho’am (memberikan makanan dan shodaqoh lainnya)

    Salah satu amaliyah Ramadhan Rasulullah ialah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti beliau sabdakan : “Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut ” (HR. Turmudzi dan an Nasa’i). Hal memberi makan dan sedekah selama bulan Ramadhan ini bukan hanya untuk keperluan iftor melainkan juga untuk segala kebajikan, Rasulullah yang dikenal dermawan dan penuh peduli terhadap nasib umat, pada bulan Ramadhan kedermawanan dan keperduliannya tampil lebih menonjol, kesigapan beliau dalam hal ini bahkan dimisalkan sebagai ” lebih cepat dari angin ” (HR Bukhori ).

    Memperhatikan kesehatan.

    Shaum memang termasuk kategori ibadah mahdhoh (murni), sekalipun demikian agar nilai maksimal ibadah puasa dapat diraih, Rasulullah justru mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa dibawah ini:

    a. Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).

    b. Berobat seperti dengan berbekam (al hijamah) seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.

    c. Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan oleh Rasulullah SAw kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud RA, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. ( HR. AL Haitsami)

    Memperhatikan harmoni keluarga

    Sekalipun puasa adalah ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah, yang memang juga mempunyai nilai khusus dihadapan Allah, tetapi agar hal tersebut diatas dapat terealisir dengan lebih baik, maka Rasulullah justru mensyari’atkan agar selama berpuasa umat tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah RA, Rasulullah tokoh yang paling baik untuk keluarga itu, selama bulan Ramadhan tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada dalam puncak praktek ibadah shaum yakni i’tikaf, harmoni itu tetap terjaga.

    Memperhatikan aktivitas da’wah dan social

    Kontradiksi dengan kesan dan perilaku umum tentang berpuasa, Rasulullah SAW justru menjadikan bulan puasa sebagai bulan penuh amaliyah dan aktivitas positif. Selain yang telah tergambar seperti tersebut dimuka, beliau juga aktif melakukan da’wah, kegiatan sosial, perjalanan jauh dan jihad. Dalam sembilan kali Ramadhan yang pernah beliau alami, beliau misalnya melakukan perjalanan ke Badr (tahun 2 H), Mekah ( tahun 8 H), dan ke Tabuk (tahun 9 H), mengirimkan 6 sariyah (pasukan jihad yang tidak secara langsung beliau ikuti/pimpin), melaksanakan perkawinan putrinya (Fathimah) dengan Ali RA, beliau berkeluarga dengan Hafshoh dan Zainab RA, meruntuhkan berhala-berhala Arab seperti Lata, Manat dan Suwa’, meruntuhkan masjid adh Dhiror, dll.

    Qiyam Ramadhan (sholat tarawih)

    Diantara kegiatan ibadah Rasulullah selama bulan Ramadhan ialah ibadah qiyam al lail, yang belakangan lebih populer disebut sebagai sholat tarowih. Hal demikian ini beliau lakukan bersama dengan para sahabat beliau. Sekalipun karena kekhawatiran bila akhirnya sholat tarawih (berjama’ah) itu menjadi diwajibkan oleh Allah, Rasulullah kemudian meninggalkannya. (HR. Bukhori Muslim).

    Dalam situasi itu riwayat yang shohih menyebutkan bahwa Rasulullah shalat tarowih dalam 11 reka’at dengan bacaan-bacaan yang panjang (HR. Bukhori Muslim). Tetapi ketika kekhawatiran tentang pewajiban sholat tarowih itu tidak ada lagi, kita dapatkan riwayat-riwayat lain, juga dari Umar ibn al Khothob RA, yang menyebutkan jumlah reka’at shalat tarowih adalah 21 atau 23 reka’at. (HR. Abdur Razaq dan al Baihaqi). Mensikapi perbedaan reka’at ini bagus juga bila kita cermati pendapat dan kajian dari Ibnu hajar al Asqolani asy Syafi’i, seorang tokoh yang juga dijuluki sebagai amirul mu’minin fi hadits, beliau menyampaikan bahwa : Beberapa informasi tentang jumlah reka’at tarowih itu menyiratkan ragam sholat sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing, kadang ia mampu melaksanakan shalat dalam 11 reka’at, kadang 21 dan terkadang 23 reka’at pula. Hal demikian itu kembali juga semangat dan antusiasme masing-masing. Dahulu mereka yang sholat dengan 11 reka’at itu dilakukan dengan bacaan yang panjang sehingga mereka bertelekan diatas tongkat penyangga, sementara mereka yang sholat dengan 21 atau 23 reka’at mereka membaca bacaan-bacaan yang pendek (dengan tetap memperhatikan thoma’ninah sholat) sehingga tidak menyulitkan.

    I’tikaf.

    Diantara amaliyah sunnah yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAw dalam bulan Ramadhan ialah i’tikaf, yakni berdiam diri di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Seperti dilaporkan oleh Abu Sa’id al Khudlri RA, hal demikiam ini pernah beliau lakukan pada awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Ibadah yang demikian penting ini sering dianggap berat sehingga ditinggalkan oleh orang-orang Islam, maka tidak aneh kalau Imam az Zuhri berkomentar ; Aneh benar keadaan orang Islam, mereka meninggalkan ibadah i’tikaf, padahal Rasulullah SAW tak pernah meninggalkannya semenjak beliau datang ke madinah sehingga wafatnya disana.

    Lailat al Qodr

    Selama bulan Ramadhan ini terdapat satu malam yang sangat berkah, yang populer disebut sebagai lailat al Qodr, malam yang lebih berharga dari seribu bulan (QS. Al Qodr : 1-5). Rasululah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meraih lailat al qodr terutama pada malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan puasa (HR. Bukhori Muslim ). Dalam hal ini Rasulullah menyampaikan bahwa : “Barangsiapa yang sholat pada malam lailatul qodr berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. ” (Hr. Bukhori Muslim). Dalam keadaan ini Rasulullah mengajarkan do’a sebagai berikut :

    Umroh

    Umroh atau haji kecil itu bagus juga apabila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, sebab nilainya bisa berlipat-lipat, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah kepada seorang wanita dari anshor bernama Ummu Sinan: ” Agar apabila datang bulan Ramadhan ia melakukan umroh, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah SAW. (Hr. Bukhori Muslim)

    Zakat Fitrah

    Pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan amaliyah yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW ialah membayarkan zakat fithr, suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam baik laik-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak (HR. Bukhori Muslim). Zakat fithr ini juga berfungsi sebagai pelengkap penyucian untuk pelaku puasa dan untuk membantu kaum fakir miskin. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

    Ramadhan bulan taubat menuju fithroh

    Selama sebulan penuh, secara berduyun-duyun umat kembali kepada Allah yang M aha Pemurah juga Maha Pengampun. Dia Dzat yang menyampaikan bahwa pada setiap malam bulan Ramadhan Allah membebaskan banyak hambaNya dari api nereka (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karenanya inilah satu kesempatan emas agar umat dapat kembali, bertaubat agar ketika mereka selesai melaksanakan ibadah puasa mereka benar-benar kembali kepada fithrohnya. Khotimah Demikianlah sebagian amaliyah Ramadhan yang mudah dan bisa dilakukan oleh setiap muslim. Dan dengan demikian Ramadhan juga menyiratkan salah satu prinsip dasar Islam tentang moderasi dan integralitas ajarannya. Ramadhan memang bulan penuh kebaikan, sehingga Rasulullah pernah bersabda ; “Apabila orang-orang mengetahui nilai lebih Ramadhan, mereka akan berharap agar semua bulan dijadikan sebagai bulan Ramadhan”. (HR. Ibnu Huzaimah).

    Semoga Allah menerima amaliyah shiyam dan qiyam kita sekalian, aamien.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:04 am on 17 June 2015 Permalink | Balas  

    Keutamaan Bulan Ramadhan dan Keutamaan Beramal di Dalamnya 

    ramadhan 2Keutamaan Bulan Ramadhan dan Keutamaan Beramal di Dalamnya

    1. “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda : Ketika datang bulan Ramadhan: Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh berkat, diwajibkan atas kamu untuk shaum, dalam bulan ini pintu Jannah dibuka, pintu Neraka ditutup, Setan- Setan dibelenggu. Dalam bulan ini ada suatu malam yang nilanya sama dengan seribu bulan, maka barangsiapa diharamkan kebaikannya ( tidak beramal baik didalamnya), sungguh telah diharamkan ( tidak mendapat kebaikan di bulan lain seperti di bulan ini).” ( HR. Ahmad, Nasai dan Baihaqy. Hadits Shahih Ligwahairihi).

    2. “Diriwayatkan dari Urfujah, ia berkata : Aku berada di tempat ‘Uqbah bin Furqad, maka masuklah ke tempat kami seorang dari Sahabat Nabi saw. ketika Utbah melihatnya ia merasa takut padanya, maka ia diam. ia berkata: maka ia menerangkan tentang shaum Ramadhan ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda tentang bulan Ramadhan: Di bulan Ramadhan ditutup seluruh pintu Neraka, dibuka seluruh pintu Jannah, dan dalam bulan ini Setan dibelenggu. Selanjutnya ia berkata : Dan dalam bulan ini ada malaikat yang selalu menyeru : Wahai orang yang selalu mencari/ beramal kebaikan bergembiralah anda, dan wahai orang-orang yang mencari/berbuat kejelekan berhentilah (dari perbuatan jahat) . Seruan ini terus didengungkan sampai akhir bulan Ramadhan.” (Riwayat Ahmad dan Nasai )

    3. “Diriwayatkan dari Abi Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda : Shalat Lima waktu, Shalat Jum’at sampai Shalat Jum’at berikutnya, Shaum Ramadhan sampai Shaum Ramadhan berikutnya, adalah menutup dosa-dosa (kecil) yang diperbuat diantara keduanya, bila dosa-dosa besar dijauhi.”(H.R.Muslim)

    4. “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, bahwa sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Shaum dan Qur’an itu memintakan syafa?at seseorang hamba di hari Kiamat nanti. Shaum berkata : Wahai Rabbku,aku telah mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku hak untuk memintakan syafa’at baginya. Dan berkata pula AL-Qur’an : Wahai Rabbku aku telah mencegah dia tidur di malam hari ( karena membacaku ), maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memmintakan syafaat.” ( H.R. Ahmad, Hadits Hasan).

    5. “Diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad : Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda : bahwa sesungguhnya bagi Jannah itu ada sebuah pintu yang disebut ” Rayyaan”. Pada hari kiamat dikatakan : Dimana orang yang shaum? ( untuk masuk Jannah melalui pintu itu), jika yang terakhir diantara mereka sudah memasuki pintu itu, maka ditutuplah pintu itu.” (HR. Bukhary Muslim).

    6. Rasulullah saw. bersabda : Barangsiapa shaum Ramadhan karena beriman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang telah lalu dan yang sekarang ( HR.Bukhary Muslim).

    **

    KESIMPULAN :

    Kesemua Hadits di atas memberi pelajaran kepada kita, tentang keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan beramal didalamnya, diantaranya :

    1. Bulan Ramadhan adalah:

    a. Bulan yang penuh Barakah.

    b. Pada bulan ini pintu Jannah dibuka dan pintu neraka ditutup.

    c. Pada bulan ini Setan-Setan dibelenggu.

    d. Dalam bulan ini ada satu malam yang keutamaan beramal didalamnya lebih baik daripada beramal seribu bulan di bulan lain, yakni malam LAILATUL QADR.

    e. Pada bulan ini setiap hari ada malaikat yang menyeru menasehati siapa yang berbuat baik agar bergembira dan yang berbuat ma’shiyat agar menahan diri. (dalil 1 & 2).

    2. Keutamaan beramal di bulan Ramadhan antara lain :

    a. Amal itu dapat menutup dosa-dosa kecil antara setelah Ramadhan yang lewat sampai dengan Ramadhan berikutnya.

    b. Menjadikan bulan Ramadhan memintakan syfaa’t.

    c. Khusus bagi yang shaum disediakan pintu khusus yang bernama Rayyaan untuk memasuki Jannah. ( dalil 3, 4, 5 dan 6).

    ***

    Dari Sahabat

     
    • cvnadagroup2017 12:02 pm on 17 Juni 2015 Permalink

      like

  • erva kurniawan 6:59 am on 16 June 2015 Permalink | Balas  

    Ramadhan Bulan Berkah 

    ramadhan 2Ramadhan Bulan Berkah

    Ikhwati wa akhowati fillaah, Salah satu sifat Allah SWT adalah Ia memiliki irodah (kehendak), sebagaimana firmanNya : “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS Al Qoshosh [28]:68).

    Allah memilih sesuatu yang dikehendakiNya. Allah memilih tempat yang dikehendakiNya. Allah memilih manusia yang dikehendakiNya, pilihanNya sendiri ada yang menjadi Rasul, pemimpin negara, cendekia, dsb. Allah memilih gua Hiro’ yang dikehendakiNya sebagai tempat pertemuan Rasul dan Malaikat Jibril. Allah memilih Mekkah yang dikehendakiNya sebagai kiblat kaum Muslimin dan memilih pula kota Madinah sebagai basis pertahanan Rasulullah dalam menyebarkan risalah Ilahi.

    Begitu pula halnya dengan bulan-bulan dalam setahun, Allah telah memilih Ramadhan sebagai bulan yang istimewa, yang namanya disebutkan dalam Al Qur-an. Firman Allah : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” QS Al Baqoroh [2]:185.

    Jika Allah berkehendak, tentu ada suatu maksud tertentu dibalik kehendakNya itu. Allah mengutus Rasulullah dengan satu maksud, untuk menyampaikan risalah-Nya.

    Begitu halnya dengan bulan Ramadhan, sebab Allah tidak akan mengatakan Ramadhan sebagai bulan istimewa jika tidak ada sesuatu dibalik itu. Baginda Rasulullah SAW, ketika berada di penghujung bulan Sya’ban, selalu mengatakan kepada sahabatnya : “Telah datang padamu bulan Ramadhan, penghulu segala bulan. Maka sambutlah kedatangannya. Telah datang bulan shiyam membawa segala keberkahan, maka alangkah mulianya tamu yang datang itu.” (HR. Ath Thabrani) Dalam sabdanya yang lain : “Sesungguhnya telah datang padamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah memerintahkan berpuasa di dalamnya. Pada bulan itu, dibukakan segala pintu Surga, dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu syetan-syetan. Di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa yang tidak diberikan kebajikan malam itu, berarti telah diharamkan baginya segala rupa kebajikan.” (HR. An Nasai dan Al Baihaqi)

    Jika kita menengok ke belakang, melihat sirah Rasulullah SAW kita akan melihat betapa banyaknya kejadian penting terjadi pada bulan Ramadhan, di antaranya :

    1. Bulan diturunkannya Al Qur-an.

    Firman Allah : “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (QS Al Baqarah [2]:185)

    Dalam tafsir Mafatihul Ghaib, berkenaan dengan ayat diatas, Ar Razi berkata : “Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dengan jalan menurunkan Al Qur-an. Karenanya, Allah SWT mengkhususkannya dengan satu ibadah yang sangat besar nilainya, yakni puasa (shaum). Shaum adalah satu senjata yang mengungkapkan tabir-tabir yang menghalangi kita manusia memandang nur Ilahi yang Maha Quddus. Al Qur-an adalah suatu kitab yang tiada bandingannya, pemisah yang haq dan bathil, berlaku sepanjang masa, dan menjadi pengikat seluruh ummat Islam di seluruh dunia.

    2. Bulan diturunkannya kitab-kitab suci lainnya.

    Di bulan ini pula, Allah menurunkan kitab-kitabNya yang lain kepada para Rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada 6 Ramadhan dan Injil diturunkan pada 13 Ramadhan sedangkan Al Qur-an diturunkan pada 24 Ramadhan.” (HR. Ahmad)

    Itulah keberkahan bulan Ramadhan, bulan turunnya ayat-ayat Qouliyyah, minhajul hayah bagi keberadaan manusia di muka bumi, penunjuk jalan bagi orang-orang yang mau mensucikan dirinya.

    3. Bulan pilihan Allah bagi terjadinya perang Badr.

    Perang pertama yang dilakukan kaum Muslimin, dimana perang ini menjadi penentu kelangsungan perjuangan da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Perang Badr dinamakan Allah dengan sebutan “yaumul furqon” (hari pembeda antara yang haq dan bathil), sebagaimana firmanNya : “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” QS Al Anfal [8]:41.

    Muhammad Qutb mengatakan dalam tafsirnya bahwa perang ini dari awal hingga akhirnya adalah rencana Allah SWT yang dilaksanakan dengan pimpinan dan bantuanNya. Dimana dalam jalannya pertempuran, Allah SWT memenangkan kaum Muslimin yang mempunyai personil dan persenjataan minim, ditambah kondisi fisik kaum Muslimin yang secara lahiriah lebih lemah karena sedang berpuasa, setelah menerima perintah yang baru beberapa saat diterimanya. Namun itu bukanlah hambatan untuk menang, karena kekuatan utama kaum Muslimin adalah kekuatan ruhiyyah mereka dengan keyakinan akan kebenaran janji Allah SWT. Peperangan ini membuahkan babakan baru dalam sistem gerakan Islam. Perang ini memperbaharui kondisi ummat Islam, setelah dengan sabar dan tabah menempuh tahapan-tahapan perjuangan da’wah. Lahir tatanan baru dalam kehidupan manusia, bagi penerapan hak-hak asasi serta sistem dan struktur baru bagi masyarakat dan negara.

    4. Bulan yang dipilih bagi terbukanya kota Mekkah.

    Peristiwa “fathul makkah” terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan, sekitar 10000 kaum Muslim mendatangi Makkah dari segala penjuru. Pada saat itulah terjadi fenomena kemenangan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah manapun, dimana semua musuh, hingga para pemimpinnya menerima dan mengikuti agama lawan. Ini tidak terjadi melainkan dalam sejarah Islam. Kemenangan ini hakikatnya adalah kemenangan akidah, kalimat tauhid dan bukan kemenangan individual atau balas dendam.

    5. Bulan yang dipilih Allah untuk Lailatul Qadar.

    Dijelaskan dalam firman Allah SWT : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS Al Qadr [97]:1-5)

    6. Bulan yang dipilih untuk pelaksanaan puasa dan pemindahan qiblat.

    Firman Allah : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. ” QS Al Baqarah [2] : 183.

    Bersamaan dengan turunnya ayat perintah berpuasa di bulan Ramadhan, pemindahan qiblat ummat Islam dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram inipun menjadi pembeda antara yang haq dan bathil, dimana pada saat sebelumnya orang Yahudi merasa lebih benar karena puasa mereka dan kiblat mereka diikuti kaum Muslimin. Namun dengan perintah itu, maka berbedalah kaum Muslimin dengan ahlul kitab. Berbeda pula kiblat Muslimin dengan mereka, serta puasa Muslimin dengan mereka. Kecongkakan merekapun berakhir dengan barokah bulan ini.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 6:50 am on 15 June 2015 Permalink | Balas  

    Marhaban Ya Ramadhan 

    ramadhan 2Marhaban Ya Ramadhan

    Marhaban barasal dari kata rahb yang berarti luas atau lapang. Marhaban menggambarkan suasana penerimaan tetamu yang disambut dan diterima dengan lapang dada, dan penuh kegembiraan. Marhaban ya Ramadhan (selamat datang Ramadhan), mengandungi arti bahwa kita menyambut Ramadhan dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan keluhan.

    Rasulullah sendiri senantiasa menyambut gembira setiap datangnya Ramadhan. Dan berita gembira itu disampaikan pula kepada para sahabatnya seraya bersabda: “Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkatan. Allah telah memfardlukan atas kamu puasanya. Di dalam bulan Ramadhan dibuka segala pintu surga dan dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu seluruh setan. Padanya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam itu maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan” (Hr. Ahmad)

    Marhaban Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah swt. Perjalanan menuju Allah swt itu dilukiskan oleh para ulama salaf sebagai perjalanan yang banyak ujian dan tentangan. Ada gunung yang harus didaki, itulah nafsu. Digunung itu ada lereng yang curam, belukar yang hebat, bahkan banyak perompak yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan.

    Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat yang indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya. Untuk sampai pada tujuan tentu diperlukankan bekal yang cukup. Bekal itu adalah benih-benih kebajikan yang harus kita tabur didalam jiwa kita. Tekad yang keras dan membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarrus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:22 am on 14 June 2015 Permalink | Balas  

    Memasuki bulan Ramadhan 

    PUASAMemasuki bulan Ramadhan

    Assalaamualaikum wr.wb.

    Ketika Rasulullah SAW. sedang berkhotbah pada suatu Sholat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan “Aamin” sampai 3x(tiga kali), dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Aamin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Aamin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Aamin sampai tiga kali. Ketika selesai sholat jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “Ketika aku sedang berhotbah, datanglah Malaikat Zibril dan berbisik, hai Rasullullah aamin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.

    Do’a Malaikat Zibril itu adalah sbb: “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

    • Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
    • Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri;
    • Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Maka Rasullahpun mengatakan Aamin sebanyak 3 kali.

    Dapat kita bayangkan, yang berdo’a adalah Malaikat dan yang mengaminkan adalah Rasullullah dan para sahabat, dan dilakukan pada hari Jum’at. Tentunya do’a tersebut akan didengar oleh Allah SWT Saya yakin bahwa kita semua tidak ingin kalau puasa kita tidak diterima oleh Allah SWT dan hanya merasakan lapar dan dahaga belaka.

    Oleh karena itu, bersama e-mail ini saya mengucapkan : “Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika di hari- hari kemarin ada perbuatan saya yang dirasakan kurang berkenan di hati rekan/sahabat/saudara saya sekalian, baik itu kesalahan yang di sengaja maupun tidak disengaja. Semoga Allah SWT. memberi kekuatan, terutama kekuatan iman kepada kita semua dalam menghadapi Ramadhan tahun ini, Amin”.

    Wassalaamualaikum wr. wb.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:32 am on 13 June 2015 Permalink | Balas  

    Puasa Ramadhan 

    ramadhan8Puasa Ramadhan

    arsip fiqh

    Puasa itu ada dua macam, puasa fardhu dan puasa tathawwu’ atau puasa sunnah. Puasa fardhu ada tiga macam, yaitu puasa Ramadhan, puasa Kaffarah dan puasa Nadzar.

    Puasa Ramadhan adalah salah satu kewajiban yang di bebankan oleh Allah SWT kepada kita. Ia merupakan rukun Islam yang keempat. Kewajiban tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa Ramadhan sebagaimana diwajibkannya puasa itu kepada umat-umat yang terdahulu sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” (Al-Baqarah: 183).

    Arti Puasa

    Puasa secara bahasa (Etimologi) berarti al-imsaak (menahan). Maksudnya menahan dari apa saja. Menahan dari bicara berarti puasa bicara, menahan dari tidur berarti puasa tidur, menahan dari makan dan minum berarti puasa makan dan minum, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di bawah ini:

    “Inni Nadzartu lirrahmaani Shauma” (sesungguhnya aku bernadzar kepada Tuhan Yang Maha Pengasih untuk berpuasa). (Maryam: 26). Puasa di sini maksudnya menahan diri dari berbicara.

    Sedang menurut istilah ulama fiqh (terminologi), puasa berarti menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat pada malam harinya, sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

    Keutamaan Puasa

    1. Puasa itu untuk Allah (sebagai penghargaan dari-Nya), bukan untuk manusia. Artinya Allah-lah yang langsung membalasnya.

    Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, Allah Azza wa Jalla berfirman (dalam hadis Qudsi-Nya), “Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa, maka itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberinya ganjaran Puasa itu merupakan benteng, maka ketika datang saat berpuasa, janganlah seorang berkata keji atau berteriak-teriak atau mencai-maki. Seandainya dia dicaci oleh seseorang atau diajak berkelahi, hendaknya dia menjawab, ‘saya ini berpuasa’ dua kali. Demi Allah yang jiwa raga Muhammad berada pada ‘tangan’-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum daripada bau minyak kesturi. Dan orang yang berpuasa itu akan mendapat dua kegembiraan yang menyenangkan hati, yaitu di saat berbuka, ia akan bergembira dengan berbuka itu dan di saat ia menemui Tuhannya nanti, ia akan bergembira dengan puasanya.” (HR Muslim, Nasa’i dan Ahmad).

    Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Puasa itu merupakan benteng. Maka jika salah seorang di antara kalian berpuasa, janganlah ia berkata keji dan mencaki-maki. Seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci-makinya, hendaklah ia berkata, ‘saya ini berpuasa’ dua kali. Demi Allah yang jiwa raga Muhammad berada pada tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari bau minyak kesturi. Ia meninggalkan makan dan minum dan nafsu syahwatnya karena Aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberinya pahala. Sedang setiap kebajikan itu akan mendapat pahala sepuluh kali lipat.” (HR Bukhari dan Abu Daud)

    1. Apabila puasa itu dilaksanakan dengan baik dan benar, ia akan bisa memberikan syafa’at kepada orang yang melakukannya.

    “Puasa dan Alquran itu akan memberi syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Ya Tuhan, Engkau larang ia makan dan memuaskan syahwatnya di waktu siang dan sekarang ia meminta syafaat kepadaku karena itu’. Lalu Alquran pun berkata, ‘Engkau larang ia tidur di waktu malam, sekarang ia meminta syafaat kepadaku mengenai itu.’ Akhirnya, syafaat kedua mereka pun di terima oleh Allah SWT.” (HR Ahmad dengan sanad yang sahih).

    1. Puasa akan dapat memasukkan orang yang melakukannya ke sorga dan menjauhkannya dari neraka.

    Dari Abu Umamah berkata, saya datang kepada Rasulullah saw lalu saya berkata kepadanya, “Perintahlah aku dengan semacam amal yang akan dapat memasukkanku ke sorga”, maka Nabi saw bersabda: “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada tandingannya”. Lalu aku datangi Nabi untuk kali keduanya, maka Nabi saw bersabda: “Hendaklah kamu berpuasa.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Hakim seraya menshahihkannya).

    Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Nabi saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba itu berpuasa satu hari karena Allah kecuali Allah mesti menjauhkan dirinya dari neraka sebab puasa itu selama tujuh puluh tahun.” (HR al-Jama’ah [sekelompok ulama hadis] kecuali Abu Daud).

    Dari Sahl bin Sa’d, Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya sorga itu mempunyai sebuah pintu yang disebut ‘ar-Rayyan’ (artinya basah yang melimpah). Pada hari Kiamat akan dipanggil-panggil: “Hai, mana orang-orang yang berpuasa?” Lalu bila orang yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itu pun ditutupkanlah.” (HR Bukhari dan Muslim).

    Keutamaan Bulan Ramadhan

    1. Pintu-pintu sorga (jalan-jalan menuju kebaikan) dibuka, pintu-pintu neraka (jalan-jalan menuju amal jelek) ditutup dan syetan-syetan (provokator amal kejahatan) dibelenggu Allah SWT.

    Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda -yakni ketika datang bulan Ramadhan-, “Sungguh telah datang kepadamu bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan kamu berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu sorga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan syetan-syetan dibelenggu. Pada bulan itu terdapat malam yang nilainya lebih berharga daripada seribu bulan. Maka, barangsiapa tidak berhasil memperoleh kebaikannya, sungguh ia tidak akan mendapatkan kebaikan itu selama-lamanya.” (HR Ahmad, Nasa’i dan Baihaqi).

    1. Orang yang melakukan kebaikan di bulan itu diperintah berbahagia dan orang yang melakukan kejahatan di bulan itu diperintah berhenti.

    “…dan seorang malaikat akan berseru, ‘Wahai pencari kebaikan, bergembiralah. Wahai pecinta kejahatan, berhentilah.” (HR Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang baik)

    1. Puasa Ramadhan yang kita lakukan ini menjadi pelebur atas dosa -dosa yang telah kita lakukan dari satu Ramadhan ke Ramadhan yang lain.

    Dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda, “Salat yang lima waktu, Salat Jum’at yang satu ke salat Jum’at yang lain itu menghapuskan kesalahan-kesalahan yang terdapat di antara masing-masing selama dosa besar itu dijauhi.” (HR Muslim).

    1. Apabila puasa Ramadhan itu dilakukan dengan ikhlas, maka diampunilah semua dosa-dosanya yang telah lampau.

    Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan ridha Allah SWT, maka akan diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Ah Ahmad, dan Ashabus Sunan).

    Referensi:

    1. Fiqhus Sunnah, Sayyid sabiq
    2. Tamamul Minnah, Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani

    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

     
    • cvnadagroup2017 7:31 am on 13 Juni 2015 Permalink

  • erva kurniawan 1:25 am on 12 June 2015 Permalink | Balas  

    Perbedaan Mathla’ (Tempat Terbit Bulan) dan Implikasinya dalam Menentukan Satu Syawal 

    hilalPerbedaan Mathla’ (Tempat Terbit Bulan) dan Implikasinya dalam Menentukan Satu Syawal

    arsip fiqh

    Dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal (Idul Fitri) para ulama berbeda pendapat, sehingga tidak jarang kita saksikan bersama bahwa negara A sudah berpuasa atau sudah berhari raya, sementara negara yang lain belum berpuasa atau berhari raya. Perbedaan pendapat tersebut akhirnya bermuara kepada lahirnya dua kelompok ulama yang berbeda dalam menyikapi mathla’ (tempat terbitnya bulan).

    Kelompok pertama, mereka memandang bahwa di dunia Islam ini hanya ada satu mathla’ saja. Maksudnya, jika ada salah satu negara yang berpenduduk muslim sudah melihat bulan (meru’yah hilal), maka wajib hukumnya negara-negara Islam yang lain yang belum melihat bulan mengikuti hasil ru’yah negara tersebut. Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah jumhurul ulama (sebagian ulama Hanafiyah, ulama-ulama mazhab Maliki, ulama-ulama mazhab Hanbali, Malik, al-Laits, Syafi’I, Ahmad, Ibnul Qasim, sebagian kecil ulama madzhab Syafi’I, al-Qadhi Abu Thayyib, ad-Daarimi dan Abu Ali as-Sanji).

    Kelompok kedua, mereka memandang bahwa setiap negara yang berpenduduk muslim itu mempunyai mathla’ sendiri. Sehingga mereka boleh bersandar/berhujjah -dalam hal memulai puasa atau hari rayanya- dengan hasil ru’yah sendiri dan tidak harus mengikuti hasil ru’yah negara muslim yang lain. Mereka yang tergabung dalam kelompok ini adalah sebagian besar ulama mazhab Hanafi dan sebagian besar ulama mazhab Syafi’i (sedangkan imam Syafi’I sendiri berada pada kelompok pertama).

    Dalil-Dalil Masing-Masing Kelompok

    Dalil Kelompok Pertama

    Hadis Abu Hurairah dan yang lain, “Berpuasalah karena melihat bulan (hilal) dan berbukalah (berhari raya Idul Fitri) karena melihat bulan juga. Jika kamu terhalang mendung (awan) dalam melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban itu menjadi 30 hari.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Jadi, hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban puasa bagi umat Islam itu bergantung kepada mutlaknya ru’yah, sedangkan mutlak itu sendiri berlaku sesuai dengan kemutlakannya. Karena itu, cukuplah dalam masalah ini ru’yah yang dilakukan oleh kelompok atau perorangan.

    Hadis Nabi saw, “Puasa kamu adalah hari di mana kamu berpuasa, ifthor (hari raya Idulfitri) kamu adalah hari di mana kamu berhari raya Idulfitri dan hari raya Iduladhha kamu adalah hari di mana kamu berhari raya Iduladhha.”

    Karena itu, apabila ada seseorang yang melihat malam ketiga puluh dari bulan Sya’ban di suatu tempat, baik dekat maupun jauh, maka wajib berpuasa.

    Qiyas

    Mereka mengqiyaskan negara-negara yang jauh dengan kota-kota yang dekat dengan negara tempat ru’yah. Misalnya, mereka mengqiyaskan negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Malasyia, dan lain-lain dengan kota-kota yang dekat dengan ru’yah seperti Mekah atau Madinah yang dekat dengan Saudi Arabia apabila melaksanakan ru’yah. Karena, menurut mereka, tidak ada perbedaan antara negara-negara tersebut, sedangkan pembedaan itu -apabila dimunculkan- maka hal itu adalah upaya mencari-cari hukum (tahakkum) yang tidak berdasarkan dalil.

    Dalil Kelompok Kedua

    Hadis Kuraib, bahwa Ummu al-Fadhl mengutus Kuraib kepada Muawiyah di Syam, lalu Kuraib berkata, aku telah datang ke Syam dan telah melaksanakan keperluan Ummu al-Fadhl, sedangkan awal Ramadhan datang kepadaku, sementara aku berada di Syam. Aku melihat bulan (hilal) pada malam Jumat, kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan, lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku kemudian menyangkut masalah hilal, lalu Ibnu Abbas bertanya, “Kapan Anda melihat Hilal?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jumat, Ibnu Abbas bertanya, “Anda melihatnya sendiri?” Aku menjawab, “Ya,” saya melihatnya sendiri dan orang-orang lain juga, mereka semua berpuasa, begitu juga Muawiyah. Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi, kami melihatnya pada malam Sabtu, sehingga kami berpuasa setelah menyempurnakan bilangan 30 hari (dari Sya’ban) atau kami melihatnya sendiri. Kuraib bertanya, bukankah Anda cukup dengan ru’yah dan puasa yang dilakukan Mu’awiyah? Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, seperti inilah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami.”

    Hadis Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bulan (hijriyah) itu tidak lain adalah 29 hari, maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihat bulan. Apabila kalian terhalang melihat bulan (karena mendung/awan), maka perkirakanlah bulan itu.”

    Hadis tersebut menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa itu bergantung kepada ru’yah, akan tetapi yang dimaksud bukan ru’yah yang dilakukan oleh setiap orang, melainkan ru’yah yang dilakukan oleh sebagian orang.

    Qiyas

    Mereka mengqiyaskan perbedaan tempat terbitnya bulan dengan perbedaan tempat terbitnya matahari yang merupakan tempat bergantungnya waktu-waktu melakukan salat.

    Rasional

    Syara’ menggantungkan kewajiban melakukan puasa dengan munculnya bulan Ramadhan. Sedangkan permulaan munculnya bulan itu berbeda-beda sebab perbedaan letak negara dan kejauhannya. Perbedaan ini akan berimplikasi kepada perbedaan permulaan puasa karena perbedaan letak negara tersebut

    Kesimpulan

    Berdasarkan dalil-dalil yang dipaparkan oleh kedua kelompok tersebut, maka terasa luas dan lapang bagi umat Islam untuk menyikapi perbedaan awal puasa Ramadhan dan awal Syawal (Idulfitri). Karena, masing-masing kelompok tersebut memiliki hujjah dan dalil yang kuat dan rajih. Sehingga tidaklah terlalu menjadi persoalan besar jika umat Islam Indonesia berbeda awal Ramadhannya atau awal Syawalnya dengan umat Islam di Timur Tengah. Begitu juga, apabila umat Islam Indonesia bersama-sama melaksanakan Idulfitri dengan umat Islam Timur Tengah. Akan tetapi, alangkah indahnya jika sesama umat Islam itu bersatu dalam memulai puasa Ramadhan atau awal Syawalnya, baik umat Islam dari Indonesia maupun umat Islam dari luar Indonesia. Karena, dengan bersatunya umat Islam dalam berpuasa atau berhari raya itu akan berimplikasi pada hal-hal yang positif seperti berikut ini:

    • Akan tampak kekuatan umat Islam di mata musuh-musuhnya dan hal ini akan membuat perasaan takut di mata mereka. Sebab, secara logika, jika dalam masalah-masalah yang kecil saja umat Islam bisa bersatu, bagaimana dengan masalah besar yang sedang dihadapi mereka?
    • Kebersatuan umat Islam tersebut–tanpa pandang bulu dari mana mereka berasal dan mereka tinggal– akan menjadi modal utama untuk pembentukan khilafah Islamiyah. Karena, khilafah Islamiyah merupakan prasyarat utama untuk memberlukan ajaran dan syari’ah Islam secara menyeluruh (kaffah).

    Kemudian, sebaliknya jika memang sulit umat Islam itu dibersatukan dalam memulai Ramadhan dan mengawali Syawalnya, maka seharusnya pula umat Islam itu saling bisa menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Mengingat, mereka semua juga melaksanakan awal Ramadhan dan awal Syawal berdasarkan dalil-dalil yang telah dijadikan pegangan juga para Salaf Saleh. Jadi, jangan sampai antara yang satu dengan yang lainnya merasa paling benar dan menyalahkan yang lainnya. Memang, mengklaim diri sendiri paling benar itu boleh, tetapi menyalahkan orang lain yang melakukan ibadah berdasarkan dalil yang sahih pula itu tidak boleh.

    Referensi

    • Bahts Aaraaul Ulama Fikh Tilaafil Mathaali’ (Resume: Pandangan Ulama Mengenai Perbedaan Mathla’), Mahasiswa semester III, Fak. Syari’ah Univ. Imam Ibnu Sa’ud Jakarta
    • Fillial Univ. Imam Ibnu Sa’ud Riyadh, Saudi Arabia

    Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

     
  • erva kurniawan 1:54 am on 11 June 2015 Permalink | Balas  

    Akankah Amalku Diterima? 

    sholat-berjamaahAkankah Amalku Diterima?

    Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

    Dalam mengarungi lautan hidup ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah yang berlaku pada hidup setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun banyak yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.

    Kerikil dan duri-duri hidup memang telalu banyak. Maka, untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah Subhanahuwata’ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

    Sebelum semua itu terjadi, kini kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:

    “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

    Sumpah Allah Subhanahuwata’ala dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah Subhanahuwata’ala. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah Subhanahuwata’ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

    Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.

    Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

    Mengucapkan “Saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu kemudian orang telah sempurna imannya. Ketika memproklamirkan dirinya beriman, maka seseorang memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

    Konsekuensi iman ini pun banyak macamnya. Kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Demikian juga dengan memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan.

    Mengamalkan seluruh syariat Allah juga merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.

    Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

    “Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

    Imam As Sa’dy dalam tafsir ayat ini mengatakan: “Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya keimanan, tidak dibiarkan berada dalam satu keadaan saja, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena kalau seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya), niscaya tidak bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang berpura-pura, serta tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”

    Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

    “Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhuma dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no.992 dan 993)

    Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

    Amal

    Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah Subhanahuwata’ala telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:

    “Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)

    Imam As Sa’dy mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga.”

    Jelas melalui ayat ini, Allah Subhanahuwata’ala menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/169

    Allah berfirman:

    “Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

    Dalam tafsirnya halaman 55, Imam As Sa’dy mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan, karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”

    Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

    “Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

    Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain. Lihat Bahjatun Nadzirin 1/170 Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah Subhanahuwata’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

    “Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

    Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

    Syarat Diterima Amal

    Amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal ini telah disebutkan Allah Subhanahuwata’ala sendiri di dalam kitab-Nya dan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:

    Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah Subhanahuwata’ala.

    Allah Subhanahuwata’ala berfirman;

    Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

    Rasulullah Sholallohualaihiwasallam bersabda:

    “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

    Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala.

    Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Sholallohu alaihi wasallam. Beliau bersabda:

    “Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

    Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.

    Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.

    Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya?

    Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas. Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah Subhanahuwata’ala berfirman:

    “Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

    Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah Subhanahuwata’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396

    Allah Subhanahuwata’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Sholallohualaihiwasallam, sebagaimana yang telah diucapkan oleh Imam Hasan Bashri.

    Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha illallah – Muhammadarrasulullah.

    Wallahu a’lam.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:47 am on 10 June 2015 Permalink | Balas  

    Sikap kepada Syetan 

    itikafSikap kepada Syetan

    Oleh: Drs. H. Ahmad Yani

    Syaitan merupakan salah satu dari makhluk Allah Swt yang pada dasarnya dicipta untuk mengabdi kepada Allah Swt sebagaimana manusia dicipta juga untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini karena syaitan berasal dari golongan jin yang sama-sama dicipta untuk mengabdi kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya: Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali supaya mengabdi kepadaku (QS 51:56).

    Adapun syaitan atau iblis berasal dari golongan jin disebutkan dalam firman Allah: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “seujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?. Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim (QS 18:50).

    Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt mengemukakan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap syaitan dan menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

    1. Sebagai Saudara

    Dalam bersikap kepada syaitan, ada manusia yang menjadikannya seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh syaitan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzir dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena mengandung kesia-siaan.

    Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubadzdzir. Harta yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah Swt berfirman: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS 17:26-27).

    1. Sebagai pemimpin dan pelindung

    Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah ada manusia yang menjadikan syaitan atau orang-orang yang berwatak syaitan sebagai pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar, Allah Swt berfirman: Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orangn yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah (QS 16:100).

    Kata sulthan (kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata As Salith yang maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalahan lampu/pelita yang menggunakan sumbu. Ini berarti sulthan adalah keterangan atau bukti yang menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar maupun salah. Syaitan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun yang bisa diperdaya oleh syaitan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.

    Penggunaan kata wali (pelindung) terhadap syaitan juga disebutkan dalam firman Allah Swt yang artinya: Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) . Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya (QS 2:257).

    Ini berarti ada manusia yang menjadikan syaitan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata wali bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain, tidak ada perantara diantara keduanya. Ketika Allah Swt atau syaitan yang dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah Swt yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah Swt akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang terang, yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan syaitan sebagai wali, maka syaitan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya) kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.

    1. Sebagai kawan

    Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan kawan yang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan shaleh sebagai kawan, karenanya Allah Swt berpesan kepada setiap mu’min untuk selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddik (benar), Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS 9:119).

    Karena itu amat disayangkan bila manusia menjadikan syaitan atau orang-orang yang berwatak syaitan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang disebarluaskan oleh syaitan, karena syaitan dan pengikut-pengikutnya hanya akan membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah Swt berfirman: Diantara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaitan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka (QS 22:4)

    1. Sebagai musuh

    Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap syaitan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi dan diwaspadai setiap saat. Syaitan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa menjadi muslim yang sejati, Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS 2:208)

    Disamping itu, seruan Allah Swt untuk memperlakukan syaitan sebagai musuh tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena, meskipun manusia tidak beriman kepada Allah Swt atau tidak menjadi muslim, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah Swt berfirman: Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS 2:168).

    Keharusan manusia menjadikan syaitan sebagai musuh juga karena dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan syaitan selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia, Allah Swt berfirman: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi manusia (QS 17:53).

    Manakala kita siap menjadikan syaitan sebagai musuh, maka setiap kita harus waspada 24 jam setiap harinya, memiliki kesiapan untuk “berperang” dengannya dalam arti tidak ada kompromi dengan syaitan, memiliki daya tahan yang kuat untuk menghalau godaan syaitan dan memohon perlindungan kepada Allah Swt dari gangguan-gangguan syaitan, bila ini yang kita lakukan, maka kita bisa menjadi orang yang bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa.

     

     
  • erva kurniawan 1:32 am on 9 June 2015 Permalink | Balas  

    Taubatnya seorang Hamba ALLAH 

    taubatTaubatnya seorang Hamba Allah

    Iman seorang muslim terkadang melemah sehinga terkadang ia dikuasai hawa nafsunya, syetan merayunya untuk berbuat maksiat maka ia berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri, menjerumuskan dirinya pada sesuatu yang diharamkan Allah.

    Allah Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya dan rahmat Allah amat luas mencakup segala sesuatu, maka barangsiapa yang bertaubat setelah melakukan kedzalimanm maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya dan mengampuninya sebagaimana firman-Nya “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al Maidah :39)

    Allah Maha Pemaaf dan Maha Mulia memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk bertaubat nasuha agar mereka mendapatkan kasih sayang Allah dan surga-Nya, maka Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman bertaubatah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya” (At Tahrim :8)

    Pintu taubat masih terbuka bagi semua manusia hingga matahari terbit dari barat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya Allah membukakan Tangan-Nya pada malam hari agar orang yang melakukan kejahatan di siang hari bertaubat dan Dia membukakan Tangan-Nya di siang hari agar yang melakukan kejahatan di malam hari bertaubat hingga matahari terbit dari barat” (HR. Muslim no. 2759)

    Taubat nasuha bukan hanya sekedar ucapan di lidah tapi disyaratkan untuk diterimanya taubat itu, agar pelaku kejahatan mencabut akar-akar dosa secara langsung menyesali apa yang telah diperbuat, bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan dosa itu dan mengembalikan hak-hak orang yang didzalimi, sebaiknya taubat itu dilakukan sebelum melihat kedatangan kematian, Allah berfirman “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejatahan lantaran kejahilan yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga datang ajal kepada seseorang diantara mereka, barulah ia mengatakan “sesungguhnya sekarang saya bertaubat” Dan tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih” (An Nisa : 17-18)

    Allah mengajak para pelaku perbuatan dosa untuk bertaubat agar Allah mengampuni mereka “Tuhanmu telah menetapkan atas diri Nya kasih sayang, (yaitu) barangsiapa yang berbuat kedzaliman di antara kamu lantaran kejahilan (kebodohan) kemudian dia bertaubat setelah mengerjakannnya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al An’am :54)

    Allah Maha pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, mencintai orang-orang yang bertaubat dan menerima taubat mereka, sebagaimana firman-Nya “Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan” (As Syura :25). Dan firman-Nya “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Al baqarah : 222)

    Seorang kafir jika memeluk Islam maka Allah akan gantikan semua kejahatannya dengan kebaikan dan mengampuninya dari segala dosa yang telah diperbuatnya dahulu, sebagaimana firman Allah “Katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti dari kekafirannya niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu” (Al Anfal :38) Allah Maha Pengampun dan Pengasih menyukai taubat hamba-hamaba-Nya dan memerintahkan mereka untuk bertaubat agar mereka diampuni Allah, sementara syetan, jin dan manusia menginginkan mereka menyimpang dari kebenaran menuju kebatilan sebagaimana firman-Nya “Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikut hawa nafsunya bermaksud supaya kamu menyimpang sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (An Nisa : 27)

    Rahmat Allah mencakup segaala sesuatu, maka jika seseorang hamba telah melampaui batas pada perbuatan maksiat dan dosa, kemudian ia bertaubat maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya itu dan mengampuni dosa-dosanya, sebagaiman firman-Nya “Hamba-hamba-Ku yang melampai batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah , sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Az Zumar : 53)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabada “Tuhan kita yang Maha Suci lagi Maha Tinggi turun pada kita pada setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir lalu berkata “barangsiapa berdoa kepada-Ku maka Aku akan mengabulkannya, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya” (HR. Muslim : 758)

    Jika manusia adalah lemah maka kalau berbuat dosa hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun tiap saat karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Allah berfirman “Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun kepada Allah, niscaya dia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (An Nisa : 110)

    Seorang muslim rawan untuk melakukan kesalahan dan maksiat, maka selayaknya Hide message history baginya untuk memperbanyak taubat dan mohon ampun.. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Demi Allah sesungguhnya Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali” (HR. Al Bukhari :6307)

    Allah mencintai taubat hamba-Nya dan menerima taubat itu bahkan Allah gembira dengan taubat itu sebagaimana sabda Nabi shallahllhu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya dari pada gembiranya seorang yang kehilangan bekal bersama untanya disebuah padang yang tandus kemudian dia medapatkannya kembali unta itu”

    ***

    Mutafaq alaihi

     
  • erva kurniawan 1:20 am on 8 June 2015 Permalink | Balas  

    Kehidupan : Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah 

    amanah semutKehidupan : Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah

    Tiga binatang kecil ini menjadi nama dari tiga surah di dalam Al-Qur’an. An Naml [semut], Al ‘Ankabuut [laba-laba], dan An Nahl [lebah].

    Semut, menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. Ketamakannya sedemikian besar sehingga ia berusaha – dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya.

    Lain lagi uraian Al-Qur’an tentang laba-laba. Sarangnya adalah tempat yang paling rapuh [ Al ‘Ankabuut; 29:41], ia bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabisi oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.

    Akan halnya lebah, memiliki naluri yang dalam bahasa Al-Qur’an – “atas perintah Tuhan ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal” [ An Nahl; 16:68]. Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar efisen dalam penggunaan ruang. Yang dimakannya adalah serbuk sari bunga. Lebah tidak menumpuk makanan. Lebah menghasilkan lilin dan madu yg sangat manfaat bagi kita. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali jika diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat.

    Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya ‘semut’. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya ‘semut’ adalah budaya ‘aji mumpung’. Pemborosan, foya-foya adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga tipe ‘laba-laba’ yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berpikir: “Siapa yang dapat dijadikan mangsa” Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wasallam mengibaratkan seorang mukmin sebagai ‘lebah’. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan : “Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat  dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya”

    Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah!

    ***

    Dari Lentera Hati – M. Quraish Shihab

     
  • erva kurniawan 1:35 am on 7 June 2015 Permalink | Balas  

    Sehari di Rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

    muhammad-2Sehari di Rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

    Sebagai ummat yang diwajibkan untuk mencontoh gaya hidup Rasulullah, kita ingin melihat lebih dekat perilaku beliau sehari-hari. Dicuplik dari buku “Sehari Di Rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” karangan Abdul Malik Ibnu M Al Qasim, artikel di bawah ini mengajak pembaca melihat dari dekat rumah beliau dan bagaimana beliau berada di rumah.

    Di samping sebelah timur Masjid Nabawi Madinah, tampak sebuah bangunan yang akan membuat kita takjub karena kesederhanaannya. Itulah tempat tinggal seorang Rasul Agung Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Rumah itu ukurannya sangat kecil dengan hamparan tikar usang dan nyaris tanpa perabot. Sebab, yang tinggal di rumah ini adalah imam para syahid yang tidak butuh dunia kecuali sebagai sarana dan tidak silau oleh gemerlap harta.

    Berdampingan dengan rumah tersebut, tampak deretan rumah-rumah petak yang dibangun dari tanah liat dan batu-batu yang tersusun. Atapnya dari pelepah kurma, berhimpit satu sama lain. Itulah rumah istri-istri beliau, pendamping setia dikala suka maupun duka.

    Hasan bin Ali, cucu beliau, pernah menceritakan keadaan rumah-rumah petak ini. “Aku pernah masuk ke dalam rumah istri-istri Rasulullah sewaktu Khalifah Usman memerintah, dan aku bisa menyentuh atapnya (yang terbuat dari rumbia kurma) dengan tanganku,” kata Hasan.

    Kembali ke rumah Rasulullah, Zaid bin Tsabit bertutur, “Anas bin Malik, pelayan Rasulullah pernah memperlihatkan kepadaku temput minum Rasulullah yang terbuat dari kayu yang keras dan dipatri dengan besi, lalu Anas berkata, ‘Wahai Tsabit, inilah tempat minum Rasulullah. Dengan gelas kayu itulah Rasulullah minum air, perasan kurma, madu dan susu.” (HR Tirmidzi)

    Sedang perabot lain yang tampak adalah baju besi yang biasa dipakai Rasulullah saat perang. Akan tetapi, tak lama sebelum beliau meninggal, baju besi itu digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 karung gandum seperti yang diceritakan Aisyah.

    Makanan dan Minum

    Bagaimana dengan makanan beliau? Rasulullah tidak pernah makan kenyang. Makan hanya sekadarnya saja, bahkan beliau sering kekuarangan makanan sehingga memaksanya untuk berpuasa. Anas bin Malik bercerita, sesungguhnya tidak pernah terdapat dalam makan siang Rasulullah atau makan malamnya, roti dan daging, kecuali sangat sedikit dan kekurangan.” (HR. Tirmidzi).

    Aisyah berkata, “Keluarga Muhammad belum pernah kenyang dari roti dan gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah meninggal.” (HR. Muslim).

    Masalahnya bukan kekurangan. Dunia ada didalam genggamannya. Datang kepada beliau unta-unta penuh muatan, zakat, emas, dan perak. Akan tetapi, seringkali harta melimpah datang, baik melalui rampasan perang maupun lainnya, namun semuanya habis dibagi-bagikan kepada ummatnya.

    Berkata Ibnu Harits, “Rasulullah shalat ashar bersama kami kemudian beliau bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian keluar dan kami pun bertanya lalu beliau menjawab, ‘Di rumah aku meninggalkan emas dari sedekah, maka aku enggan untuk menyimpannya sampai aku membagi-bagikannya.’ (HR Muslim)

    Yang Dikerjakan di Rumah

    Suatu kali Aisyah pernah ditanya, apa yang dikerjakan Rasulullah di rumah? Dijawabnya, “Seperti layaknya manusia biasa. Beliau menambal bajunya, memerah susu kambingnya, dan mengerjakan sendiri pekerjaan rumahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

    Bagaimana mungkin manusia pilihan yang agung itu memperbaiki sendiri terompahnya yang rusak, menambal sendiri bajunya yang robek, menyapu dan membantu mencuci pakaian. Itulah kenyataannya. Di sinilah letak keagungannya sebagai manusia sempurrna.

    Hanya saja, sesibuk apapun beliau di rumah, bila Bilal sudah mengumandangkan adzan, Rasulullah segera bergegas ke masjid sebagai imam. Al-Aswad bin Yazid berkata, “Aku bertanya kepada ibunda Aisyah, apa yang dikerjakan Nabi di rumahnya. Jawabnya, “Beliau sibuk dengan pekerjaan keluarganya, tetapi jika mendengar adzan, beliau segera keluar rumah.” (HR Muslim)

    Belum pernah Rasulullah shalat fardhu di rumahnya kecuali shalat sunnah. Selama hidupnya belum pernah beliau meninggalkan jamaah di masjid kecuali pada hari beliau dipanggil menghadap Allah kala sakit. Betapa pentingnya shalat berjamaah, sampai-sampai di kesempatan lain beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendengar adzan dan tidak memenuhi panggilan-Nya (untuk berjamaah), tidak sah shalatnya kecuali ada halangan.” (muttafaq ‘alaih). Halangan yang dimaksud adalah sakit atau dalam keadaan tidak aman.

    Bersama Para Istri Rasulullah selalu bersikap mesra dan lembut kepada istri-istrinya. Aisyah, misalnya, sering dipanggilnya “humairaa” atau yang merah-merekah karena cantiknya.

    Kemesraan Rasulullah dengan istri-istrinya tidak hanya lewat perkataan, tetapi juga dalam perbuatan. Rasulullah sangat penuh kasih sayang dalam memperlakun istri-istrinya. Aisyah berkata, “Saya sering mandi bersama dengan Rasulullah dari satu bak.” (HR Bukhari).

    Dalam hadits lain yang diriwayatkan Ahmad, Rasulullah dan Aisyah pernah bercanda dengan berlomba lari.

    Namun perlu diingat, kemesraannya itu tak sampai melalaikan tugasnya sebagai hamba. Setiap malam ia membangunkan para istrinya untuk shalat malam. “Nabi sedang shalat, dan aku tidur terlentang di sampingnya, kemudian aku dibangunkan untuk shalat,” kata Aisyah. (HR Bukhari)

    Bahkan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah sangat menganjurkan agar suami istri saling membangunkan untuk shalat, walau harus dengan percikan air. Rasulullah bersabda, “Allah merahmati suami yang bangun malam lalu shalat, kemudian membangunkan istrinya untuk shalat. Kalau tidak mau bangun, wajahnya ditetesi air. Begitu juga sebaliknya, istri membangunkan suaminya untuk shalat malam.” (HR Ahmat).

    Rasulullah juga sangat memperperhatikan penampilan, agar tampak menawan. Selalu memakai minyak wangi, membawa sisir dan siwak serta selalu berhias kalau mau ke masjid. Begitu juga ketika hendak masuk rumah, beliau tidak lupa bersiwak sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syuraih bin Hani dari Aisyah (HR Muslim)

    Tidurnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

    Sebelum tidur beliau selalu berdoa: “Mahasuci Engkau ya Allah Tuhanku, karena Engkau aku meletakkan sisi badanku dan karena Engkau aku mengangkatnya. Jika engkau merenggut jiwaku maka ampunilah dia dan jika engkau melepaskannya jagalah sebagaimanna engkau menjagi hamba-hamba-Mu yang salih.” (HR Muslim)

    Pada kesempatan lain beliau bersabda, “Bila kamu hendak tidur berwudhulah kamu sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat dan miringkanlah badanmu pada sisi sebelah kanan.” (Muttafaq ‘alaih)

    Sedangkan Aisyah meriwayatkan, “Rasulullah apabila naik ke tempat pembaringan setiap malam, menyandingkan kedua belah tangannya serta meniupnya dan dibacakan di antaranya surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Naas, kemudian beliau mengusap dengan kedua belah tangan itu, seluruh tubuhnya. Mulai dari kepala, wajah, dan anggota lain yang bisa diusap. Rasulullah mengulanginya sebanyak tiga kali.” (HR Bukhari)

    Pembantu Rasulullah Anas bin Malik berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah selama sepuluh tahun. Belum pernah beliau berkata kepadaku, ‘mengapa kamu melakukan ini?’ dan belum pernah beliau mengatakan, ‘mengapa kau tidak melakukannya atas sesuatu yang aku tinggalkan.'” (HR Muslim)

    Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Dan selama masa sepuluh tahun itu belum pernah Anas dimarahi, atau ditanya mengapa begini, mengapa begitu. Adakah di dunia ini majikan yang tidak pernah marah? Bahkan, beliau selalu menyenangkan hati pembantunya, dan mendo’akannya.

    Rasulullah menekankan, “Mereka adalah saudara kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kendali kalian, maka berikanlah kepada mereka makanan sebagaimana yang kalian makan. Dan berilah pakaian sebagaimana pakaian kalian. Dan janganlah sekali-kali kalian menyuruh sesuatu di luar batas kemampuannya. Dan bila kalian menyuruh sesuatu, bantulah pekerjaannya semampu kalian.” (HR Muslim).

    Rasulullah dan Anak-Anak

    Anas bin Malik, kalau kebetulan lewat dan bertemu dengan anak-anak kecil, mengucapkan salam kepada mereka. Dia berkata, “Ini selalu dilakukan oleh Rasulullah.” (HR Bukhari)

    Aisyah berkata, “Sekelompok anak kecil dibawa ke hadapan Nabi, beliau kemudian berdo’a dan menggendong anak kecil itu. Celakanya anak itu kencing membasahi baju beliau. Lalu berliau minta air dan disiramkan ke bajunya.” (HR Bukhari)

    Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bercanda dengan cucunya, Hasan bin Ali Sambil menjulurkan lidahnya sehingga kelihatan merahnya. Hasan pun tertawa.

    Sampai-sampai pada waktu shalat pun beliau masih memberikan kasih sayang terhadap anak kecil. Pernah beliau shalat sambil menggendong Ummah putri Zainah (cucu beliau) saat beliau bersujud, Ummah didudukan di sampingnya. (HR Bukhari)

    Bertetangga

    Betapa mulia bila menjadi tetangga Rasulullah. Di mata beliau, tetangga mempunyai tempat dan kedudukan yang tinggi. Beliau kepada Abu Dzar al-Ghiffari berwasiat, “Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak gulai, perbanyaklah airnya dan bagikanlah kepada tetanggamu.” (HR Muslim)

    Rasulullah sering memperingatkan agar tidak menyakiti tetangga. Katanya, “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman karena ulah perbuatannya.” (HR Muslim)

    Dan sebagai penghormatan dan penghargaan kepada tetangga, beliau berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR Muslim)

    ***

    Kiriman Sahabat: Bambang S/Hidayatullah

     
  • erva kurniawan 2:35 am on 6 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (17) 

    teori darwinMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (17)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    KESIMPULAN

    Sebagaimana telah ditekankan buku ini, evolusi dan para pendukungnya terperangkap habis karena ilmu pengetahuan secara menyeluruh menolak Darwinisme. Para evolusionis menyadari hal ini dan, akibatnya, ada dalam kepanikan besar.

    Karena itu, mereka menyerang siapa saja yang membela kebenaran penciptaan dalam acara-acara diskusi, debat, dan di mana saja. Namun, karena tidak memiliki jawaban, mereka hanya mencoba meraih kembali keunggulan bicara.

    Mantik “Janganlah kita mengacaukan agama dengan ilmu pengetahuan, karena iman itu satu hal dan fakta evolusi adalah hal yang lain” dimaksudkan untuk memecah kesatuan Muslim dan melemahkan perlawanannya.

    Pesan mereka sebenarnya yang menganjurkan cara berpikir ini adalah, “Di sini ada dunia nyata, dan ini bisa dipahami lewat ilmu pengetahuan, sehingga tidak ada sesuatu yang disebut penciptaan, walaupun setiap orang adalah merdeka untuk menganut keyakinan pribadinya sendiri.”

    Namun, ini juga tipuan yang amat besar, sebab adalah fakta yang jelas bahwa Allah menciptakan alam semesta dan semua makhluk hidup dan tak-hidup. Setiap rincian di alam semesta merupakan bukti lagi atas penciptaan olehNya. Dalam kenyataannya, tiada bukti bagi teori evolusi selain pendapat dan “kepercayaan pribadi”. Muslim harus waspada akan anjuran penuh tipuan ini yang mencoba menunjukkan bahwa kebenaran penciptaan juga adalah “kepercayaan pribadi”.

    Anjuran sedemikian dengan mudah dikalahkan, sebagaimana kita baca dalam ayat berikut: Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al Anbiyaa’, 21: 18)

    Di balik upaya sebagian kaum Muslimin untuk menyatukan evolusi dan agama, terdapat keraguan, kepasrahan, kekurangan informasi, dan ketakpastian yang mereka rasakan saat menghadapi evolusi.

    Tetapi, kepasrahan itu sama sekali tidak perlu karena kaum evolusionis tidak memiliki dukungan atau bukti ilmiah untuk mempertahankan teori ini. Mereka memakai hasutan karena sikap bersikeras taklid demi teori mereka, dan mencoba membungkam lawan-lawan mereka dengan cara-cara tekanan psikologis atau kejiwaan. Kedudukan mereka sebenarnya tidak memiliki harapan.

    Para evolusionis Muslim tidak bisa melihat hal ini karena tidak menyadari kemajuan-kemajuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Orang yang kekurangan informasi terkini tentang perihal ini tentu percaya bahwa teori evolusi adalah benar.

    Akan tetapi, kekurangan informasi dapat mudah diatasi dengan cara membaca buku dan berbagai terbitan lain tentang perihal tersebut. Kaum Muslimin yang memiliki informasi rinci tentang teori evolusi tidak bisa tetap berdiam diri atau ragu-ragu di hadapan berbagai pernyataan evolusionis.

    Seiring dengan itu, merenung tentang penciptaan Allah dan seni tanpa cela yang menyungkupi alam semesta, berpegang teguh pada Al Qur’an, dan memahami sifat kebenaran yang diungkapkan Al Qur’an adalah cara-cara termudah untuk membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh itu.

    Banyak Muslim mungkin telah menerima dan bahkan membela evolusi karena alasan-alasan yang telah dikemukakan sepanjang buku ini. Akan tetapi, akhlak Islami menghimbau setiap Muslim agar kembali ke jalan yang benar saat menyadari bahwa ia telah tersesat.

    Mendukung pemikiran Darwinis sebelum menyadari bahaya besar yang dapat diakibatkannya sama sekali tidak sama dengan meneruskan dukungan setelah menyadari bahayanya bertindak begitu. Orang bisa mendukung teori tanpa mengetahui tingkat bahaya atau ketidak-absahan ilmiahnya.

    Akan tetapi, sekali telah mempelajari kebenaran masalah ini, hal yang paling baik dan bermanfaat untuk dilakukan orang adalah langsung bertindak dan mendukung perang pemikiran melawan teori jahat ini. Allah memerintahkan para Muslimin:

    Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al Anfaal, 8: 73)

    Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah, 2: 32 )

    Wallohu a’alam bish-shawab,-

    ***

    Dikirim oleh : Arland

     
  • erva kurniawan 1:33 am on 5 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (16) 

    darwinMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (16)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    Apa Yang Terjadi Jika Darwinisme Tidak Dianggap Sebagai Sebuah Ancaman?

    Bab-bab sebelumnya telah menyinggung berbagai kekeliruan, yang telah menyebabkan orang Muslim pendukung evolusi terperosok. Akan tetapi, masalah lain yang perlu ditinjau adalah bahwa teori itu mewakili suatu bahaya tersembunyi bagi banyak orang lain, sekalipun mereka tidak benar-benar mempercayainya.

    Orang Muslim yang menganggap evolusi sebagai teori yang tak berbahaya, sekalipun sangat berseberangan dengan fakta penciptaan, lalu berdiam diri dan menyaksikannya berkembang, sebenarnya sedang membantu teori itu mencengkeram masyarakat secara lebih luas dan lebih kuat. Jadi, mereka sedang membiarkan paham ateisme tumbuh lebih kuat. Karena alasan ini, kaum Muslimin harus mengerti filsafat yang mendasari teori ini.

    Evolusi adalah filsafat materialis yang diungkapkan secara “ilmiah”. Filsafat materialis, pada gilirannya, sesungguhnya berarti paham ateisme.

    Hal ini berarti setiap Muslim wajib mengobarkan perang pemikiran melawan ateisme.

    Mereka yang Menganggap bahwa Darwinisme Bukan Ancaman Adalah Keliru.

    Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa evolusi itu adalah masalah masa lalu, dan sudah tak lagi diterima, dan oleh karena itu, dari sudut pandang Islam, tidak menghadirkan ancaman nyata. Akibatnya, mereka tidak melihat perlunya menyingkapkan berbagai pernyataan evolusi yang berupa dusta dan tak ilmiah. Mereka menyatakan bahwa “Darwinisme sudah mati.”

    Akan tetapi, berlawanan dengan apa yang mereka duga, masih banyak orang yang mendukung evolusi karena berbagai pengaruh filsafatnya, walaupun secara ilmiah, evolusi sudah runtuh.29 Para Darwinis masih amat berpengaruh di banyak negara, perguruan tinggi, berita, dan sekolah. Senyatanya, Darwinisme masih giat di panggung dunia, dengan menguasai lembaga-lembaga ilmiah, berita internasional, dan pandangan dunia para penguasa.

    Kaum evolusionis dapat memaksakan tekanan yang cukup besar terhadap dunia ilmiah. Pendapat-pendapat sepihak diajukan dalam terbitan ilmiah dan media, dan evolusi digambarkan seakan kebenaran mutlak. Terutama media, yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat, melukiskan setiap tulang fosil yang ditemukan sebagai bukti baru bagi evolusi. Hal ini didukung oleh para kalangan terpelajar Darwinis di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.

    Ilmuwan yang percaya kepada Tuhan dihambat dalam karir mereka, dan, karena menolak Darwinisme, buku dan ulasan karya mereka tidak diterbitkan. Lebih jauh lagi, mereka dituduh taklid dan terbelakang. Jika seorang ilmuwan di negara Barat ingin membangun karir ilmiah, ia harus menutup mata terhadap Darwinisme dan bahkan mendukungnya, terlepas dari apakah ia ingin atau tidak. Jika tidak, akan sangat sukar baginya untuk maju dalam pekerjaan pilihannya itu. 30

    Salah seorang ilmuwan pengecam teori ini yang paling terkemuka adalah Phillips E. Johnson, guru besar ilmu hukum di Univesitas California-Berkeley dan pemimpin intelektual gerakan Intelligent Design (Rancangan Cerdas),31 yang menggambarkan bagaimana teori ini digunakan sebagai senjata melawan keyakinan yang benar:

    Para pemimpin ilmu pengetahuan melihat diri terjebak dalam pertempuran mati-matian melawan kaum fundamentalis agama, julukan yang cenderung mereka berikan tanpa pandang bulu kepada siapa pun yang percaya kepada Sang Pencipta yang berperan giat dalam urusan duniawi. Para fundamentalis ini dipandang sebagai ancaman bagi kebebasan yang lepas, dan khususnya sebagai ancaman bagi dukungan masyarakat terhadap penelitian ilmiah. Sebagai mitos penciptaan paham naturalisme ilmiah, Darwinisme memainkan peran pemikiran yang sangat diperlukan dalam perang melawan fundamentalisme. Karena alasan itu, organisasi-organisasi ilmiah diabdikan untuk melindungi Darwinisme dan bukan mengujinya, dan kaidah-kaidah penelitian ilmiah telah dibentuk untuk membantu mereka agar berhasil. 32

    Menggunakan “kediktatoran intelektual” ini, kaum evolusionis mengubah sejumlah perguruan tinggi menjadi sarang pendidikan Darwinis, yang menghasilkan lulusan yang percaya bahwa filsafat materialis adalah ilmu pengetahuan. Mereka berpikir bahwa hak atas pendidikan harus dirampas dari kaum yang beriman kepada Tuhan. Satu contoh yang paling mencolok terlihat dalam sikap gusar Ali Demirsoy, seorang evolusionis dan guru besar Turki, selama debat televisi tentang evolusi. Ia melontarkan pernyataan yang senada dengan “Tidak seorang pun ilmuwan yang percaya kepada Tuhan diperbolehkan dalam perguruan tinggi. Saya akan mendepak para mukminin keluar dari perguruan-perguruan tinggi.” Pernyataan serupa itu nyata-nyata mengungkapkan sikap berprasangka kaum evolusionis.

    Kaum Muslimin mungkin terlalu berbaik sangka, karena tidak menyadari fakta sebenarnya keadaan ini, dan karena itu tak mampu membayangkan Darwinisme sebagai ancaman. Akan tetapi, para materialis dan khususnya Marxis terus mengobarkan perang yang bersungguh-sungguh melawan agama melalui dukungan “ilmiah” yang mereka peroleh dari paham Darwinisme. Itulah sebabnya, kaum Muslimin perlu sesegera mungkin membebaskan diri dari anggapan keliru bahwa Darwinisme sudah berakhir. Pada saat kaum evolusionis sedang mencanangkan perang pemikiran sedunia melawan agama, adalah salah jika mengatakan teori itu sudah mati dan memandang Darwinisme tak berbahaya.

    Menghindari Perang Pemikiran Hanya Memperkuat Darwinisme

    Mereka yang berpikir bahwa Darwinisme sudah mati atau bukan ancaman, yang menyebarkan pikiran itu di kalangan mereka sendiri, secara sadar atau tidak, membantu teori ini mendapatkan landasan baru. Saat mereka mengemukakan pendapat ini, orang pun berpikir bahwa tidak ada bahaya seperti itu. Lebih lagi, ini menghalangi tumbuhnya kepekaan pemikiran dan ilmiah terhadap propaganda, dusta, dan anjuran Darwinis, yang berarti langkah-langkah kewaspadaan tidak bisa dilakukan.

    Orang yang percaya kepada evolusi terus mempersiapkan landasan berpijak, sekalipun dengan fakta yang kedaluwarsa, dan sengit membela teori ini di setiap kesempatan. Mereka mencoba mempertahankan agar gagasan ini tetap hidup, sekalipun dengan dusta dan pengaburan makna. Karena tidak menganggap teori ini berbahaya, banyak Muslim tidak membaca atau mempelajarinya, dan karena itu tidak bisa menanggapi kaum evolusionis yang berhubungan dengan mereka secara cerdik.

    Namun, tidak sulit mempelajari dan menyerap ketidakabsahan teori ini, sebab teori ini adalah pendapat dari abad ke-19 yang telah kehilangan semua pembenaran ilmiahnya. Lebih jauh, data ilmiah tentang asal-muasal alam semesta dan kehidupan – misalnya, “penyetelan” alam semesta yang amat halus (disebut juga Prinsip Antropik), kerumitan kehidupan di aras molekul, informasi rumit dalam asal-muasal kehidupan, dan kemunculan berbagai bentuk kehidupan yang amat beragam dalam catatan fosil secara tiba-tiba, menandaskan kebenaran fakta penciptaan.

    Akan tetapi, selama mereka yang taat tidak berhasil menelaah atau mempelajari kemajuan ini, mereka akan terus kekurangan pengetahuan untuk menghadapi evolusionis secara cerdas. Jadi, mereka berupaya untuk menjawab dengan mantik yang keliru dan contoh serta keterangan yang salah. Sebelum mempergunakan bahan bacaan berlimpah yang membahas dusta gagasan Darwinis, para Muslim harus menyadari bahaya yang ada, dan meyakini perlunya perang pemikiran.

    Melihat kenyataan ini, para penganut paham penciptaan (kreasionis) melalui evolusi, yang percaya bahwa Darwinisme tidak berbahaya, sebenarnya terhitung bertanggung jawab atas sikap kaum Muslim yang tetap berdiam diri di hadapan kaum Darwinis.

    Kami katakan ini karena, sekalipun mereka tidak menganggap faktor kebetulan sebagai sebuah kemampuan mencipta, dan percaya kepada Allah, mereka tidak memiliki fakta-fakta yang dibutuhkan untuk melakukan pendekatan yang lambat dan teguh saat berhadapan dengan berbagai pernyataan evolusionis. Dan karena itu, mereka mencari jalan tengah antara pernyataan seperti itu dengan kepercayaan mereka sendiri. Hasilnya, mereka mengajukan gagasan-gagasan semacam “Allah menciptakan makhluk hidup lewat evolusi” atau “Evolusi sejalan dengan agama.”

    Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan buku ini, keadaan ini tak bisa diterima siapa pun Muslim yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Kaum evolusionis menyatakan mereka bicara atas nama ilmu pengetahuan, namun sebenarnya mereka berdusta dengan nama ilmu pengetahuan.

    Itulah sebabnya, para Muslim tidak boleh menaruh keyakinan kepada penipuan itu, dengan penampakan luarnya yang “ilmiah”, namun harus melihat pada pemikiran yang dibela oleh teori itu. Kegagalan dalam merasakan bangunan dan filsafat tak bertuhan tempat teori ini berpijak, maupun menganggapnya benar, berarti menyerah kepadanya dan berbagi dosa atas semua kejahatan yang diakibatkan Darwinisme pada umat manusia. Tanpa sadar, Muslim serupa itu menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat.

    Karena itulah, kaum evolusionis Muslim harus meninjau kembali gagasan-gagasan yang mereka dukung. Menyerah kepada pihak lawan, sambil mengetahui bahwa teori itu salah, tak terbukti, dan sepenuhnya tidak amanah, serta mencoba menyesuaikan Islam dengan Darwinisme merupakan pilihan yang tak bisa diterima.

    Kita tidak boleh melupakan bahwa semua Muslim diwajibkan mengobarkan perang pemikiran untuk menjungkalkan semua gagasan yang mengingkari keberadaan Allah dan menggunakan kebenaran untuk menghancurkan dusta. Menghindari tanggung jawab, mencari kesamaan pijakan dengan kaum ateis, dan memberikan kelonggaran bagi pihak lawan atau menyerah kepada gagasan-gagasan mereka, semuanya adalah kesalahan berat.

    Misalnya, dalam suatu masyarakat tempat paham komunisme menyungkup, tugas seorang Muslim bukanlah “meng-Islamkan” komunisme. Jalan sedemikian tidak memberi manfaat apa-apa bagi agama, tetapi cuma melayani kepentingan komunisme. Tugas seorang Muslim adalah menjungkalkan komunisme sebagai sebuah filsafat, menyerangnya di aras pemikiran, dan memperlihatkan kebenaran Islam.

    Dengan cara serupa, bukanlah tugas Muslim untuk “meng-Islamkan” Darwinisme, melainkan menjungkalkan dusta besar itu di aras pemikiran dan memperlihatkan kebenaran penciptaan. Karena itulah kaum Muslimin harus bertindak secara sadar, dan tidak mendukung Darwinisme yang merupakan dasar semua filsafat ateis.

    Darwinisme Menghadirkan Ancaman Pada Masyarakat

    Tak seorang pun yang berpikir secara tak memihak, jujur, dan bebas, dapat benar-benar yakin bahwa atom-atom yang tak sadar bergabung secara tanpa sengaja, mengatur dan menyusun diri, dan akhirnya menghasilkan manusia yang berpikir, menalar, merasa, melihat, mendengar, membangun peradaban, membuat penemuan, menciptakan karya seni, bergembira, berduka, atau bahkan mempelajari atom-atom yang membentuk tubuhnya sendiri melalui mikroskop elektron. Tetapi, inilah kepercayaan tidak masuk akal yang dicekokkan teori Darwin pada masyarakat. Meskipun yang digunakan adalah peristilahan ilmiah, itulah saripati mantik Darwinis.

    Orang-orang yang menerima “mantik” demikian mulai kehilangan daya urai (analisis) dan penilaian yang nalar. Setelah menerima skenario yang paling tak mungkin ini seolah amat mantiki (masuk akal), mereka menjadi tak mampu melihat bukti yang paling nyata akan iman agama.

    Mereka ini, yang telah kehilangan kemampuan berpikir serta melihat kebenaran yang paling nyata, memahami dengan sesungguhnya anjuran dan propaganda yang mereka menjadi korbannya, dan yang membuta menerima gagasan itu hanya karena mayoritas orang menerimanya, dapat mudah ditarik ke arah mana pun.

    Setelah sampai di tahap itu, orang-orang itu bahkan tidak dapat menggunakan kecerdasan mereka sendiri, suatu keadaan yang membuat jauh lebih mudah untuk memberi mereka senjata dan mengirim mereka sebagai teroris, atau meyakinkan mereka bahwa “Darwin mengatakan orang ini berasal dari ras yang lebih rendah, jadi, engkau boleh membunuhnya.”

    Nyatanya, kerusakan yang diakibatkan pada kaum muda oleh Darwinisme di banyak negara diperkirakan tidak dapat diperbaiki. Perusuh sepakbola di Inggris, kaum neo-Nazi di Jerman, kelompok skinheads (kepala plontos) di Amerika, dan jumlah terbanyak kaum muda di seantero dunia telah kehilangan semua sifat kemanusiaan.

    Mereka ini, yang merupakan pembunuh dan monster, merupakan contoh hidup dari bahaya Darwinisme. Negara-negara itu mengalami masalah yang mengenaskan dengan kaum mudanya, sebab para pemuda itu telah menerima pendidikan Darwinis.

    Kita harus sadar bahwa orang yang dibesarkan dengan cara ini tidak akan membawa apa-apa selain bahaya bagi masyarakat tempat mereka berada. Suatu hari, para pemuda masa kini akan menjadi dewasa, pemerintah, diplomat, atau guru. Jadi, jika kita berharap melihat suatu peradaban mutakhir, secara ilmiah maju, dan nalar di masa depan, kita harus mendidik para pemuda kita dengan sasaran itu selalu di benak kita.

    Ini bisa dilakukan hanya jika kita membebaskan pemuda kita dari gagasan dan dusta Darwinis dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bukan hewan yang berevolusi, tetapi diciptakan Allah, memiliki jiwa, dan mempunyai pengetahuan tertinggi di antara semua makhluk hidup. Dengan kata lain, kita harus menjelaskan kepada mereka hal yang sesungguhnya.

    Jika tahu bahwa mereka telah diciptakan dengan jiwa dan kesadaran yang mulia dan unggul, kaum muda akan menyesuaikan perilakunya. Jika diyakinkan bahwa mereka telah berevolusi dari hewan, berasal dari moyang yang sama dengan kera, dan gagasan sejenis lainnya, mereka akan melihat kehidupan sebagai sebuah pertarungan dan akan memakai segala cara untuk memenanginya.

    Generasi yang cuma mementingkan diri sendiri dan tak bertanggung jawab, tega melakukan segala kekejaman dan tanpa mengenal tenggang rasa, cinta, kehormatan, atau pun persaudaraan lalu akan muncul. Dalam perkara apa pun, mereka akan melihat diri sendiri dan orang lain pada hakikatnya sebagai tak bernilai, karena percaya bahwa semua manusia diturunkan dari hewan.

    Karena percaya tidak ada artinya menjalani hidup yang berharkat dan berakhlak, mereka akan sesukanya menampilkan segala jenis kezaliman dan kerusakan akhlak.

    Karena itu, apa yang harus dilakukan adalah memberantas kediktatoran pemikiran dan teori evolusionis di sekolah-sekolah, buku-buku, pers dan media, tataran sosial – singkatnya, di mana-mana – dan mengarahkan orang ke penalaran dan pemikiran mendalam yang diminta baik oleh Al Qur’an maupun ilmu pengetahuan.

    =================

    1. Lihat Harun Yahya, Darwinism Refuted, Goodword Books, New Delhi , 2003; Phillip E. Johnson, Reason in the Balance, Intervarsity Press, 1995; Phillip E. Johnson, The Wedge of Truth, Intervarsity Press, 2000; Benjamin Wiker, Moral Darwinism: How We Became Hedonists, Intervarsity Press, 2002
    2. Di Amerika Serikat, sejumlah ilmuwan yang mengecam Darwinisme telah didepak dari kedudukan mereka oleh lembaga Darwinis seperti American Civil Liberties Union dan National Center for Science Education. Robert deHart, seorang guru SMU, dikeluarkan di tahun 1998 hanya karena menyebutkan kepada para muridnya sejumlah keterangan yang mengecam Darwinisme.
    3. Phillip E. Johnson adalah seorang tokoh terdepan dalam perang pemikiran melawan Darwinisme. Buku-bukunya mencakup Darwin on Trial, Reason in the Balance, Defeating Darwinism by Opening Minds, Objections Sustained dan The Wedge of Truth.

    32.Philip E. Johnson, Darwin On Trial, Intervarsity Press, Downers Grove, Illinois, cetakan ke-2, 1993, p.155

     
    • lazione budy 9:26 am on 5 Juni 2015 Permalink

      dari dulu saya ga percaya sama sekali sama omong kosong ini orang,

  • erva kurniawan 1:28 am on 4 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (15) 

    seleksi alamMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (15)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    1. Kekeliruan Bahwa “Para Moyang” yang Disebutkan dalam Al Qur’an Merujuk kepada Nenek Moyang Evolusi

    Perihal lain yang dicoba tampilkan oleh kaum evolusionis Muslim sebagai bukti pernyataan mereka adalah ungkapan “para nenek moyang”, yang muncul dalam beberapa ayat. Menurut tafsir mereka yang keliru, ungkapan ini merujuk langsung kepada nenek moyang purba manusia. Alasan mereka untuk ini adalah, kata “nenek moyang” muncul berbentuk jamak dalam Al Qur’an. Dua ayat terkait berbunyi:

    Musa berkata (pula): “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu.” (QS. Asy Syu’araa’, 26: 26)

    Tidak ada tuhan melainkan Dia, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu. (QS. Ad Dukhaan, 44: 8)

    Akan tetapi, ini pernyataan yang dipaksakan karena penggunaan kata berbentuk jamak itu lumrah dan pasti tidak bisa digunakan sebagai dasar bagi tafsir evolusionis.

    Ungkapan ini muncul dalam banyak ayat lainnya, di antaranya Surat Al Baqarah: 133. Di sini, “para nenek moyang” tidak merujuk kepada proses evolusi mana pun, namun kepada generasi-generasi yang sebelumnya. Dengan cara serupa, istilah “para moyang, orang-orang sebelum” di masa lalu merujuk kepada generasi-generasi yang silam. Ungkapan ini tidak berisi makna evolusi:

    Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah, 2: 133)

    1. Kesalahan Tentang Bentuk Penciptaan Manusia

    Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah, dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada Hari Kiamat) dengan sebenar-benarnya. (QS. Nuh, 71: 17-18)

    Kaum evolusionis Muslim melihat ayat ini sebagai landasan teramat penting dalam menentukan dasar pandangan mereka. Ungkapan “Allah menumbuhkanmu dari tanah” disajikan sebagai bukti evolusi zat anorganik (zat tak hidup). Akan tetapi, sebagaimana dengan terang ditunjukkan dalam tafsir ayat, ungkapan ini menggambarkan penciptaan manusia pertama dari bumi (tanah).

    Hamdi Yazir dari Elmali mengajukan tafsir yang senada:

    Ada dua segi ayat. Pertama, mengatakan Dia menciptakanmu dari tanah berarti bahwa Dia menciptakan ayahmu dari tanah, dan memulai proses penciptaan bangsamu dengan menciptakannya dari tanah. Kedua, Dia menciptakan kalian semua dari tanah, sebab Allah menciptakan kita dari zat gizi, dari tumbuhan, dari bumi/tanah. 21

    Omer Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir ini terhadap Surat Nuh 17-18:

    Hai manusia! Lihatlah ini. Allah membuatmu dari tanah bagai tumbuhan. Dengan kata lain, “Dia menciptakan Adam, moyangmu, dari tanah, atau anasir utamamu (zigot) terwujud dari tumbuhan dan beberapa bahan makanan lainnya yang tumbuh di bumi. Manusia lalu tumbuh dan hidup. (Lalu) hai manusia, Dia akan mengembalikanmu ke sana. Dengan kata lain: Saat engkau mati, engkau akan kembali ke bumi dan menjadi bagian dari tanah. (Dan) lalu Dia akan mengeluarkanmu dari kubur dan menggiring kalian semua ke Hari Kiamat. Semua ini adalah kenyataan. 22

    Uraian Imam Tabari menyatakan bahwa: “Allah menciptakanmu dari tanah bumi. Dia membuatmu dari ketiadaan … Dia lalu akan mengembalikanmu ke keadaan asalmu, ke bumi. Engkau akan kembali ke sebagaimana engkau sebelum diciptakan. Dia bisa membuatmu kembali hidup dari bumi jika Dia menghendaki.” 23

    Sebagaimana telah kita lihat dari tafsir para ulama Al Qur’an ini, ayat ini tidak dapat dipakai sebagai dasar penciptaan evolusi.

    Lagi pula, pernyataan tentang evolusi anorganik tidak memiliki dasar ilmiah. Gagasan bahwa zat-zat yang tak hidup bisa bersatu membentuk kehidupan merupakan gagasan tak ilmiah yang tidak diperkuat oleh percobaan dan pengamatan apa pun.

    Bahkan sebaliknya, ahli biologi Perancis Louis Pasteur (1822-1895) memperlihatkan bahwa kehidupan hanya mungkin berasal dari kehidupan. Ini menunjukkan bahwa kehidupan pasti dengan sengaja diciptakan. Dengan kata lain, Allah menciptakan semua makhluk hidup. (Untuk rincian lebih jauh tentang bukti ilmiah dan dusta evolusionis dalam hal ini, silakan merujuk ke Harun Yahya: The Evolution Deceit, Taha Publishers, London, 1999, dan Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New Delhi, 2003.)

    1. Kekeliruan bahwa Al Qur’an Menunjuk ke Seleksi Alam

    Salah satu pernyataan evolusi yang paling dasar adalah, seleksi alam merupakan sebuah daya evolusi. Sebagaimana kita lihat di bab-bab sebelum ini, seleksi alam adalah dusta evolusionis, yang menyatakan bahwa yang kuat bertahan dan yang lemah tersingkir seiring waktu.

    Akan tetapi, ilmu pengetahuan mutakhir menunjukkan, seleksi alam tidak memiliki daya evolusi, dan tidak dapat menyebabkan satu jenis makhluk hidup berkembang, atau pun jenis makhluk hidup baru muncul. Akan tetapi, fakta-fakta ilmiah ini, yang sengaja diabaikan kaum Darwinis demi kepentingan materialisnya, juga diabaikan oleh kaum evolusionis Muslim. Beberapa kelompok Muslim mendukung pandangan taklid Darwinis ini, dan bahkan mencoba memberikan bukti Al Qur’an yang sangat dipaksakan baginya. Misalnya:

    Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (QS. Al Qashash, 28: 68)

    Ayat ini mengungkapkan mereka yang Allah akan tunjuki jalan yang lurus serta nabi-nabi yang akan Dia umumkan sebagai utusan. Salah besar bila mengatakan bahwa ayat ini menunjuk ke seleksi alam evolusi.

    Para ulama Al Qur’an sepakat menyetujui tafsir tersebut. Misalnya, Imam Tabari mengajukan uraian berikut:

    Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dari para hambaNya, dan memilih mereka yang Dia kehendaki untuk mengikuti jalan yang lurus. Mereka tidak berhak memilih dalam hal ini. Mereka tidak berhak memilih untuk berlaku seperti yang mereka inginkan… 24

    Ulama besar Omer Nasuhi Bilmen mengajukan tafsir berikut ini:

    Dalam ayat-ayat suci ini, Allah menyatakan kekuasaanNya dalam penciptaan, bahwa Dia menyukai dan memilih siapa yang Dia kehendaki, kebijaksanaan dan kekuatanNya, keesaanNya, kejayaan dan puja-puji milikNya, perintah ilahiahNya, dan bahwa semua hambaNya akan dipanggil menghadap keberadaan ilahiahNya. Dengan kata lain, tidak seorang pun dapat menghambat kesukaan dan pilihan sang Mahakuasa dengan cara apa pun. Apa pun yang hambaNya pilih tidak dengan sendirinya bermanfaat. Dengan segala puji, Allah tidak wajib menciptakan apa yang mereka sukai dan pilih. Allah tidak mengirimkan utusan-utusanNya berdasarkan kesukaan dan pendapat kaum yang Dia kirimi utusan itu, hanya berdasarkan pilihan ilahiahNya. Hanya Dia yang mengetahui, bagaimana dan dengan cara apa kebaikan dan kemakmuran akan terwujud. Dia tak bersekutu, tak sesuatu pun bisa ada tanpa kehendakNya yang abadi, dan kehendak siapa pun tidak dapat menentang ketentuan dan pilihanNya yang mulia. 25

    Hamdi Yazir dari Elmali menafsirkan ayat itu sebagai berikut:

    Tuhanmu menciptakan dan menetapkan apa yang Dia pilih. Dengan kata lain, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih mereka yang Dia kehendaki dari mereka yang Dia telah ciptakan. Dia menetapkan bagi mereka tugas-tugas seperti kenabian dan penyampaian pesan. Mereka tidak memiliki pilihan dalam hal ini. Selain dari yang Allah tentukan, mereka tidak berhak memilih sekutu atau penyampai kabar lain. 26

    Ayat kedua yang diajukan para evolusionis Muslim adalah:

    Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Faathir, 35: 1)

    Kaum Muslimin serupa mereka itu menganjurkan ayat ini sebagai bukti pertumbuhan evolusi. Akan tetapi, mereka harus memelintir makna ayat yang sebenarnya, demi memperoleh makna demikian.

    Hal itu juga bertentangan dengan nalar dan akal sehat, karena ayat itu membahas penciptaan malaikat. Imam Tabari menafsirkan ayat itu sebagai berikut: “Dia dapat menambah jumlah sayap malaikat sebanyak yang Dia kehendaki. Dia dapat melakukan hal serupa terhadap makhluk hidup lainnya. Penciptaan dan perintah ada di tanganNya.27 ” Omer Nasuhi Bilmen sepakat, “Dia begitu berkuasa sehingga Dia menentukan jumlah sayap dan kekuatan malaikat.” 28

    1. Kekeliruan Memperlihatkan Al Qur’an sebagai Bukti untuk Mutasi

    Sebagaimana seleksi alam, para evolusionis Muslim menafsirkan secara keliru dan memaksakan ayat-ayat Al Qur’an saat membahas mutasi. Akan tetapi menganggap bahwa sebuah pergerakan alamiah, yang tidak berpengaruh apa pun kecuali merusak, bisa menjadi bukti evolusi merupakan kesalahan yang mengenaskan.

    Tidak ada pengaruh evolusi dari mutasi yang pernah teramati. (Untuk perincian lebih jauh mengenai bukti ilmiah atas hal ini, silakan melihat Harun Yahya: Darwinism Refuted, Goodword Publishers, New Delhi, 2003 dan Evolution Deceit, Taha Publishers, London, 1999.) Hal yang penting di sini adalah bukti, yang dicoba diajukan dari Al Qur’an oleh kaum evolusionis Muslim, yang percaya bahwa mutasi merupakan mekanisme evolusi. Mereka memelintir habis sejumlah ayat sehingga jauh dari makna sebenarnya. Ayat-ayat tersebut berbunyi:

    Dan jikalau Kami menghendaki pastilah Kami ubah mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali. (QS. Yaasin, 36: 67)

    Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina.”(QS. Al-Baqarah 2: 65)

    Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya:” “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al A’raaf, 7: 166)

    Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)

    Maka Musa menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya. (QS. Al A’raaf, 7: 107)

    Bila tidak ada orang yang percaya bahwa perlu memelintir dan memaksakan kebenaran demi menemukan bukti Al Qur’an bagi evolusi, tidaklah mungkin memandang ayat-ayat itu sebagai bukti apa pun bagi mutasi.

    Empat ayat pertama berbicara tentang mukjizat Allah dalam mengubah tubuh makhluk hidup. Bahkan subjek pada ayat kelima (yakni, tongkat) tidak hidup, yang membuat tak mungkin berpendapat bahwa subjek itu mengalami mutasi. Penggambaran evolusionis Muslim terhadap ayat-ayat ini sebagai bukti evolusi menunjukkan, betapa zalim, memaksakan, dan tak Islami sebenarnya gagasan penciptaan evolusi.

    1. Kekeliruan bahwa Ada Hubungan Kekerabatan antara Manusia dan Kera dalam Al Qur’an

    Satu ayat yang seringkali keliru ditafsirkan selama debat tentang evolusi, dan yang ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai suatu tanda dari teori itu, adalah ayat mengenai pengubahan yang Allah lakukan atas sekelompok orang Yahudi sehingga menjadi kera:

    Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman: “Jadilah kamu kera yang hina.” Maka, Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah, 2: 65-66)

    Ayat ini tidak bisa ditafsirkan dalam cara yang sejalan dengan teori evolusi, karena:

    1) Hukuman yang dimaksudkan mungkin dalam pengertian rasa keagamaan. Dengan kata lain, mungkin orang-orang Yahudi tersebut disejajarkan dengan kera dalam pengertian perangai, dan tidak dalam penampakan jasmaniah yang sebenarnya.

    2) Jika hukuman yang dimaksud terjadi dalam bentuk jasmaniah, itu merupakan keajaiban di luar hukum alam. Kita di sini berbicara tentang keajaiban di luar kekuatan alam biasa yang berlangsung seketika atas kehendak Allah, suatu penciptaan yang sadar. Evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup, yang berlain-lainan jenis, beralih dari satu jenis ke jenis yang lain selama jutaan tahun, secara tanpa disengaja dan bertahap. Karena alasan inilah, kisah Al Qur’an di atas tidak berkaitan apa-apa dengan jalan cerita yang diajukan oleh mereka yang mendukung evolusi.

    Nyatanya, ayat yang kedua berbunyi: “Maka, Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut diubah menjadi kera sebagai peringatan bagi mereka yang akan datang kemudian.

    3) Hukuman ini terjadi hanya sekali dan pada sekelompok orang yang terbatas jumlahnya, sementara teori evolusi mengajukan jalan cerita yang tak masuk akal dan tak ilmiah bahwa kera berkerabat dengan semua manusia.

    4) Ayat itu mengatakan bahwa manusia diubah menjadi kera; evolusi mengatakan yang terjadi adalah sebaliknya.

    5) Al Qur’an 5: 60 menceritakan bahwa ada suatu masyarakat yang telah berlaku menyimpang lalu membangkitkan murka Allah dan diubah menjadi kera dan babi.

    Ayatnya berbunyi:

    Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al Maa-idah, 5: 60)

    Dalam keadaan ini, jalinan cara berpikir yang keliru yang telah kita tinjau sepanjang buku ini menghasilkan kesimpulan yang tidak wajar, yakni ayat itu berisi bukan hanya kaitan rantai evolusi antara manusia dan kera, namun juga antara manusia dan babi! Evolusionis sekali pun tidak menyatakan ada kaitan demikian antara manusia dan babi.

    Seperti telah kita lihat sejauh ini, pernyataan bahwa sejumlah ayat Al Qur’an menuju ke arah evolusi adalah kekeliruan yang bertentangan bukan hanya dengan Al Qur’an, melainkan juga dengan pernyataan teori evolusi itu sendiri.

    ====================

    21.Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/nuh.htm

    22.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851

    23.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2632

    24.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1707

    25.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 5, h. 2622

    26.Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/kasas.htm

    27.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1877

    28.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2882

     

     

     
    • cvnadagroup2017 1:57 am on 4 Juni 2015 Permalink

      blog yang bagus dengan informasi yang menggugah iman, pendapat darwin itu salah kaparah……Allahu ‘alamu bissawaab

  • erva kurniawan 1:25 am on 3 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (14) 

    tyrannosaurusMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (14)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    1. Kekeliruan Bahwa Manusia Pertama Diciptakan dalam Waktu yang Lama

    (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesunguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah” (QS. Shaad, 38: 71)

    Kekeliruan lain dalam penciptaan evolusi berasal dari penafsiran ayat di atas secara salah. Kaum evolusionis menyatakan bahwa ruas kalimat yang digaris-bawahi di atas menunjukkan sebuah penciptaan yang lamban dalam waktu lama. Akan tetapi, bahasa Arab yang asli jelas menegaskan bahwa ini adalah murni pandangan sepihak dan seluruhnya bertentangan:

    “innii khaaliqum basyaram min thiinin” berarti “Aku adalah Dia Yang menciptakan seorang manusia dari tanah liat.”

    Ayat ini tidak mengatakan apa-apa yang seperti “Aku sedang menciptakan”. Nyatanya, ayat ini berlanjut, “Apabila Aku telah membentuknya dan meniupkan ruhKu kepadanya, tunduk sujudlah kepadanya!” Jelas dari ayat ini bahwa kata kerja menciptakan di sini terjadi dalam sekejap.

    Sungguh, tak seorang pun ulama Al Qur’an menerjemahkannya sebagai “Aku sedang menciptakan”. Misalnya, uraian Suleyman Ates, seorang ulama Muslim Turki, terbaca:

    Tuhanmu berfirman kepada para malaikat “Aku akan menciptakan manusia dari tanah liat.”

    Allah mengabari para malaikat bahwa Dia akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat busuk. Setelah mengolah tanah liat ke bentuk manusia dan meniupkan ruhNya sendiri ke dalamnya, Dia memerintahkan para malaikat agar bersujud di hadapan manusia itu. Mereka semua bersujud. Hanya Setan yang tidak bersujud kepada moyang manusia, sambil berkata bahwa ia yang tercipta dari api adalah lebih baik daripada manusia yang tercipta dari tanah liat.

    Imam Tabari menerjemahkan ayat yang sama sebagai, “Aku akan menciptakan manusia dari tanah liat”, dan memberikan uraian ini:

    … Allah sekali waktu mengabari para malaikat, “Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat. Selesai Aku menciptakannya, menetapkan bentuknya, dan meniupkan ruhKu ke dalam dirinya, kalian akan bersujud kepadanya.” 12

    Mereka yang membela penciptaan evolusi juga mengutip ayat berikut ini untuk mendukung pendapat bahwa manusia diciptakan melalui sebuah proses:

    Yang menciptakan segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS. As Sajdah, 32: 7)

    Menurut tafsiran mereka, ungkapan yang digarisbawahi merujuk ke suatu proses, dalam hal ini proses evolusi. Namun, ungkapan itu sebenarnya sama sekali tidak merujuk ke proses semacam itu. Sebagaimana telah kami tekankan sepanjang buku ini, sangat banyak ayat melukiskan dengan rinci penciptaan oleh Allah dari ketiadaan, dan tak satu pun dari ayat-ayat itu dapat ditafsirkan bermakna penciptaan evolusi. Ayat berikut menekankan bahwa Allah dalam tindak penciptaan yang berkesinambungan.

    Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. An Naml, 27: 64)

    Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. Al Ankabuut, 29: 19)

    Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkannya) kembali; kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Ar Ruum, 30: 11)

    Penciptaan yang sinambung oleh Allah, atas setiap rincian di alam semesta, tidak menyiratkan evolusi. Seperti tafsir sejenis lainnya, tafsir yang satu ini sangat dipaksakan. Lebih lagi, jika Al Qur’an dilihat secara menyeluruh, pernyataan serupa akan terlihat tidak memiliki dasar yang sejati. Omer Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat ini sebagai berarti “…Dia menciptakan Nabi Adam dari tanah,13 ” dan Imam Tabari sebagai “Dia memulai penciptaan Adam dari tanah liat.” 14

    Para evolusionis Muslim mengutip ayat-ayat di bawah ini, khususnya bagian yang digarisbawahi, untuk mendukung pandangan mereka:

    Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. (QS. Al Infithaar, 82: 6-8)

    Namun, akan memaksakan makna ayat jika berkata bahwa ayat ini merujuk ke proses evolusi. Nyatanya, Hamdi Yazir dari Elmali menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

    “Allah menciptakanmu. Jelaslah bahwa penciptaan di sini bermakna mengadakan sebelum menyusun tubuh dan organ-organnya, menetapkan ukuran dan bentuk, serta menyatukan bagian-bagian. Kita juga diberitahu bahwa keberadaan, saripati dari segala nikmat, adalah Rahmat dan Kebaikan Ilahiah yang terpenting.

    Dia lalu menyusun tubuh dan organ-organmu. Dikatakan bahwa “Dia menciptakanmu dari tanah/debu, lalu dari setetes mani, dan lalu menyempurnakanmu sebagai laki-laki” (QS. Al Kahfi, 18: 37) dan, sebagaimana dalam banyak ayat lainnya, bahwa manusia itu dibawa ke tahap ruh dapat ditiupkan ke dalam dirinya secara bertahap; Dia menyusun tubuh, organ-organ, dan kemampuan, serta memberimu keseimbangan dan kendali. Ada dua tafsiran bebas di sini, satu berasal dari ‘adl dan yang lain dari ta’dil. Karena keduanya berarti “menyeimbangkan” dan “mengembalikan ke keadaan wajar”, beberapa tafsiran telah dibuat, yang menyatakan bahwa “penciptaan sesuai dengan urutan” telah dibuat sempurna.

    Menurut uraian Muqatil, ungkapan dalam Surat Al Qiyaamah: 4 bahwa “Kami sungguh kuasa menyusun (ulang) jari-jemarinya,” berarti bahwa tubuh manusia berbentuk seimbang dan teratur, sebagaimana kesesuaian dan rincian organ-organ kembar (misalnya, mata, telinga, tangan, dan kaki) diketahui dari anatomi (ilmu urai tubuh). 15

    Menurut Abu Ali Farisi, ungkapan “Dia menyeimbangkanmu” sebenarnya berarti “Dia membentukmu dalam bentuk yang sebagus-bagusnya, dan dengan ukuran ini memberimu kemampuan mengerti nalar, gagasan, dan kekuatan, serta memberimu keunggulan atas tumbuhan dan makhluk hidup lain. Dia membawamu ke tingkat kematangan yang jauh melebihi makhluk hidup lain di dunia.” Ini sejalan dengan arti “Apabila Aku telah menyempurnakan bentuknya dan meniupkan ruhKu ke dalam dirinya” (QS. Al Hijr, 15: 29) dan “melebihkan mereka jauh di atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al Israa’, 17: 70). Semua ini adalah nikmat dan kasih sayang dari Allah. 16

    Omer Nasuhi Bilmen menafsirkan ayat itu seperti ini:

    Ya. Tuhanmu (yang menciptakanmu) memberimu wujud dari ketiadaan (lalu membentukmu), memberimu organ-organ yang bagus dan sempurna (dan menyeimbangkanmu). Dia menyeimbangkan organ-organmu, dengan keindahan yang sedap di mata dan susunan yang alami. 17

    Imam Tabari menyatakan bahwa Surat Al Infithar: 7 merujuk kepada manusia yang diciptakan dalam satu perintah:

    Hai manusia, Tuhan yang menciptakanmu membuat penciptaan itu teratur dan menghasilkanmu dalam bentuk yang sehat, teratur, dan benar. (Dengan kata lain, Dia menciptakan manusia lengkap dengan tinggi yang tertentu, ukuran yang benar, dan dalam bentuk dan rupa yang terbaik.) Allah membuatmu dengan kecantikan atau keburukan yang Dia anggap tepat. 18

    Seperti dapat dilihat dari ulasan di atas, pernyataan-pernyataannya amat jelas; semua ayat itu menunjuk ke arah penciptaan lengkap, benar, dan teratur atas manusia pertama. Pernyataan-pernyataan serupa ternyata dapat ditemukan dalam banyak ayat lain. Misalnya, Surat As Sajdah: 7-9 mengatakan:

    Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani). Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam (tubuh) nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As Sajdah, 32: 7-9)

    Kata “penciptaan” digunakan kali pertama dalam ayat-ayat ini, yang lalu berlanjut dengan mengatakan bahwa Dia menciptakan mata, telinga, dan hati. Jadi, kita diberitahu bahwa semua tahap ini terjadi pada waktu yang sama; dengan kata lain, mata, telinga, dan hati manusia pertama diciptakan bersama-sama, dan ia diciptakan dalam sesaat. Salah besar jika mengartikan ayat-ayat ini seakan merujuk kepada evolusi manusia. Nyatanya, para ulama Islam terkemuka semuanya sepakat tentang tafsir ayat ini. Misalnya, Imam Tabari mengatakan:

    … Dia lalu memunculkan manusia sebagai makhluk lengkap dalam bentuk yang teratur, kemudian meniupkan jiwaNya ke dalam dirinya, dan membuatnya makhluk yang berbicara … Dia memberi telinga agar engkau mendengar, mata agar engkau melihat, dan hati agar engkau membedakan yang benar dan yang salah, dan engkau wajib bersyukur atas nikmat-nikmat ini… 19

    Tafsir Omer Nasuhi Bilmen berbunyi: “Tuhan menyusun manusia yang mulai berbentuk, melengkapi tubuhnya sementara masih dalam rahim ibunya, dan membentuknya dengan cara yang selayaknya (dan lalu meniupkan ruhNya ke dalam tubuhnya). Dengan kata lain, Dia memberi manusia kehidupan dan mengilhami daya penting dalam jiwanya … Tuhan memberimu kuasa (pendengaran) yang amat berguna itu sehingga, berkat itu semua, engkau dapat mendengar kata-kata yang diucapkan kepadamu, dan menciptakan mata dan hatimu agar engkau dapat melihat apa-apa di sekelilingmu dan membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak. Masing-masing hal ini adalah nikmat ilahi yang agung.” 20

    1. Kekeliruan Bahwa Nabi Adam Bukan Manusia Pertama

    Pernyataan lain yang diajukan menyangkut penciptaan evolusi adalah Nabi Adam AS mungkin bukan manusia pertama dan bahkan mungkin bukan manusia. (Kami memohon ampun kepada Nabi Adam AS).

    Ayat berikut diajukan sebagai bukti akan hal ini:

    Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 30)

    Mereka yang mendukung pernyataan ini berkata bahwa kata kerja bahasa Arab ja’ala dalam ungkapan “Aku akan menciptakan seorang khalifah” bermakna “mengangkat”. Dengan kata lain, mereka berpendapat bahwa Nabi Adam bukanlah manusia pertama, namun ia “diangkat” sebagai khalifah di antara banyak orang.

    Akan tetapi, dalam Al Qur’an, kata kerja ini memiliki arti berikut:

    Menciptakan, menemukan, menerjemahkan, membuat, menempatkan, dan menjadikan

    Beberapa contoh ayat Al Qur’an saat ja’ala digunakan adalah:

    Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan (ja’ala) daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak… (QS. Az Zumar, 39: 6)

    Katakanlah: “Dia-lah yang menciptakan kamu dan memberi kamu (ja’ala) pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk, 67: 23)

    Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan (ja’ala) matahari sebagai pelita. (QS. Nuh, 71: 16)

    Dan Allah menjadikan (ja’ala) bumi untukmu sebagai hamparan. (QS. Nuh, 71: 19)

    Sebagaimana terlihat pada ayat-ayat di atas, ja’ala memiliki banyak makna. Lebih lagi, sejumlah ayat menyatakan bahwa Nabi Adam AS diciptakan dari tanah/debu. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi Adam AS bukanlah seorang manusia biasa di antara banyak orang, melainkan bahwa ia memiliki penciptaan yang khusus dan berbeda.

    Al Qur’an mengungkapkan fakta penting lainnya tentang Nabi Adam AS: pemindahannya dari Taman Surga. Dikatakan dalam ayat-ayat:

    Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh Setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al A’raaf, 7: 27)

    Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al Baqarah, 2: 35-36)

    Pernyataan ayat-ayat di atas sungguh-sungguh terang. Allah menciptakan Nabi Adam AS dari tanah/debu. Nabi Adam AS adalah penciptaan khusus yang muncul, pertama kali dari keberadaannya di surga, dan lalu dari pemindahannya dari surga.

    Namun, kaum evolusionis Muslim mengabaikan kebenaran yang nyata ini, dan bersikeras bahwa “surga” di sini tidak merujuk kepada Surga di akhirat, namun suatu tempat indah di Bumi, sekalipun Al Qur’an merinci ciri surga yang di dalamnya Nabi Adam AS diciptakan. Misalnya, Surga berisi para malaikat dan iblis, dan para malaikat berbicara kepada Allah. Salah jika menelurkan tafsir yang dipaksakan, dan mencari bukti evolusi, di saat ayat-ayat tentang masalah ini begitu jelasnya.

    Banyak ayat menyatakan bahwa semua orang diturunkan dari Nabi Adam AS. Sebagaimana Al Qur’an katakan:

    Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” Atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dulu?” (QS. Al A’raaf, 7: 172-173)

    Nabi Adam AS adalah manusia pertama dan utusan Allah yang pertama. Ayat-ayat begitu tegas dan jelas tentang masalah ini, sehingga tidak diperlukan uraian apa pun. Yang harus dilakukan orang hanyalah membaca Al Qur’an dengan hati yang tulus dan mendengarkan hati nurani. Allah akan mengungkapkan kebenaran kepada mereka yang membaca ayat-ayatNya dengan niat tersebut.

    =================

    12.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1991

    13.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 6, h. 2763

    14.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1991

    15.Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm

    16.Hamdi Yazir dari Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/infitar.htm

    17.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3983

    18.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2748

    19.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 4, h. 1796

    20.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, h. 2764

     
    • cvnadagroup2017 2:11 am on 3 Juni 2015 Permalink

      teorinya darwin aja yang salah….

  • erva kurniawan 1:19 am on 2 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (13) 

    cara-mencegah-pencemaran-airMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (13)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    1. Kekeliruan Bahwa Penciptaan Dari Air Adalah Tanda Penciptaan Evolusi

    Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al Insaan, 76: 2)

    Mereka yang membela penciptaan evolusi mencoba menunjukkan, pernyataan-pernyataan dalam banyak ayat bahwa manusia diciptakan dari air adalah bukti semua makhluk hidup muncul dari air.

    Akan tetapi, ayat-ayat itu selalu ditafsirkan oleh para ulama dan pengulas Al Qur’an sebagai merujuk kepada penciptaan dari bersatunya sel mani dan telur. Misalnya, Muhammad Hamdi Yazir dari Elmali menguraikan ayat di atas sebagai berikut:

    … ia diciptakan dari nutfah berbentuk air. Nutfah adalah air murni. Ia juga berarti air mani. Nutfah dan air mani menurut kebiasaan memiliki arti yang sama. Namun, di akhir Surat Al Qiyaamah, dikatakan “nutfah dalam mani yang ditumpahkan” (QS. Al Qiyaamah, 75: 37),

    jadi, menyatakan bahwa nutfah itu bagian dari air mani tersebut.

    Sebagaimana dikabarkan dalam Sahih al-Muslim, “Anak tidak berasal dari seluruh cairan itu”. Dan, hadits itu, membahas setiap bagian kecil dari keseluruhan itu, tidak mengatakan, “Setiap bagian dari suatu cairan”, melainkan lebih membicarakan satu bagian dari “keseluruhan cairan itu”, dan bahwa seorang anak tidak berasal dari keseluruhan cairan, namun hanya dari satu bagian. Nutfah hanyalah satu bagian murni dari air mani. 7

    Ibnu Tabari menafsirkannya sebagai berarti, “Kami telah menciptakan keturunan Adam dari percampuran cairan-cairan pembuahan lelaki dan perempuan.” 8

    Omer Basuhi Bilmen menjelaskannya dalam cara ini:

    … (Kami menciptakan manusia dari setetes nutfah yang tercampur.) Kami membentuknya dari cairan lelaki dan perempuan yang tercampur. Ya … Manusia adalah, selama suatu tenggang waktu, sebuah nutfah, dengan kata lain, air yang amat jernih dan murni, dan lalu selama tenggang waktu tertentu, sebuah ‘alaq, dengan kata lain, segumpal darah, dan lalu sebuah mudgha, dengan kata lain, segumpal daging. Kemudian, tulang-tulang terbentuk dan dibungkus daging, dan menjadi hidup …9

    Seperti kita lihat dari penjelasan-penjelasan ini, tidak ada kaitan antara penciptaan manusia dari “setetes nutfah yang tercampur” dengan pernyataan teori evolusi bahwa manusia muncul secara bertahap dari sebuah sel tunggal yang berkembang tanpa disengaja dalam air. Sebagaimana dikatakan semua pakar Al Qur’an termasyhur, ayat ini menarik perhatian kita kepada fakta penciptaan di dalam rahim ibu.

    Jika kita mencermati sebuah ayat lain, tempat dibahas tahap-tahap penciptaan manusia, kekeliruan dasar dalam berbagai uraian ini terungkap dengan jelas:

    Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)

    Dalam ayat ini, tahap-tahap penciptaan manusia dijabarkan. Debu atau tanah, yakni, zat-zat organik dan anorganik, yang ditemukan dalam bentuk dasarnya di permukaan dan di dalam bumi, adalah bahan mentah yang mencakup berbagai mineral dan anasir dasar dalam tubuh manusia.

    Tahap kedua adalah penyatuan zat-zat ini dalam air mani, yang dijelaskan Al Qur’an sebagai setetes nutfah yang tercampur. Tetesan ini berisi sel mani yang memiliki informasi dan susunan genetis yang diperlukan untuk membuahi telur dalam rahim ibu. Singkatnya, bahan mentah manusia adalah (tanah/debu) bumi, yang saripatinya dikumpulkan dalam setetes air mani dengan cara yang akan melahirkan manusia.

    Setelah tahap air, tahap-tahap perkembangan manusia di dalam rahim ibu dijelaskan dalam Al Qur’an. Di sisi lain, teori evolusi memperkirakan adanya berjuta-juta tahap dugaan/hipotetis (sel pertama, makhluk bersel tunggal, makhluk bersel banyak, hewan tak bertulang belakang, hewan bertulang belakang, reptil, mamalia, primata, dan tahap-tahap serupa yang tak terhitung banyaknya) antara timbulnya kehidupan di air sampai ke pembentukan manusia. Akan tetapi, dalam urutan yang disajikan ayat di atas, nyata bahwa tidak ada penjelasan yang demikian, sebab manusia mengambil bentuk ‘alaq setelah ia berbentuk setetes air.

    Karena alasan ini, jelaslah bahwa ayat di atas tidak melukiskan tahap-tahap evolusi yang berbeda yang dilalui manusia, melainkan tahap-tahap penciptaan sejak sebelum dan di dalam rahim ibu sampai masa tua.

    Ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya diciptakan dari air juga tidak mengandung arti yang dapat dipakai untuk mendukung evolusi. Ayat-ayat berikut ini termasuk di antara ayat yang berisi pernyataan semacam itu:

    Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al Anbiyaa’, 21: 30)

    Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 45)

    Ayat-ayat di bawah ini jelas menyatakan bahwa “setetes air” itu adalah air mani:

    Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan dari air mani, apabila dipancarkan (min nuthfatin idzaa tumnaa). Dan bahwasanya Dia-lah yang menetapkan kejadian yang lain (kebangkitan sesudah mati). (QS. An Najm, 53: 45-47)

    Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan ke dalam rahim (nuthfatam mim maniyyiy yumnaa)…? (QS. Al Qiyaamah, 75: 37)

    Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang terpancar (khuliqa mim maa-in dafiqin), yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (QS. Ath Thaariq, 86: 5-7)

    Sebagian pengulas Al Qur’an ada yang berpikir bahwa “penciptaan makhluk hidup dari air” mengandung arti yang sejalan dengan teori evolusi. Akan tetapi, pandangan ini sungguh lemah. Ayat-ayat itu mengungkapkan bahwa air adalah bahan mentah bagi makhluk hidup, dengan cara mengatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan darinya. Nyatanya, biologi mutakhir mengungkapkan bahwa air merupakan unsur paling mendasar semua makhluk hidup, sebab tubuh manusia kira-kira 70 persennya air. Air memungkinkan gerakan dalam sel, antar-sel, dan antar-jaringan. Tanpa air, tidak akan ada kehidupan.

    1. Kekeliruan bahwa Penciptaan Itu yang Pertama dari Tanah Lalu dari Air Berarti Penciptaan Evolusi

    Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? (QS. Al Kahfi, 18: 37)

    Imam Tabari menguraikan ayat ini sebagai berikut:

    … Apakah engkau hendak mengingkari Allah yang menciptakan ayahmu Adam dari tanah/debu, lalu menciptakanmu dari cairan lelaki dan perempuan, lalu membungkusmu dalam bentuk manusia? Allah, Dia yang memberimu semua ini dan menjadikan dirimu seperti saat ini, mewujudkanmu untuk membuatmu makhluk hidup lain setelah engkau mati dan kembali ke tanah. 10

    Uraian Omer Nasuhi Bilmen atas ayat yang sama mengatakan:

    Apakah engkau mengingkari Allah Mahaperkasa yang menciptakan Nabi Adam, moyang bangsamu dan musabab penciptaanmu, (dari tanah/debu), Yang lalu menciptakanmu dan (membentukmu sebagai lelaki setelah menciptakanmu) dari nutfah dan setetes mani, Yang mewujudkanmu sebagai manusia lengkap sebagai hasil tahap-tahap kehidupan yang berbeda? Karena mengingkari hidup sesudah mati sama dengan mengingkari Allah Mahaperkasa, Yang memberimu kabar bahwa itu akan terjadi dan Yang memiliki kekuasaan untuk membuatnya terjadi. 11

    Sebagaimana ditunjukkan oleh para pengulas ini, memakai ayat-ayat sejenis itu sebagai bukti proses evolusi tidaklah lebih daripada pendapat pribadi murni, sebab dengan cara apa pun ayat-ayat itu tidak membawa makna yang dilekatkan kaum evolusionis padanya.

    Ungkapan penciptaan dari tanah/debu melukiskan penciptaan Nabi Adam, dan penciptaan dari air merujuk kepada pertumbuhan manusia, mulai dari air mani. Diperlihatkan dalam ayat berikut ini bahwa Allah menciptakan manusia langsung dari tanah liat kering.

    Ayat ini, yang menggambarkan penciptaan Nabi Adam, tidak membicarakan suatu tahap:

    Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al Hijr, 15: 28-29)

    Jika kisah Al Qur’an tentang tahap-tahap penciptaan dibaca dengan cermat, sambil mengingat proses-proses yang berurut, akan segera disadari bahwa pandangan evolusi itu adalah tidak benar.

    Al Qur’an berisi banyak ayat yang menunjukkan bahwa Nabi Adam AS tidak diciptakan melalui tahap evolusi. Salah satunya berbunyi:

    Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah!” (seorang manusia), maka jadilah dia. (QS. Ali ‘Imran, 3: 59)

    Ayat di atas menyatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam AS dan Isa AS, dengan cara serupa. Sebagaimana telah kami tekankan sebelumnya, Nabi Adam diciptakan tanpa orangtua, dari tanah, dengan perintah Allah “Jadilah!” Nabi Isa juga diciptakan tanpa ayah, atas kehendak Allah yang diungkapkan lewat perintah “Jadilah!” Dengan perintah ini, Maryam AS pun mengandung Isa:

    Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.” Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata: Demikianlah. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” (QS. Maryam, 19: 17-21)

    Dalam ayat lain yang merujuk kepada penciptaan dari air dan tanah, bukanlah tahap-tahap evolusi yang dijelaskan, namun tahap-tahap penciptaan manusia sebelum berada dalam rahim, selama di dalamnya, dan sesudah dilahirkan.

    Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka (ketahuilah), sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al Hajj, 22: 5)

    Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya). (QS. Al Mu’min, 40: 67)

    Dari air mani, apabila dipancarkan. (QS. An Najm, 53: 46)

    ***

    7.Hamdi Yazir of Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.htm

    8.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2684

    9.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3915

    1. 52. Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 3, h. 1268

    11.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 4, h. 1958

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 1 June 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (12) 

    quranMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (12)

    Harun Yahya

    Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

    Kekeliruan Mereka Yang Menggunakan Ayat-Ayat Al Qur’an Untuk ‘Membuktikan’ Evolusi

    Panduan dasar bagi semua Muslim yang percaya kepada Allah dan Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah (teladan) Nabi SAW. Al Qur’an mengandung banyak ayat tentang penciptaan kehidupan dan alam semesta.

    Tidak ada dari ayat-ayat ini yang memberikan tanda, sekalipun yang paling samar, tentang penciptaan melalui evolusi.

    Dengan kata lain, Al Qur’an tidak mendukung gagasan bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu jenis ke jenis lainnya, atau bahwa ada rantai kaitan evolusi di antara itu semua. Sebaliknya, Al Qur’an mengungkapkan bahwa Allah menciptakan kehidupan dan alam semesta secara ajaib dengan memerintahkan “Jadilah!” Jika mengingat bahwa berbagai temuan ilmiah juga menggugurkan evolusi, kita melihat sekali lagi bagaimana Al Qur’an selalu sejalan dengan ilmu pengetahuan.

    Tentu saja, jika Allah kehendaki, Dia dapat menciptakan apa pun lewat cara evolusi. Namun, tiada tanda Dia melakukan hal itu dalam Al Qur’an, dan tidak satu ayat pun mendukung pernyataan evolusionis bahwa jenis makhluk hidup berkembang secara bertahap.

    Jika penciptaan terjadi secara demikian, kita seharusnya bisa membaca rinciannya dalam Al Qur’an. Walaupun semuanya demikian jelas, sebagian kaum Muslimin yang mendukung paham Darwinisme salah menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan memberikan makna yang tidak sejalan dengan makna jelas dan tegas yang sebenarnya dikandung ayat-ayat itu.

    Untuk membela evolusi dan menyediakan sejumlah bukti Al Qur’an baginya, makna sejumlah ayat dipelintir, tebak-tebakan diandalkan, dan tafsir yang berprasangka dibuat.

    Tentang orang-orang dalam keadaan berbahaya ini, Allah berfirman yang berikut:

    Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali ‘Imran, 3: 78)

    Mereka yang mengetahui Al Qur’an namun memelintir makna asli ayat-ayatnya dan sengaja salah menafsirkan ayat-ayat itu dikatakan berdusta terhadap Allah. Tak seorang Muslim pun suka rela berbuat demikian, karena terlalu takut akan akibat-akibatnya. Jadi, semua uraian yang berdasarkan dugaan dan tebakan, khususnya yang dibuat oleh mereka yang mengetahui Al Qur’an dan apa yang dikatakannya tentang masalah-masalah sepenting ini, secara akhlak tak bisa diterima.

    Tentu saja, adalah salah apabila kita menyamaratakan setiap orang yang menyatakan evolusi selaras dengan agama, sebab sebagian mereka tidak memikirkan apa makna pernyataan semacam itu, dan sebagian lain tidak menyadari bahaya-bahaya yang menyurukinya. Sekalipun demikian, tidak boleh menyesatkan orang lain tentang apa yang dikatakan Al Qur’an, dengan cara berbicara atas nama Allah, dan mencoba membuktikan evolusi dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an.

    Mereka yang melakukan hal itu harus meninjau kembali beratnya akibat perbuatan mereka dan menghindarkan diri dari membuat tafsir dan uraian seperti itu, sebab Allah akan meminta tanggung jawab mereka atas kata-kata mereka. Tidak hanya mereka memperdaya diri sendiri, namun juga memperdaya orang-orang yang membaca karya-karya mereka – sungguh tanggung jawab yang berat.

    Pada akar masalahnya adalah hal ini: kaum Muslimin yang percaya evolusi menerima gagasan tersebut sebagai fakta ilmiah, sehingga mereka mendekati Al Qur’an dengan anggapan bahwa Al Qur’an harus menegaskan evolusi. Jadi, mereka memuati setiap kata yang mungkin memiliki tafsir evolusioner dengan makna yang tak mungkin dikandungnya. Apabila Al Qur’an dilihat secara utuh, atau bila ayat yang terkait dibaca dalam kaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, orang dapat melihat bahwa penjelasan yang ditawarkan itu adalah dipaksakan dan tidak sah.

    Dalam bab ini, kita akan meninjau ayat-ayat yang disajikan oleh kaum Muslimin, yang menerima evolusi, sebagai bukti evolusi. Kita lalu akan menanggapi berbagai pernyataan mereka, juga dari Al Qur’an, dan membandingkan semua itu dengan tafsir yang dibuat oleh para ulama Islam yang terkemuka.

    Akan tetapi, kita harus tetap ingat akan kenyataan dasar berikut ini: Al Qur’an harus dibaca dan ditafsirkan dalam bentuk yang telah Allah ungkapkan, dengan hati yang tulus sepenuhnya dan tanpa terpengaruhi gagasan dan filsafat apa pun yang bukan Islam.

    Mendekati Al Qur’an dengan cara ini akan mengungkapkan bahwa Al Qur’an tidak berisi keterangan tentang penciptaan lewat evolusi. Sebaliknya, akan terlihat bahwa Allah menciptakan makhluk hidup dan segala sesuatu dengan perintah tunggal “Jadilah!” Jika makhluk setengah-manusia-setengah-kera memang benar-benar ada sebelum Nabi Adam, Allah akan menerangkannya dengan jelas dan mudah dimengerti. Fakta bahwa Al Qur’an amat jelas dan amat mudah dimengerti menunjukkan bahwa pernyataan tentang penciptaan evolusi tidaklah benar.

    1. Kekeliruan Bahwa Manusia Diciptakan Melalui Tahap-Tahap Evolusi

    Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (QS. Nuh, 71: 13-14)

    Mereka yang mendukung penciptaan evolusi menafsirkan kata-kata “beberapa tingkatan kejadian” sebagai “melalui tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, menafsirkan kata bahasa Arab atwaran sebagai tahap-tahap evolusi, yang tak lebih daripada sebuah pendapat pribadi, tidak secara umum disepakati oleh semua ulama Islam.

    Atwar (suasana, keadaan) merupakan bentuk jamak tawru, dan tidak muncul dalam bentuk itu pada ayat Al Qur’an yang lain. Tafsiran dunia Islam atas ayat ini memperlihatkan fakta tersebut.

    Dalam tafsirnya, Muhammad Hamdi Yazir dari Elmali menerjemahkan ayat itu sebagai: “Ia menciptakanmu tahap demi tahap melalui beberapa keadaan.” Dalam uraiannya, ia melukiskan tahap-tahap ini sebagai “tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, penjelasan ini tidak berkaitan dengan evolusi yang menyatakan bahwa akar manusia terletak di makhluk hidup lainnya.

    Nyatanya, sesudah itu Yazir segera mengatakan bahwa tahap-tahap tersebut adalah:

    Menurut penjelasan yang diberikan Ebus Suud 1 , pertama datang unsur-unsur, lalu zat gizi, lalu adonan/campuran, lalu sel mani, lalu segumpal daging, lalu daging dan tulang, dan ini akhirnya dibentuk dengan penciptaan yang sepenuhnya berbeda.

    “Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 14)

    Tidakkah Allah, Sang Pencipta yang Mahaperkasa, patut dipuja dan diagungkan? Tidakkah Dia sanggup terus mengangkatmu lebih jauh dengan bentuk dan penciptaan lain? Atau tidakkah Dia juga bisa menghancurkanmu dan melemparkanmu ke dalam siksaan yang pedih? Mengapa tidak kaupikirkan semua hal ini?

    Seperti ditunjukkan semua pernyataan di atas, ayat ini menggambarkan bagaimana manusia mencapai rahim ibunya sebagai sebuah sel mani, berkembang sebagai janin dan lalu segumpal daging, dan lalu tumbuh menjadi daging dan tulang sebelum lahir ke dunia sebagai manusia.

    Dalam uraian Imam Tabari, Surat Nuh: 14 diterjemahkan sebagai “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian”, dan ini ditafsirkan sebagai bermakna “Engkau kali pertama berbentuk sebutir sel benih, lalu Dia menciptakanmu sebagai segumpal darah, lalu sepotong kecil daging.” 2

    Omer Basuhi Bilmen menerjemahkan ayat itu sebagai “Nyatanya, Dia menciptakanmu melalui aneka tingkatan”, dan meneruskan dengan tafsir berikut:

    Dia (menciptakan)mu melalui aneka tingkatan. Engkau pertama kali adalah sebutir benih, lalu setetes darah. Engkau menjadi sepotong daging dan memiliki tulang, lalu engkau dilahirkan sebagai manusia. Tidakkah semua kejadian dan perubahan, yang bermacam-macam dan patut dijadikan contoh ini, merupakan bukti cemerlang akan keberadaan, kekuasaan, dan keagungan Tuhan Penciptaan? Mengapa engkau tidak memikirkan penciptaan dirimu sendiri? 3

    Sebagaimana kita lihat di sini, para ulama Al Qur’an Muslim sepakat bahwa penafsiran Surat Nuh: 14 merujuk kepada proses yang terlibat dalam perkembangan manusia dari penyatuan sel mani dan sel telur. Bahwa ayat tersebut harus ditafsirkan dengan cara ini adalah jelas dari azas “menafsirkan ayat Al Qur’an menurut ayat Al Qur’an lainnya”, karena dalam ayat-ayat lain Allah menjelaskan tahap-tahap penciptaan sebagai apa yang terjadi dalam rahim ibu. Itulah sebabnya, atwaran harus diterjemahkan dengan cara ini. Tidak dibenarkan menggunakan kata itu sebagai dukungan bagi teori evolusi, yang mencoba mengaitkan asal-muasal manusia dengan jenis makhluk hidup lainnya.

    1. Kekeliruan Bahwa Al Qur’an Berisi Isyarat Akan Proses Evolusi

    Bukankah sudah datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS. Al Insaan, 76: 1)

    Orang-orang yang sama tersebut juga menggunakan ayat ini sebagai bukti evolusi. Dalam terjemahan yang berdasarkan penafsiran pribadi, ungkapan “saat ia bukan sesuatu yang patut disebutkan” diungkapkan sebagai pernyataan “keadaan-keadaan sebelumnya, saat manusia belum menjadi manusia”. Akan tetapi, pernyataan ini sama jauhnya dari kebenaran dengan pernyataan pertama.

    Bagian berbahasa Arab dari ruas yang digarisbawahi adalah:

    Lam yakum shay’am madzkuuraan

    lam yakun: ia bukanlah

    shay’an: sesuatu

    madzkuuraan: yang dibicarakan, disebutkan

    Mencoba menggunakan ungkapan ini sebagai bukti evolusi adalah benar-benar memaksakan kata-kata. Nyatanya, para ulama Al Qur’an tidak menafsirkan ayat ini sebagai menandakan proses evolusi. Misalnya, Hamdi Yazir dari Elmali membuat uraian berikut:

    Awalnya adalah berbagai anasir dan mineral, lalu gizi tumbuhan dan hewan – “saripati tanah” (QS. Al Mu’minuun, 23: 12) diciptakan dari semua itu dalam tahap-tahap. Lalu, sesuatu muncul amat lambat dan bertahap dari sel mani yang disaring dari semua itu. Namun, itu bukan sesuatu yang disebut manusia. Manusia tidak abadi, begitu juga zatnya; itu muncul kemudian. Manusia ada lama sesudah permulaan waktu dan penciptaan alam semesta. 4

    Omer Basuhi Bilmen menjelaskan ayat itu dengan cara ini:

    Ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk melihat dan mendengar dari setetes air saat ia belum menjadi, dan Dia telah menetapkan suatu cobaan baginya … Manusia belum ada pada awalnya, namun diciptakan belakangan sebagai tubuh dibentuk dari setetes air, tanah, dan lempung. Orang itu tidak dikenal saat itu, namanya dan mengapa ia diciptakan tak diketahui oleh penghuni Bumi dan langit. Ia lalu mulai diingatkan bahwa ia memiliki ruh. 5

    Imam Tabari menjelaskan arti ayat ini sebagai: “Begitu lama waktu telah berlalu sejak masa Adam yang di masa itu ia bahkan bukan sesuatu yang memiliki nilai atau keunggulan apa pun. Ia bukan apa-apa selain tanah liat yang lengket dan digubah.” 6

    Karena alasan ini, memandang ungkapan waktu dalam ayat ini sebagai tenggang waktu evolusi adalah murni sebuah pendapat pribadi.

    ***

    1.Ebus Suud adalah sheik Islam dan ulama zaman Ottoman yang hidup antara 1492/3-1574/5.

    1. Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2631

    3.Omar Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851)

    4.Hamdi Yazir of Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.html

    5.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851

    6.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2684

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal