Updates from Juli, 2016 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 1:42 am on 31 July 2016 Permalink | Balas  

    Hikayat Iblis (3) 

    alquranHikayat Iblis (3)

    Lalu bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar ? “, tanya Rasulullah SAW.

    “Ia sewaktu Jahiliyyah saja tidak pernah taat kepadaku, apalagi sewaktu dalam Islam “, tutur iblis.

    “Bagaimana dengan Umar bin Khaththab ? “,tanya Rasulullah SAW. “Demi Allah SWT , setiap kali saya bertemu dengannya, mesti akan lari darinya “, jawab iblis.

    “Bagaimana dengan Utsman ? “ , tanya Rasulullah SAW. “Saya merasa malu terhdap orang yang para malaikat saja malu kepadanya “, jawab iblis.

    “Lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib ? “,tanya Rasulullah SAW.

    “Andaikan saya bisa selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya, ia meninggalkanku dan saya pun meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak pernah melakukan hal itu samasekali “, tutur iblis.

    “Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan ummatku bahagia dan mencelakakanmu sampai pada waktu yang ditentukan “, tutur Rasulullah SAW.

    “Tidak dan tidak mungkin, dimana ummatmu bisa bahagia sementara saya senantiasa hidup dan tidak mati sampai pada waktu yang telah ditentukan. Lalu bagaimana engkau bisa bahagia terhadap ummtmu, sementara saya bisa masuk kepada mereka melalui aliran darah dan daging, sedangkan mereka tidak melihatku. Demi Tuhan yang telah menciptakanku dan telah menunda kematianku sampai pada hari mereka dibangkitkan kembali (Kiamat), sungguh saya akan menyesatkan mereka seluruhnya, baik yang bodoh maupun yang alim, yang awam maupun yang bisa membaca Al-Qur’an, yang nakal maupun yang rajin beribadah, kecuali hamba-hamba Allah SWT yang mukhlis (murni) “, tutur iblis.

    (bersambung)

     
  • erva kurniawan 1:35 am on 30 July 2016 Permalink | Balas  

    Hikayat Iblis (2) 

    quranHikayat Iblis (2)

    Rasulullah SAW mulai melemparkan pertanyaan kepada iblis, “Jika engkau bisa menjawab dengan jujur, maka coba ceritakan kepadaku, siapa orang yang paling engkau benci ? “.

    Iblis menjawab dengan jujur, “ Engkau, wahai Muhammad, adalah orang yang paling aku benci dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu “.

    “Lalu siapa lagi yang palimg engkau benci ? “, tanya Rasulullah SAW. “Seorang pemuda yang bertakwa dimana ia mencurahkan dirinya hanya kepada Allah SWT “, jawab iblis.

    “Siapa lagi ? “, tanya Rasulullah SAW. “Orang alim yang wara’ (menjaga diri dari syubhat) lagi sabar“, jawab iblis.

    “Siapa lagi ? “, tanya Rasulullah SAW. “Orang yang senantiasa melanggengkan kesucian dari tiga kotoran (hadats besar, kecil, dan najis) “, tutur iblis.

    “Siapa lagi ? “, tanya Rasulullah SAW. “Orang fakir yang senantiasa bersabar, yang tidak pernah menuturkan kefakirannya kepada siapapun dan juga tidak pernah mengeluhkan penderitaan yang dialaminya”, jawab iblis.

    “Lalu dari mana engkau tahu kalau ia bersabar ? “,tanya Rasulullah SAW. “Wahai Muhammad, bila ia masih dan pernah mengeluhkan penderitaannya kepada mahluk yang sama dengannya selama tiga hari, maka Allah SWT tidak akan mencatat perbuatannya dalam kelompok orang-orang yang bersabar “, jelas iblis.

    “Lalu siapa lagi wahai iblis ? “ , tanya Rasulullah SAW. “Orang kaya yang bersyukur”, tutur iblis. “Lalu apa yang bisa memberi tahu kepadamu, bahwa ia bersyukur ? “,tanya Rasulullah SAW.

    “Bila saya melihatnya ia mengambil kekayaannya dari apa saja yang dihalalkan dan kemudian disalurkan pada tempatnya”, tutur iblis.

    “Bagaimana kondisimu apabila ummatku menjalankan shalat ? “, tanya Rasulullah SAW.

    “Wahai Muhammad, saya langsung merasa gelisah dan gemetar “, jawab iblis.

    “Mengapa wahai mahluk yang terkutuk ? “, tanya Rasulullah SAW.

    “Sesunguhnya apabila seorang hamba bersujud kepada Allah SWT sekali sujud, maka Allah SWT akan mengangkat satu derajat (tingkat). Apabila mereka berpuasa, maka saya terikat sampai mereka berbuka kembali.  Apabila mereka menunaikan manasik haji, maka saya jadi gila. Apabila mereka membaca Al-Qur’an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. Apabila mereka bersedekah maka seakan-akan orang yang bersedekah tersebut mengambil kapak lalu memotong saya menjadi dua “ jawab iblis.

    “Mengapa demikian wahai Abu Murrah (julukan iblis) ? “, tanya Rasulullah SAW.

    “Sebab dalam sedekah ada empat perkara yang perlu diperhatikan ; Dengan sedekah itu, Allah SWT akan menurunkan keberkahan dalam hartanya, menjadikan ia disenangi dikalangan mahluk-Nya, dengan sedekah itu pula Allah SWT akan menjadikan suatu penghalang antara neraka dengannya dan akan menghindarkan segala bencana dan penyakit “, tutur iblis menjelaskan.

    (bersambung)

     
  • erva kurniawan 1:35 am on 29 July 2016 Permalink | Balas  

    Hikayat Iblis (1) 

    al quranHikayat Iblis (1)

    Segala puji hanya milik Tuhan Semesta Alam. Shalawat dan salam sejahtera semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi yang Ummi, Muhammad SAW, dan kepada keluarganya serta sahabatnya yang mulia.

    Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal r.a., dari Ibnu Abbas r.a. yang berkisah :

    Kami bersama Rasulullah SAW dirumah salah seorang sahabat Anshar, dimana saat itu kami ditengah-tengah jamaah.

    Lalu ada suara orang memanggil dari luar, “Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku”. Rasulullah SAW bertanya kepada para jamaah, “Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu ?”.

    Mereka menjawab, “Tentu Alllah SWT dan Rasul-Nya lebih tahu”.

    Lalu Rasulullah SAW menjelaskan, “ini adalah iblis yang terkutuk –semoga Allah senantiasa melaknatnya”.

    Kemudian Umar r.a. meminta izin kepada Rasulullah sembari berkata, “YA Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk membunuhnya ?”.

    Beliau Nabi SAW menjawab, “bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa ia termasuk mahluk yang tertunda kematiannya sampai batas waktu yang telah diketahui (hari Kiamat) ?. Akan tetapi sekarang silahkan kalian membukakan pintu untuknya. Sebab ia diperintahkan untuk datang kesini, maka pahamilah apa yang diucapkan dan dengarkan apa yang bakal ia ceritakan kepada kalian.” .

    Ibnu Abbas berkata : Kemudian dibukakan pintu, lalu ia masuk ditengah-tengah kami. Ternyata ia berupa orang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Ia berjenggot sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda. Kedua kelopak matanya terbelah ke atas (tidak ke samping). Sedangkan kepalanya seperti gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti babi. Sementara kedua bibirnya seperti bibir kerbau.

    Ia datang sambil memberi salam. “Assalamu’alaika ya Muhammad, Assalamu’alaikum ya jamaa’atal-muslimim. “ kata iblis.

    Nabi SAW menjawab, “Assalamu lillah ya la’iin (Keselamatan hanya milik Allah wahai mahluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluan tersebut wahai iblis ? “.

    “Wahai Muhammad, saya datang kesini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang kesini karena terpaksa “, tutur iblis.

    “Apa yang membuatmu terpaksa harus datang kesini wahai mahluk terkutuk ?’ tanya Rasulullah SAW.

    Iblis menjawab, “ Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Agung, dimana utusan itu berkata kepadaku, “ Sesungguhnya Allah SWT memerintahmu untuk datang kepada Muhammad SAW sementara engkau adalah mahluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucu Adam AS, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad SAW dengan jujur. Maka demi Kebesaran dan Keagungan Allah SWT, jika engkau menjawab dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah SWT jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang “ . Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawab dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku “ .

    (bersambung)

     
  • erva kurniawan 1:25 am on 28 July 2016 Permalink | Balas  

    Fadhilat Surah Al – Fatihah & Al-Kursi 

    al-fatihahFadhilat Surah Al – Fatihah & Al-Kursi

    (Patut diketahui : Untuk menyegarkan hati)

    “Fatihatul kitab (surah al fatihah) adalah ubat bagi segala racun”

    Untuk Penawar Racun & Kala Jengking

    Isilah gelas dengan sedikit air yang dicampur dengan sedikit garam. Bacakanlah surah al Fatihah 7 kali pada air di dalam gelas itu. Kemudian berilah orang yang disengat lipan itu minum dan usapkanlah sedikit di bahagian sengatan tadi. Insyaallah dengan ikhtiar itu racun yang ada di dalam badan akan menjadi tawar sehingga cepat sembuh kembali.

    Untuk Menghilangkan Sifat Lupa

    Tulislah surah al Fatihah pada bekas air seperti gelas, piring, dan lain-lain) yang bersih lagi suci. Lalu tuangkanlah air ke dalamnya supaya tulisan itu terhapus. Kemudian berilah minum kepada orang yang selalu pelupa. Insya Allah usaha ini akan berhasil dengan kesabaran.

    Untuk Penyembuhan Segala Penyakit

    Ambillah sebaldi air lalu dibacakan surah ini kepada air itu sebanyak 40 kali. Kemudian basuhlah kedua tangan, kedua kaki, muka,kepala dan seluruh anggota badan sampai rata dengan air itu. Insya Allah dengan ikhtiar ini, penyakit yang dialami akan sembuh. Lakukanlah berkali-kali.

    Untuk Penyembuhan Penyakit Mata

    Bacalah surah ini 41 kali sehabis sembahyang subuh kepada orang yang sakit mata. Kemudian usapkanlah ke mata pesakit dengan sedikit air ludah iaitu selepas membaca al Fatihah. Insya Allah akan sembuh dengan berkah yang ada pada surah al Fatihah ini.

    ayat-kursiFadhilat  Al-Kursi

    1. Orang yang membaca ayat al-Kursi selepas memyempurnakan solat fardhu akan dipelihara oleh Allah sehingga solat berikutnya.
    2. Allah swt akan menghantar dua malaikat untuk memelihara orang yang membaca ayat al-Kursi ketika berada di tempat pembaringan sehingga waktu subuh.
    3. Orang yang membaca ayat al-Kursi selepas solat fardhu akan memelihara keluarga, juga rumah-rumahnya yang berhampiran dengannya. Boleh juga dimaksudkan terpelihara daripada binatang yang mudharat, bencana alam, kebakaran, dan jahat angkara manusia. Maka Rasulullah s.a.w menyuruh setiap arang agar melakukan sesuatu perbuatan dengan menyebut nama Allah oleh kerana iblis dan syaitan tidak berupaya mengangkat atau membuka sesuatu yang di tutup dengan meyebut nama Allah.
    4. Allah tidak menegah mereka yang membaca ayat al-Kursi selepas solat fardhu masuk dalam syurga.
    5. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan membaca ayat al-Kursi, maka Allah utuskan tujuh puluh ribu malaikat kepadanya, mereka memohon keampunan dan mendoakan baginya.
    6. Barang siapa membacanya nescaya Allah mengutuskan malaikat untuk menulis kebaikannya dan menghapuskan keburukannya dari detik itu sampai esok hari.
    7. Barang siapa membacanya, Allah akan mengendalikan pengambilan rohnya dan ia adalah seperti orang yang berperang bersama nabi Allah sehingga mati syahid.
    8. Barang siapa yang membacanya ketika dalam kesempitan atau kesusahan, Allah akan menolongnya
     
  • erva kurniawan 1:14 am on 27 July 2016 Permalink | Balas  

    Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (4/4) 

    puasa 4Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (4/4)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    Puasa-Puasa Yang Dimakruhkan

    Puasa-puasa yang dimakruhkan itu ialah:

    Puasa Hari Jumaat Atau Hari Sabtu Atau Hari Ahad Semata-Mata

    Adalah makruh berpuasa pada hari Jumaat satu satunya sahaja tanpa di sambung sebelum atau sesudahnya dengan puasa yang lain. Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Jangan kamu berpuasa pada hari Jumaat sahaja.”

    (Hadits riwayat Ahmad)

    Tetapi jika digabungkan puasa hari jumaat itu dengan satu hari puasa yang lain sama ada di sebelumnya atau sesudahnya, maka tidaklah dihukumkan makruh. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

    Maksudnya: “Jangan berpuasa salah seorang daripada kamu pada hari Jumaat melainkan (dia berpuasa) sehari sebelumnya atau selepasnya.”

    (Hadits riwayat Bukhari)

    Adapun dihukumkan makruh hanya berpuasa sehari semata-mata pada hari Sabtu karena hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi. Diriwayatkan daripada Abdullah bin Busr daripada saudara perempuannya sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Jangan kamu berpuasa pada hari Sabtu melainkan apa yang telah difardhukan Allah ke atas kamu. Jika seorang daripada kamu tidak mendapati (pada hari itu apa-apa makanan) melainkan satu kulit anggur atau ranting pokok, maka hendaklah dia memamahnya. (supaya kamu tidak dinamakan berpuasa pada hari itu)”

    (Hadits riwayat Tirmidzi)

    Maka oleh karena itu juga dimakruhkan hanya berpuasa sehari semata-mata pada hari Ahad karena hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Nasrani. Diriwayatkan oleh An-Nasa‘i bahwa hari-hari yang paling banyak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan puasa ialah hari Sabtu dan Ahad (dengan bergabung), dan baginda bersabda:

    Maksudnya: “Sesungguhnya Sabtu dan Ahad adalah dua hari raya bagi orang-orang musyrik dan aku suka supaya aku menyalahi mereka.” (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/603 dan Tuhfah Al-Muhtaj 3/458)

    Jika dilakukan puasa dua hari tersebut (Sabtu dan Ahad) bersama-sama atau didahului puasa hari Sabtu itu dengan berpuasa pada hari Jumaat atau disambung puasa hari Ahad itu dengan berpuasa pada hari Isnin, maka tidaklah dihukumkan makruh karena sedemikian itu tidak diagungkan oleh mana-mana kaum.

    Dihukumkan makruh berpuasa sehari semata-mata pada tiga hari tersebut (Jumaat, Sabtu dan Ahad) apabila tidak ada sebab lain yang dianjurkan untuk berpuasa. Apabila ada sebab lain yang menganjurkan untuk berpuasa seperti bertepatan hari tersebut dengan puasa hari Arafah, ‘Asyura’ atau hari tersebut bertepatan dengan puasa orang yang melakukan puasa Nabi Daud (berpuasa sehari dan berbuka sehari) atau ia melakukan puasa pada hari tersebut karena puasa qadha atau nazar, tidaklah dihukumkan makruh. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:

    Maksudnya: “Jangan kamu mengkhususkan pada malam Jumaat untuk mendirikan sembahyang (malam) daripada malam-malam yang lain, dan jangan kamu mengkhususkan pada hari Jumaat untuk berpuasa daripada hari-hari yang lain kecuali satu puasa yang (kebetulan bertepatan) seorang di antara kamu berpuasa (pada hari itu).” (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/603, Fath Al-‘Allam 4/165 dan Syarh Shahih Muslim 4274)

    (Hadits riwayat Muslim)

    Puasa Sepanjang Tahun  Selain Dua Hari Raya  Dan Hari-Hari Tasyriq

    Adalah makruh hukumnya berpuasa sepanjang tahun selain dua hari raya dan hari-hari Tasyriq bagi sesiapa yang takut akan kemudaratan atau terabai hak sama ada yang wajib atau yang sunat. Diriwayatkan daripada ‘Atha bahwa Al-‘Abbas, seorang ahli syair mengkhabarkan kepadanya bahwa dia mendengar Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma berkata:

    Maksudnya: “Telah sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya aku terus menerus berpuasa dan mengerjakan sembahyang malam. Sama ada baginda mengutus seseorang kepadaku (untuk berjumpa baginda) atau aku sendiri yang menemui baginda. Maka baginda bersabda: “Benarkah adanya dikhabarkan bahwa engkau berpuasa dan tidak berbuka dan engkau mengerjakan sembahyanag malam dan tidak tidur? Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan dirikanlah sembahyang malam dan tidurlah, sesungguhnya bagi dua matamu ke atasmu mempunyai bahagian hak dan sesungguhnya bagi dirimu dan keluargamu ke atasmu mempunyai bahagian hak” Dia berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai kekuatan untuk mengerjakan sedemikian” Baginda bersabda: Berpuasalah seperti puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam” Dia berkata: “Bagaimana (puasa Nabi Daud ‘alaihissalam)?” Baginda bersabda: “Beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari dan dia tidak lari apabila bertemu musuh (tetap segar dalam menghadapi musuh di medan pertempuran) Dia berkata: “Aku harus bagaimana (dalam hal ini) wahai Nabi Allah?” ‘Atha berkata: “Aku tidak mengetahui bagaimana disebut perihal puasa sepanjang masa”. Nabi bersabda sebanyak dua kali: “Tidak dianggap berpuasa sesiapa yang berpuasa sepanjang masa.”

    (Hadits riwayat Bukhari)

    Tetapi bagi sesiapa yang tidak takut akan kemudaratan dan perkara-perkara yang boleh membawa kepada pengabaian hak-hak, tidaklah dihukumkan makruh berpuasa bahkan disunatkan. (Lihat Mugni Al-Muhtaj 1/603 dan Fath Al-Allam 4/165)

    Puasa Yang Diharamkan

    Puasa yang diharamkan itu ialah:

    Puasa pada hari raya Aidilfitri, Aidiladha dan hari-hari Tasyriq

    Adalah diharamkan berpuasa pada hari raya Aidilfitri dan hari raya Aidiladha dan pada hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijjah). Daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata:

    Maksudnya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegah berpuasa dua hari yaitu hari raya Adha dan hari raya fitri.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Manakala daripada Nubaisyah Al-Hadzali berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan dan minum (bukan hari berpuasa).”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Puasa pada hari Syak dan hari-hari separuh yang kedua bulan Sya‘ban

    Adalah haram berpuasa sunat pada hari Syak yaitu pada 30 haribulan Sya‘ban yang tersebar berita di kalangan orang bahwa anak bulan Ramadan telah dilihat, akan tetapi tidak disabitkan oleh hakim (pemerintah) karena tidak dipersaksikan penglihatan anak bulan itu oleh seorang yang adil atau ianya dipersaksikan oleh dua orang kanak-kanak atau beberapa orang perempuan atau seorang hamba atau seorang fasik. Jika tidak ada tersebar berita tersebut maka tidaklah dikatakan pada hari itu adalah hari Syak bahkan ia adalah termasuk hari-hari daripada bulan Sya‘ban. Begitu juga adalah diharamkan berpuasa sunat pada hari-hari separuh yang kedua bulan Sya‘ban (16 hingga 30 Sya‘ban) tanpa ada sebab. Diriwayatkan daripada ‘Ammar bin Yasir berkata: (Lihat I‘anah Ath-Thalibin 2/309 dan Al-Qamus Al-Fiqhi 201)

    Maksudnya: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang syak padanya manusia (hari Syak) maka sesungguhnya dia telah menderhakai Abu Al-Qasim Shallallahu ‘alaihi wasallam.”

    (Hadits riwayat Tirmidzi)

    Manakala diriwayatkan pula daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Apabila telah masuk separuh bulan Sya‘ban maka janganlah kamu berpuasa.”

    (Hadits riwayat Abu Daud)

    Jika seseorang itu berpuasa pada hari Syak atau pada separuh kedua bulan Sya‘ban dengan ada sebab seperti puasa qadha, nazar dan kaffarah atau kebetulan bertepatan hari syak itu dengan puasa yang pada adatnya dia berpuasa seperti puasa hari Isnin dan Khamis dan puasa sehari dan berbuka sehari atau dia telah berpuasa pada 15 Sya‘ban dan berterusan puasanya itu tanpa berbuka hingga ke hari Syak, maka baginya dibolehkan berpuasa pada hari Syak dan separuh kedua bulan Sya‘ban itu. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: (Lihat I‘anah Ath-Thalibin 2/309 dan Fath Al-‘Allam 4/151-152)

    Maksudnya: “Jangan kamu dahului bulan Ramadan itu dengan berpuasa sehari dan juga dua hari melainkan puasa seseorang yang (kebetulan bertepatan) dia berpuasa (pada adatnya hari itu).

    (Hadits riwayat Muslim)

    Puasa seorang isteri tanpa keizinan suaminya yang berada di dalam negeri

    Adalah haram bagi seorang isteri berpuasa sunat atau puasa qadha muwassa‘ (yang mempunyai masa yang panjang lagi untuk diqadha) tanpa keizinan suaminya yang berada di dalam negeri. Ini adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Lihat Tuhfah Al-Muhtaj 3/461)

    Maksudnya: “Janganlah seorang perempuan (isteri) berpuasa sedangkan suami ada (di dalam negeri) melainkan dengan keizinan suami; dan janganlah dia mengizinkan (orang lain) masuk rumah suami sedangkan suami ada, melainkan dengan keizinan suami; dan apa pun yang dia nafkahkan dari hasil kerja suami tanpa perintah suami, maka separuh pahala itu adalah bagi suami.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Demikianlah disebutkan puasa-puasa yang sunat, makruh dan haram. Di antaranya ada yang dihubungkan hukumnya sama ada sunat, makruh dan haram dengan bersempenakan hari-hari tertentu dan ada pula dihubungkan hukumnya sama ada sunat, makruh dan haram dengan keadaan diri orang yang berpuasa. Semoga ia akan menjadi panduan dan rujukan ringkas dalam mengerjakan ibadah puasa-puasa sunat sepanjang tahun.

    —– Selesai —-

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 26 July 2016 Permalink | Balas  

    Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (3/4) 

    puasa-4

    Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (3/4)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    PUASA HARI-HARI HITAM

    Puasa hari-hari hitam ialah puasa sunat yang dilakukan pada hari yang ke 28, 29 dan 30 setiap bulan. Dinamakan hari-hari tersebut dengan hari-hari hitam kerana kegelapan malam-malamnya pada waktu itu disebabkan ketiadaan bulan. Maka dengan berpuasa pada tiga hari tersebut itu sebagai permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya menghilangkan kegelapan pada malam-malam itu.

    Adalah wajar juga berpuasa pada hari ke 27 di samping berpuasa pada hari-hari ke 28, 29 dan 30 sebagai langkah berhati-hati dan keluar daripada perselisihan pendapat ulama yang mengatakan bahwa hari yang ke 27 itu adalah awal bagi hari yang ke 28.

    Jika perkiraan bulan hanya 29 hari yaitu tidak genap hingga 30 hari, maka diganti satu hari puasa yang kurang itu pada hari yang pertama bulan yang baru bagi menggenapkan bilangan puasa itu sebanyak tiga hari yang perkiraannya bermula daripada hari yang ke 28.

    PUASA HARI SENIN DAN KAMIS

    Puasa hari Senin dan Kamis ialah puasa yang disunatkan pada hari-hari tersebut di setiap minggu. Adapun hikmat disunatkan berpuasa pada hari Senin dan Kamis itu ialah ada hubungkait dengan amal perbuatan manusia di dalam satu minggu. Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid berkata:

    Maksudnya: “Sesungguhnya Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam (melakukan) puasa pada hari Senin dan Kamis, dan ditanya (Baginda) akan (sebab) sedemikian itu, baginda bersabda: “Sesungguhnya amalan manusia itu ditunjukkan (dibentangkan) pada hari Senin dan Kamis.”

    (Hadits riwayat Abu Daud)

    Dalam hadits yang lain pula, diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Ditunjukkan amalan (anak adam) itu pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka supaya ditunjukkan amalanku itu pada hal aku sedang berpuasa.”

    (Hadits riwayat Tirmidzi)

    Tersebut di dalam Kitab I’anah Ath-Thalibin bahwa berpuasa pada hari Senin adalah lebih afdhal daripada berpuasa pada hari Kamis kerana keistimewaan yang berlaku pada hari tersebut. Di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan daripada Abu Qatadah Al-Anshari berkata:

    Maksudnya: “Dan ditanya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) akan perihal berpuasa pada hari Senin, Baginda bersabda: “Itulah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau diturunkan ke atasku (perutusan) pada hari itu.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    PUASA DI BULAN-BULAN HARAM

    Di antara bulan yang disunatkan berpuasa ialah di bulan-bulan haram. Bulan-bulan haram adalah terdiri daripada bulan Zulqaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Diriwayatkan daripada Mujibah Al-Bahiliyyah daripada ayahnya atau bapa saudaranya berkata:

    Maksudnya: “Sesungguhnya dia pernah mengadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian setelah dia pergi selepas setahun, dia menghadap Baginda sedang perihal dan bentuk (badannya) sudah berubah. Lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah! Tidakkah engkau mengenaliku?” Baginda bersabda: “Siapa awak?” Dia berkata: “Saya adalah Al-Bahili yang datang mengadap engkau pada tahun lalu” Baginda bersabda: “Apa yang telah membuatmu berubah padahal engkau dahulu mempunyai bentuk (badan) yang bagus?” Dia berkata: “Saya tidak makan makanan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kenapa engkau menyiksa dirimu?” Selanjutnya baginda bersabda: “Berpuasalah pada bulan Sabar (Ramadan) dan sehari setiap bulan” Dia berkata: “Tambahkan lagi untukku, sesungguhnya saya masih kuat” Baginda bersabda: “Berpuasalah dua hari (setiap bulan)” Dia berkata: “Tambahkan lagi untukku” Baginda bersabda: “Berpuasalah tiga hari (setiap bulan)” Dia berkata: “Tambahkan lagi untukku” Baginda bersabda: “Berpuasalah pada bulan-bulan haram (Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab) dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkanlah! Berpuasalah pada bulan-bulan haram dan tinggalkanlah! Sambil baginda bersabda itu baginda memberi isyarat dengan tiga jari, digenggamnya keras kemudian dilepaskannya.”

    (Hadits riwayat Abu Daud)

    Berkata Imam Nawawi: “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan meninggalkan (setelah tiga hari) kerana menjadi kesusahan ke atasnya memperbanyakkan puasa sebagaimana tersebut di awal hadits. Adapun bagi sesiapa yang tidak menjadi kesusahan ke atasnya, maka berpuasa seluruhnya (di bulan-bulan haram) adalah satu fadhilat.” (Lihat Kitab Al-Majmu’ 6/438, I’anah Ath-Thalibin 2/307)

    Dinamakan bulan-bulan ini dengan nama bulan-bulan haram kerana dahulu orang-orang Arab menghormati dan mengagungkannya serta mengharamkan di dalam bulan-bulan tersebut pembunuhan sehinggakan jika salah seorang daripada mereka bertemu orang yang telah membunuh bapanya atau anaknya atau saudaranya di bulan-bulan ini, orang yang membunuh itu tidak akan diganggu.

    Adapun bulan yang terlebih afdhal untuk mengerjakan puasa di antara bulan-bulan haram itu ialah bulan Muharram. Ini adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata:

    Maksudnya: Puasa yang afdhal sekali selepas puasa di bulan Ramadan ialah (puasa) di bulan Allah yaitu bulan Muharram, dan sembahyang yang afdhal sekali selepas sembahyang fardhu ialah sembahyang sunat malam.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Adapun jawaban yang disebutkan oleh para ulama, kenapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lebih banyak melakukan puasa-puasa sunat di bulan Sya’ban daripada bulan Muharram sedangkan bulan Muharram adalah bulan yang lebih afdhal untuk mengerjakan puasa selepas bulan Ramadan sebagaimana yang tersebut di dalam hadits, ialah:

    1. Kemungkinan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui kelebihan bulan Muharram itu ketika di akhir hayat baginda dan tidak sempat mengerjakannya.
    2. Kemungkinan kebetulan pada waktu itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat keuzuran daripada musafir atau sakit atau sebagainya yang menghalang baginda daripada memperbanyakkan puasa di bulan Muharram itu. (Lihat Kitab Al-Majmu’ 6/439 dan Syarh Shahih Muslim 4/295)

    PUASA DI BULAN SYAABAN

    Adalah disunatkan berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang diriwayatkan daripada Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata:

    Maksudnya: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa sehingga kami mengatakan baginda tidak berbuka, dan baginda berbuka sehingga kami mengatakan baginda tidak berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyempurnakan puasa satu bulan kecuali pada bulan Ramadan dan saya tidak pernah melihat baginda berpuasa lebih banyak daripadanya pada bulan Sya’ban.”

    (Hadits riwayat Bukhari)

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyakkan berpuasa pada bulan ini adalah disebabkan oleh beberapa perkara sebagaimana yang diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid berkata:

    Maksudnya: “Wahai Rasulullah! Aku belum pernah melihat engkau berpuasa satu bulan daripada bulan-bulan sebagaimana (banyaknya) engkau berpuasa di bulan Sya’ban” Baginda bersabda: “Sedemikian itu kerana bulan Sya’ban, bulan yang manusia lalai (kerana terletak) di antara bulan Rajab dan bulan Ramadan, dan Ia adalah bulan dimana diangkat padanya amalan-amalan manusia kepada Allah Rabbul ‘Alamin, maka aku suka supaya diangkat amalanku sedang aku di dalam keadaan berpuasa.”

    (Hadits riwayat An-Nasa’i)

    Bersambung

     

     
  • erva kurniawan 1:07 am on 25 July 2016 Permalink | Balas  

    Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (2/4) 

    puasa 4Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (2/4)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    Puasa hari ‘Asyura’, Tasu’a’ dan kesebelas Muharram

    Puasa hari ‘Asyura’ ialah puasa sunat pada hari kesepuluh bulan Muharram.

    Diriwayatkan daripada Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘anhuma berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Ini adalah hari ‘Ayura’ dan tidak diwajibkan ke atas kamu berpuasa sedangkan aku berpuasa. Maka barangsiapa yang hendak berpuasa maka berpuasalah dia dan barangsiapa mahu (tidak berpuasa) maka berbukalah dia (boleh tidak berpuasa).” (Hadits riwayat Bukhari) Hikmat berpuasa pada hari ‘Asyura’ sebagaimana yang diriwayatkan daripada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:

    Maksudnya: “(Tatkala) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai di Madinah, baginda melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’. Baginda bersabda: “Apakah ini?” Mereka menjawab: “Hari yang baik, ini adalah hari yang mana Allah menyelamatkan Bani Israil daripada musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu” Nabi bersabda: “Aku lebih berhak dengan Musa daripada kamu” Lalu Baginda berpuasa dan memerintahkan berpuasa (pada hari itu.)” (Hadits riwayat Bukhari) Kelebihan berpuasa di hari ‘Asyura’ sebagaimana yang diriwayatkan daripada Abu Qatadah Al-Anshari berkata:

    Maksudnya: “Dan ditanya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang berpuasa pada hari ‘Asyura’? Maka Baginda bersabda: “Ia menebus dosa setahun yang telah lalu.” (Hadits riwayat Muslim) Adalah disunatkan juga di samping berpuasa pada hari ‘Asyura’, berpuasa pada hari Tasu’a’ iaitu hari yang kesembilan bulan Muharram berdasarkan riwayat daripada Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘anhuma berkata:

    Maksudnya: “Dahulu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura’ dan Baginda memerintahkan (para sahabatnya) untuk melakukan puasa itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah! (Bukankah) sesungguhnya hari ‘Asyura’ itu hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila pada tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari yang kesembilan” Berkata Abdullah bin Abbas: “Belum sempat menjelang tahun hadapan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah pun wafat.” (Hadits riwayat Muslim) Para ulama menyebutkan bahawa hikmat disunatkan berpuasa pada hari Tasu’a’ (sembilan Muharram) itu dari berbagai-bagai aspek:

    1. Bagi menyalahi atau membezakan amalam orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura’ (Sepuluh Muharram) sahaja. Diriwayatkan daripada Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Berpuasalah kamu pada hari ‘Asyura’ dan buatlah perbezaan padanya (dari) orang Yahudi (dengan) berpuasa sehari sebelumnya atau sehari selepasnya.” (Hadits riwayat Ahmad)

    1. Bagi maksud berhati-hati berpuasa pada hari ‘Asyura’ kerana kemungkinan berlaku kesilapan kekurangan dalam pengiraan anak bulan. Maka dengan itu hari kesembilan Muharram itu dalam pengiraan adalah hari yang kesepuluh Muharram yang sebenarnya.
    2. Bagi maksud menyambung puasa hari ‘Asyura’ dengan satu hari puasa yang lain kerana tegahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa satu hari satu-satunya sahaja seperti berpuasa pada hari Jumaat. Walaupun begitu, tidaklah menjadi apa-apa jika hanya berpuasa sehari sahaja pada hari ‘Asyura’. (lihat I’anah Ath-Thalibin 2/301) Oleh kerana itu disunatkan juga, jika berpuasa pada hari ‘Asyura’ tanpa berpuasa pada hari Tasu’a’, supaya berpuasa pada hari kesebelas Muharram. Bahkan Imam Syafi’e Rahimahullahu Ta’ala menyebutkan di dalam Kitab Al-Umm dan Al-Imla’ disunatkan berpuasa tiga hari tersebut iaitu hari kesembilan (Tasu’a’), kesepuluh (‘Asyura’) dan kesebelas bulan Muharram.

    Puasa Nabi Daud

    Puasa Nabi Daud ialah puasa yang dikerjakan berselang seling dengan berpuasa sehari dan berbuka sehari. Ia adalah puasa sunat yang afdhal sekali di antara puasa-puasa sunat sebagaimana yang diriwayatkan daripada Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma berkata bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/604)

    Maksudnya: “Sembahyang yang paling disukai oleh Allah ialah sembahyang Nabi Daud ‘Alaihissalam dan puasa yang paling disukai oleh Allah ialah puasa Nabi Daud. Adalah Baginda (Nabi Daud) itu tidur di separuh malam, mendirikan ibadat sembahyang di sepertiga malam, tidur (kembali) di seperenam malam, berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (Hadits riwayat Bukhari) Dalam sebuah hadith lain yang bersumber daripada Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘anhuma juga bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:

    Maksudnya: “Maka berpuasalah engkau (Abdullah bin ‘Amr) sehari dan berbuka sehari (berikutnya), yang sedemikian itu adalah puasa Nabi Daud ‘Alaihissalam dan ia adalah puasa sunat yang terafdhal sekali. Maka aku berkata (Abdullah bin ‘Amr): “Sesungguhnya aku mampu lebih dari sedemikian itu” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada yang lebih afdhal dari yang sedemikian itu.” (Hadits riwayat Bukhari)

    Puasa hari-hari putih

    Puasa hari putih itu ialah puasa sunat sebanyak tiga hari di setiap bulan. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berkata:

    Maksudnya: “Telah berwasiat kepada ku Khalili Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tiga perkara, berpuasa tiga hari di setiap bulan, sembahyang Dhuha dua rakaat dan sembahyang Witir sebelum aku tidur.” (Hadits riwayat Bukhari)

    Puasa Putih ini dilakukan pada hari ke 13, 14 dan 15 di setiap bulan dan dinamakan hari-hari tersebut hari putih kerana bulan pada malam itu penuhh dan putih terang. Daripada Abu Dzarr Radhiallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Wahai Abu Dzarr! Apabila engkau berpuasa tiga hari daripada sebulan, maka berpuasalah pada 13, 14 dan 15 haribulan.” (Hadits riwayat Tirmidzi)

    Adalah wajar juga berpuasa pada hari ke 12 di samping berpuasa pada hari-hari yang ke 13, 14, dan 15 sebagai langkah berhati-hati dan keluar daripada perselisihan pendapat ulama yang mengatakan bahawa hari yang ke 12 itu adalah awal bagi hari yang ke 13. Dikecualikan berpuasa pada hari yang ke 13 Zulhijjah kerana ia adalah terdiri daripada hari-hari Tasyriq yang diharamkan berpuasa dan digantikan hari tersebut pada hari ke 16 Zulhijjah . Adapun kelebihan berpuasa di hari-hari putih sebagaimana yang diriwayatkan daripada Abu Dzarr Radhiallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Barangsiapa berpuasa daripada tiap-tiap bulan sebanyak tiga hari, maka sedemikian itu (menyamai) puasa selama setahun.” (Hadits riwayat Tirmidzi) Ini adalah berdasarkan bahawa satu kebajikan itu menyamai sepuluh kebajikan. Dengan berpuasa 3 hari setiap bulan maka ia sebanding berpuasa sebanyak 30 hari dan begitulah seterusnya.

    Bersambung

     
  • erva kurniawan 1:43 am on 24 July 2016 Permalink | Balas  

    Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (1/4) 

    puasa 4Puasa-Puasa Sunat Dan Hari-Hari Yang Diharamkan Dan Dimakruhkan Berpuasa (1/4)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu ‘Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    Puasa adalah ibadat yang berkesan sekali dalam mengendalikan hawa nafsu sekaligus dapat menyinari hati dan mendidik seluruh anggota sehingga ke martabat taqwa, kerana puasa yang sebenar-benarnya bukan hanya menahan perut dan kemaluan serta mengecap keinginan syahwat bahkan mengekang pancaindera daripada melakukan perkara-perkara dosa dan haram. Akhirnya berpuasa hati dari segala cita-cita yang kotor dan pemikiran keduniaan yang boleh memesongkan perhatian selain Allah.

    Dari segi ganjaran puasa, bahawa tidak ada satu amal ibadat pun yang tidak ditentukan dan dibataskan ganjaran pahalanya selain dari ibadat puasa. Sesungguhnya ganjaran pahala orang yang melakukan ibadat puasa tidak ditetapkan dengan satu jumlah dan tidak pula dihadkan dengan satu had tertentu. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Segala amal kebajikan anak Adam itu dilipat-gandakan pahalanya kepada sepuluh hinggalah ke 700 kali ganda. Allah berfirman: “Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku memberikan balasan (pahala) kepadanya, (kerana) dia (orang yang berpuasa) telah meniggalkan syahwat dan makan minumnya kerana Aku.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Hadits ini menerangkan bahawa segala amalan manusia itu dihadkan atau dibatasi oleh Allah ganjarannya daripada sepuluh sampai 700 kali ganda, tetapi tentang puasa tidaklah sedemikian. Dalam erti kata lain tidak dibataskan ganjarannya oleh angka atau jumlah yang tertentu, bahkan terserah kepada Allah yang Maha Kaya memberikan pembalasan yang setimpal dengannya. Ini tidak lain tidak bukan adalah menggambarkan bahawa betapa besarnya dan istimewanya ibadat puasa di sisi Allah.

    Lebih daripada itu lagi, Allah Subhanahu wa ta’ala menyediakan sebuah pintu di dalam Syurga yang dikhususkanNya bagi orang yang berpuasa untuk memasukinya di hari Kiamat nanti sebagaimana diriwayatkan daripada Sahl bin Sa’d Radhiallahu ‘anhu daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Sesungguhnya di dalam syurga terdapat satu pintu yang disebut Ar-Rayyan yang mana pada hari Kiamat orang-orang yang berpuasa masuk daripadanya (dan) tidak seorangpun selain mereka memasukinya. Dikatakan: “Dimanakah orang-orang yang berpuasa?” Maka mereka pun berdiri (untuk memasukinya), tidak ada seorangpun selain mereka yang memasukinya. Apabila mereka telah masuk maka pintu itu ditutup sehingga tidak ada seorangpun yang masuk dari padanya.”

    (Hadits riwayat Bukhari)

    Diriwayatkan daripada Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Barangsiapa yang berpuasa sehari pada jalan Allah nescaya Allah akan menjauhkan mukanya dari api neraka (sejauh perjalanan) 70 tahun.”

    (Hadits riwayat Bukhari)

    Di dalam Islam di samping puasa fardhu yang diwajibkan di bulan Ramadan, ada disyariatkan juga puasa-puasa sunat yang dikerjakan di luar bulan Ramadan. Puasa sunat mempunyai beberapa perbezaan daripada puasa fardhu yang dikerjakan di bulan Ramadan dari berbagai-bagai segi. Di antaranya:

    Orang yang dalam mengerjakan puasa sunat atau lain-lain perkara yang sunat seperti sembahyang kecuali haji dan umrah adalah harus baginya memutuskan (tidak wajib menyempurnakan) puasanya itu berdasarkan sabda Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Orang yang dalam berpuasa sunat itu adalah raja bagi dirinya, jika dia mahu dia berpuasa dan jika dia mahu dia berbuka.”

    (Hadits riwayat Imam Ahmad)

    Akan tetapi adalah dihukumkan makruh jika dia memutuskan puasa sunatnya itu tanpa ada sesuatu keuzuran bagi keluar daripada perselisihan pendapat yang mengatakan wajib disempurnakan apabila seorang itu telah masuk mengerjakan puasa sunat berdasarkan zahir firman Allah di dalam surah Muhammad ayat 33:

    Tafsirnya: “Dan janganlah kamu batalkan amalan-amalan kamu.”

    Jika dia keluar dari puasanya itu dengan sebab ada sesuatu keuzuran seperti menolong tetamu yang merasa keberatan untuk dijamu makan secara bersendirian maka tidaklah dihukumkan makruh bahkan disunatkan baginya berbuka. Namun berpuasa adalah lebih afdhal jika tidak ada keberatan atau kesukaran dari mana-mana pihak untuk menjamu makanan. Maka dengan itu, orang yang berbuka puasa tanpa ada keuzuran, tidak ada pahala bagi puasanya itu manakala orang yang berbuka puasa kerana ada sebab keuzuran dikurniakan pahala bagi puasanya itu walaupun ianya tidak sempurna dilakukan. (Lihat Tuhfah Al-Muhtaj 3/460)

    Adalah disunatkan juga bagi orang yang mengerjakan puasa sunat jika dia memutuskannya sama ada disebabkan keuzuran atau pun tidak, supaya mengqadha puasanya itu sebagai mengambil kira pendapat yang mengatakan wajib mengqadhanya kerana menyempurnakannya adalah wajib disisi mereka iaitu imam-imam yang tiga (Imam Hanafi, Maliki dan Hambali Rahimahumullah). (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/604 dan Fath Al-’Allam 4/167)

    1. Tidak disyaratkan berniat di malam hari dalam mengerjakan puasa-puasa sunat kerana akhir waktu untuk berniat bagi puasa-puasa sunat itu adalah sebelum tergelincir matahari (waktu zuhur) berdasarkan hadits yang diriwayatkan daripada Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata:

    Maksudnya: “Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku pada satu hari: “Wahai Aisyah! Adakah di sisi kamu sesuatu (untuk dimakan)?” Aisyah berkata, aku berkata: “Wahai Rasulullah! Tidak ada di sisi kita sesuatu pun (untuk dimakan)” Baginda bersabda: “(Jika begitu) maka aku berpuasa.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Begitu juga tidak disyaratkan dalam mengerjakan puasa-puasa sunat di dalam berniat menta’yin (menentukan jenis puasa seperti puasa hari isnin, Arafah, ‘Asyura’ dan sebagainya). Ia sah dilakukan dengan berniat mutlaq sahaja seperti katanya:

    Artinya: “Sahaja aku berpuasa”

    Imam Nawawi berkata: “Adalah wajar supaya disyaratkan ta’yin di dalam puasa yang beriringan seperti puasa hari Arafah, ‘Asyura’, puasa hari-hari Putih, Enam Syawal dan sebagainya sebagaimana disyaratkan sedemikian itu di dalam Sembahyang sunat rawatib.”

    (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/572, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 28/87-88 dan I’anah Ath-Thalibin 2/252)

    PUASA-PUASA SUNAT ITU IALAH : PUASA ENAM

    Puasa enam ialah puasa sunat yang dikerjakan sebanyak enam hari di dalam bulan Syawal. Ia boleh dikerjakan berselang seli di dalam bulan Syawal, tetapi mengerjakannya berturut-turut selepas hari raya adalah terlebih afdhal. Diriwayatkan daripada Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu berkata bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, adalah (puasanya itu) seperti puasa sepanjang tahun.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Mengerjakan puasa sunat sebanyak enam hari di bulan Syawal di samping mengerjakan puasa fardhu di bulan Ramadan diibaratkan seperti berpuasa di sepanjang tahun berdasarkan perkiraan setiap kebajikan itu dibalas dengan sepuluh kali ganda. Oleh itu disamakan berpuasa di bulan Ramadan selama 29 atau 30 hari dengan 300 hari atau sepuluh bulan berpuasa dan puasa enam di bulan Syawal itu disamakan dengan 60 hari atau dua bulan berpuasa. Maka dengan itu genaplah ia setahun. Ini diperkuatkan lagi dengan sebuah hadits riwayat daripada Tsauban bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Berpuasa sebulan (di bulan Ramadan itu disamakan) dengan sepuluh bulan berpuasa dan berpuasa enam hari selepasnya (dibulan Syawal disamakan) dengan dua bulan berpuasa, maka yang sedemikian itu (jika dicampurkan menjadi) genap setahun.”

    (Hadits riwayat Ad-Darimi)

    PUASA HARI ARAFAH

    Puasa hari Arafah ialah puasa sunat pada hari kesembilan Zulhijjah yang disunatkan kepada orang-orang yang tidak melakukan ibadat haji. Kelebihan berpuasa pada hari itu menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lalu dan dosa setahun yang akan datang sebagaimana diriwayatkan daripada Abu Qatadah Al-Anshari berkata:

    Maksudnya: “Dan ditanya (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang berpuasa di hari Arafah? Maka Baginda bersabda: “Ia menebus dosa setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Manakala bagi orang-orang yang melakukan ibadat haji pula adalah disunatkan untuk tidak berpuasa pada hari Arafah dan adalah menyalahi perkara yang utama jika mereka berpuasa juga pada hari itu berdasarkan apa yang diriwayatkan daripada Ummu Al-Fadhl binte Al-Harits berkata:

    Maksudnya: “Bahawa beberapa orang di sisinya di hari Arafah membicarakan puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (di hari Arafah). Sebahagian mereka ada yang mengatakan bahawa Baginda berpuasa dan sebahagian mereka ada yang mengatakan bahawa Baginda tidak berpuasa. Maka aku hantar kepada Baginda segelas susu yang pada ketika itu Baginda berada di atas untanya, lalu Baginda meminumnya.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Disunatkan juga berpuasa pada hari ke 8 Zulhijjah di samping berpuasa pada hari Arafah (9 Zulhijjah) sebagai langkah berhati-hati yang mana kemungkinan pada hari ke 8 Zulhijjah itu adalah hari yang ke 9 Zulhijjah (Hari Arafah). Bahkan adalah disunatkan berpuasa lapan hari iaitu dari hari yang pertama bulan Zulhijjah hingga ke hari yang ke lapan sama ada bagi orang yang mengerjakan haji atau tidak mengerjakan haji, bersama-sama dengan hari Arafah berdasarkan hadits yang diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Tidak ada hari-hari yang lebih dicintai oleh Allah untuk dilakukan ibadah kepadaNya daripada sepuluh hari di bulan Zulhijjah, dimana satu hari berpuasa daripadanya (sebanding) dengan puasa satu tahun dan mendirikan ibadah satu malam daripadanya (sebanding) dengan mendirikan ibadah pada lailatulqadar.”

    (Hadits riwayat Tirmidzi)

    Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan daripada Hunaidah bin Khalid, daripada isterinya, daripada setengah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:

    Maksudnya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melakukan puasa sembilan hari di awal bulan Zulhijjah, di hari ‘Asyura’ dan tiga hari di setiap bulan iaitu hari Isnin yang pertama dan dua hari Khamis yang berikutnya.”

    (Hadits riwayat An-Nasa’i)

    Bersambung

     
  • erva kurniawan 1:16 am on 23 July 2016 Permalink | Balas  

    Etika Kita Singgah Sejenak 

    bekerjaEtika Kita Singgah Sejenak

    KH Abdullah Gymnastiar

    Bayangkanlah bila suatu ketika ada seseorang yang menjan- jikan hadiah berupa sebuah rumah mewah lengkap dengan isinya. Begitu indah dan sempurnanya rumah itu, sehingga baru membayangkannya saja Anda sudah merasakan suatu kenikmatan dan kebahagiaan tersendiri. Rumah itu terletak di kota “A” dan anda diminta untuk pergi sendiri ke sana. Diberinya anda sejumlah ongkos untuk bekal selama perjalanan hingga sampai tujuan. Tetapi di tengah perjalanan nanti Anda diminta singgah terlebih dahulu disebuah kampung. Ya, sekedar singgah sejenak!

    Sungguh termasuk orang yang malang apabila ketika sampai di kampung tersebut Anda malah terpana dan lalu menganggap kampung tersebut teramat indah. Melihat gubuk disangka istana. Melihat kolam kecil disangka danau. Bahkan melihat kue serabi anda sangka martabak spesial. Pendek kata, mata dan penilaian Anda menjadi kabur dan tertipu oleh karena keterpanaan yang menerpa. Saking merasa senangnya Anda dengan kampung itu, sampai- sampai lupa dengan pesan semula bahwa anda hanya disuruh singgah sejenak saja. Anda tinggal berlama-lama di sana dan tentu saja ongkos pemberian yang cukup untuk sampai tujuan itu malah anda habiskan di kampung itu. Akibatnya, tidak usah heran ketika yang menyuruh dan memberi ongkos akan murka tatkala mengetahui Anda ternyata tidak pergi ke kota yang diminta.

    Nah, ketahuilah bahwa kota “A” itu tiada lain adalah akhirat, sedangkan kampung yang anda hanya disuruh singgah sejenak itu tak lain pula adalah kampung dunia ini.

    Salahkah apabila Dia Yang Mahabaik itu, yang telah menjajikan surga Jannatun Na’im – padahal apapun yang dijanjikanNya pasti ditepati dan tidak akan meleset sedikitpun – dan tak lupa pula memberi bekal perjalanan yang cukup berupa karunia nikmat rizki, tidak menyembunyikan “kekecewaannya” melihat tingkah laku kita yang tak pandai manjaga amanah, dengan berfirman, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai?” (Q.S. Ar Ruum 30: 7)

    “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui,” demikian firmanNya pula. (Q.S. Al Ankabuut 29: 64)

    Kebanyakan di antara kita ternyata memang gemar bertindak yang “mengecewakan” seperti itu. Kampung dunia ini sebenarnya tidak ada apa-apanya, namun sebagian besar orang ternyata terpedaya oleh keindahan fatamorgananya. Padahal, semua yang dititipkan Alloh kepada kita, baik berupa otak, tenaga, harta, waktu, dan sebagainya, itu semua sebenarnya bukan untuk kampung dunia ini karena ia hanyalah tempat mampir atau singgah sejenak saja.

    Dunia tak lebih sekedar tempat transit belaka kendatipun untuk ini Alloh Azza wa Jalla pasti mencukupi kita dengan rizkinya. Dengan catatan, sepanjang “ongkos” tersebut tidak dhamburkan sia-sia. Alloh memampirkan kita di dunia ini seraya tahu persis akan segala apa yang kita butuhkan, lebih tahu daripada apa yang sebenarnya kita perlukan, kalau ongkos yang ada itu kita jadikan betul-betul untuk bekal kepulangan nanti, maka subhanallah, kita akan kaget bahwa betapa Alloh akan mencukupi kita dengan limpahan karunianya.

    Akan tetapi, sayang sebagian besar orang tidak mengerti bahwa semua yang dititipkan Alloh itu sebenarnya untuk bekal pulang, sehingga seluruh waktunya habis tandas hanya untuk mengejar-ngejar segala hal yang bersifat duniawi. Padahal tidak akan kemana-mana dunia ini. Bukankah ketika masih berada di rahim bundapun kita tetap diberi dunia (rizki) padahal toh kita tidak berdoa, tidak shalat tidak ikhtiar ke mana pun.

    Kita memang disuruh menyempurnakan ikhtiar, tetapi bukan semata-mata untuk mencari dunia. Ikhtiar kita secara sempurna pada hakikatnya untuk bekal kepulangan kita ke akhirat kelak. Jadi, jaminan dari Alloh untuk kehidupan dunia ini sebenarnya ditujukan kepada orang yang bersungguh-sungguh menyempurnakan ikhtiarnya.

    Untuk bekal kehidupan dunia ini, rejeki itu oleh Alloh dibiarkan tergantung. Lalu, Dia seolah-olah berfirman, “Ini rejekimu, kalau engkau ikhtiar, akan kau dapatkan apa yang telah ditetapkan bagimu. Kalau ikhtiarnya di jalanKu, maka tidak hanya rejekimu yang kau dapati, tetapi pahalapun akan engkau peroleh. Itulah keberkatan untukmu; di dunia ternikmati, di akhiratpun jadi manfaat. Sebaliknya, bila ikhtiarmu itu di jalan yang Aku murkai, yakni niat maupun caranya tidak benar, maka tetaplah akan kau dapati apa yang telah menjadi bagianmu, hanya, berubah statusnya menjadi haram. Rejekinya tetap didapat tetapi tidak mengandung manfaat dan keberkahan.

    Memang, ada sebagian orang yang selama hidupnya begitu sibuknya banting tulang, seakan-akan takut tidak kebagian makan. Apa yang telah diperolehnya dikumpulkannya dengan seksama demi agar anak-anaknya terjamin masa depannya.

    Ada juga orang yang ketika hidup ini teramat sibuk merindukan penghargaan sehingga dia capek menata rumah, capek membeli ini itu, capek mematut-matut diri dengan motivasi semata-mata ingin dihargai orang. Disisi lain ada juga orang yang hidupnya hanya mencari kepuasan, sehingga uang yang telah dikumpul-kumpulkannya dipakainya untuk pergi melancong kemana saja yang dia suka.

    Bagi orang yang tahu hakikat kehidupan ini, maka pastilah yang dicarinya itu bukan dunia, melainkan Yang Memiliki Dunia! Kalau orang lain bekerja banting tulang untuk mencari uang, maka kita bekerja demi mencari Yang Membagikan Uang. Kalau orang lain belajar ingin mencari ilmu, maka kita belajar karena mencari Yang Memberi Ilmu. Kalau orang lain sibuk mengejar prestasi demi ingin dihargai dan dipuji sesama, maka kitapun sibuk mengejar prestasi demi mendapatkan penghargaan dan pujian dari yang Yang Maha Menggerakkan siapapun yang menghargai.

    Jadi jelas perbedaannya, Bagi orang yang tujuannya dunia, pasti kesibukannya hanya sebatas ingin mendapatkan itu saja. Sedangkan bagi yang tahu ilmunya, maka yang dicari itu langsung tembus kepada pemilik dan penguasa segala-galanya. Bagi sebagian orang, tatkala membutuhkan uang, tetapi uang itu tidak didapatkan, jelas yang muncul adalah rasa kecewa. Sebaliknya bagi kita, saat membutuhkan uang, maka kita berikhtiar sekuat tenaga bukan untuk mengejar uang semata, malainkan Allohlah yang kita kejar. Soal dapat atau tidak dapat tak ada masalah karena Alloh tidak akan pernah lupa memberikan karuniaNya. Kesibukan kita berikhtiar pasti sudah dicatat oleh Alloh. Tidak ada yang rugi, tidak ada pula yang gagal.

    Kalau orang bekerja karena ingin dihargai, maka bagi kita semua itu tidak ada apa-apanya karena Allohlah sebagai penguasa alam semesta yang menjadi tujuan segala perbuatan kita. Kadang-kadang penghargaan manusia justeru menjadi ujian bagi kita. Sebab manakala seseorang memuji kita, maka hakikatnya bukanlah karena kita layak dipuji, melainkan karena Alloh saja yang menutupi segala aib dan keburukan kita, sehingga orang menyangka kita ini layak dipuji.

    Bagi orang yang mengetahui rahasia di balik suatu kejadian, datangnya pujian itu akan membuatnya tambah malu karena itu berarti Alloh memperlihatkan sesuatu, bahkan tidak jarang pujian itu ternyata lebih baik dari kenyataan sebenarnya yang ada pada diri kita. Kalau kita mau jujur, sungguh tidak pantas dan tidak cocok pujian itu dialamatkan kepada kita. Karenanya, janganlah lekas terpana oleh pujian manusia .

    Mengapa ada orang yang bisa mendaki gunung walaupun dengan bekal dan alat seadanya? Mengapa ada orang yang berani menyeberangi lautan walaupun hanya dengan menggunakan perahu sederhana? Jawabnya, karena kekuatan terbesar adalah motivasinya. Demikian halnya kalau motivasi kita hanya sebatas dunia ini, maka tidak usah heran kalau dia akan mudah terpedaya. Akan tetapi, tidak akan pernah lelah kita mencari apapun juga karena yang kita tuju adalah Dia Yang Maha Perkasa!

    Walhasil, tampaknya wajib bagi siapapun menyadari bahwa dunia ini hanya tempat singgah sejenak belaka, kalaulah Alloh berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (Kebahagiaan) negeri akhirat, (tetapi) janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashas 28: 77).

    Maka itu semata-mata dimaksudkan agar kita pandai mensyukuri apapun yang telah dianugerahkan Alloh kepada kita selama hidup didunia ini. Adapun kebahagiaan dan kenikmatan yang kekal dan hakiki, itulah yang akan kita dapati di akhirat.

     
  • erva kurniawan 1:08 am on 22 July 2016 Permalink | Balas  

    Sombong Dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan 

    sombongSombong Dan Pengaruhnya Dalam Kehidupan

    Sombong atau yang sering kita kenal dengan istilah kibr, takabur dan istikbar -ketiganya hampir semakna-, merupakan suatu kondisi seseorang di mana ia merasa lain dari yang lain (dengan keadaan tersebut) sebagai pengaruh i’jab (kebanggaan) terhadap diri sendiri, yaitu dengan adanya anggapan atau perasaan, bahwa dirinya lebih tinggi dan besar daripada selainnya.

    Maka tidak akan berlaku sombong, kecuali orang yang merasa dirinya besar dan tinggi, dan ia tidak merasa tinggi atau besar, kecuali karena adanya keyakinan, bahwa dirinya memiliki keunggulan, kelebihan dan kesempur-naan yang dengannya ia menganggap berbeda dengan orang lain.

    Ada beberapa sebab yang mendorong seseorang menganggap dirinya lebih unggul daripada orang lain, sehingga melahirkan kesombongan dalam jiwa,  yaitu:

    1. Sombong dengan Ilmu

    Ada sebagian thalib ilmu atau orang yang diberi pengetahuan oleh Allah, namun malah justru menjadikan dirinya sombong. Ia merasakan dirinyalah yang paling pandai (alim), menganggap rendah orang lain, menganggap bodoh mereka dan selalu ingin agar dirinya mendapatkan penghormatan, pelayanan dan fasilitas khusus dari mereka. Dia memandang, bahwa dirinya lebih mulia, tinggi dan utama di sisi Allah daripada mereka.

    Ada dua faktor yang menyebabkan seseorang menjadi sombong dengan ilmunya:

    Pertama, Ia mencurahkan perhatian terhadap apa yang ia anggap sebagai ilmu, padahal hakikatnya ia bukanlah ilmu. Ia tak lebih sebagai data atau informasi yang direkam dalam otak yang tidak memberikan buah dan hasil, karena ilmu yang sesungguhnya akan semakin membuat ia kenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Ilmu yang hakiki akan melahirkan sikap khosyah (takut kepada Allah) dan tawadhu’ (rendah hati), bukan sombong, sebagai-mana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala ,

    “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. (QS. Faathir : 28)

    Ke dua, Al-khoudl fil ilm yaitu belajar dengan tujuan agar dapat berbicara banyak, berdebat dan menjatuhkan orang dengan kepiawaian yang dimilikinya, sehingga orang menilainya sebagai    orang alim yang tak terkalahkan ilmu-nya. Selayaknya ia lebih dahulu memperbaiki hati dan jiwanya, membersihkan dan menatanya, sehingga tujuan dalam mencari ilmu menjadi benar dan lurus. Karena merupakan karakteristik khas dari ilmu, bahwasanya ia menjadikan pemiliknya bertambah takut kepada Allah dan tawadhu’ terhadap sesama manusia. Ibarat pohon tatkala banyak buahnya, maka ia semakin merunduk dan merendah, sehingga orang akan dengan lebih mudah mendapatkan kebaikan dan manfaat darinya.

    Orang, apabila telah hobi mengumbar omongan, bantah-bantahan dan debat kusir, maka ilmunya justru akan melemparkannya kepada kedudukan yang rendah dan pengetahuan yang dimilikinya tidak akan membuahkan hasil yang baik, sehingga keberkahan ilmu tidak tampak sama sekali.

    1. Sombong dengan Amal Ibadah

    Kesombongan ahli ibadah dari segi keduniaan adalah ia menghendaki, -atau paling tidak membuat kesan-, agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang zuhud, wara’, taqwa dan paling mulia di hadapan manusia. Sedangkan dari segi agama adalah ia memandang, bahwa orang lain akan masuk neraka, sedang dia selamat darinya.

    Sebagian ahli ibadah apabila ada orang lain yang membuatnya jengkel atau merendahkannya, maka terkadang mengeluarkan ucapan, “Allah tidak akan mengampunimu atau, “Kamu pasti masuk neraka” dan yang sejenisnya. Padahal ucapan-ucapan tersebut dimurkai Allah, yang justru dapat menjerumuskannya ke dalam neraka.

    1. Sombong dengan Keturunan (Nasab)

    Barangsiapa yang mendapati kesombongan dalam hati karena nasabnya, maka hendaknya ia segera mengobati hatinya itu.

    Jika seseorang akan mencari nasabnya, maka perhatikan firman Allah berikut ini,

    “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). (QS. 32:7-8)

    Inilah nasab manusia yang sebe-narnya, kakeknya yang terjauh adalah tanah, dan nasabnya yang terdekat ada-lah nuthfah alias air mani. Jika demi-kian keadaannya, maka tak selayaknya seseorang sombong dan merasa tinggi dengan nasabnya.

    1. Sombong dengan Kecantikan/Ketampanan

    Kesombongan seperti ini banyak terjadi di kalangan para wanita, yaitu dengan menyebut-nyebut kekurangan orang lain, menggunjing dan membicarakan aib sesama.

    Seharusnya orang yang sombong dengan kecantikannya ini banyak menengok ke dalam hatinya. Untuk apa anggota tubuh yang indah, namun hati dan perangai buruk, padahal tubuh secantik apa pun pasti akan binasa, hancur dan hilang tak tersisa.

    Belum lagi kalau orang mau merenungi, bahwa selagi masih hidup, maka mungkin saja Allah berkehendak untuk mengubah kecantikan atau ketampanannya, misalnya dengan mengalami kecelakaan, sakit kulit, kebakaran dan lain sebagainya, yang dapat menjadikan rupa yang cantik menjadi buruk. Maka dengan kesadaran seperti ini, insya  Allah rasa sombong yang ada dalam hati akan terkikis dan bahkan tercabut hingga ke akar-akarnya.

    1. Sombong dengan Harta

    Yaitu dengan memandang rendah orang fakir dan bersikap congkak terhadap mereka. Ini disebabkan harta yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan yang banyak, tanah dan bangunan, kendaraan mewah, perhiasan dan lain sebagainya. Kesombongan karena harta termasuk kesombongan karena faktor luar, dalam arti bukan merupa-kan potensi pribadi orang yang bersang-kutan. Berbeda dengan ilmu, amal, kecantikan atau nasab, sehingga apabila harta itu hilang, maka ia akan menjadi hina sehina-hinanya.

    1. Sombong dengan Kekuatan dan Kegagahan

    Orang yang mendapatkan karunia seperti ini hendaknya menyadari, bahwa kekuatan adalah milik Allah seluruhnya. Hendaknya selalu ingat, bahwa dengan sedikit sakit saja akan membuat badan tidak enak, istirahat tidak tenang. Kalau Allah menghendaki, seekor nyamuk pun dapat membuat seseorang sakit dan bahkan hingga menemui ajalnya.

    Orang yang mau memikirkan ini semua, yaitu sakit dan kematian yang bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja, maka sudah sepantasanya tidak angkuh dan takabur dengan kekuatan dan kesehatan badannya.

    1. Sombong dengan Banyaknya Keluarga, Kerabat atau Pengikut.

    Kesombongan jenis ini juga merupakan kesombongan yang disebabkan faktor luar, bukan karena kelebihan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Dan setiap  orang yang sombong karena sesuatu yang bukan dari kelebihan dan keunggulan dirinya sendiri, maka dia adalah sebodoh-bodoh manusia. Bagai-mana mungkin ia sombong dengan sesuatu yang bukan merupakan kelebih-an dirinya?

    Pengaruh Kesombongan

    Kesombongan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan, dan pengaruh-pengaruh tersebut tampak dalam gerak-gerik anggota badan, cara berjalan, berdiri, duduk, berbicara dan diamnya seseorang.

    Di antara pengaruh-pengaruh yang tampak dari sikap kesombongan adalah:

    1. Orang yang sombong kalau toh mau berjalan bersama-sama orang lain, maka ia selalu minta paling depan dan semua orang harus ada di belakangnya. Konon Abdur Rahman bin Aufz, kalau sedang berjalan bersama para pembantunya, maka tidak ketahuan ada disebelah mana, ia tidak pernah menonjolkan diri harus berada paling depan supaya semua orang melihatnya.
    2. Orang sombong jika berada di suatu majlis, biasanya minta diistimewakan, diperlakukan lain daripada yang lain. Kemudian ia akan sangat senang kalau semua orang mendengarkan yang ia katakan dan sangat benci kalau ada orang lain mengalihkan pembicaraan kepada selainnya. Maunya semua orang harus membenarkan dan menerima apa yang ia katakan.
    3. Termasuk pengaruh sifat sombong adalah memalingkan muka dari sesama muslim, atau melihat dengan pandangan sinis dan merendahkan.
    4. Kesombongan juga berpengaruh bagi seseorang dalam ucapan, gaya bicara dan nada intonasinya. Bahkan terkadang mencerminkan ketidaksopanan, misalnya seorang murid atau mahasiswa menghardik gurunya, karena ia merasa anak seorang pejabat atau tokoh.
    5. Kesombongan juga akan mempe-ngaruhi gaya jalan seseorang, misalnya sambil membusungkan dadanya, atau berjalan dengan dibuat-buat agar menarik perhatian orang lain. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman,

    “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. 17:37)

    1. Kesombongan juga berpengaruh di dalam kehidupan rumah tangga. Biasanya orang yang dalam hatinya ada kesombongan akan enggan mengerjakan pekerjaan rumah, walau hanya sepele. Hal ini berbeda dengan sikap tawadhu’ yang diajarkan oleh Rasulullah n. Aisyah x meriwayatkan, bahwa Rasul Allah Subhannahu wa Ta’ala biasa membantu istri beliau.
    2. Merupakan pengaruh kesombongan juga, bahwasanya ia membuat seseorang enggan membawakan barang atau sesuatu ke rumahnya, meskipun bukan hal yang berat, misalnya saja barang belanjaan. Ali RA berkata, “Seseorang tidak akan berkurang kesempurnaannya dengan membawakan sesuatu untuk keluarganya.”
    3. Kesombongan juga mempengaruhi gaya berpakaian seseorang, yaitu ia berpakaian dengan tujuan pamer dan supaya terkenal, atau dengan pakaian yang melanggar ketentuan syar’i, seperti isbal (memanjangkan celana di bawah mata kaki) bagi laki-laki.
    4. Orang yang sombong biasanya sangat senang apabila ia datang, lalu orang-orang berdiri untuk menghormat-nya. Padahal para shahabat apabila datang Rasulullahsaw kepada mereka, maka mereka tidak berdiri untuk beliau, hal ini dikarenakan mereka tahu, bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam membenci hal itu.
    5. Orang yang dalam hatinya ada kesombongan tidak akan mau mengunjungi orang lain, tidak mau mengucapkan salam lebih dahulu, minta supaya diprioritaskan dan tidak mau mendahulukan kepentingan orang lain.
    6. Kesombongan juga akan mengakibatkan seseorang tidak memandang adanya hak orang lain pada dirinya. Sementara itu ia beranggapan, bahwa ia memiliki hak yang banyak atas selainnya.

    Diringkas dari : Kutaib, “Al-Kibr”, Zahir bin Muhammad Asy-Syahri. (Sumber Al-sofwah)

     
  • erva kurniawan 10:07 am on 21 July 2016 Permalink | Balas  

    Sepuluh Peringatan Bagi Wanita Salehah 

    wanita sholehahSepuluh Peringatan Bagi Wanita Salehah

    Bismillahir rahmanir rahiem

    1. Laknat Allah ke atas wanita yang marah kepada suaminya. (HR Dailami)
    2. Seorang wanita yang mati sedangkan suaminya ridha kepadanya, maka dia akan memasuki sorga. (HR Ibnu Majah)
    3. Seorang wanita yang meminta kepada suaminya untuk diceraikannya, maka diharamkan bau sorga baginya. (HR Tirmizi)
    4. Se-baik2 wanita adalah dia yang membuat suaminya merasa bahagia apabila memandangnya; apabila menyuruhnya dia mentaatinya; dan dia tidak memusuhinya dalam perkara dirinya dan hartanya dengan melakukan apa yang tidak disukainya. (HR Baihaqi)
    5. Permisalan seorang wanita yang memakai wangi2-an di tengah2 orang lain (seperti laki2 yang bukan mahram) adalah seperti kegelapan pada hari kiamat; Tidak ada cahaya baginya. (Mishkat)
    6. Apabila suami memanggil istrinya ke tempat tidur dan dia menolaknya yang menyebabkan suami tidur dalam keadaan tidak ridho (kepada istrinya) maka para malaikat melaknatnya hingga pagi hari. (HR Bukhari)
    7. Ada tiga jenis manusia yang shalatnya tidak diterima dan juga amalannya tidak akan naik (ke langit), (salah satu daripadanya adalah) seorang wanita yang suaminya murka kepadanya. (HR Baihaqi)
    8. Jikalau aku diperintahkan agar seseorang sujud kepada orang yang lain, maka aku sudah memerintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya. (HR Ahmad)
    9. Jika suami memerintahkan istrinya untuk mengangkut batu dari gunung kuning kepada gunung putih (misalnya dari suatu gunung ke gunung yang lain), maka adalah lebih baik baginya untuk melakukannya. (HR Ahmad)
    10. Barangsiapa yang telah diberikan empat perkara, sesungguhnya ia sudah diberikan dunia dan akhirat: hati yang bersyukur, lidah yang senantiasa berzikir, badan yang senantiasa bersabar dalam kesulitan, dan istri yang tidak mengkhianati suaminya, baik mengenai dirinya maupun hartanya. (Mishkat)
     
  • erva kurniawan 3:33 pm on 11 July 2016 Permalink | Balas  

    Sejarah Yahudi 

    PALESTINIANS-ISRAEL/SWAPSEJARAH YAHUDI

    oleh Harun Yahya

    Seperti telah ditunjukkan di awal, semua tanah Palestina, khususnya Yerusalem, adalah suci untuk orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Alasannya adalah karena sebagian besar nabi-nabi Allah yang diutus untuk memperingatkan manusia menghabiskan sebagian atau seluruh kehidupannya di tanah ini.

    Menurut studi sejarah yang didasarkan atas penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, Nabi Ibrahim, putranya, dan sejumlah kecil manusia yang mengikutinya pertama kali pindah ke Palestina, yang dikenal kemudian sebagai Kanaan, pada abad kesembilan belas sebelum Masehi. Tafsir Al-Qur’an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot). Al-Qur’an menyebutkan perpindahan ini sebagai berikut:

    Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. (Qur’an, 21:69-71)

    Daerah ini, yang digambarkan sebagai “tanah yang telah Kami berkati,” diterangkan dalam berbagai keterangan Al-Qur’an yang mengacu kepada tanah Palestina.

    Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya Hajar dan putranya Isma’il (Ishmael) di Mekah dan sekitarnya, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al-Qur’an bertempat di lembah Mekah.

    Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qur’an, 14:37)

    Akan tetapi, putra Ishaq Ya’kub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’kub juga dikenang sebagai “Bani Israil.”) Setelah dibebaskannya Yusuf dari penjara dan penunjukan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir.

    Suatu kali, keadaan mereka berubah setelah berlalunya waktu, dan Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah menjadikan Musa (Moses) nabi-Nya selama masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Ia pergi ke Firaun, memintanya untuk meninggalkan keyakinan kafirnya dan menyerahkan diri kepada Allah, dan membebaskan Bani Israil yang disebut juga orang-orang Israel. Namun Firaun seorang tiran yang kejam dan bengis. Ia memperbudak Bani Israil, mempekerjakan mereka hingga hampir mati, dan kemudian memerintahkan dibunuhnya anak-anak lelaki. Meneruskan kekejamannya, ia memberi tanggapan penuh kebencian kepada Musa. Untuk mencegah pengikut-pengikutnya, yang sebenarnya adalah tukang-tukang sihirnya dari mempercayai Musa, ia mengancam memenggal tangan dan kakinya secara bersilangan.

    Menyusul wafatnya Nabi Yusuf (Joseph), Bani Israel mengalami kekejaman tak terperikan di tangan Firaun.

    Meskipun Firaun menolak permintaannya, Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir, dengan pertolongan mukjizat Allah, sekitar tahun 1250 SM. Mereka tinggal di Semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al-Qur’an, Musa memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Kanaan:

    Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (Qur’an, 5:21)

    Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israil meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.

    Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qur’an, 48:26)

    Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh berbagai orang-orang penyembah berhala, dan bangsa Israel, yang juga dikenal sebagai Yahudi pada saat itu, diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh Kerajaaan Romawi, Nabi ‘Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya, dan hidup menurut agama Allah. Sangat sedikit orang Yahudi yang meyakininya; sebagian besar Bani Israel mengingkarinya. Dan, seperti disebutkan Al-Qur’an, mereka itu yang: “: telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Qur’an, 5:78) Setelah berlalunya waktu, Allah mempertemukan orang-orang Yahudi dengan bangsa Romawi, yang mengusir mereka semua keluar dari Palestina.

    Tujuan penjelasan yang panjang lebar ini adalah untuk menunjukkan bahwa pendapat dasar Zionis bahwa “Palestina adalah tanah Allah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi” tidaklah benar. Pokok permasalahan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam bab tentang Zionisme.

    Zionisme menerjemahkan pandangan tentang “orang-orang terpilih” dan “tanah terjanji” dari sudut pandang kebangsaannya. Menurut pernyataan ini, setiap orang yang berasal dari Yahudi itu “terpilih” dan memiliki “tanah terjanji.” Padahal, ras tidak ada nilainya dalam pandangan Allah, karena yang penting adalah ketakwaan dan keimanan seseorang. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.

    Al-Qur’an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:

    Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Qur’an, 3:68)

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal