Updates from Februari, 2013 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 1:09 am on 28 February 2013 Permalink | Balas  

    3 Faedah Dari Tanda-tanda Yang Ada Di Semesta Alam Dan Penemuan- penemuan Ilmiah 

    semesta alam3 Faedah Dari Tanda-tanda Yang Ada Di Semesta Alam Dan Penemuan- penemuan Ilmiah

    1. Kita dapat menelaah asma-asma dan sifat-sifat Allah SWT yang ada di semesta alam, agar menjadi jelas bagi kita bahwa Allah Maha Bijaksana, Maha Mengatur, Maha Menciptakan, dan Maha Pemberi Rizki. Dialah yang menciptakan tiap-tiap makhluknya dengan sebaik-baiknya dan Anda tidak akan menemukan adanya perbedaan dalam ciptaan-Nya.

    “…(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu…” (QS. An-Naml (27): 88)

    “Dia telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaahaa (20): 50)

    Semuanya itu menunjukkan adanya Allah dan kemahakuasaan-Nya. Perhatikanlah tubuh Anda… perhatikanlah segala aktivitas Anda… dan semua perkataan yang Anda ucapkan. Perhatikanlah pula semua kesibukan, perasaan, dan gagasan Anda. Anda adalah bagian dari alam dan Anda sendiri adalah alam. Pada diri Anda tersembunyi alam yang paling agung. Mengapa Anda tidak mau memikirkan dan merenungkan diri Anda sendiri sehingga Anda menjadi hamba Allah yang baik?

    “(Juga) pada dirimu sendiri, maaka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 21)

    Mula-mula faedah yang dapat kita petik ialah kita dapat menelaah asma- asma Allah melalui semesta alam dan sifat-sifat-Nya. Apabila kita melihat bunga yang merah, kita akan berpikir siapakah yang memberinya warna merah sedemikian indahnya.

    2. Hendaknya perasaan dan penemuan ini dan juga pemahaman ini beralih kepada iman.

    Tidaklah cukup Anda hanya mengenal bahwa yang menciptakan bunga adalah Allah, sedang Anda tetap tidak shalat, tidak menunaikan zakat, tidak bertasbih, dan tidak pula berdzikir kepada Allah. Demikianlah karena seorang peneliti yang kafir sekalipun mengetahui bahwa semua itu adalah buatan Allah, tetapi dia tidak beriman kepada Allah.

    3. Anda dapat berdzikir kepada Allah melalui kitab semesta alam yang ditampilkan oleh Allah kepada Anda sehingga memudahkan Anda untuk mengingat-Nya.

    Anda memandang pohon, maka mulut Anda berdecak kagum mengucapkan “Subhanallah”

    Anda memandang gunung, maka mulut Anda mengatakan “Subhanallah”

    Anda memandang ke air, cahaya, bumi, langit, gunung-gunung, dan lembah-lembah, lalu Anda berdecak kagum seraya mengucapkan “Subhanallah”

    Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad SAW dan adalah mula-mula surat yang diturunkan adalah Iqra’ (bacalah), padahal beliau adalah seorang yang Ummi, tidak bisa baca dan tulis.

    “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang memgingkari(mu)”. (QS. Al-Ankabut (29): 48).

    Akan tetapi beliau keluar dari gua Hira dan mengeluarkan kepalanya dari gua hira untuk membaca lembaran semesta alam, lalu membaca bintang-bintang yang gemerlapan, matahari yang terbit, lembah-lembah, aiar yang menyumber, parit-parit dan pancuran-pancuran air, serta sungai-sungai dan pohon-pohon, lalu beliau membaca semua itu. Oleh karena itu, ahlul `ilmi ada yang mengatakan sehubungan dengan makna iqra’, yakni bacalah semua yang terdapat disemesta alam agar Anda mengenal Allah SWT.

    Jangan sampai seseorang diantara kita lalai terhadap ayat-ayat yang besar ini. Manakala dia berekreasi atau pergi ke hutan, ia hanya memandang hasil kreasi manusia yang hina dan meninggalkan kreasi dan buatan Tuhan manusia (Allah SWT).

    Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda- tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran (3): 190-191)

    Kita memohon kepada Allah semoga Dia menghindarkan kita dari neraka dan menjadikan kita termasuk orang yang menafakuri penciptaan diri dan tanda-tanda yang besar dari kekuasaan Allah yang terdapat di alam semesta.

    Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad SAW, segenap keluarga dan shahabat-ahahabatnya.

    ***

    die *Cambuk Hati* DR. Aidh Al-Qarni

    Sumber: jkmhal.com

     
  • erva kurniawan 1:58 am on 27 February 2013 Permalink | Balas  

    Misteri Sandal Japit 

    sandal-jepit-butut0-700816Misteri Sandal Japit

    Sandal japit selalu menjadi cerita primadona, ada apa…?

    Sebagaian besar para jama’ah yang pulang dari haji, sering bercerita tentang sandal japit mereka. Hal ini sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Apakah hal ini terpengaruh oleh cerita jama’ah haji sebelumnya, ataukah tidak. Tetapi yang jelas setiap kita mengunjungi jama’ah haji yang baru pulang dari ibadahnya, selalu ada cerita tentang sandal japit.

    Pak Adi misalnya, ia sejak berangkat dari tanah air membawa sandal japit sebanyak lima pasang. Ketika seorang temannya bertanya mengapa membawa sebanyak itu, ia hanya tertawa saja, sambil ganti bertanya setengah mengolok temannya:

    “Apa kamu tidak pernah tahu cerita orang-orang haji sebelumnya? Kalau kamu tahu pasti kamu akan membeli dan mempersiapkan sandal lebih banyak dari saya!” katanya. Sang teman pun hanya geleng kepala saja sambil pergi.

    Ketika pak Adi pulang dari ibadah haji, Ia kembali bercerita tentang sandal japitnya. Ternyata benar ‘firasat’nya! Lima pasang sandal yang ia persiapkan dari rumah, di kota Mekah hanya bisa ‘bertahan’ lima hari saja. Setiap hari ia kehilangan sandal japitnya. Selalu lupa di mana menaruh sandalnya tersebut. Sehingga pada hari yang ke enam ia membeli lagi sandal di kota mekah untuk kesehariannya. Dan anehnya sandal yang ia beli tersebut bertahan sampai ia selesai melakukan ibadah di kota Mekah.

    Pak Santo, adalah teman pak Adi. Mereka bekerja pada kantor yang sama. Tetapi karena pak Santo mengikuti rombongan yang berbeda, mereka tidak berada pada kloter yang sama. Meskipun mereka berbeda hotel dan berbeda kloter, ternyata pada hari yang ke enam, mereka bertemu di masjidil Haram. Betapa senangnya mereka. Maka sambil bercerita pengalamannya, mereka pulang ke hotel masing-masing sambil jalan bersama-bersama.

    Pak Adi membuka pembicaraan :

    “Wah, sandal yang kupersiapkan lima pasang dari rumah itu, ternyata sekarang sudah ‘habis’. Setiap hari aku selalu lupa di mana aku menaruhnya. Padahal pintu mana ketika aku memasuki masjid sudah aku ingat-ingat. Tetapi tetap saja sandal yang aku letakkan di tempat yang cukup aman itu ternyata hilang.”

    ” Oh, kalau masalah itu saya tahu betul. Pak Adi kan memang orang yang pelupa, iya toh?” Kata pak Santo.

    ” …nggak heran saya, kalau sandal pak Adi selalu hilang. Kadang kunci mobil yang jelas-jelas baru ditaruh di atas meja kantor beberapa saat saja, pak Adi sudah lupa…!” sambung Pak Santo.

    “…untung saja, saya ditakdirkan menjadi orang yang gampang ingat. Tidak pelupa…ha ha ha… Sejak saya datang di kota Mekah ini, sandal yang saya pakai, ya ini pak! lumayan-lah agak ngirit he he” kata Pak Santo.

    “Baiklah pak, kita berpisah di sini ya. Kan hotel kita berbeda. Besok subuh kita ketemu di dekat sumur zam-zam ya…” kata pak Adi

    “Ok. pak, assalamu’alaikum…” sahut pak Santo sambil menyeberang jalan menuju hotelnya.

    Keesokan paginya, ketika mereka di dalam masjid, ternyata mereka berdua tidak bisa bertemu seperti maksud mereka sebelumnya, karena jama’ah begitu penuh. Maka pak Adi pun tidak berusaha mencari pak Santo lagi. Sekitar jam delapan pagi pak Adi pulang menuju hotelnya, bersama-sama dengan jama’ah rombongannya.

    Ketika pak Adi berjalan, sudah sekitar lima puluh meter dari pintu masjid, ia melihat pak Santo berdiri di dekat salah satu pintu masjid. Ia berdiri saja di dekat pintu tersebut. Maka pak Adi pun mendekati pak Santo, yang saat itu kelihatan agak bingung.

    “Ada apa pak?” Tanya pak Adi

    “Ini pak, sandal saya tadi kan saya taruh di dekat pintu ini, saya ingat betul koq, tidak mungkin-lah saya lupa! Bahkan yang kiri saya pisahkan tempatnya dengan yang sebelah kanan. Supaya tidak terambil orang lain. Tapi dimana ya..? Saya sudah hampir lima belas menit berdiri disini, tapi belum ketemu juga….

    Pak Adi hanya tersenyum saja menyaksikan kebingungan pak Santo. Katanya dalam hati: “….tahu rasa kamu sekarang…!”

    Dan pak Adi-pun pergi meninggalkan pak Santo yang masih kebingungan di dekat pintu masjid. Ketika pak Adi sambil berjalan melayangkan pandangannya ke arah pak Santo, ia melihat pak Santo-pun meninggalkan pintu masjid berjalan pulang tanpa mengenakan alas kaki…

    Lain lagi halnya dengan bu Toni. Ketika ia berjalan pulang dengan beberapa temannya, bu Toni bercerita bahwa ia merasa kasihan melihat bu Fajar, yang baru satu hari di Mekah bu Fajar sudah kehilangan sandalnya. Padahal sandal itu sudah diletakkan di tempat yang aman, di dekat tempat ia shalat katanya. Tapi tetap saja ketika shalat sudah selesai, bu Fajar tidak menemukan sandalnya.

    Kata bu Toni: “..Ya maklumlah, karena pergeseran-pergeseran shaf ketika akan shalat, maka tempat berubah dari posisi semula. Sehingga tentu bu Fajar kesulitan mencari-nya kembali.”

    Tiba-tiba bu Sodiq yang berada di sebelah bu Toni berkomentar: “Kalau saya bu, sejak dari rumah sudah diberi tahu oleh kakak saya yang tahun kemarin berangkat haji. Pokoknya kalau ke masjid kita bawa aja tas kresek. Atau tas apa saja khusus untuk tempat sandal supaya tidak hilang. Sekarang pun saya membawa! Dan selalu siap sedia dengan tas tersebut, sehingga amanlah sandal saya…!”

    Seperti biasanya, keesokan harinya sebelum waktu subuh, rombongan bu Toni sudah berangkat menuju masjid. Mereka masing-masing membawa sandalnya menuju tempat, dimana mereka berada. Sandal mereka letakkan di dekat tempat duduk mereka. Setelah shalat subuh dikumandangkan melalui iqamah bilal, mereka pun tenggelam dalam suasana shalat subuh yang menyejukkan.

    Seusai shalat, mereka tetap beraktivitas di dalam masjid. Ada yang membaca Al-Qur’an ada yang thawaf, ada yang berdzikir, dan sebagainya. Bu Sodiq pun melihat-lihat keindahan arsitektur masjidil Haram. Ia berjalan kesana-kemari, bahkan beberapa kali ke tempat air zam-zam.

    Setelah dirasa cukup dengan aktivitasnya masing-masing, rombongan bu Toni sepakat untuk pulang ke hotel. Para jama’ah bertebaran keluar dari masjid untuk kembali ke hotelnya masing-masing. Bu Toni dan teman-temannya bergegas mau pulang, tetapi mereka masih menunggu bu Sodiq yang belum kembali dari acara jalan-jalannya di dalam masjid tersebut.

    ” Nah, itu dia bu Sodiq, ayo kita pulang..!” kata bu Toni. ” lho, sandal saya dimana toh, tadi kan disini?” kata bu Sodiq setengah terkejut, setelah ia melihat tas sandalnya tidak ada ditempatnya lagi.

    “iya, tadi kan di sini, bersama sandal milik kita semua…, dimana ya? celetuk ibu yang lain. “…yaah, mungkin aja ada orang yang keliru membawa tas sandalnya, dikira miliknya, padahal itu milik bu Sodiq ya…”

    ” Mungkin juga iya…, memang warna tas saya hitam, jadi banyak yang mirip. Sehingga mungkin saja ada orang yang lupa menaruh tasnya, maka diambil-lah tas saya…”jawab ibu Sodiq dengan agak malu kepada ibu-ibu yang lain. Soalnya kemarin ia sudah berbangga bahwa tidak mungkin, sandalnya akan hilang.

    Secara logika, sebenarnya ‘para’ sandal tersebut tidaklah hilang. Tetapi ada saja penyebabnya sehingga pemiliknya kehilangan atau tidak bisa menemukan sandalnya yang sudah ditempatkan di posisi yang aman.

    Pak Adi, Pak Santo, Bu Toni, Bu Fajar, maupun bu Sodiq, mereka adalah contoh kecil dalam hal kehilangan sandal. Setiap tahun setiap saat musim haji selalu ada cerita unik tentang sandal japit. Satu hal, yang rata-rata menjadi kuncinya, ialah masalah kebanggaan dan kesombongan diri.

    Para jama’ah diperintahkan bertamu di rumah Allah adalah untuk melatih ketawadhu’annya. Melatih sabarnya, dan juga melatih ketawakalannya. Bangga, ria, sombong adalah penyakit hati, yang mencerminkan ego yang tinggi.

    Karenanya, penyakit-penyakit itu harus dihilangkan, dengan cara berserah diri kepada Ilahi Rabbi, merasa kecil di hadapan Allah Yang Maha Besar, merasa rendah di hadapan Allah Yang Maha Tinggi.

    QS.Al-Qashash (28) : 76

    Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.

    Inilah salah satu pelajaran dalam perjalanan haji. Misteri tentang sandal japit! Meskipun nampak sederhana, tetapi merupakan pelajaran yang memiliki nilai sangat tinggi di dalamnya…

    ***

    firliana putri

     
  • erva kurniawan 1:02 am on 26 February 2013 Permalink | Balas  

    Ihwal Ketakutan Para Nabi 

    sujudIhwal Ketakutan Para Nabi

    `Aisyah ra., meriwayatkan bahwa ketika cuaca berubah dan angin berhembus dengan kencang, berubahlah wajah Rasulullah SAW. Beliau berdiri dan bolak-balik keluar-masuk kamar. Hal itu disebabkan ketakutannya kepada Allah SWT. Beliau membaca ayat-ayat dalam surat Al-Haqqah. Lalu beliau jatuh pingsan.

    Allah SWT berfirman, “dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. Al-A’raf (7): 143)

    Rasulullah SAW melihat rupa Jibril di padang pasir, maka ia jatuh pingsan. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sekali-kali Jibril datang kepadaku melainkan ia menggigil ketakutan kepada Al-Jabbar (Allah SWT).”

    Dikatakan, bahwa ketika Iblis muncul, Jibril as dan Mikail as., menangis. Maka Allah mewahyukan kepada keduanya, “Mengapa kalian menangis seperti ini?” Mereka menjawab, “Wahai Tuhan kami, kami tidak merasa tenteram terhadap siksaan-Mu.” Maka Allah SWT berfirman, “Demikianlah, jadilah kalian tidak merasa aman terhadap siksaan-Ku.”

    Abu Darda berkata, “Detak jantung kahalilullah (Ibrahim as.) ketika berdiri untuk shalat dapat didengar dari jarak satu mil karena takut kepada Tuhannya.”

    Mujahid ra., berkata, “Dawud menangis sambil bersujud selama empat puluh hari. Ia tidak mengangkat kepalanya sehingga dari air matanya tumbuh rerumputan hingga menutupi kepalanya. Maka ia diseru, `Wahai Dawud, apakah engkau lapar sehingga engkau perlu diberi makan, atau engkau haus sehingga perlu diberi minum, atau engkau telanjang sehingga perlu diberi pakaian. Lalu ia menarik napas panjang dan menghembuskannya maka terbakarlah batang tanaman itu karena panas perutnya. Maka Allah menurunkan padanya tobat dan ampunan. Dawud berkata, “Wahai Tuhanku, jadikanlah kesalahanku pada telapak tanganku.” Lalu jadilah kesal;ahannya tertulis pada telapak tangan. Maka setiap kali ia membentangkan telapak tangannya untuk makan, minum, dan sebagainya, ia melihatnya, lalu menangislah ia.

    Di katakan bahwa ia diberi sebuah gelas yang sepertiganya terisi air. Ketika ia mengambilnya, ia melihat kesalahannya. Ia tidak menempelkan pada bibirnya sehingga gelas itu dipenuhi air matanya.

    Diriwayatkan dari Dawud as., bahwa ia tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit hingga ia mati karena malu kepada Allah SWT. Di dalam munajatnya ia berkata, “Wahai Tuhanku, jika aku mengingat kesalahanku, maka bumi yang luas menjadi sempit bagiku. Tetapi jika aku ingat kasih sayang-Mu, maka ruhku kembali kepadaku. Maha Suci Engkau, wahai Tuhanku, aku mendatangi dokter-dokter dari hamba-hamba-Mu agar mereka mengobati kesahanku. Tetapi mereka semua menunjukkanku kepada-Mu. Maka kesengsaraanlah bagi orang-orang yang berputus asa dari rahmat-Nya.”

    Al-Fudhail ra. berkata, “Telah sampai kabar kepadaku, bahwa pada suatu hari Dawud as., mengingat dosanya. Maka ia melompat tanpa sadarkan diri sambil meletakkan tangannya di kepala sampai di gunung. Berkumpullah binatang-binatang buas. Maka Dawud berkata, “Kembalilah, aku tidak menginginkanmu. Aku hanya menginginkan setiap orang yang menangisi kesalahannya, maka janganlah ada mendatangiku kecuali orang yang menangis”. Dawud as., pernah ditegur karena banyak menangis, maka ia berkata, “Biarkanlah aku menangis sebelum keluar pada hari tangisan, sebelum tulang dibakar dan isi perut membara, dan sebelum para malaikat yang bengis dan keras di perintah. Para malaikat itu tidak durhaka kepada Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan.

    `Umar bin Abdul Al-Azis berkata, “Ketika Dawud melakukan kesalahan, berkuranglah suaranya. Ia berkata, `Wahai Tuhanku, paraukanlah suaraku dalam jernihnya suara para siddiqin.'”

    Diriwayatkan bahwa ketika Dawud as., terus-menerus menangis dan tidak mendatangkan manfaat baginya, maka menjadi sempitlah bentangan telapak tangannya dan bertambahlah kesedihanya. Ia berkata, “Wahai Tuhanku, apakah Engkau tidak mengasihi tangisanku?” Maka Allah SWT mewahyukan kepadanya, “Wahai Dawud, engkau lupa terhadap dosamu dan engkau ingat tangisanmu.” Dawud berkata lagi, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat melupakan disaku dan ketika aku membaca Zabur, air mengalir menghentikan alirannya, hembusan angin menjadi diam, burung menaungiku di atas kepalaku dan binatang-binatang liasr mengerumuni mihrabku. Wahai Tuhanku, ketakutan apa yang ada diantara diriku dan zat-Mu?”

    Maka Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Dawud, itu adalah kasih sayang ketaatan dan ini adalah ketakutan kemaksiatan. Wahai Dawud, Adam adalah makhluk diantara makhluk-makhluk-Ku. Aku menciptakannya dengan tangan-Ku. Aku tiupkan padanya dari ruh-Ku. Aku suruh para malaikat-Ku bersujud kepadanya. Aku pakaikan padanya pakaian kemuliaan-Ku. Aku kenakan padanya mahkota kewibawaan-Ku. Ia mengadukan kesendiriannya kepada-Ku, maka Aku menikahkannya dengan Hawa, hamba-Ku perempuan. Aku menempatkannya di surga-Ku. Maka ketika ia bermaksiat kepada-Ku, Aku mengusirnya dari kedekatan dengan-Ku dalam keadaan telanjang dan hina. Wahai Dawud, dengarkan Aku. Demi kebenaran Aku katakana: Engkau taat kepada Kami, maka Kami taat kepadamu. Engkau meminta pada Kami, maka Kami pun memberi padamu. Engkau bermaksiat kepada Kami, maka Kami pun menangguhkanmu. Jika engkau kembali kepada-Ku dengan apa yang ada padamu, maka Kami pun menerimamu.”

    Yahya bin Bakir berkata, “Sampai kabar kepadaku bahwa Dawud as., ketika hendak keluar, ia tinggal dulu selama tujuh hari, tanpa makan, tanpa minum dan tidak menyentuh perempuan. Sehari sebelum itu, mimbarnya dikeluarkan ketanah lapang. Maka ia memerintahkan Sulaiman untuk menyeru dengan suara yang meliputi negeri itu dan sekitarnya dengan semak belukar, bukit-bukit, dan lembah-lembahnya. Maka binatang-binatang buas datang dari semak-semak belukar, singa-singa datang dari gunung, burung-burung datang dari sarangnya, gadis-gadis datang dari pingitannya dan manusia berkumpul pada hari itu.

    Dawud as., datang, lalu naik ke atas mimbar. Maka Bani Israil dan semua kelompok mengelilinginya dari segenap sisinya, sementara Sulaiman berdiri terpisah. Dawud mulai memuji Tuhannya. Maka orang disekelilingnya berteriak disertai tangisan dan jeritan. Kemudian Dawud mulai menyebut Surga. Maka matilah singa-singa dan beberapa jenis binatang liar dan binatang buas. Dawud menyebutkan ketakutan pada hari kiamat dan meratapi dirinya. Maka matilah setiap jenis kelompok.

    Ketika Sulaiman melihat banyaknya yang mati, ia berkata, “Wahai ayah, engkau telah mencerai-beraikan para pendengar, dan matilah beberapa kelompok Bani Israil, binatang-binatang liar dan singa-singa.” Maka Dawud mulai berdoa, Ketika Dawud berdoa, tiba-tiba sebagian ahli ibadah Bani Israil berteriak, “Wahai Dawud, engkau tergesa-gesa meminta balasan kepada Tuhanmu.” Maka Dawud jatuh pingsan. Ketika Sulaiman melihat apa yang terjadi pada diri Dawud, ia membawa tandu dan membawa Dawud diatasnya. Kemudian dia memerintahkan kepada penyeru untuk menyeru, “Ketahuilah, barangsiapa yang ada bersama Dawud, kerabat atau kawan dekatnya (yang meninggal), hendaklah ia datang dengan membawa tandu dan membawanya pulang.”

    Sesungguhnya orang-orang yang bersamanya telah terbunuh akibat mendengarkan sebutan surga dan neraka. Ada seorang perempuan datang sambil membawa tandu dan membawa kerabatnya. Ia berkata, “”Wahai yang terbunuh oleh sebutan Surga. Wahai yang dimatikan oleh ketakutan kepada Allah SWT.” Kemudian Dawud as., siuman. Ia meletakkan tangannya pada kepalanya, masuk ke dalam rumah peribadatannya dan mengunci pintunya. Ia berkata, “Wahai Tuhan Dawud, apakah Engkau murka kepada Dawud?” Terus-menerus ia bermunajat hingga datang Sulaiman as., dan duduk di depan pintu. Ia minta izin kepada Dawud, kemudian masuk dengan membawa sebiji gandum. Sulaiman berkata, “Wahai ayah, kuatkanlah dengan ini apa yang engkau inginkan. Maka ia memakan biji gandum itu dengan kehendak Allah SWT.” Kemudian ia keluar menemui Bani Israil, dan mengadili diantara mereka.

    Yazid Ar-Riqasi berkata, “Pada suatu hari Dawud keluar menemui orang- orang untuk mengajari dan mempertakuti mereka. Ia keluar bersama dengan empat puluh ribu orang di antaranya mati. Maka ia tidak kembali kecuali dengan sepeuluh ribu orang. Ia memiliki dua orang budak perempuan. Sehingga ketika ia merasakan ketakutan, lalu jatuh dan bergetar tubuhnya. Maka kedua budak perempuan itu menduduki dada dan kedua kakinya karena takut anggota-anggota tubuhnya akan bercerai berai.”

    Abu Bakar ra., berkata kepada seekor burung, “Seandainya aku menjadi sepertimu, wahai burung dan tidak diciptakan sebagai manusia.”

    Abu Dzar berkata, “Aku lebih suka seandainya menjadi pohon yang ditebang.”

    `Utsman ra., berkata, “Aku lebih suka jika mati, aku tidak dibangkitkan.”

    Aisyah ra., berkata, “Aku lebih suka seandainya aku menjadi pelupa yang dilupakan.”

    Pada wajah `Umar terdapat dua garis hitam bekas lelehan air mata. `Umar ra., berkata, “Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka tidak akan melampaiaskan marahnya. Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka ia tidak melakukan apa yang diinginkannya. Dan kalau bukan karena adanya hari kiamat, niscaya berbeda apa yang kamu lihat sekarang.”

    Pada suatu hari Ali ra., setelah membaca salam dari shalat shubuh dalam keadaan bersedih dan membalikkan tangannya. Ia berkata, “Aku telah melihat sahabat-sahabat Muhammad. Tetapi kini aku tidak melihat sedikitpun yang menyerupai mereka. Mereka memasuki pagi dalam keadaan pucat dan kusut dengan debu diantara kedua mata mereka seperti lutut kambing. Mereka memasuki waktu malam karena Allah dalam keadaan bersujud dan berdiri membaca Kitab Allah. Mereka menaikturunkan dahi dan kaki mereka. Ketika memasuki pagi dan mengingat Allah, mereka bergoyang seperti bergoyangnya pohon diterpa angin. Air mata mereka bercucuran hingga membasahi pakaian. Demi Allah, seakan-akan aku berada di tengah-tengah kaum yang memasuki malam dalam keadaan lalai.” Kemudian dikatakan bahwa setelah itu ia tidak terlihat tertawa hingga Ibnu Muljam memukulnya.

    Ketika `Umar mendengar ayat-ayat Al-Qur’an, ia jatuh pingsan karena takut kepada Allah. Hal itu terulang selama beberapa hari. Pada suatu hari dia mengambil sebatang jerami dari tanah, lalu ia berkata, “Aduhai celakalah aku, mengapa aku tidak jadi jerami ini. Aduhai celakalah aku, seandainya aku tidak menjadi sesuatu yang disebutkan. Aduhai celakalah aku, mengapa ibu melahirkanku. Aduhai celakalah aku, mengapa aku tidak menjadi pelupa yang dilupakan.”

    Ketika Ali bin Husain berwudhu, wajahnya berubah menjadi pucat. Maka keluarganya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau selalu begitu kalau berwudhu?” Ia menjawab, “Tidakkah kamu mengetahui kepada siapakah aku akan menghadap.”

    Diriwayatkan bahwa Al-Fudhail ra., terlihat pada hari Arafah. Orang- orang berdoa. Sementara ia menangis seperti tangisan orang yang mendapatkan musibah kematian. Sehingga ketika matahari hampir terbenam, ia menggenggam janggutnya kemudian mengangkat kepalanya ke langit. Lalu ia berkata, “Aduhai aku telah berbuat durhaka kepada-Mu, maka ampunilah aku.” Kemudian ia pun kembali bersama orang-orang.

    ***

    die Mutiara Ihya `Ulumuddin Al-Ghazali

    Sumber: jkmhal.com

     
  • erva kurniawan 1:14 am on 25 February 2013 Permalink | Balas  

    Berlomba Menebar Rahmat 

    Berlomba Menebar Rahmat

    “Balighu ‘annii walaw aayah ” (Sampaikan dariku meski satu ayat, HR Bukhari & Turmudzi).

    Hadits tersebut kita yakini shohih dan merupakan kewajiban setiap muslim untuk melaksanakannya. Rasulullah saw. juga dikenal bersifat tabligh, senantiasa menyampaikan wahyu dari Allah SWT. secara sempurna kepada ummatnya.

    Kata balighu berasal dari kata baligha / ablagha yang bermakna menyampaikan informasi, dalam berbagai bentuknya. Kata ‘annii dapat bermakna “dariku”, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul saw, maupun “tentang aku”, yakni tentang segala aspek peri kehidupan Rasul saw. Kata aayah dapat bermakna tekstual (naskah ayat al Qur-an maupun Hadits) maupun kontekstual (tanda-tanda kekuasaan Allah SWT). Dengan demikian hadits ini mewajibkan kita untuk mengabarkan tentang Islam yang sempurna dalam keseluruhan dimensinya, meskipun baru satu sisi yang mampu kita ungkapkan.

    Karena makna bahasa tersebut, khususnya makna kata balighu, selama ini hadits tersebut dimaknai sebatas perintah berda’wah, baik yang dilakukan oleh para ‘alim ‘ulama dalam tabligh / kajian atau penulisan buku, maupun kalangan awam dalam pergaulanan sehari-hari. Namun demikian tidaklah semua muslim memiliki keterampilan, kesempatan dan kepercayaan diri untuk menyampaikan informasi dalam bentuk yang dapat dipahami orang lain, sehingga mereka tidak dapat mengamalkan hadits tersebut. Di samping itu jika semua orang “harus” berbicara atau menulis, siapakah lagi yang akan mendengarkan dan membaca?

    Saya berpendapat hadits ini mungkin sebenarnya dapat bermakna lebih luas. Kata balighu boleh jadi tidak hanya bermakna perintah menyampaikan informasi, tetapi juga menyampaikan manfa’at / maslahat dari setiap ayat / hadits kepada yang membutuhkannya. Dengan pengertian ini setiap muslim sesungguhnya dapat mengamalkan hadits tersebut, apa pun keahlian dan kesempatan yang dimilikinya. Produsen dapat menghasilkan manfaat berupa barang atau jasa, distributor menghantarkannya ke pasar-pasar dan pusat layanan atau langsung ke lokasi konsumen, sedangkan teknisi / praktisi membantu mewujudkan manfaat tersebut sesuai kebutuhan konsumen secara efektif.

    Sebagai konsekuensinya, tentu saja semua muslim harus berupaya memahami hikmah dari ayat-ayat suci al Qur’an dan hadits-hadits Rasul saw. sejauh dan sebanyak yang mampu dipahaminya. Selanjutnya kita berusaha sekuat tenaga mewujudkan hikmah / manfaat ayat tersebut sesuai dengan segala sumber daya dan kemampuan yang telah diamanahkan Allah SWT kepada kita. Perkembangan ilmu pengetahuan / teknologi mutakhir menjadi penting artinya dalam memfasilitasi proses transformasi dari kalam al Khaliq menjadi manfaat nyata bagi makhluq tersebut.

    “Siapa menghendaki dunia hendaklah dengan ilmu. Siapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu. Siapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu.” (al Hadits)

    Jika kita kaji berbagai temuan ilmiah di berbagai bidang ilmu, sesungguhnya semua tidak lain membuktikan kebenaran absolut Sunatullah yang termaktub pula dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Sangat disayangkan pada kenyataannya sedikit sekali cendekiawan muslim yang secara produktif menyampaikan fenomena tersebut (makna kontekstual “ayat”) kepada ummat dalam bahasa populer. Padahal tulisan-tulisan dan pemaparan semacam ini dapat menghantarkan ummat untuk mengenal Tuhannya ( ma’rifatullah) dengan lebih baik, dan menggugah kesadaran serta kebanggaan sebagai muslim (izzatul muslimin). Dikotomi keilmuan antara ilmu agama / ukhrowi dan umum / duniawi yang selama ini masih berjalan menghambat proses “membumikan al-Qur-an”. Kondisi ini diperparah dengan semakin maraknya pemikiran yang menyanjung sekularisme dan irrelevansi Qur-an – Sunnah dalam kehidupan ultra-modern saat ini.

    “…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu ialah yang lebih taqwanya…” .(QS al Hujuraat 49:13)

    …Sesungguhnya yang bertaqwa kepada Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu…” (QS Faathir 35:28)

    Seandainya semua muslim mengamalkan hadits ini dengan baik, niscaya kita akan saling berlomba-lomba dalam kebajikan ( fastabiqul khairat), tidak hanya dalam menuntut ilmu (tholabul ‘ilmi), tetapi juga dengan memberi sebanyak-banyaknya manfaat kepada lingkungan sekitar ( rahmatan lil ‘alamin).

    “Sebaik-baik di antaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain.” ( H.R. Bukhari dan Muslim).

    Wallahu a’lam bish showab.

    ***

    Oleh: Nurul Hidayati Fithriyah.

     
  • erva kurniawan 1:43 am on 24 February 2013 Permalink | Balas  

    Mengenai Qiblat 

    Mengenai Qiblat

    Orang-orang pergi ke Timur, Barat, Utara dan Selatan, tetapi ke mana pun mereka pergi, fokus mereka tetap satu, yaitu qiblat. Allah berfirman bahwa ketika kalian ingin melakukan salat, arahkan muka kalian menuju Rumah Allah yang suci, yaitu Kabah.

    Sungguh Kami melihatmu (Wahai Muhammad saw) memalingkan mukamu mencari petunjuk ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram [Kabah]. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. [2:144]

    Di mana pun kalian berada, arahkan muka kalian ke arah masjid yang di dalamnya terdapat Kabah di Mekkah. Karena adanya Kabah, tempat di sekitarnya menjadi suci. Tempat itu dinamakan haram, artinya terlarang. Itu adalah tempat di mana dosa-dosa tidak diperkenankan. Itu adalah tempat yang suci, bahkan niat buruk pun akan ditulis sebagai amal buruk kalian. Ia disebut masjid, tetapi Allah membuatnya lebih dari itu. Pada kenyataannya, tempat itu adalah tempat di mana dosa-dosa tidak dapat diterima. Itulah sebabnya nama masjid itu dalam bahasa Arab disebut Masjidil Haram, artinya “Masjid Terlarang” (juga diterjemahkan sebagai “Masjid yang Suci”).

    Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [17:1]

    Di mana pun tempat ini disebutkan, ia selalu Masjid al-Haram. Nama Masjid al-Haram berarti bahwa seseorang tidak diperkenankan melakukan perbuatan berdasarkan hasrat buruknya—bahkan tak seorang pun diperkenankan mempunyai niat buruk di sana. Hanya keinginan yang baik dan pikiran yang baik yang diperbolehkan masuk, bukannya karakteristik binatang.

    Binatang bertindak tanpa batas pada perilaku mereka. Jadi “Masjid al-Haram” berarti masjid di mana perilaku rendah tidak diterima. Simbol terbaik untuk kelalaian adalah keledai. Bila orang mempunyai karakter seperti ini, kita katakan bahwa mereka menampilkan perilaku keledai. Kini, orang-orang membawa karakteristik ini. Kelalaian mereka membawa mereka ke perilaku buas, dan mereka melakukan segala macam perbuatan yang tidak dapat diterima.

    Setiap orang mempunyai tujuan dan harapan untuk mencapai tempat suci, dan bagi Muslim, tempat itu adalah Masjid al-Haram. Yang menjadi fokus bagi Muslim adalah untuk meraih level karakter yang sempurna, belajar darinya, dan mendapat pencerahan darinya. Allah mengetahui isi hati kita. Menurut ketulusan dan pencapaian kalian, Allah menghubungkan kalian dengan tujuan kalian.

    Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, Kami akan tunjukkan mereka pada jalan-jalan Kami, jalan-jalan yang sesuai bagi mereka. [29:69]

    Ada level-level pencapaian. Kita harus maju meninggalkan kelalaian kita, belajar dan mendidik diri kita dengan menjaga hubungan dengan seorang yang telah mendapat pencerahan.

    Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (dalam kata dan perbuatan)”. [9:119]. Hati yang mengkilap dari orang yang tulus dan jujur (shiddiq) adalah bak penampung cahaya surgawi dan berkah Ilahi agar termanifestasi. Orang seperti itu bagi kita adalah bagaikan matahari.

    Ketika matahari bersinar, seluruh dunia bersinar dari sumber energi itu yang membuat segalanya menjadi terlihat. Sebelumnya gelap, kemudian terang. Menurut kepribadian kalian dan sesuai dengan berapa banyak kalian membebaskan diri kalian dari perilaku “keledai” kepada level-level yang lebih tinggi yang telah diberikan oleh Allah.

    Fokus setiap orang seharusnya adalah tempat yang suci. Kita mulai membayangkan bahwa kita tahu sesuatu. Jika kita tahu sesuatu, kita harus berbuat berdasarkan pengetahuan itu dan mengikutinya sesuai dengan pemahaman kita.

    ***

    Mawlana Syekh Muhammad Hisyam Kabbani ar-Rabbani qs

    Dari Buku Sufi Science of Self Realization

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 23 February 2013 Permalink | Balas  

    Anjuran Sholat Pada Permulaan Waktu 

    Anjuran Sholat Pada Permulaan Waktu

    Rosulullah Saw bersabda, “Permulaan waktu adalah ridho Allah, tengah waktu adalah rahmat Allah, dan akhir waktu adalah ampunan Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung.” (HR. Daruquthni)

    Rosulullah Saw bersabda, “Amal yang paling utama adalah sholat pada waktunya berbakti kepada kedua orang tua, dan jihad di jalan Allah.” (HR. Ahmad)

    Dalam hadisnya Bazzar berkata, “Kemudian Nabi Muhammad saw datang pada suatu kaum yang dipacah kepalanya dengan batu. Ketika kepala itu pecah kemudian pulih kembali seperti semula, begitu seterusnya.” Rosulullah Saw bertanya, “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?” Mereka itu adalah orang-orang yang merasa berat kepalanya untuk mengerjakan sholat.” (Jawazir, hal. 114, Jilid I)

    Ibnu Abbas ra. Berkata, “Pada hari kiamat nanti, ada seorang laki-laki disuruh berdiri di hadapan Allah. Kemudian Allah memerintahnya ke neraka.” Maka dia berkata, “Wahai Tuhan, kenapa begini ?” Kemudian Dia (Allah) berfirman, “Sebab kamu akhirkan sholat dari waktunya dan sebab sumpah dustamu kepada-Ku.” (Jawazir, hal. 116, Jilid I)

    Keterangan : Bergegas mengerjakan sholat pada awal waktu, hukumnya sunat. Mengakhirkan sholat hingga keluar waktunya dengan disengaja hukumnya haram. Jadi kalau ada orang yang berangkat tidur setelah waktu sholat datang sedang ia belum mengerjakan sholat dan tidak punya keyakinan bahwa di tengah-tengah tidurnya nanti pasti ada orang yang membangunkan, maka berangkat tidur dalam keadaan demikian itu hukumnya haram. Tetapi kalau ia punya prasangka bahwa di tengah-tengah tidurnya nanti pasti ada yang membangunkan sebagaimana biasa, maka tidurnya itu terkena hukum makruh, tidak haram.

    ***

    Narasumber: Kitab “At-Targhiib Wat-Tarhiib”

     
  • erva kurniawan 1:27 am on 22 February 2013 Permalink | Balas  

    Catatan Seorang Isteri 

    Catatan Seorang Isteri

    Oleh Cahaya Khairani

    Sebelum menikah, selain kriteria taqwa, saya tidak punya kriteria khusus untuk calon suami saya nanti. Karena saya menyadari bahwa saya bukanlah wanita yang ideal untuk dijadikan isteri, terutama untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Maka saya amat sangat bersyukur pada Allah ketika Dia mengirimkan Lelaki Surga yang penyabar dan pengertian untuk saya.

    Lelaki Surga itu tersenyum dan memandang saya penuh cinta ketika pada malam pertama kami, dengan jujur saya mengatakan bahwa saya tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh dua orang pembantu.

    “Biar si bibi yang kerjakan”

    Begitu kata Bunda bila kami anak-anaknya ingin mencuci piring bekas makan kami sendiri. Maka saya pun menjadi terbiasa “terima beres”. Pakaian tinggal pakai, sudah bersih, rapi dan wangi. Mau makan, tinggal ambil di meja makan. Mau minum hangat atau dingin, pembantu yang membuatkan.

    Setiap pagi pembantu akan bertanya minuman apa yang saya ingin dibuatkan. Sekali-sekali saya ke dapur membantu memasak, hitung-hitung sekalian belajar, tapi sedikit saja salah, Bunda akan mengusir saya dari dapur. Aneh memang, bukannya mengajarkan cara memasak yang benar, saya malah tidak dibolehkan di dapur.

    Dengan bicara jujur pada suami, saya berharap ia mempersiapkan kesabaran dan pengertian yang lebih bila nanti, saya memasak makanan yang tidak sedap di lidahnya atau rumah kami menjadi kurang indah dalam penglihatannya.

    “Nanti adek kan bisa belajar”, ujar suami setelah mendengar penuturan saya. Tak ada raut kekhawatiran di wajahnya bila nanti saya tidak dapat mengurusnya dengan baik.

    Belajar. Itulah yang harus saya lakukan. Manusia memang tidak boleh berhenti belajar. Belajar, tidak hanya di bangku kuliah, tapi juga di universitas kehidupan. Dan sekaranglah saatnya saya belajar di kehidupan rumah tangga, yaitu belajar menjadi isteri sholehah.

    Proses belajar pun dimulai. Pekerjaan mencuci, membenahi rumah, menyetrika, ke pasar, memasak, menguras kamar mandi, semua saya lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, hanya suami yang sesekali membantu di sela-sela kesibukannya. Setiap hari selalu ada sayatan luka baru di jari jemari saya. Tubuh mulai mudah masuk angin. Rasa perih, ngilu, pegal-pegal, kaku, kerap menghinggapi telapak tangan saya.

    Tapi jika mengingat betapa Allah sangat menghargai apa yang seorang isteri lakukan untuk suaminya, tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh, apalagi menyerahkan tugas-tugas itu kepada pembantu, rugi rasanya.

    Setelah delapan bulan menikah. Hmm.lumayan juga hasilnya. Pakaian suami selalu rapi dan berbau wangi. Rumah kontrakan kami selalu bersih, lantainya selalu mengkilap. Pemilik rumah kontrakan tidak lagi harus turun tangan menggosok lantai kamar mandi karena saya sudah dapat melakukannya sendiri. Setelah beberapa kali dicontohkan secara tidak langsung oleh pemilik rumah, barulah saya tahu cara menggosok lantai kamar mandi yang baik dan benar.

    Soal masak? Suami bilang saya sudah lebih pandai memasak. Tidak percuma ia rajin membelikan tabloid khusus resep masakan untuk saya pelajari. Tapi tentu saja saya tidak boleh merasa puas. Saya masih harus terus belajar dan belajar.. Mungkin ini lah salah satu rencana Allah menunda menganugerahkan kami seorang anak. Dia Maha Mengetahui kapan saat yang terbaik bagi kami untuk mendapat amanah seorang anak. Saat di mana saya telah menjadi isteri yang baik dan telah siap kembali belajar untuk menjadi Ibu yang baik.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:14 am on 21 February 2013 Permalink | Balas  

    Tahajud Perkuat Sistem Imun Tubuh 

    Tahajud Perkuat Sistem Imun Tubuh

    Prof Dr Mohammad Sholeh

    Rasulullah SAW nyaris tidak pernah melewatkan satu malam pun kecuali dengan shalat tahajud, bahkan di saat peperangan sekalipun. Dulu, shalat tahajud diwajibkan. “Setelah turun surat Al-Muzzammil ayat 19 dan 20 baru disunatkan,” ujar Prof Dr Mohammad Sholeh, pengasuh Klinik Terapi Tahajud dan trainer salat khusyuk kepada Damanhuri Zuhri dari Republika, Rabu (31/1)

    Mengapa Rasulullah SAW menganjurkan shalat ini, hanya Beliau yang tahu. Namun perkembangan sains membuktikan, shalat ini banyak manfaatnya. “Secara medispun bisa dibuktikan,” ujar pria yang tahun 2000 berhasil mempertahankan disertasi doktornya di jurusan Psikoneuroimunologi Unair mengenai shalat tahajud untuk sistem imun tubuh ini. Berikut ini penjelasannya mengenai kajian ilmiahnya tentang tahajud:

    Apa alasan Anda tertarik meneliti tentang shalat tahajud dan hubungannya dengan sistem imun tubuh?

    Pertama tidak ada shalat sunat yang dianjurkan oleh Alquran kecuali tahajud. Sedangkan shalat-shalat sunat lain itu hanya sampai pada tataran hadis Rasulullah SAW. Kalau shalat sunat tahajud itu ada di dalam surat Al-Muzzammil ayat 1 sampai 20 terutama pada ayat 1 sampai 10. Kemudian Surat Al-Isra ayat 79. Ini alasan logika normatifnya.

    Kedua, Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah meninggalkan shalat tahajud. Ketiga, tidak ada shalat sunat yang diwajibkan Islam kecuali tahajjud. Selama satu tahun Rasulullah mewajibkan umatnya melaksanakan shalat tahajjud, sebelum turun ayat tadi.

    Lalu ada hadis kudsi yang menjelaskan tentang setiap dua per tiga malam Allah SWT turun ke langit pertama sambil menyerukan, “Hamba-Ku yang sedang ruku dan sujud melaksanakan shalat tahajjud, permintaanmuakan Aku beri, doamu akan Aku kabulkan, dosamu akan Aku ampuni.” Ditambah dengan hadis riwayat Tabrani yang menjelaskan bahwa shalat tahajud itu kebiasaan yang dilakukan oleh para orang-orang saleh di jaman dulu dan itu menyembuhkan baik fisik maupun psikis.

    Logika pengalamannya: saya dulu pernah kena penyakit kangker kulit. Dokter sudah angkat tangan. Namun tahajud menyelamatkan saya. Tahun 1982 sampai 1987, setelah itu saya dinyatakan sembuh sama sekali.

    Berapa lama disertasi Anda susun?

    Enam bulan sudah selesai. Enam bulan penelitiannya. Saya termasuk tercepat, 1998 sampai 2000. Jadi, dua tahun setengah lebih satu bulan.

    Mengapa sistem imun yang Anda teliti?

    Dalam tubuh kita oleh Yang Mahakuasa sudah ada yang namanya sistem imun (daya tahan tubuh). Daya tahan tubuh itu maksudnya apa? Misalnya, darah kita kalau dilihat merah tapi kalau dianalisis darah kita campur dengan reagen kemudian dianalisis di laboratorium nanti komponen di dalam tubuh macam-macam darah itu. Jadi, ada hemoglobin, ada hormon kartisol.

    Dosen saya bilang, saya ini banyak mematahkan teori ilmu kedokteran lama. Semisal, jantung koroner secara teori kedokteran lama tidak bisa disembuhkan. Tapi, melalui imunitas imunologi tadi penyakit ini bisa disembuhkan.

    Bagaimana bisa?

    Jantung koroner ini penyebabnya tersumbatnya arteri jantung karena kolestarol. Kolesterol itu adalah lemak yang berwarna kuning yang berasal dari makanan yang kita makan diolah oleh tubuh menjadi glikogen kemudian diolah lagi menjadi glukosa. Glukosa diolah lagi menjadi kolesterol. Kalau orang tidak pernah gerak maka kolesterol akan menyumbat pada organ yang tidak pernah digerakkan. Nah, kalau orang itu mau shalat tahajud berlama-lama seperti Rasulullah SAW, dua rakaat saja semalam, nantinya akan ada metabolisme tubuh kita akan bercucuran keringat, bahkan di ruangan ber-AC sekalipun.

    Keluarnya keringat ini menyehatkan. Karena di dalam tubuh kita ada metabolisme kolesterol-kolester ol akan dibakar ATP/ADP sehingga menjadi energi yang merangsang kelenjar keringat untuk berkeringat. Jadi, kalau tidak berkeringat tidak banyak membawa dampak fisik. Kebanyakan orang shalat tahajud itu hanya sekadar memburu-buru pahala atau mengejar maqamam mahmuda dalam pengertian sempit.

    Maksud Anda dengan maqamam mahmuda?

    Shalat tahajjud menjadi Bupati. Untuk tujuan duniawi. Kesehatan dan keimanan itu saya kira yang paling tepat untuk maqamam mahmuda.

    Bagaimana sampai pada kesimpulan bahwa shalat tahajud berpengaruh pada sistem imun tubuh?

    Penelitian saya dari 51 siswa SMU yang saya ambil training sebelumnya yang usianya sama. Karena syarat penelitian kuantitatif itu harus homogen. Jadi, usianya sama yaitu laki-laki antara usia 16 tahun sampai 20 tahun. Sama-sama SMU kelas 1 Hidayatullah yang tidak pernah shalat tahajjud sama sekali. Kemudian tidak pernah mengikuti tariqah-tariqah dan sebagainya. Kemudian saya ambil darahnya sebelum shalat. Kemudian saya ambil darahnya lagi setelah shalat satu bulan, saya ambil darahnya lagi setelah dua bulan. Aktivitasnya sama, menu makannya sama, usianya sama, sama-sama tidak pernah shalat tahajud. Ternyata variabel yang saya teliti, makrofagnya beda. Makrofag itu intinya adalah sel imunitas tubuh yang berfungsi untuk memakan sel lain yang tidak normal.

    Jadi, kalau ada orang kena kista itu menunjukkan bahwa makrofagnya mengalami defisiensi. Saya sudah bisa mendeteksi orang itu mengalami penurunan. Dengan demikian kalau teorinya dirunut lebih dalam, makrofag tidak akan berproduksi kalau yang bersangkutan stress. Kalau dirunut lagi mungkin orang ini kena penyakit hati seperti, iri, dengki, sombong. Nah hal yang seperti ini yang menyebabkan stress. Nggak pernah qona-ah (puas), tawakal, jadi, akidah itu menentukan sekali penyakit seseorang.

    Kenapa orang yang sering tahajud tak pusing kepala, padahal dia bangun tengah malam?

    Karena otak kita ketika shalat tahajjud melepaskan seritonin, beta endorsin, dan melatonin yang diproduksi otak. Ketika seseorang shalat tahajjud, seritonin, beta endorsin, dan melatonin itu terproduksi. Itu yang menyebabkan kita menjadi tenang. Karena ketenangan itulah maka homeostasis terjaga. Pusing disebabkan karena terganggunya homeostasis, mungkin bisa hipertensi atau hipotensi. Shalat tahajud itu kan meditasi tingkat tinggi. Itu yang menjaga homeostasis atau kecenderungan untuk tetap dalam keadaan normal. Orang sakit itu terganggunya homeostasis. Nah, ketika shalat tahajud relaksasinya tercapai secara maksimal maka keseimbangan tubuh terjaga. Tak akan ada hipertensi dan hipotensi. Termasuk kolesterol akan dibabat habis oleh aktivitas tahajud. Kolesterol akan hilang menjadi energi.

    Bagaimana Shalat Tahajud yang Benar?

    Yaitu dilakukan dengan khusyuk, tulus ikhlas, gerakannya seperti Rasulullah shalat kemudian kontinyu. Saya merujuk kepada hadis shahih Muslim yang diriwayatkan Khuzaifah yang pernah bercerita suatu malam pernah shalat tahajjud bersama Rasulullah kemudian begitu mengangkat tangan sebagai tanda takbiratul ihram terdengar dari belakang Rasulullah terisak-isak karena manangis. Rasulullah kemudian membaca doa iftitah sangat pelan setelah itu membaca Al Fatihah sangat pelan sekali setelah itu baca surat. Surat yag dibaca Rasulullah tidak tanggung-tanggung yaitu surat Al Baqarah, padahal ayatnya ada 286. Ketika sampai seratus ayat kata Khuzaifah kiranya disudahi ternyata tidak masih dilanjutkan. Setelah selesai surat Albaqarah, ternyata ditambah surat An-Nisaa. Setelah surat An-Nisa, dilanjutkan membaca surat Ali Imran. Nah, sehingga satu rakaat saja membaca tiga surat yang panjang-panjang kira-kira lima juz lebih. Kata Khuzaifah, “Bukan hanya di situ. Setelah Rasulullah membaca surat kemudian ruku yang lamanya sama dengan membaca Alqurannya. Kemudian i’tidal sama dengan rukunya. Kemudian sujud sama dengan i’tidalnya, setelah itu duduk iftiras sama dengan sujudnya. Sehingga Rasulullah semalam hanya dua rakaat. Kemudian tambah satu rakaat witir keburu sudah Bilal adzan.”

    Inilah yang saya trainingkan. Tetapi saya tidak ajarkan shalat yang panjang-panjang itu. Suratnya silahkan apa yang dihapal, tetapi setelah membaca surat jangan langsung ruku, disambung lagi dengan dialog, mengadukan masalah kepada Allah. Bisa juga kita manfaatkan sebelum ruku kita mendialogkan segala persoalan yang sedang kita hadapi. Mungkin anak yang jauh dari harapan, suami yang punya masalah, ekonomi yang morat-marit. Itu diadukan kepada Allah. Jadi, shalat khusyuk itu bukan shalat yang lupa segala-galanya.

    Kita tidak perlu menargetkan shalat tahajud itu delapan rakaat ditambah tiga rakaat witir yang penting bukan kuantitasnya tapi kualitas. Ada conect, komunikasi intens dengan Allah bahwa kita sadar sesadar-sadarnya sedang shalat menghadap kepada yang Mahakuasa, Mahaagung, Mahasegala-galanya. Digenggaman- Nya lah segala urusan. Sehingga kalau kita sudah bisa seperti itu nikmat rasanya. Karena itu nikmat maka sayang kalau diputus. Dua rakaat saja bisa dua jam setengah.

    ***

    Republika: Jumat, 02 Februari 2007

     
  • erva kurniawan 1:41 am on 20 February 2013 Permalink | Balas  

    Dipaksa Memberi Sepuluh Real 

    Dipaksa Memberi Sepuluh Real

    Adakah seorang peminta-minta yang

    berani memaksa kepada pemberinya…?

    Seorang teman bernama Pak Sunaryo yang barusan pulang dari ibadah haji, pernah bercerita. Bahwa ia adalah termasuk orang yang tidak terlalu memperdulikan keberadaan para peminta-minta. Meskipun banyak terlihat di kota mekah, namun ia tidak ambil peduli. Tidak tergerak sedikit pun hatinya untuk memberi uang atau apa pun kepada mereka. Dan hal itu katanya memang sudah menjadi kebiasaannya sejak ia masih muda.

    “Kenapa harus pedulikan mereka, kalau hanya akan membuat mereka jadi malas…” itu yang sering dia katakan.

    Pagi itu, pak Sunaryo pergi ke masjid bersama-sama para jamaah lainnya. Ketika sampai di depan masjid ia bertemu dengan seorang peminta-minta yang menengadahkan tangannya kepada rombongan jamaah tersebut. Para jamaah yang notabene masih teman kerja sekantor itu, rata-rata memberi uang kepada pengemis yang sudah tua.

    Ketika itu pak Sunaryo berjalan di urutan paling belakang. Sampai di dekat pengemis tersebut, ia menjadi begitu bingung. Sebab ia tidak pernah memberi uang atau apa saja kepada para pengemis.

    Berada di dekatnya, pengemis tua itu menyodorkan tangannya ke arah pak Sunaryo. Demi menghindari rasa malu kepada para teman-temannya, pak Sunaryo pun mengambil uang dari balik saku bajunya.

    Ia teringat kalau pada saat itu ada cukup uang di dalam saku bajunya. Hal itu memang sudah ia siapkan untuk belanja, sepulang mereka dari masjid.

    Maka dengan serta merta pak Sunaryo mengambil uang dari saku bajunya. Diambilnya uang satu real-an satu lembar untuk memberi si pengemis. Begitu tangan pak Sunaryo mau mengulurkan tangan untuk memberikan uang satu real tersebut, ternyata yang terambil dari saku bajunya bukan satu real, tetapi sepuluh real.

    Ia terkejut. Maka dibatalkannya pemberian itu. Pak Sunaryo pun kembali memasukkan tangan kanannya ke saku bajunya, untuk menukarkan uang sepuluh real tadi dengan uang satu real yang cukup banyak di dalam sakunya. Ketika tangannya diangkat, pak Sunaryo kembali terkejut. Karena sekali lagi yang terambil adalah uang sepuluh real. Bukan satu real.

    Pak Sunaryo, sedikit merasa malu kepada teman-temannya. Untung banyak temannya yang tidak mengetahui kejadian itu. Maka sambil pura-pura ada sesuatu yang jatuh, pak Sunaryo berhenti sejenak sambil kembali memasukkan uang sepuluh realnya untuk mengganti dengan uang satu real.

    Setelah yakin bahwa yang terambil adalah uang satu real, maka dengan raut muka agak sedikit lega, pak Sunaryo memberikan uang hasil ‘usaha’ yang ketiga kalinya, kepada pengemis tua. Digenggamnya rapat-rapat uang sebesar satu real itu, lantas ia berikan kepada sang pengemis tua yang sejak tadi menyaksikan dengan heran. Ketika pak Sunaryo membuka genggaman tangannya, jarak antara tangannya dan telapak tangan pengemis itu sudah begitu dekatnya, mata pak Sunaryo terbelalak saking terkejutnya…

    Ah, tak terasa ia mengeluarkan suara terkejut setengah mati. Apa yang terjadi ?

    Ternyata uang yang ia ambil itu, kembali sepuluh real! bukan satu real. Tak karuan rasa hati pak Sunaryo. Antara malu, merasa rugi, heran, dan juga cemas menjadi satu.

    Sementara teman-temannya ada yang sudah jauh di depannya, tetapi ada juga yang masih menunggu sambil berjalan pelan-pelan. Maka dalam kondisi semacam itu, pak Sunaryo mencoba berfikir seperti layaknya para jamaah pada umunya. Ia mencoba mengikhlaskannya

    Akhirnya diberikannya juga uang sepuluh real-an itu kepada si pengemis tua. Setelah itu ia cepat-cepat pergi untuk mengejar teman-temannya. ‘Bahkan sebagian temannya sudah ada yang masuk ke masjidil Haram.

    Setelah melakukan shalat dhuhur, pak Sunaryo terus dibayangi oleh peristiwa kecil tersebut. Sambil duduk istirahat pak Sunaryo terus berfikir, mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal ia sudah merasakan bahwa yang terambil untuk ke tiga kalinya itu, ia yakini adalah uang satu real. Tetapi mengapa kembali sepuluh real? Ia yakin bahwa yang ada di dalam saku bajunya, sangat banyak uang satu real-an dan hanya ada satu lembar uang sepuluh real. Tetapi kenapa yang terambil selalu yang sepuluh real?

    Tiba-tiba pak Sunaryo, seperti mendapatkan sebuah hidayah. Sesuatu yang selama ini tidak pernah terfikirkan:

    “…ah, ternyata apa yang sudah direncanakan dan disiapkan oleh manusia, sejeli dan seteliti apapun, tidak selalu menghasilkan seperti apa yang diinginkan…”

    Tiba-tiba saja pak Sunaryo mengusap kedua pelupuk matanya yang tanpa terasa sudah basah oleh setetes air, yang ia sendiri tidak mengetahui, mengapa hal itu bisa terjadi…

    Saat pulang, Pak Sunaryo berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan memperbaiki segala perilakunya yang kurang terpuji. Terutama kaitannya dengan para pengemis dan orang-orang miskin yang sering ia temui di jalan atau di mana saja. Rupanya Allah memberi pelajaran dan sekaligus hidayah kepada pak Sunaryo, lewat uang sepuluh real tersebut.

    “Alhamdulillah” hanya ucapan itu yang ia sampaikan kepadaku, sambil menutup kisahnya yang cukup unik tersebut.

    Aku pun termangu mendengar kisah sederhana tetapi penuh dengan pelajaran yang sangat berharga itu. Sungguh, jika seseorang telah diberi hidayah oleh Allah, maka apa yang ia berikan insya Allah akan menjadikan dirinya bertambah dekat kepadaNya. Semoga dengan kejadian itu, kini pak Sunaryo telah berubah menjadi manusia baru.

    Semoga pelajaran kecil itu akan membawa manfaat yang besar buat kita semuanya. Manfaat yang paling besar adalah jika setiap pelajaran menimbulkan kedamaian dan ketentraman hati. Sebab hati yang damai dan tentram adalah sebagai indikasi bahwa manusia telah dekat kepada sang penciptanya…insyaAllah.

    QS. Al-Baqarah (2) : 274

    Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

    QS. Ar-Ra’d (13) : 28

    (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

    ***

    Oleh: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 1:33 am on 19 February 2013 Permalink | Balas  

    Jangan Bicara 

    Jangan Bicara

    Sore itu, aku lebih awal dari biasanya sampai di depan ka’bah. Setelah melakukan thawaf, aku mengambil shaf yang tidak jauh dari ka’bah. Aku kebetulan dapat tempat duduk di dekat maqam Ibrahim.

    Tidak berapa lama kemudian datang seorang jama’ah dari Indonesia. “Assalaamu’alaikum, bapak dari embarkasi mana? tanyaku. Ia pun menjawab, bahwa ia dari Jakarta. Barusan datang kemarin pagi. Maka kami pun berbincang-bincang tentang keberadaan kami para jama’ah dari Indonesia.

    Tidak terasa kami begitu asyik berbincang kesana-kemari. Tiba-tiba pandangan kami tertuju pada benda-benda hitam yang bergerak di sekeliling ka’bah. Setelah kami perhatikan dengan seksama ternyata itu adalah gerakan burung-burung yang berterbangan di sekitar ka’bah. Seolah-olah burung-burung kecil itu sedang melakukan thawaf dengan caranya sendiri.

    Ketika itu kami melihat ada sedikit keanehan. Burung-burung itu tidak ada yang berterbangan di atas ka’bah. Mereka sekedar berterbangan mengitari ka’bah. Menyaksikan keanehan burung-burung yang sedang terbang mengitari ka’bah itu, kami berdua pun membicarakannya.

    Ketika kami terlibat dalam pembicaraan itulah, tiba-tiba terdengar suara adzan maghrib. Tetapi karena asyiknya materi pembicaraan kami itu, sampai-sampai suara adzan itu tidak kami hiraukan. Bahkan terus saja kami berbincang dengan agak berbisik-bisik tentang keanehan burung-burung yang ikut thawaf di sore itu.

    Bilal Masjidil Haram mengumandangkan kalimat syahadat yang kedua dalam adzannya “…asyhaduan laa ilaaha illallaah…”, saat itulah kami yang masih berbisik-bisik itu ditegur dan diingatkan oleh seorang jama’ah yang sudah tua, yang duduk di sebelah kanan kami.

    Dengan memberikan isyarat dengan tangan kanannya, Jama’ah tua itu melarang kami untuk berbicara sendiri meskipun dilakukan hanya dengan berbisik-bisik. Wajah tua itu begitu berwibawa. Dengan spontan kami langsung terdiam. Dan kami memperhatikan suara adzan bilal yang masih terus berkumandang dengan merdunya.

    Tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba aku merasa malu, merasa salah, merasa tidak menghargai kalimat Allah, bahkan saat itu aku merasa telah berbuat dosa yang besar. Aku merasa betapa kalimat tauhid yang diperjuangkan Rasulullah itu aku abaikan begitu saja.

    Padahal Rasulullah menegakkan kalimat itu di kota Mekah saja tidak kurang dari dua belas tahun. Yaitu pada saat periode Mekah.

    Bertambah aku merasa bersalah, bertambah deras air mataku membasahi kelopak mataku. Tujuan aku datang ke tanah Haram adalah selain ingin bertamu di rumah Allah, aku pun ingin mendekat kepada Rasulullah sebagai ungkapan rasa rindu kepadanya. Tetapi kenapa aku tidak menghargai kalimat tauhid yang dikumandangkan oleh Bilal tadi? Kenapa aku terus saja berbincang-bincang?

    Ah, betapa tak tahu dirinya aku ini. Bertambah aku menyesali diri, bertambah pula deras air mata jatuh ke pipi. Dan hal itu terus berlanjut. Bahkan sampai shalat maghrib dimulai pun aku tetap tak kuasa menahan rasa penyesalanku. Ketika imam membaca surat Al-Fatihah (1) : 6-7 dalam raka’at pertama.

    Semakin menjadi-jadi penyesalanku atas kelalaianku tadi. Sebab arti dari ayat tersebut adalah kita mohon jalan yang lurus kepada Allah. Yaitu jalannya orang-orang yang mendapat nikmat, bukan jalan orang-orang yang sesat…

    Sementara saat itu aku sedang berada dalam kelalaian. Begitu sangat terasa kesalahanku saat itu. Sungguh aku terus dibayangi oleh kesalahanku sendiri. Ditambah lagi imam shalat ketika melagukan bacaannya begitu merdu, dan mempesona kalbu. Sehingga derasnya air mata tak kuasa kubendung lagi. Bahkan air mata itu terus mengalir sepanjang shalat maghrib.

    Akh, Begitu cengengkah aku?

    Sampai-sampai suara adzan ‘saja’ menjadikan aku menangis sepanjang shalat maghrib?

    Setelah aku keluar dari suasana itu, lebih-lebih setelah aku berada di tanah air kembali, aku bertambah heran. Mengapa hanya perkara tidak menghiraukan adzan beberapa saat saja aku sudah seperti itu? apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi?

    Sementara ketika kita semua berada di lingkungan kita masing-masing, apakah di rumah, apakah di tempat perkerjaan, apakah di pasar, atau di tempat umum lainnya, hal semacam itu tidak terjadi…

    Betapa seringnya kita mendengar suara adzan dari televisi atau di radio. Atau suara adzan dari musholla di kampung kita. Tetapi sedikit pun kita tidak pernah tersentuh oleh kalimat itu. Padahal ‘ilmu’ yang terkandung di dalam kalimat adzan itu begitu hebatnya. Setiap hari, lima kali! Seolah bilal selalu berkata:

    “…wahai manusia, kalau kamu sekalian menginginkan kemenangan dalam hidupmu, atau kalau kamu menginginkan kebahagiaan dalam perjalanan hidup ini, dirikanlah shalat…Kamu sekalian tidak akan mungkin mencapai kemenangan tanpa melalui shalat…”

    Betapa mesranya panggilan itu, dan betapa hebatnya ilmu yang terkandung di dalamnya. Tetapi tetap saja kita semua tidak pernah menghiraukan panggilan itu. Hati kita tidak tergerak oleh panggilan itu. Padahal kita semua ingin bahagia… ingin menang, dan ingin sukses dalam hidup ini….

    Mungkin Itulah salah satu perbedaan suasana di tanah haram dan di tanah air. Di tanah haram begitu sensitifnya nurani kita, sementara di luar tanah haram begitu tebalnya tabir yang menutupi hati kita.

    QS. Al-Baqarah (2) :

    Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang istikaaf, yang ruku’ dan yang sujud”.

    Sesederhana apa pun yang ada di tanah haram, akan selalu mengingatkan kepada diri kita. Bahwa di dalam perjalanan haji sungguh terkandung banyak sekali pelajaran bagi kita semua. Dengan selalu memohon kepada Allah Swt, kita berdoa dan berharap semoga kita bisa menjalani hidup di tanah air tercinta dengan lebih baik, lebih indah, dan lebih bermakna. insyaAllah…

    ***

    Oleh: Firliana Putri

     
    • praktisprint.com 4:11 pm on 23 Februari 2013 Permalink

      Mau cetak brosur murah dan cepat kami solusinya. Percayakan segala kebutuhan cetak anda kepada kami.

  • erva kurniawan 1:28 am on 18 February 2013 Permalink | Balas  

    Anjuran Wudhu dan Meyempurnakannya 

    Anjuran Wudhu dan Meyempurnakannya

    Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah.” (Q.S. Al-Maidah 6)

    Rosulullah Saw bersabda, “Kuncinya sholat adalah suci.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)

    Rosulullah Saw bersabda, “Siapa saja berwudhu seraya membaguskannya, kemudian sholat dua raka’at, yang dua raka’at itu hatinya tidak terbentik keinginan duniawi, maka ia keluar dari dosanya seperti ketika dilahirkan ibunya.” (HR. Al-Ihyaa’  hal. 116, jilid 1)

    Rosulullah Saw bersabda, “Apabila seorang muslim berwudhu kemudian dia berkumur, maka keluarlah dosa-dosa dari mulutnya. Apabila ia masukkan air ke dalam hidung kemudian dikeluarkan lagi, maka keluarlah dosa-dosa dari hidungnya. Apabila ia basuh mukanya, maka keluarlah dosa-dosa dari mukanya hingga dosa-dosa itu pula keluar dari bawah bibir kedua matanya. Apabila ia basuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosa dari kedua tangannya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya. Apabila ia usap kepalanya, maka keluarlah dosa-dosa dari kepalanya hingga keluar dosa-dosa itu dari bawah kedua telinganya. Apabila ia basuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosa dari kedua kakinya hingga keluar pula dosa-dosa itu dari bawah kuku kedua kakinya Kemudian perjalannya ke masjid dan sholatnya (sholat sunah) merupakan ibadah sunat baginya.” (HR. Al-Ihyaa’  hal. 116, jilid 1).

    Rosulullah Saw bersabda, “Basuhlah cela-cela jari tangan kalian, maka tidak akan dibasuh oleh Allah pada hari kiamat dengan api neraka.” (HR. Duruquthni)

    Keterangan: Sebelum berwudhu disunatkan membasuh tangan. Yaitu antara jari-jari tangan dibasuh dengan air. Membasuh diantara jari-jari tangan termasuk kesempurnaan wudhu.

    Rosulullah Saw bersabda, “Kecelakaan besar dari api neraka bagi tumit-tumit (yang tak terbasuh dalam berwudhu). Maka sempurnakanlah wudhu.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

    Keterangan: Hadis-hadis di atas menerangkan betapa pentingnya menyempunakan wudhu. Untuk menyempurnakan wudhu, sebaiknya hal-hal yang sunat di dalam wudhu dilaksanakan. Yaitu:

    • Membaca basmalah.
    • Membasuh dua telapak tangan sebelum membasuh muka.
    • Berkumur.
    • Memasukkan air ke dalam hidung kemudian dikeluarkan lagi (istinsyaq).
    • Mengusap seluruh kepala dengan air.
    • Mengusap dua telinga dengan air, baik bagian luar atau bagian dalamnya.
    • Membasuh jenggot yang lebat dengan memasukkan jari-jari tangan ke dalam jenggot itu.
    • Membasuh jari-jari kaki / tangan.
    • Mendahulukan yang kanan dari yang kiri dari anggota wudhu.
    • Mengulang sampai tiga kali dalam bersuci.
    • Muwalah, yaitu mengerjakan rukun-rukun wudhu secara beruntun tanpa dipisah oleh waktu yang lama.

    Dan masih banyak lagi hal-hal yang sunat dalam berwudhu seperti melebihkan dalam membasuh tangan dan kaki dari bagian yang wajib dibasuh.

    ***

    Narasumber: Kitab “At-Targhiib Wat-Tarhiib

     
  • erva kurniawan 1:22 am on 17 February 2013 Permalink | Balas  

    Tak Takut Miskin Karena Memberi 

    Tak Takut Miskin Karena Memberi

    “Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu, Bu?” tanya sang anak.

    “Tidak, kita tidak miskin, Aiko,” jawab ibunya.

    “Apakah kemiskinan itu?” Aiko, sang anak, bertanya lagi.

    “Miskin berarti tidak mempunyai sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain.” Aiko agak terkejut.

    “Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita berikan?” katanya menyelidik.

    “Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberinya sebagian dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap di kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya tempat tidur.”

    “Kita menjadi bersempit-sempitan,” jawab Aiko.

    Tapi sang ibu tak kalah sigap. “Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?” katanya.

    “Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa untuk saya berikan kepada orang lain.”

    Sang ibu tersenyum dan memberikan pandangan teduh pada anaknya.”Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan sesuatu.”

    Tak lama setelah itu, sang anak pun mendapatkan jawabannya. “Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di sekolah.”

    “Tentu! Kau pintar bercerita. Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita.”

    “Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!”

    **

    Dialog tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan kisah-kisah inspiratif, Aiko and Her Cousin Kenichi. Dialog antara ibu dan anak itu, telah meneguhkan sebuah kesadaran besar, bahwa setiap kita bisa memberi. Ini lebih dari sekadar sebuah kesadaran sosial. Tapi kesadaran untuk menjadi berarti lantaran membagi kebahagiaan untuk orang lain.

    Akhlak tentang kesadaran terhadap kehidupan orang lain, dimiliki oleh qudwah yang tak ada bandingnya, yakni Rasulullah saw. Utusan Allah itu bahkan disebut sebagai “orang yang tak takut miskin karena memberi”.

    Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Perhatikanlah bagaimana sabdanya, “Allah swt selalu menolong seoarng hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.” Atau, sabdanya yang lain, “Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat.”

    Itu adalah prinsip memberi dan menerima yang ditanamkan Rasulullah saw. Memberi kepada sesama dan hanya terobsesi untuk menerima dari Allah swt. Sehingga pada praktiknya, prinsip itu berubah menjadi memberi dan memberi, give and give. Sebab penerimaan itu tidak datang dari manusia tapi dari Allah swt.

    Mengajak untuk peduli sosial, memberi bantuan kepada orang lain, menolong atau memberikan jasa, mengeluarkan infaq dan sedekah, sering memunculkan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa membantu orang lain? Saya sendiri dalam kondisi kurang dan membutuhkan.” Sementara Rasulullah saw menanamkan nilai bersedekah ini, justru pada saat seseorang sulit mengeluarkannya.

    Suatu hari datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan bertanya, “Ya Rasulullah, sedekah apa yang paling besar pahalanya?” Rasulullah saw mengatakan, “Engkau bersedekah sedangkan engkau sedang dalam kondisi sehat, sangat membutuhkan, takut miskin, dan punya obsesi menjadi kaya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadits ini menjelaskan bahwa dalam situasi sesorang bertanya, “Apa yang bisa saya bantu, karena saya juga dalam kondisi membutuhkan” tadi itulah, bobot pahala sedekah. Semakin seseorang berada pada posisi dilematis antara keinginan dirinya terhadap apa yang akan disedekahkan, semakin tinggi nilai sedekahnya jika benar-benar dilakukan. Tentu saja kesadaran memberi kepada orang lain, tidak selalu berupa benda, materi, uang, atau bantuan yang memiliki nilai nominal. Tapi bisa berupa pikiran, waktu, ide-ide, fisik, atau apapun yang bisa kita beri dan bermanfaat.

    Sekarang, kita layak bertanya pada diri sendiri, apa yang akan kita berikan untuk orang lain? Ingat, setiap kita punya sesuatu yang bisa kita berikan kepada orang lain. Pikirkanlah baik-baik apa sesuatu itu. Niscaya kita akan menemukannya.

    ***

    Sumber: Tarbawi Edisi 146 Th. 8 Dzulhijjah 1427 H / 4 Januari 2007

     
  • erva kurniawan 1:03 am on 16 February 2013 Permalink | Balas  

    Ganjaran Bersedekah 

    Ganjaran Bersedekah

    RasulAllah Shollallahu Alaihi Wa Sallam menganjurkan kepada kita umatnya untuk memperbanyak sedekah, hal itu dimaksudkan agar rezeki yang Allah berikan kepada kita menjadi berkah.

    Allah memberikan jaminan kemudahan bagi orang yang berdekah, ganjaran yang berlipatganda (700 kali) dan ganti, sebagaimana firman-Nya dan sabda RasuluAllah SAW, sbb :

    Allah Ta’ala berfirman, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. {Qs. Al Lail (92) : 5-8}

    Allah Ta’ala berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (kurnia-Nya) lagi maha mengetahui”. {Qs. Al Baqarah (2) : 261}

    RasulAllah SAW bersabda, “Setiap awal pagi, semasa terbit matahari, ada dua malaikat menyeru kepada manusia dibumi. Yang satu menyeru, “Ya Tuhan, karuniakanlah ganti kepada orang yang membelanjakan hartanya kepada Allah”. Yang satu lagi menyeru “musnahkanlah orang yang menahan hartanya”.

    ***

    Oleh sahabat: Ketut Junaedi

     
  • erva kurniawan 1:54 am on 15 February 2013 Permalink | Balas  

    Tolak Bala dengan Sedekah 

    Tolak Bala dengan Sedekah

    Orang-orang yang beriman sangat sadar dengan kekuatan sedekah untuk menolak bala, kesulitan dan berbagai macam penyakit, sebagaimana sabda RasulAllah SAW, sbb :

    “Bersegeralah bersedekah, sebab yang namanya bala tidak pernah mendahului sedekah”.

    “Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah”.

    “Obatilah penyakitmu dengan sedekah”.

    Banyak dari kita yang sudah mengetahui dan memahami perihal anjuran bersedekah ini, namun persoalannya seringkali kita teramat susah untuk melakukannya karena kekhawatiran bahwa kita salah memberi, sebagai contoh kadang kita enggan memberi pengemis/pengamen yang kita temui dipinggir jalan dengan pemikiran bahwa mereka (pengemis/pengamen tsb) menjadikan meminta-minta sebagai profesinya, tidak mendidik, dll. Padahal sesungguhnya prasangka kita yang demikian adalah bisikan-bisikan setan laknatullah yang tidak rela melihat kita berbuat baik (bersedekah), sebaiknya mulai saat ini hendaknya kita hilangkan prasangka-prasangka yang demikian karena seharusnya sedekah itu kita niatkan sebagai bukti keimanan kita atas perintah Allah dan rasul-Nya yang menganjurkan umatnya untuk gemar bersedekah,

    Masalah apabila ternyata kemudian bahwa sedekah yang kita beri kepada pengemis/pengamen tadi tidak tepat sasaran, bukan lagi urusan kita, karena sedekah hakekatnya adalah ladang amal bagi hamba-hamba Allah yang bertakwa. Pengemis/pengamen/fakir miskin lainnya adalah ladang amal bagi orang yang berkecukupan, dapat kita bayangkan andaikata tidak ada lagi orang-orang tersebut, kepada siapa lagi kita dapat beramal (bersedekah)?

    Atau kalo kita termasuk orang yang tidak suka memberi sedekah (kepada pengemis/pengamen/fakir miskin) dengan berbagai alasan dan pertimbangan maka biasakanlah bersedekah dengan menyiapkan sejumlah uang sebelum sholat Jum’at dan memasukkan ke kotak-kotak amal yang tersedia dan biasakan dengan memberi sejumlah minimal setiap Jum’at, misalnya Jum’at ini kita menyumbang Rp. 10 ribu ke kotak amal maka sebaiknya Jum’at berikutnya harus sama, syukur-syukur bisa lebih dan terutama harus diiringi dengan keikhlasan.

    Sedekah anda, walaupun kecil tetapi amat berharga disisi Allah Azza Wa Jalla. Orang yang bakhil dan kikir dengan tidak menyedekahkan sebagian hartanya akan merugi didunia dan akhirat karena tidak mendapat keberkahan. Jadi, sejatinya orang yang bersedekah adalah untuk untuk kepentingan dirinya. Sebab menginfakkan (belanjakan) harta akan memperoleh berkah dan sebaliknya menahannya adalah celaka. Tidak mengherankan jika orang yang bersedekah diibaratkan orang yang berinvestasi dan menabung disisi Allah dengan jalan meminjamkan pemberiannya kepada Allah. Balasan yang akan diperoleh berlipatganda. Mereka tidak akan rugi meskipun pada awalnya mereka kehilangan sesuatu.

    ***

    Oleh sahabat: Ketut Junaedi

     
  • erva kurniawan 1:45 am on 14 February 2013 Permalink | Balas  

    Dzikirnya Alam Semesta 

    Dzikirnya Alam Semesta

    Apakah alam juga berdzikir..?

    Para jama’ah yang berjubel itu, berebut memenuhi shaf-shaf depan. Sehingga aku mendapatkan shaf di belakang. Hampir di shaf yang paling akhir.

    Ketika aku melakukan shalat sunah, tiba-tiba di sebelah kananku datang seorang jama’ah pakai baju gamis putih-putih, berjenggot panjang menjuntai ke bawah sampai ke dada. Matanya bening, mulutnya selalu senyum.

    Begitu aku selesai shalat, ia mengambil minyak wangi dari dalam bajunya, dan minyak itu dioleskan ke tanganku, dan juga ke bajuku. Ia memberi isyarat agar aku mengoleskan dan meratakan minyak darinya itu ke seluruh tubuhku. Dan kemudian ia menyelinap di antara ribuan jamaah lainnya. Lalu pergi entah kemana. Ah, seorang yang aneh! pikirku.

    Harumnya minyak wangi itu begitu aneh bagiku. Bau yang lembut, tetapi terus merasuk ke nafasku yang mengakibatkan rongga dadaku menjadi nyaman dan lapang. Satu hal lagi, bahwa wajah orang itu begitu akrab dalam benakku. Aku tidak merasa asing dengan wajah itu. Tetapi aku lupa di mana aku pernah bertemu dengan wajah itu…

    Shalat dhuhur rupanya masih lama, maka aku pun kembali berdzikir sambil menunggu waktu shalat tiba. Ketika aku tenggelam dalam dzikirku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lamat-lamat dari kejauhan, yang bertambah lama terasa bertambah dekat. Bahkan begitu jelasnya suara itu di telingaku.

    Suara itu ritmenya begitu luar biasa indahnya. Datang bergelombang dengan lembut tetapi jelas. Asal suara itu datang dari atas. Setelah itu datang dari berbagai penjuru. Dari samping kiriku, dari samping kananku, bahkan dari sekelilingku. Aku terbengong sendiri.

    Asalnya aku mengira ada jama’ah khusus di masjid itu yang berdzikir secara serempak bersama-sama. Tetapi anggapanku salah. Karena semua orang, semua jama’ah melakukan aktivitas sendiri-sendiri…

    Suara itu semakin lama semakin menyejukkan hati. Dada menjadi lapang, hati menjadi tentram dan tenang. Bahkan pikiran menjadi jernih.

    Aku berusaha mengikuti irama indah dan agung itu. Tetapi setiap ku ikuti, suara itu tiba-tiba berhenti. Sepertinya ia mengetahui kalau ada orang yang mengikutinya. Ketika aku terdiam. Suara itu kembali muncul dan terdengar di telingaku. Begitu jelasnya dan begitu agungnya. Begitu aku akan mengikutinya ia mendadak berhenti lagi. Dan yang terdengar adalah suara berisiknya para jama’ah yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Dan aku pun semakin heran dibuatnya.

    Tetap ada satu pertanyaan yang mengusik dalam hatiku. Suara siapakah itu? Dari mana datangnya?

    Ketika aku berusaha mencari jawabnya, tiba-tiba terdengar suara iqamah dari bilal sebagai pertanda waktu shalat akan dimulai. Dan aku pun melakukan shalat dhuhur bersama para jama’ah lainnya.

    Sesampai di maktab, aku terus berusaha mencari jawabnya. Suara apakah itu, bergemuruh, datang dari jauh, tambah lama tambah dekat dan membentuk suatu ritme yang mempesona. Indah, agung, mesra, dan membentuk harmoni yang luar biasa…

    Begitu penasarannya aku. Maka pada malam itu juga kutulis kejadian itu di dalam buku harianku. Buku yang selalu kubawa kemana saja aku pergi.

    Hari ke dua, dari terjadinya peristiwa itu, aku kembali ke masjid pada jam yang sama. Dan aku menempati shaf agak depan dibanding shaf di hari sebelumnya. Seperti biasanya, sebelum waktu shalat dhuhur tiba, setelah aku lakukan shalat sunah, aku melakukan aktivitas dzikir untuk lebih menghayati dan lebih mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi.

    Saat-saat aku melakukan dzikir itu, tiba-tiba aku tersentak! Dan bulu kudukku merinding…. Ah, ternyata suara itu terdengar kembali di telingaku. Asalnya lamat-lamat. Tetapi tambah lama bertambah jelas. Dan semakin dekat. Begitu dekatnya suara itu. Sampai aku tidak tahu dari mana datangnya. Telingaku kututup dengan tanganku, suara itu semakin jelas. Telingaku kutempelkan di lantai, di sajadahku, suara itu pun sangat jelas. Aku mendongak ke atas, suara itu pun terdengar begitu jelas bahkan seolah memenuhi atap masjid Nabawi.

    Aku berusaha menenangkan diri. Setelah aku tenang, aku mencoba mengikuti suara itu dengan hatiku. Ah! Ternyata suara itu berhenti dan hilang lagi…. Aku pun meratap…” Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku…?” Suara apakah itu? Siapakah yang bersuara itu…

    Akhirnya aku pun pulang kembali ke hotel, tanpa mendapatkan jawaban yang pasti, tentang suara misterius tadi. Berikutnya, hari itu merupakan hari yang ke tiga, sejak terjadinya peristiwa itu. Aku kembali ke masjid untuk berjama’ah shalat dhuhur. Saat itu aku mendapatkan shaf di bagian tengah. Tempatnya sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya.

    Setelah shalat sunah, seperti biasanya aku melakukan aktivitas dzikir. Dalam hati aku bertanya dan juga berharap, apakah akan muncul lagi suara itu? ternyata lama aku tunggu, suara itu tidak muncul lagi. Maka aku pun melupakan kejadian itu.

    Selanjutnya aku melakukan shalat sunah lagi. Begitu selesai mengucap salam yang ke dua sebagai penutup shalatku, tiba-tiba hatiku berdegup kencang. Bulu kudukku merinding lagi… Akh, suara itu terdengar lagi. Kini bertambah jelas, bertambah dekat, dan semakin indah iramanya… Aku pun terbuai dibuatnya.

    Dengan perasaan agak takut, aku mencoba mengikuti kalimat itu. Hatiku mulai mengikutinya, Setelah itu bibirku mencoba mengikutinya, Ah! sungguh agung, sungguh menyejukkan… dan sungguh mempesona.

    Dan di hari yang ke tiga itu, aku ternyata bisa mengikuti kalimat indah itu…subhaanallaah… Bibirku mulai bergerak mengikuti suara itu. Suara gemuruh dari berjuta-juta suara, yang membentuk harmoni luar biasa.

    Suara itu, kalimat agung itu berbunyi :

    “..laa ilaaha illallaah,… laa ilaaha illallaah,… laa ilaaha illallaah…”

    Aku pun tenggelam dalam alunan dzikir yang luar biasa indahnya itu. Entah sampai berapa puluh kali atau bahkan berapa ratus kali aku mengikuti dzikir indah itu aku tidak tahu…. Sampai akhirnya aku dikejutkan oleh suara iqamah bilal.

    Aku mulai menyusun shaf untuk shalat berjama’ah, bersama-sama para jama’ah lainnya untuk melakukan shalat dhuhur…

    Sesaat sebelum aku shalat dhuhur, tiba-tiba pikiranku melayang kepada kehadiran seorang jama’ah yang pernah shalat di sebelahku yang

    memberi minyak wangi di sekujur tubuhku dua hari sebelumnya itu. Pandangan matanya, senyumnya, masih begitu kuat tertanam dalam hatiku.

    Apakah peristiwa yang barusan aku alami selama tiga hari berturut-turut itu ada hubungannya dengan orang tersebut?

    Atau juga masih berhubungan dengan pengalamanku ketika pergi ke masjid, dimana saat itu setiap langkah kakiku aku gunakan untuk berdzikir? ..wallahu a’lam!

    Sungguh aku masih bingung…

    Aku pun berusaha untuk melupakan peristiwa itu, karena imam shalat sudah terdengar mengucapkan takbiratul ihram… Allaahu akbar! Kami semua mengikutinya untuk melakukan shalat berjama’ah.

    Setelah usai shalat dhuhur, aku baru menyadari bahwa hari itu adalah hari terakhirku di kota Madinah. Dan saat itu merupakan shalat dhuhur terakhir kami di masjid Nabawi, sebelum menuju Mekah Al-Mukaromah.

    Sesampai di maktab, kembali kubuka buku catatanku. Ku tulis ulang lanjutan pengalaman aneh, indah, dan mempesona yang terjadi selama tiga kali di masjid Rasulullah saw itu.

    Aku tetap masih merasa heran, dan merasa aneh! Siapakah yang berdzikir itu? Ribuan malaikat? Jutaan partikel yang ada di udara? Atau milyaran bio-elektron yang ada di seluruh penjuru dunia ini? Ataukah suara dzikirnya orang-orang shalih terdahulu yang terekam oleh alam, kemudian pada saat itu terdengar olehku, sampai sebanyak tiga kali?

    Aku tidak berani mengambil kesimpulan apapun….

    Yang jelas, yang terdengar oleh telinga lahirku dan oleh telinga bathinku saat itu adalah kalimat indah: ” …laa ilaaha illallaah… ” berulang kali. Bergemuruh, tetapi tidak memekakkan telinga. Bergemuruh, tetapi mendatangkan rasa nyaman di dada. Rasanya baru kali itu aku mendengar dan menyaksikan suatu harmonisasi dari jutaan warna suara yang berbeda, yang menyatu membentuk konfigurasi yang luar biasa indahnya…..

    Dan akupun teringat sabda rasulullah saw :

    Seutama-utama dzikir ialah : Laa ilaaha illallaah”

    (HR. Attirmidzi, Annasa’i, Ibn Majah, Ibn Hibban)

    Rupanya inilah puncak dzikir. Pelajaran terindah bagi seluruh makhluk ciptaan Allah. Semua bertasbih! Seluruh alam berdzikir, untuk mentauhidkan Allah saja…

    QS. Al-Hasyr (59) : 24

    Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana…

    QS. Al Israa’ (17) : 44

    Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

    ***

    Oleh: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 1:34 am on 13 February 2013 Permalink | Balas  

    Menyesal Tidak Menangis 

    Menyesal Tidak Menangis

    Mengapa menjadi menyesal, jika seorang tidak bisa menangis…?

    Pak Sumo adalah seorang karyawan dalam sebuah perusahaan yang berusia sekitar 35 tahun. Dia termasuk seorang pekerja yang disiplin. Di samping kedisiplinanannya yang sudah diakui oleh manajernya, ia termasuk orang yang keras hati. Apa yang dikehendakinya, selalu ia usahakan untuk bisa meraihnya.

    Ada satu hal yang menurutnya, merupakan kekuatan dari dirinya. Yaitu bahwa ia tidak pernah menangis. Melihat kejadian apa pun, ia mampu melihat dengan biasa-biasa saja. Tanpa tergoda dalam suasana sedih. Jika ada orang menangis karena terhanyut oleh sebuah cerita dalam sebuah sinetron atau drama, ia hanya ketawa saja. Kekuatan hatinya tersebut menjadi kebanggaannya.

    Hari itu pak Sumo adalah sebagai salah satu jama’ah haji di kloterku. Ia berangkat dari maktab menuju masjid Nabawi kadang bersamaku kadang pula tidak. Hari itu di dalam masjid kebetulan dia bertemu denganku. Maka kami ramai dan asyik bercerita saling tukar informasi selama di kota Madinah.

    Sambil menunggu datangnya waktu shalat ashar, kami berbincang-bincang seputar masalah ibadah. Serta saling bertanya bagaimana suasana hati kami ketika berada di tanah Haram ini. Pak Sumo tiba-tiba bertanya kepadaku, apakah aku pernah meneteskan air mata ketika melakukan shalat di masjid Nabawi ini? Aku menjawab sambil lalu saja:

    “…wah, ya tentu saja pernah. Bahkan saya termasuk orang yang sering kali menangis jika melakukan shalat di sini.” Jawabku.

    Pak Sumo menimpali lagi :

    “Sering kali?… Mengapa bisa begitu ?” tukasnya. “Saya juga tidak tahu pak” jawabku singkat. Begitu aku selesai menjawab petanyaannya itu, tiba-tiba di depan kami agak menyerong sebelah kanan, terlihat ada seorang lelaki setengah baya yang berdoa sambil mengangkat kedua tangannya.

    Begitu sejuknya ekspresi wajahnya. Matanya terpejam. Dagunya terangkat sedikit. Dari sela-sela lembar bulu matanya menetes air matanya. Tetesan itu membasahi pipinya yang agak sedikit cekung. Tangannya merapat di depan dadanya dan menengadah ke atas. Mulutnya nampak bergerak-gerak, tanda ia sedang berbisik pelahan.

    Tanpa terasa aku ikut hanyut menyaksikan ekspresi orang tersebut. Sehingga aku agak lama terdiam. Aku lupa kalau di samping kananku ada pak Sumo yang sedang mengajakku untuk berbincang-bincang…

    Tiba-tiba lenganku dipegang oleh pak Sumo. Seraya ia bertanya kepadaku.

    :”Mengapa anda nampaknya ikut terhanyut melihat orang itu? apa yang istimewa pada diri orang itu?”

    Sebelum aku menjawab, pak Sumo pun melanjutkan pertanyaannya lagi:

    “… mengapa ya, sejak kemarin koq banyak orang menangis di sini? Apa yang menyebabkannya?” Saya sendiri tidak pernah mengalami hal semacam itu. Mengapa itu bisa terjadi.? ” Katanya lagi.

    Aku tidak memberi jawaban apa pun kepada pak Sumo atas pertanyaan-pertanyaan itu. Pembicaraan kami terputus, karena terdengar bilal sudah memberi tanda bahwa shalat akan segera dimulai. Akhirnya kami berpisah mencari shaf masing-masing untuk mengikuti shalat berjama’ah.

    Satu hari, dua hari, kami tidak bertemu dengan pak Sumo. Tetapi pada hari terakhir di Madinah, ketika kami melakukan shalat terakhir di masjid Nabawi, aku bertemu lagi dengan pak Sumo. Seperti biasanya ia mengajak duduk bersama sambil nunggu shalat berjama’ah. Menurut pengakuannya, ternyata selama kami tidak bertemu, pak Sumo bertambah sering melihat orang-orang menangis di masjid itu.

    Bahkan katanya ada orang yang hampir pingsan menangis sesenggukan menyesali dosa-dosanya. :”…tetapi hati saya tetap hambar. Saya tidak menemukan alasan untuk menangis. Meski pun dalam hati kecil saya, saya juga ingin merasakannya. Tetapi setes pun saya tidak bisa mengeluarkannya.” Katanya lagi.

    Ketika batasan waktu untuk di Madinah sudah dinyatakan habis, dan kami semua harus berkemas untuk menuju kota Mekah, aku melihat sesekali waktu pada diri pak Sumo. Ku lihat ia sering berdiam. Tidak seperti biasanya. Biasanya ia selalu nampak ceria, lincah, penuh gaya, dan penuh semangat.

    Saat itu nampak serius sekali. Maka aku pun mendekatinya sebagai teman jama’ah se kioter yang berangkat dan pulang kami sering bersama-sama. “Ada apa gerangan pak Sumo?” tanyaku.

    Setelah sejenak mamandang kepadaku, dan sedikit menatap mataku, pak Sumo bercerita. Ternyata selepas kami beberapa hari tidak bertemu di dalam masjid, pak Sumo bertambah sering melihat orang menangis dalam berdo’a. Bahkan ketika pulang dari masjid, ia masih sempat menyaksikan seorang ibu yang matanya masih basah oleh air mata.

    Dan yang lebih menggugah perasaannya adalah, ketika suatu saat pak Sumo berdekatan dengan beberapa jamaah, yang sedang berdiskusi tentang masalah suasana hati. Dari hasil pendengarannya yang tidak sengaja itu, pak Sumo mengambil sebuah kesimpulan, bahwa seharusnya hati seorang mukmin itu adalah sensitif. Gampang trenyuh, gampang peduli, dan gampang melihat kesalahan diri sendiri… Maka sejak itu pak Sumo sering merenung sendiri. Ia mulai melihat ada beberapa keanehan dalam dirinya. Ia mulai merasa betapa salahnya ia. Betapa keras hatinya, betapa tak tahu dirinya ia…

    Penyesalan demi penyesalan ia renungi sendiri.

    Dan tidak ada yang menyuruhnya, tiba-tiba saja jatuhlah air mata pertama pak Sumo selama dalam hidupnya. Air mata yang sangat mahal harganya. Yang akan mengubah suasana hati pak Sumo dalam kehidupannya.

    Dia bertambah sedih, dan merasa sangat besar dosanya, ketika teringat pernah mengejek temannya yang menangis ketika di Raudhah. Bahkan ketika ia melihat orang-orang melelehkan air mata, saat itu ia pernah mengejeknya di dalam hati. Akh, kepingin sekali rasanya pak Sumo mencari orang-orang itu, dan ia ingin memeluk untuk mohon maaf, atas kedangkalan pikiran dan hatinya.

    Hari itu Pak Sumo terus menerungi kesalahannya. Ku lihat sampai ia naik ke dalam bus, dan duduk di bagian belakang, ia tetap menundukkan kepala. Akh, rupanya pak Sumo telah ‘mampu’ menangis! Pak Sumo yang merasa bangga dengan kekerasan hatinya itu, pak Sumo yang selama hidupnya pantang mengeluarkan air mata itu, sekarang terlihat menangis, justru setelah semua orang telah berhenti dari menangisnya…

    Bus kami pun melaju dengan cepat menuju ke kota Mekah Al-Mukaromah. Di dalam bus yang lain, aku duduk bersama teman serombonganku, dan tanpa terasa aku pun terus merenung dan berfikir tentang peristiwa yang terjadi pada diri pak Sumo. Memang masalah hati adalah masalah hidayah. Yang sangat sulit diterobos oleh kata-kata atau kalimat yang tajam sekali pun.

    Firman Allah Swt, dalam Al-Qur’an menunjukkan betapa manusia mempunyai bermacam hati. Ada hati yang berpenyakit, ada hati yang tertutup. Ada hati yang keras membatu, ada pula hati terkunci mati. Bahkan ada hati yang sesat. Bergantung bagaimana mereka mampu melatih dan memenejnya masing-masing.

    QS. Al-Baqarah (2) : 7

    Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

    QS. Al-Baqarah (2) : 10

    Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

    QS. Ali Imran (3) : 8

    (Mereka berdo’a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”

    QS. Al-Maidah (5) : 13

    (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

    QS. Al-An’am (6) : 25

    Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan) mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu”.

    ***

    Oleh: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 1:08 am on 12 February 2013 Permalink | Balas  

    Dikejar Seorang Pengemis 

    Dikejar Seorang Pengemis

    Ada apa seorang pengemis sampai mengejar seorang jama’ah haji…?

    Seorang kawan ketika melakukan shalat di Masjid Nabawi, suatu saat pernah dikejar oleh seorang pengemis yang terus membuntutinya. Bahkan agar sang ‘target’ mengeluarkan uangnya, si pengemis sampai ‘berganti rupa’…”

    Pak Musa, hari itu bernasib agak sial rupanya. Ketika ia mulai masuk Masjid Nabawi, ada seorang pengemis yang terus mengincarnya. Pak Musa tidak tahu bahwa ia menjadi sasaran ‘tembak’ seorang pengemis muda.

    Ketika pak Musa shalat sunah sambil menunggu waktu shalat dhuhur, selalu saja pengemis tersebut membuntuti dan mendekatinya sambil menengadahkan tangannya sebagai tanda untuk minta uang.

    Pengemis muda itu memberi tanda dengan telunjuknya bahwa ia minta uang satu real saja. Rupanya takut shalatnya tidak khusyu’ pak Musa menghindar dari tempat duduk pengemis berbaju kotor tersebut. Dan pak Musa pun berpindah tempat ke shaf lebih depan sambil melakukan shalat lagi. Harapannya semoga sang pengemis tidak mendekatinya lagi. Rupanya pak Musa tidak membawa uang satu real-an, sehingga permintaan pengemis itu ia abaikan begitu saja. Pikir pak Musa :

    “..ah biarlah, toh nanti ketika pada saatnya saya bawa uang satu real-an, akan saya berikan pada para pengemis yang cukup banyak jumlahnya itu…”

    Tetapi seolah pengemis tersebut mengetahui pikiran pak Musa. Ia terus mengejarnya. Dan terus minta uang satu real. Dan kembali pak Musa menghindar dengan cara ia berpindah ke tempat lain, dan masuk ke shaf yang lebih depan lagi.

    Demi menghindari sang pengemis muda itu, sampai-sampai pak Musa berpindah tempat duduk sebanyak empat kali. Akhirnya ia merasa aman pada suatu shaf yang padat yang tidak mungkin diisi oleh pengemis yang terus mengejarnya itu. Ia lakukan hal itu agar tidak bertemu dengan pengemis yang mengejar terus dan minta uang satu real tersebut… Maka sekarang amanlah pak Musa dari uang satu real yang diinginkan oleh sang pengemis muda itu.

    Pak Musa mendapat tempat duduk di suatu shaf yang betul-betul ‘aman’. Maka berdzikirlah pak Musa dengan khusyu’nya sambil menunggu waktu shalat dhuhur tiba.

    Karena jama’ah di shafnya cukup padat dan rapat, maka ketika shalat dhuhur telah tiba dan semua berdiri untuk melakukan shalat, pada shafnya pak Musa tidak ada perubahan jamaah. Artinya tidak ada orang baru dalam shaf tersebut.

    Maka shalat-lah pak Musa dengan khusyuknya. Tetapi sesekali hatinya masih ada rasa khawatir, akan orangnya pengemis muda yang misterius itu. Yang selalu minta uang satu real.

    Setelah shalat dhuhur selesai, semua mengucap salam sebagai penutup shalat dhuhur. Demikian pula dengan pak Musa. Ia mengucap salam dengan mantapnya. Tanda shalat telah usai.

    Tetapi begitu pak Musa mengucap salam kedua, sambil menoleh ke sebelah kiri, tiba-tiba jama’ah yang ada di sebelah kirinya, berkata kepada pak Musa dengan menggunakan bahasa inggris, yang maksudnya ia minta uang dan sedang membutuhkan uang sebesar sepuluh real

    Ekspresinya menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang membutuhkan uang sebesar sepuluh real untuk suatu keperluan yang tidak bisa ditunda lagi. “…ukh!” tanpa terasa pak Musa mengeluarkan suara tersendat tanda terkejut setengah mati akan kejadian yang sangat tiba-tiba tersebut.

    Tanpa banyak bicara pak Musa pun mengeluarkan uang sepuluh real yang memang ada di sakunya. Ia merasa iba juga menyaksikan ekspresi wajah memelas dari orang tersebut.

    Menghindar satu real, ‘terperangkap’ menjadi sepuluh real! Pak Musa hanya tersenyum memikirkan pengalamannya yang sangat unik tersebut.

    Pulang dari masjid, pak Musa terus berpikir. Sungguh aneh pengalamannya hari itu. Ia menjadi semakin sadar bahwa dalam hidup ini ada suatu wilayah yang sangat misterius, yang manusia tidak sanggup menganalisisnya. Tetapi yang penting kita harus bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpa.

    Sebuah pelajaran yang berharga adalah kadang tanpa sengaja kita telah berpaling dari orang-orang miskin, yang mungkin saat itu mereka sedang membutuhkan uluran tangan kita. Dan hari itu, pak Musa mendapatkan pelajaran baru. Bahwa siapa pun ternyata perlu untuk diperhatikan, walaupun sekedar seorang miskin, orang kecil yang bukan orang penting…

    Al-Qur’an begitu banyak memberikan peringatan kepada kita tentang kelengahan kita terhadap orang-orang miskin.

    QS. Al-Baqarah (2) : 83

    Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.

    Bahkan Allah memperjelas dalam suatu ayat, bahwa tidak menghiraukan anak yatim dan orang miskin, termasuk mendustakan agama.

    QS. Al-Mauun (107) : 1-7

    Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

    Setelah memberi uang kepada orang di sebelahnya itu, pak Musa melanjutkan dzikir dan shalat sunah rawatib. Setelah itu, pak Musa tidak melihat lagi kemana perginya orang sebelah yang minta uang sepuluh real tadi.

    Tetapi yang masih membayang di pikiran pak Musa adalah, betapa proses ia mengeluarkan uang sepuluh real tadi di awali oleh sebuah proses yang cukup unik yaitu munculnya pengemis muda yang minta uang satu real. Dan terus-menerus ia mengejarnya.

    Dengan alasan agar shalat tidak terganggu oleh sang pengemis muda, dihindarinya pengemis itu. Tetapi akhirnya menghindar dari satu real, pak Musa harus mengeluarkan sepuluh real. Dan sang pengemis muda tadi seolah telah berganti wajah untuk ‘memaksa’ pak Musa mengeluarkan uang sepuluh real yang ada di sakunya.

    Yang aneh adalah bahwa pengemis muda itu, sudah ‘menunggu’ di shaf yang akan dimasuki oleh pak Musa. Sungguh aneh, misterius…, tapi nyata. Kalau seseorang sudah ditakdirkan harus mengeluarkan uang, maka pasti akan terjadi juga, meskipun kita lari kemana saja…. pak Musa pun kembali tersenyum mengenang kejadian itu.

    Ketika sampai di maktab berkatalah pak Musa kepada istrinya:

    “…baru saja aku memperoleh sebuah pelajaran baru yang sangat menarik…”

    QS. Ali ‘Imran (3) : 134

    (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

    ***

    Oleh: Firliana Putri

     
    • achmad usman 9:57 am on 1 Maret 2013 Permalink

      “cobaan” yg berhasil dilalui pak musa…………………………

  • erva kurniawan 1:25 am on 11 February 2013 Permalink | Balas  

    Petruk Dadi Ratu 

    Petruk Dadi Ratu

    Oleh : Fauzi Nugroho

    Ketika berusia delapan tahun untuk pertama kali saya diperkenalkan dengan nama-nama tokoh pewayangan oleh orang tua dari ayah-ibu saya. Selama dua tahun saya tinggal bersama mereka di lingkungan pedesaan yang syarat dengan kultur Jawa. Orang tua mengharapkan agar selain mendapat sekolah umum, saya juga bisa memperoleh ilmu agama dari Eyang Kakung yang memang mempunyai santri cukup banyak. Nilai-nilai agama, akhlak dan anggah-ungguh (tata krama) saya dapatkan dari lingkungan tempat saya tinggal. Seperti keharusan shalat berjamaah ketika adzan shalat telah memanggil, menghormati orang yang lebih tua, tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan miliknya, dan sebagainya. Perilaku kesatria keluarga Pandawa, seperti Bima, Yudhistira pun kerap didongengkan oleh Eyang Putri ketika ke tempat peraduan sambil memijat tubuh kecil saya. Nama tokoh lain seperti Arjuna, Kresna, bahkan para punakawan seperti, Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk menjadi akrab dengan telinga saya. Pertunjukkan

    Wayang Kulit sesekali pernah dipertontonkan kepada warga desa, manakala ada keluarga yang mengadakan hajatan pernikahan atau khitanan. Nama tokoh Semar kerap menjadi teladan bagi penonton karena kearifan dan kebijaksanaannya, sedangkan tokoh seperti Petruk selain sering ngebayol juga merupakan merek rokok favorit yang biasa dihisap oleh warga desa disamping merek Sintren. Namun, anak-anak zaman sekarang sangat jarang disuguhi tontonan seperti itu, mereka lebih mengenal Superman, Batman, Spiderman, atau Power Rangers. Pun bagi orang dewasa, nama-nama tokoh pewayangan seperti di atas mungkin terasa asing di telinga. Pada masa lampau, wayang sering dijadikan media syiar Islam mengingat tanah Jawa penduduknya mayoritas memeluk agama Hindu sebelum masuknya Islam melalui Wali Songo. Sehingga tidak heran bila di Jawa Tengah & Timur bisa dijumpai Wayang Orang dan Wayang Kulit, ataupun di Jawa Barat dikenal dengan Wayang Golek.

    Banyak versi tentang kisah rakyat tersebut, Petruk misalnya ada yang menyebutnya seorang pengeran, putra begawan sakti dengan nama asli Bambang Pecrukpanyukilan, yang gemar guyon dan berkelahi. Pada saat menuju ke tempat Pertapaan dirinya bertemu dengan Bambang Sukakadi (Gareng), kemudian keduanya berkelahi menguji kesaktian. Tubuh keduanya menjadi rusak dan perkelahian itu akhirnya dilerai dan dihentikan oleh Semar beserta anaknya Bagong. Kemudian keduanya diangkat menjadi anak Semar, sedangkan Semar konon merupakan orang suci (dewa). Namun cerita itu berkembang dengan berbagai versi, tokoh Petruk, Gareng, dan Bagong dikenal sebagai punakawan, abdi atau pelayan. Versi ini lebih banyak dikenal daripada sebelumnya, sehingga nama tokoh Petruk menjadi identik dengan pelayan, batur atau abdi dalem. Lalu bagaimana jika seorang abdi dalem menjadi petinggi kerajaan?

    Kisah Petruk Jadi Raja merupakan contoh bagaimana seseorang berubah menjadi angkuh dan sombong bahkan cenderung menjadi lupa diri saat berada di pusat kekuasaan. Petruk mendapatkan keberuntungan menjadi seorang raja, gelimang harta benda dan kekuasaan menyebabkan ia lupa daratan dan mabuk kekuasaan sehingga bersikap sewenang-wenang dan merendahkan orang lain. Dia pun mempergunakan aji mumpung untuk kesenangannya. Karena seorang abdi, ia tidak bisa mengelola kekuasaannya dengan bijak dan tepat. Ia terlalu bergairah untuk duduk di singgasana dan semakin haus dengan kekuasaan, ia pun tidak punya gagasan cemerlang untuk mensejahterakan rakyatnya. Pepatah mengatakan Kere Munggah Bale, adalah sikap aji mumpung ketika si miskin tiba-tiba menjadi penguasa.

    Cerita itu menjadi relevan dengan kondisi saat ini, ketika kita menengok kepada lingkungan sekitar. Arus reformasi telah membawa perubahan format politik, budaya, dan sosial-ekonomi. Jabatan Gubernur, Bupati, Walikota yang semula menjadi hak istimewa institusi, kelas dan orang-orang tertentu, kini terbuka bagi setiap orang. Asumsi politik mengatakan jika pemilihan pejabat dilakukan secara langsung seakan menjadi jaminan terciptanya demokrasi, padahal inti demokrasi muaranya antara lain adalah kesejahteraan rakyat. Senyatanya, kondisi yang diharapkan belum terjadi dan memunculkan fenomena memprihatinkan dari oknum anggota legislatif di pusat atau daerah, yaitu menguatnya perilaku aji mumpung – karena masa jabatan hanya sebentar. Sehingga tidak mengherankan bila Transparency International Indonesia (TII) menempatakan lembaga legislatif sebagai institusi terkorup di negeri ini. Pun tidak sedikit para pejabat eksekutif pusat maupun daerah yang juga menggunakan ajian mumpung untuk memenuhi kesenangannya. Padahal jika kita menengok ke belakangan, bahwa orang-orang yang katanya sukses atau bergelimang harta adalah manusia yang pada awalnya tidak memiliki apa-apa, bahkan Oom Lim sekalipun, dahulunya juga orang susah, miskin dan hidup seadanya.

    Keadaan seperti itu tersurat dalam firman-Nya, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS. Adh Dhuhaa, 93:8).

    Nenek moyang kita dahulu hanya hidup dari alam, berangsur-angsur keturunannya bisa memperoleh makanan yang lebih baik, mendirikan rumah yang layak, mengeyam pendidikan, dan pada akhirnya bisa membaca serta berilmu pengetahuan. Sebagian dari mereka menjalani profesi yang berbeda sesuai keahlian/pengetahuan yang dimiliki untuk penghidupannya. Semua itu adalah karena karunia-Nya, Dialah yang mencukupi keperluan kita, “(yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku,” (QS. Asy Syu’araa, 26:78-79). Namun setelahnya, bukan syukur, tetapi malah kufur seperti lupanya seorang Petruk akan asalnya.

    Cukup banyak contoh orang-orang yang berada di posisi puncak, tetapi malah menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Mereka menyadari bahwa kepemimpinannya (kekhalifahannya) akan dimintai pertanggunganjawaban. Misalnya, Umar bin Khatab r.a yang lebih memilih menaiki keledai kecil dan dengan pakaian ala kadarnya. Mahatma Gandhi, inspirator gerakan kemerdekaan di Asia pada era 40-an, menyukai berpakaian hanya selembar kain gandum. Bung Hatta menjadi sangat dikenang selain karena intelektualitas juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Ataupun Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad, anak seorang tukang pangkas rambut. Kantornya hanyalah sebuah bangunan kecil di kawasan padat di tengah Teheran, bahkan lebih kecil dari kantor Gubernur DKI Jakarta. Pakaian kesehariannya produk dalam negeri, dan hanya memakai jas tanpa dasi. Ia menolak tinggal di rumah dinas presiden, dan lebih memilih tinggal di apartemen sederhana di kawasan kelas menengah bawah di Nurmagi,

    Teheran Tenggara. Kesederhanaan sebagai manifestasi dari bentuk empati dan simpati itulah yang membuat mereka menjadi guru (digugu dan ditiru) bagi rakyat yang dipimpinnya daripada mereka memilih gaya borjuis saat menjadi Ratu. Tangan, pemikiran, dan kedudukannya telah memberi manfaat untuk kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Semoga pesan ini dapat menggugah keterlenaaan kita sebagai makhluk Allah bahwa kemanfaatan sebagai khalifah di bumi-Nya adalah segalanya, hal itu jualah yang membedakan mana Petruk dan diri kita, dan kita termasuk orang-orang yang senantiasa mau berbuat bagi kemasalahatan umat dan orang banyak. Mudah-mudahan Allah SWT meringankan langkah kita dan meridhoi setiap upaya kita semua. Amin (fn).

     
  • erva kurniawan 1:16 am on 10 February 2013 Permalink | Balas  

    Keteladanan Nabi Ibrahim 

    Keteladanan Nabi Ibrahim

    Kata uswah atau keteladanan dalam Al-Qur’an hanya ditujukan pada dua tokoh nabi yang sangat mulia, Nabi Ibrahim a.s. (Mumtahanah: 4,6) dan Nabi Muhammad saw. (Al-Ahzab: 21). Demikian juga gelar khalilullah (kekasih Allah) hanya disandang oleh kedua nabi tersebut. Begitu juga shalawat yang diajarkan Rasulullah saw. pada umatnya hanya bagi dua nabi dan keluarganya. Pilihan Allah ini sangat terkait dengan risalah yang telah dilakukan oleh keduanya dengan sangat sempurna.

    Sejarah dan keteladan Nabi Muhammad saw. telah banyak disampaikan. Dan pada kesempatan ini marilah kita sedikit menyingkap sejarah dan keteladanan Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, `Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, `(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, `Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.'” (Al-Baqarah: 124)

    Berkata Ibnu Abbas r.a., “Belum ada para nabi yang mendapatkan ujian dalam agama kemudian menegakkannya dengan sempurna melebihi Ibrahim as.” Ibnu Abbas banyak menyebutkan riwayat tentang ujian yang dilaksanakan Ibrahim a.s, di antaranya manasik atau ibadah haji; kebersihan, lima pada bagian kepala dan lima pada tubuh. Lima di bagian kepala yaitu mencukur rambut, berkumur, membersihkan hidung, siwak, dan membersihkan rambut. Lima pada bagian tubuh yaitu menggunting kuku, mencukur rambut bagian kemaluan, khitan, mencabut rambut ketiak, dan istinja.

    Dalam riwayat lain Ibnu Abbas mengatakan, “Kalimat atau tugas yang dilaksanakan dengan sempurna yaitu meninggalkan kaumnya ketika mereka menyembah berhala, membantah keyakinan raja Namrud, bersabar ketika dilemparkan ke dalam api yang sangat panas, hijrah meninggalkan tanah airnya, menjamu tamunya dengan baik, dan bersabar ketika diperintah menyembelih putranya.

    Firman Allah yang berbunyi `faatammahunna’ mengandung makna bahwa tugas yang diperintahkan kepada Ibrahim dilaksanakan dengan segera, sempurna, dan dilakukan semuanya. Menurut Abu Ja’far Ibnu Jarir, “Yang di maksud `kalimat’ boleh jadi mengandung semua tugas, atau sebagiannya. Tetapi tidak boleh menetapkan sebagian (tugas) tertentu kecuali ada dalil nash atau ijma’ yang membolehkannya.

    Ibrahim dan Kaumnya

    Ibrahim as. bin Nahur  dalam Al-Qur’an bapaknya dinamakan Aazar, tetapi yang lebih kuat bahwa Aazar adalah nama berhala yang dinisbatkan pada bapak Ibrahim, karena pekerjaannya yang senantiasa membuat berhala adalah seorang yang mendapat karunia teramat besar dari Allah. Semenjak kecil beliau terbebas dari kemusyrikan bapak dan kaumnya. Ibrahim menjadi seorang yang hanif dan imam bagi manusia (An-Nahl: 120-121). Dan Ibrahim sangat bersemangat untuk mendakwahi bapaknya dan kaumnya agar hanya menyembah Allah saja. Ini adalah sunnah dakwah bahwa yang pertama kali harus didakwahi adalah orang tua dan keluarga, kemudian kaum dan penguasa.

    Menurut pendapat yang kuat, Ibrahim lahir di kota Babil (Babilonia), Irak. Penduduk kota Babil menyembah berhala. Dan bapaknya termasuk orang yang ahli dalam membuat berhala. Ibrahim membantah penyembahan mereka, bahkan berencana untuk menghancurkan berhala-berhala itu. Peristiwa ini diabadikan dalam beberapa surat, di antaranya di QS. 21: 51-70, 26: 69-82, dan 37: 83-98.

    Penduduk kota Babil memiliki tradisi merayakan Id setiap tahun dengan pergi keluar kota. Ibrahim diajak bapaknya untuk ikut, tetapi Ibrahim menolak dengan halus. Ia berkata, “Sesungguhnya Aku sakit.” (Ash-Shaaffat: 88-89). Dan ketika kaumnya pergi untuk merayakan Id, Ibrahim segera menuju penyembahan mereka dan menghancurkan dengan kampak yang ada di tangannya. Semua dihancurkan dan hanya disisakan satu berhala yang besar, dan kampak itu dikalungkan pada berhala itu. (Al-Anbiya’: 58)

    Demikianlah, Ibrahim menghinakan penyembahan kaumnya. Sebenarnya mereka sadar akan kesalahan itu. Tetapi, yang berjalan pada mereka adalah logika kekuatan melawan kekuatan logika Ibrahim. Akhirnya mereka memutuskan untuk membakar Ibrahim (Ash-Shaaffat : 97; Al-Anbiya’: 68-70).

    Ibrahim dan Raja An-Namrud

    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: `Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: `Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: `Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’ Lalu, terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.”

    Menurut ulama tafsir dan nasab, raja itu adalah Raja An-Namrud bin Kan’an, penguasa Babil. menurut As-Sudy, “Debat ini terjadi antara Ibrahim dan Raja Namrud setelah Ibrahim selamat dari upaya pembunuhan dibakar api.” Zaid bin Aslam berpendapat, “Ibrahim diutus pada raja yang diktator tersebut, memerintahkan agar beriman kepada Allah. Berkali-kali diseru agar beriman, tetapi terus menolak. Kemudian menantang Ibrahim a.s. agar mengumpulkan pengikutnya dan Namrud pun mengumpulkan rakyatnya lantas terjadilah debat yang disebutkan Al-Qur’an tersebut.” Sekali lagi kekuatan logika Ibrahim a.s. mengalahkan logika kekuasaan Namrud.

    Kisah kematian Raja Namrud dan tentaranya disebutkan dalam Kitab al-Bidayah wa an-Nihayah Ibnu Katsir. Namrud mengumpulkan tentara dan pasukannnya saat terbit matahari. Kemudian Allah mengutus nyamuk yang menyebabkan para tentara dan pasukannya tidak dapat lagi melihat matahari. Nyamuk-nyamuk besar itu memakan daging dan darah mereka dan meninggalkan tulangnya. Salah satu nyamuk masuk ke hidung Raja Namrud dan diam di sana selama 400 tahun sebagai bentuk adzab Allah atas raja itu. Selama waktu itu pula Namrud senantiasa memukuli kepalanya hingga ia mati.

    Ibrahim dan Keluarganya Hijrah ke Baitul Maqdis

    Setelah selamat dari upaya pembunuhan kaumnya dan setelah terbebas dari kezhaliman Raja Namrud, Ibrahim a.s. bersama istrinya, Sarah, bapak, dan saudara sepupunya, Luth a.s. hijrah menuju Syam. Tepatnya ke Baitul Maqdis, Palestina (Ash-Shaaffat: 99).

    Di tengah jalan, di daerah Haran, Damasqus, bapaknya meninggal. Ibrahim bersama keluarganya menetap sementara di Haran. Penduduk kota ini menyembah bintang dan berhala. Di kota ini Ibrahim a.s. menyinggung dan menentang penyembahan mereka yang menyembah bintang, bulan, dan benda langit lainnya. Kisah ini diabadikan dalam Alquran surat 6:75-83.

    Ibrahim a.s. dan keluarganya melanjutkan perjalanan ke Baitul Maqdis setelah sebelumnya mampir di Mesir. Dari Mesir Ibrahim a.s. mendapat banyak hadiah harta, binatang ternak, budak, dan pembantu bernama Hajar yang keturunan Qibti, Mesir. Di Baitul Maqdis Ibrahim a.s. mendapat penerimaan yang baik.

    Selama dua puluh tahun tinggal di Baitul Maqdis, Ibrahim a.s. tidak mendapatkan keturunan sehingga istrinya, Sarah, merasa kasihan dan memberikan budaknya pada Ibrahim. Berkata Sarah pada Ibrahim, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan aku untuk mendapatkan anak. Masuklah pada budakku ini, semoga Allah memberi rezki anak pada kita.”

    Setelah itu, lahirlah Ismail a.s. Tetapi Sarah merasa cemburu berat. Akhirnya, Ibrahim a.s. membawa Hajar dan putranya ke suatu tempat yang disebut Gunung Faran (Mekah sekarang), suatu tempat yang sangat tandus, padang pasir yang tidak ada tanda-tanda kehidupan.

    Dan tidak lama setelah kelahiran Ismail a.s., Allah juga memberi kabar gembira bahwa dari perut Sarah akan lahir seorang anak. Lahirlah Ishaq a.s. Ibrahim a.s. sujud, bersyukur atas karunia yang sangat besar ini. Puncak kenikmatan yang diberikan Allah kepada Ibrahim adalah kedua putra itu kelak menjadi nabi dan secara turun-temurun melahirkan nabi. Dari Ishak a.s. lahir Ya’kub dan Yusuf a.s. serta keluarga nabi dari Bani Israil. Sedangkan dari keturunan Ismail a.s. lahirlah Nabi Muhammad saw.

    Pengorbanan Ibrahim Dan Keluarganya Episode berikutnya dilalui Ibrahim a.s. dan keluarganya dengan pengorbanan demi pengorbanan. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar dari seorang kepala rumah tangga melebihi pengorbanan meninggalkan putra dan istri yang paling dicintainya. Tetapi itu semua dilakukan Ibrahim dengan penuh ikhlas menyambut seruan Allah, yaitu seruan dakwah. Peristiwa ini diabadikan Allah dalam Al-Qur’an di surat 14:37-40.

    Disebutkan dalam riwayat, ketika Ibrahim a.s. akan meninggalkan putranya, Ismail, istrinya, Hajar, saat itu dalam kondisi menyusui. Ketika Ibrahim meninggalkan keduanya dan memalingkan wajah, Hajar bangkit dan memegang baju Ibrahim. “Wahai Ibrahim, mau pergi ke mana? Engkau meninggalkan kami di sini dan tidak ada yang mencukupi kebutuhan kami?” Ibrahim tidak menjawab. Hajar terus-menerus memanggil. Ibrahim tidak menjawab. Hajar bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu seperti ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.’ Hajar berkata, “Kalau begitu pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kita.”

    Tapi, itu bukan puncak pengorbanan Ibrahim dan keluarganya. Puncak pengorbanan itu datang dalam bentuk perintah yang lebih tidak masuk akal lagi dari sebelumnya. Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail (Ash-Shaaffat: 102-109).

    Berkah Pengorbanan Kisah dan keteladanan Ibrahim a.s. memberikan pelajaran yang sangat dalam kepada kita bahwa pengorbanan akan melahirkan keberkahan. Ibrahim menjadi orang yang paling dicintai Allah, khalilullah, imam, abul anbiya (bapak para nabi), hanif, sebutan yang baik, kekayaan harta yang melimpah ruah, dan banyak lagi. Hanya dengan pengorbananlah kita meraih keberkahan.

    Dari pengorbanan Ibrahim dan keluarganya, Kota Makkah dan sekitarnya menjadi pusat ibadah umat manusia sedunia. Sumur Zamzam yang penuh berkah mengalir di tengah padang pasir dan tidak pernah kering. Dan puncak keberkahan dari itu semua adalah dari keturunannya lahir seorang manusia pilihan: Muhammad saw., nabi yang menjadi rahmatan lil’alamiin.

    Pengorbanan akan memberikan keberkahan bagi hidup kita, keluarga, dan keturunan kita. Pengorbanan akan melahirkan peradaban besar. Kisah para pahlawan yang berkorban telah membuktikan aksioma ini: Ibrahim dan keluarganya –Ismail, Ishaq, Siti Sarah dan Hajar; Muhammad saw. dan keluarganya –siti Khadijah, `Aisyah, Fatimah, dan lain-lain.

    Begitu juga para sahabat yang mulia: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan lain-lain. Para pemimpin setelah sahabat, tabi’in, dan tabiit tabi’in: Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Mubarak, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Tak ketinggalan para pahlawan dari generasi modern juga telah mencontohkan kepada kita. Mereka di antaranya Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab, dan Hasan Al-Banna. Dan kita yakin akan terus bermunculan pahlawan-pahlawan baru yang siap berkorban demi kemuliaan Islam dan umatnya. Sesungguhnya, bumi yang disirami oleh pengorbanan para nabi, darah syuhada, dan tinta ulama adalah bumi yang berkah.

    ***

    Oleh: Tim dakwatuna.com

     
  • erva kurniawan 1:00 am on 9 February 2013 Permalink | Balas  

    Alif Laam Miim’ 

    Alif Laam Miim’

    Tahukah anda, apa arti dan makna ‘alif laam Miim’…?

    Tiba-tiba saja, aku terhenti membaca lembaran pertama Al-qur’an itu. Dan akupun tak kuasa lagi untuk melanjutkannya… Mataku berkaca-kaca. Kutahan tetesan air mataku, sebisanya. Ah! tidak bisa! Bahkan ada air mata yang menetes jatuh ke bajuku.

    Aku tak sanggup berucap. Tenggorokkanku terasa sakit. Lidahku kelu. Nafasku memburu. Tambah lama, air mataku semakin tak terbendung. Akhirnya berderai juga dan kubiarkan berjatuhan. Mengalir deras, entah membasahi apa saja yang ada di bawahnya.

    Aku tak tahu apa penyebabnya. Mungkin haru, mungkin rindu, mungkin takut, atau bahkan mungkin ada perasaan cemas. Semua bercampur menjadi satu. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaanku saat itu. Semua rasa ada di dalam qalbu.

    Semua itu terjadi ketika pandangan mataku terpaku pada ayat pertama surat Al-Baqarah yang berbunyi “alif laam miim…” Bahkan tanganku yang membawa kitab Al-Qur’an sempat bergetar menahan gejolak hati yang tak karuan rasanya.

    Itulah suasana hatiku ketika untuk pertama kali aku masuk ke masjid Nabawi. Aku bersama-sama dengan banyak orang masuk ke masjid Rasulullah. Saat itu aku tak mengetahui arah. Belok kanan, belok kiri atau lurus, aku tak tahu. Aku terus maju mengikuti saja kemana arah langkah kakiku membawa.

    Akhirnya aku melihat ada tempat kosong dalam sebuah shaf. Aku pun menuju ke tempat itu. Ku lakukan shalat dua rakaat. Setelah selesai aku mengambil kitab Al-qur’an untuk ku baca. Ketika aku menebarkan pandanganku ke kanan dan ke kiri, betapa terkejutnya aku. Karena tanpa kusadari aku sudah berada di dekat makam Rasulullah… Dan ternyata itulah yang disebut sebagai Raudhah. Sebuah taman surga yang selalu ku idamkan sejak aku mengikuti manasik haji dahulu. Ternyata saat itu tanpa kusengaja aku sudah berada di dalamnya.

    Maka, saat aku menyadari bahwa aku berada dekat sekali dengan Rasul tercinta. Aku ingin sekali membaca Al-Qur’an yang agung itu. Dan begitu aku membuka lembaran pertama dan bertemu dengan ayat pertama surat Al Baqarah, saat itulah aku tidak bisa mempertahankan keharuanku.

    Begitu bibirku menyentuh kalimat pendek yang hanya terdiri dari tiga huruf saja, alif, laam, dan ketika aku berusaha mencari arti dan maknanya… Aku merasa tidak bisa dan tidak mampu. Seketika itu juga aku merasa betapa kecilnya diri ini, betapa lemahnya, dan betapa tidak berdayanya…. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah menangis. Tidak jelas kenapa dengan diriku. Tetapi yang kurasakan dan kuharapkan saat itu, aku ingin mohon ampun, atas segala kesalahanku, kesombonganku, keangkuhanku… Yang pernah, bahkan mungkin sering singgah dalam hatiku.

    Sebenarnya aku tidak tahu dan juga tidak mengerti apa makna huruf-huruf itu. Yang merupakan gabungan tiga huruf: alif, laam dan miim. Tetapi begitu aku membuka lembaran pertama Alqur’an dan bertemu dengan tiga huruf pertama dari surat Al-Baqarah itu, tiba-tiba hati bergetar, jantung berdegub lebih kencang, air mata tak tertahankan lagi…entah apa yang menyebabkannya.

    QS.Al-Baqarah (2) : 1-2

    “Alif Laam Miim.” (hanya Allah yang mengetahui maksudnya). Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

    Kalau mengartikan 3 huruf saja aku tak mampu, bagaimana dengan ratusan ribu huruf yang berada di Al-Qur’an. Huruf-huruf itu tertata sedemikian indah. Membentuk kalimat dan ayat-ayat yang luar biasa. Penuh makna dan keseimbangan fantastis.

    Berfikir tentang hal itu, semakin bertambahlah rasa ketidak-mampuanku sebagai seorang hamba. Berkat alif laam miim, aku semakin merasa, dan semakin mengetahui betapa kecilnya manusia. Betapa rendahnya ilmu yang dimilikinya…

    Maka bertambah deraslah air mataku..

    Itulah sebuah suasana hati di Raudhah. Sang taman surga..! Betapa indahnya jika hati manusia di dalam kesehariannya diwarnai oleh suasana Raudhah. Tentu hidup ini akan damai sejahtera. Semua orang akan peka dan peduli pada orang lain. Semua orang akan mengakui ketidak berdayaannya sebagai orang yang kecil, yang lemah, yang tak tahu apa-apa.

    Semua merasa dalam aktivitas hidupnya selalu dekat Rasulullah. Dekat dengan ajarannya, dekat sunahnya. Dekat dengan sifat-sifatnya yang jujur, yang amanah, yang selalu menyampaikan kebenaran, yang selalu menggunakan logika imannya.

    Rupanya hanya di Raudhah itulah, aku bisa bertemu dengan suasana hati yang seperti itu. Betapa seringnya aku membaca huruf-huruf alif, laam dan miim. Tetapi tidak pernah menemukan suasana hati semacam itu. Kecuali di Raudhah ini..

    Rasulullah saw, bersabda

    ” Tempat yang terletak diantara rumahku dan mimbarku, merupakan suatu taman di antara taman-taman surga..”

    (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah)

    ***

    Oleh Sahabat: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 1:28 am on 8 February 2013 Permalink | Balas  

    Do’a Sehari-Hari 

    Berikut do’a sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW dengan sumber yang jelas. Wassalam

    Do’a Sehari-Hari

    1. Do’a Sebelum Makan

    Allahumma baarik lanaa fiimaa razaqtana wa qinaa ‘adzaa-bannaari Bismillahirrahmaaniraahiimi.

    Artinya : Ya Allah berkahilah kami dalam rezki yang telah Engkau limpahkan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (HR. Ibnu as-Sani)

    2. Do’a Sesudah Makan

    Alhamdulillahilladzii ath’amanaa wa saqaanaa wa ja’alanaa muslimiina

    Artinya : Segala puji bagi Allah Yang telah memberi kami makan dan minum, serta menjadikan kami muslim. (HR. Abu Daud)

    Alhamdulilaahilladzi ath’amanii hadzaa wa razaqaniihi min ghayri hawlin minnii wa laa quwwatin.

    Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini dan melipahkannya kepadaku tanpa daya dan kekuatanku. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    3. Do’a Sebelum Tidur

    Bismikallahhumma ahyaa wa bismika amuutu.

    Artinya : Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati. (HR. Bukhari dan Muslim)

    4. Do’a Sesudah Bangun Tidur

    Alhamdulillaahil ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa ilayhin nusyuuru

    Artinya : Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami. Kepada-Nya-lah kami akan kembali (HR. Bukhari)

    5.Do’a Terkejut Bangun Dari Tidur

    A’uudzu bikalimaatillahit tammaati min ghadhabihi wa min syarri ‘ibaadihi wa min hamazaatisy syayaathiini wa an yahdhuruuni

    Artinya : Aku berlindung dengan kalimah Allah yang sempurna dari kemarahan Allah dari kejahatan hamba-hamba-Nya dan dari gangguan setan dan dari kehadiran mereka (HR. Abu Daud dan Tir-middzi)

    6.Do’a Mimpi Baik

    Alhamudlillaahirrabbil ‘alamiina

    Artinya : Segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam (HR. Bukhari)

    7.Do’a Mimpi Tidak Baik

    Allaahumma innii a;uudzu bika min ‘amalisy syaythaani, wa sayyi’aatil ahlaami

    Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan setan dan dari mimpi-mimpi yang buruk (HR. Ibn as-Sani)

    8.Do’a Sesudah Duduk Bangun Tidur

    Laa ilaaha illaa anta subhaanaka allahuma zidnii ‘ilman wa laa tuzigh qalbii ba’da idz hadaitanii wa hablii min ladunka rahmatan innaka antal wahhaabu.

    Artinya : Tidak ada Tuhan melainkan Engkau, maha suci Engkau ya Allah, aku minta ampun kepada-Mu tentang dosa-dosaku, dan aku mohon rahmat-Mu tentang dosa-dosaku, dan aku mohon rahmat-Mu. Ya Allah, tambahlah ilmuku dan janganlah Engkau gelincirkan hatiku setelah Engkau memberi petunjuk kepadaku, dan karuniakanlah rahmat untuk-ku daripada-Mu, sesungguhnya Engkaulah yang maha Memberi. (HR. Abu Daud)

    9.Do’a Menjelang Shubuh

    Allaahumma innii a’uuzdu bika min dhiiqid dun-yaa wa dhiiqi yaumil qiyaamati.

    Artinya : Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan dunia dan kesempitan hari kiamat. (HR. Abu Daud)

    10. Do’a Menyambut Datangnya Pagi

    Ashbagnaa wa ashbahal mulku lillaahi ‘Azza wa jalla, wal hamdu lillaahi, wal kibriyaa’u wal ‘azhamatu lillaahi, wal khalqu wal amru wallailu wannahaaru wa maa sakana fiihimaa lillaahi Ta’aalaa. Allahummaj’al awwala haadzan nahaari shalaahan wa ausathahu najaahan, wa aakhirahu falaahan, yaa arhamar raahimiina.

    Artinya : Kami telah mendapatkan Shubuh dan jadilah segala kekuasaan kepunyaan Allah, demikian juga kebesaran dan keagungan, penciptaan makhluk, segala urusan, malam dan siang dan segala yang terjadi pada keduanya, semuanya kepunyaan Allah Ta’ala. Ya Allah, jadikanlah permulaan hari ini suatu kebaikan dan pertengahannya suatu kemenangan dan penghabisannya suatu kejayaan, wahai Tuhan yang paling Penyayang dari segala penyayang.

    Allahumma innii as’aluka ‘ilman naafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan

    Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang berguna, rezki yang baik dan amal yang baik Diterima. (h.r. Ibnu Majah)

    11. Do’a Menyambut Petang Hari

    Amsainaa wa amsal mulku lillaahi walhamdulillahi, laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu. Allahumma innii as’aluka min khairi haadzihil lailati wa khhaiiri maa fiihaa, wa a’uudzu bika min syarrihaa wa syarrimaa fiihaa. Allaahumma innii a’udzuu bika minal kasali walharami wa suu’il kibari wa fitnatid dun-yaa wa ‘adzaabil qabri.

    Artinya : Kami telah mendapatkan petang, dan jadilah kekuasaan dan segala puji kepunyaan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan malam ini dan kebaikan yang terdapat padanya dan aku berlindung dengan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan yang terdapat padanya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari malas, tua bangka, dan dari keburukan lanjut umur dan gangguan dunia dan azab kubur. (HR. Muslim)

    Allaahumma anta rabbii, laa ilaaha illaa anta, ‘alaika tawakakaltu wa anta rabbul ‘arsyil ‘azhiimi, maa syaa’allahu kaana, wa maa lam yasya’ lam yakun. Laa haula wa laa quwwata illaa billahil ‘alliyyil ‘azhiimi. A’lamu annallaaha ‘alaa kuli syai’in qadiirun, wa annallahu qad ahaatha bukillin syai’in ‘ilman. Allahumma innii a’uudzu bika min syarri nafsii, wa min syarri kuli daabbatin anta aakhidzun bi naashiyatihaa. Inaa rabbii’alaa shiraathin mustaqiimin.

    Artinya : Ya allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang lain kecuali Engkau, kepada-Mu aku bertawakkal, dan engkau adalah penguasa ‘Arasy Yang Maha Agung, apa yang dekehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, tidak akan terjadi, tidak ada daya dan uapaya melainkan dengan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Aku mengetahui bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan bahwa pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu. Ya Allah, aku berlindung dengan-Mu dari kejahatan dariku, dan kejahatan setiap binatang yang melata yang Engkau dapat bertindak terhadapnya, sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.

    12. Do’a Masuk Rumah

    Assalaamu ‘alaynaa wa ‘ alaa ‘ibaadillahish shaalihiina. Allaahumma innii as-aluka khayral mawliji wa khayral makhraji. Bismillahi walajnaa wa bismillaahi kharahnaa wa ‘alallahi tawakkalnaa, alhamdulilaahil ladzii awaanii.

    Artinya : Semoga Allah mencurahkan keselamatan atas kami dan atas hamba-hamba-Nya yang shalih. Ya Allah, bahwasanya aku memohon pada-Mu kebaikan tempat masuk dan tempat keluarku. Dengan menyebut nama-Mu aku masuk, dan dengan mneyebut nama Allah aku keluar. Dan kepada Allah Tuhan kami, kami berserah diri. Segala puji bagi Allah yang telah melindungi kami. (HR. Abu Daud)

    13. Do’a Keluar Rumah

    Bismilaahi tawakkaltu ‘alallahi wa laa hawla wa laa quwwata illaa billaahi.

    Artinya : Dengan menyebut nama Allah, aku menyerahkan diriku pada Allah dan tidak ada daya dan kekuatan selain dengan Allah saja. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

    14. Do’a Menuju Masjid

    Allaahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii lisaanii nuuran waj’al fii sam’ii nuuran waj’al fii basharii nuuran waj’al min khalfii wa min amaamii nuuran waj’al min fawqii nuuran wa min tahtii nuuran. Allahumma a’thinii nuuran.

    Artinya : Ya Allah, jadikanlah dalam qalbuku nur, dalam lisanku nur, jadikanlah dalam pendengaranku nur dan dalam penglihatanku nur. Jadikanlah dari belakang-ku nur dan dari depanku nur. Jadikanlah dari atasku nur dan dari bawahku nur. Ya Allah, berilah aku nur tersebut. (HR.Muslim)

    15. Do’a Masuk Masjid

    A’uudzu billahil ‘aliyyil ‘azhiimi. Wa biwajhihil kariimi, wa bisulthaanihil qadiimi minasy syaythaanir rajiimi alhamdu lillahi rabbil ‘aalamiina. Allaahumma shalli wa sallim ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali muhammadin. Allaahumaghfirlii dzunuubii waftah lii abwaaba rahmatika.

    Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Dan demi wajah-Nya Yang Maha Mulia dan dengan kekuasaan-Nya Yang tak berpermulaan (berlindung aku) dari kejahatan syaitan yang terkutuk. Segala puji kepunyaan Allah Tuhan semesta alam. Ya Allah, sanjung dan selamatkanlah Nabi Muhammad saw. Dan keluarganya. Ya Allah, ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmat-Mu. (h.r. Abu Daud)

    Allaahummaftah lii abwaaba rahmatika.

    Artinya : Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu. (h.r. Muslim)

    16. Do’a Keluar Masjid

    Allaahumma innii as’aluka min fadhlika

    Artinya : Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karunia-Mu. (HR. Muslim, Abu Daud, an-Nasa’I dan Ibnu Majah)

    17. Do’a Masuk WC

    Allaahumma innii a’uudzubika minal khubutsi wal khabaa’itsi.

    Artinya : Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari syaitan besar laki-laki dan betina. (HR. Bukhari dan Muslim)

    18. Do’a Keluar WC

    Ghufraanaka. Alhamdulillaahil ladzii adzhaba ‘annjil adzaa wa’aafaanii.

    Artinya : Ku memohon ampunan-Mu. Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan penyakitku dan telah menyembuhkan/menyelamatkanku. (HR. Abu Daud)

    19. Sewaktu Bepergian

    Allahumma bika asra’iinu wa ‘alayka atawakkalu. Allaahumma dzallil lii shu’uubata amrii wa sahhil ‘alayya masyaqqata safarii warzuqnii minal khayri aktsara mim maa athlubu washrif ‘ annii kulla syarrin. Rabbisyarahlii shadrii wa yassirlii amrii. Allaahumma innii astahfizhuka wa astawdi’uka nafsii wa diinii wa ahlii wa aqaaribii wa kulla maa an’amta ‘alayya wa ‘alayhim bihi min aakhiratin wa dun-yaa, fahfazhnaa ajma’iina min kulli suu’in yaa kariimu, da’waahum fiihaasubhaanakallahumma wa tahiyyatuhum fitha salaamun, wa aakhiru da’waahum ‘anil hamdu lilaahi rabbil ‘ aalamiiina, wa shallallahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa’alaa aalihii wa shahbihii wa sallama.

    Artinya : Ya Allah, aku memohon pertolongann-Mu dan kepada-Mu aku menyerahkan diri. Ya Allah, mudahkanlah kesulitan urusanku dan gampangkanlah kesukaran perjalananku, berilah padaku rezeki yang baik dan lebih banyak dari apa yang kuminta. Hindarkanlah dariku segala keburukan. Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah segala urusanku.

    Ya Allah, kumohon pemeliharaan-Mu dan kutitipkan diriku kepada-Mu, agamaku, keluargaku, kerabatku dan semua yang Engkau ni’matkan padaku dan kepada mereka, semenjak dari akhirat dan dunia. Peliharalah kami semua dari keburukan, Ya Allah Yang Maha Mulia. Do’a mereka (dalam surga) ialah : “Subhaanakallahumma” (artinya : Maha Suci Engkau ya Allah). Ucapan sanjungan mereka di dalamnya ialah : “Salaam” (artinya : keselamatan).

    Dan akhir do’a mereka padanya ialah ” “Alhamdulillahi rabbil aalamiin”, (artinya : Segala puji bagi Allah Tuhan seantero alam). Dan semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan kepada Nabi Muhammad saw. Dan kepada keluarganya dan kepada sahabatnya, semoga Allah memberinya keselamatan. (Disebutkan oleh an-Nawawi)

    20. Do’a Tiba di Tujuan

    Alhamdulillaahil ladzi sallamanii wal ladzii aawaanii wal ladzii jama’asy syamla bii.

    Artinya : Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkan aku dan yang telah melindungiku dan yang mengumpulkanku dengan keluargaku.

    21. Do’a Ketika Bercermin

    Alhamdulillaahil ladzii sawwaa khalqii fa’addalahu wa karrama shuurata wajhii fahassanahaa waja’alanii minal muslimiina.

    Artinya : Segala puji bagi Allah yang menyempurnakan kejadianku dan memperindah dan memuliakan rupaku lalu, membaguskannya dan menjadikan aku orang Islam. (HR. Ibnu as-Sani)

    Allaahumma kamaa hassanta khalqii fahassin khuluqii

    Artinya : Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperindah kejadianku, maka perindah pulalah akhlakku. (HR. Ahmad)

    22. Do’a Ketika Hendak Berpakaian

    Biismilaahirrahmaanirrahiimi. Allaahumma innii as-aluka min khayrihi wa khayri maa huwa lahu wa a’uudzubika min syarrihi wa khayri maa huwa lahu.

    Artinya : Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dari kebaikan pakaian ini dan dari kebaikan sesuatu yang ada di pakaian ini. Dan aku berlindung pada-Mu dari kejahatan pakaian ini dan kejahatan sesuatu yang ada di pakaian ini.

    Alhamdulillahilladzii kasaanii hadzaa wa razaqaniihi min ghayri hawlin minnii wa laa quwatin.

    Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan pakaian ini kepadaku dan mengkaruniakannya kepadaku tanpa daya dan kekuatan dariku. (HR. Ibnu as-Sani)

    23. Do’a Ketika Hendak Bersetubuh

    Bismillaahi, allahumma jannibnasy syaythaana wa jannibisy syaythaana maa razaqtanaa.

    Artinya : Dengan nama Allah, ya Allah; jauhkanlah kami dari gangguan syaitan dan jauhkanlah syaitan dari rezki (bayi) yang akan Engkau anugerahkan pada kami. (HR. Bukhari)

    24. Do’a Masuk Pasar

    Bismillahi, allahumma innii as-aluka khayra haadzihiz suuqi wa khayra maa fiihaa, wa a’uudzu bika min syarri haadzihis suuqi wa min syarri maa fiithaa. Allahumma innii a’uudzu bika an ushiiba fiihaa yamiinaam faajiratan aw shafagatan khaasiratan.

    Artinya : Dengan nama Allah ya Allah aku memohon pada-Mu kebaikan pasar ini dan kebaikan yang ada di dalamnya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pasar ini dan dari keburukan yang ada didalamnya. Dan aku berlindung pada-Mu dari sumpah palsu dan dari suatu pembelian atau penjualan yang merugikan. (HR. Hakim)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:20 am on 7 February 2013 Permalink | Balas  

    Fadha’il Al-Quran 

    Fadha’il Al-Quran

    Fadha’il artinya kelebihan atau keutamaan. Ketertarikan kita terhadap sesuatu (atau tidak) bergantung pada ilmu kita tentang kelebihan atau kegunaan sesuatu itu. Agar manusia tertarik kepada Alquran, Rasulullah Saw pun memberi banyak fadha’il al Qur’an. Meski demikian, ketertarikan manusia kepada Alquran pun sangat bergantung pada iman dan keyakinannya kepada janji Allah Swt dan Rasul-Nya. Misalnya, Umar bin Khatthab Ra sangat tertarik kepada Alquran setelah membaca firman Allah Swt

    Artinya : “Thaha, Tidaklah Kami turunkan Alquran ini agar kamu sengsara.” (QS Thaha: 1-2)

    Sebaliknya, Walid bin Mughirah – walaupun sangat tertarik kepada Alquran dengan memuji setinggi-tingginya pada akhirnya ia tidak beriman kepada Alquran dan berusaha mencari alasan untuk menjauhkan diri dengan mengatakan “Itu adalah sihir yang diajarkan kepada Muhammad “. Oleh karena itu, keimanan yang telah Allah Swt karuniakan kepada kita hendaknya kita tingkatkan sehingga menumbuhkan ketertarikannya kepada Alquran melalui penjelasan Rasul-Nya. Fadha’il al-Qur’an yang diberikan kepada manusia dibagi menjadi dua, fadha’il di dunia dan fadha’il di akhirat.

    Fadha’il Al Qur’an di Dunia

    1. Allah Swt mengangkat derajat Ahl al Qur’an (manusia yang senantiasa berinteraksi dengan Alquran) menjadi keluarga Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda,

    “Sesungguhnya di antara manusia terdapat keluarga Allah Swt.” Ditanyakan, ” Siapakah mereka, ya Rasulullah ? ” Rasul Saw menjawab, ” Mereka adalah ahl al-Qur’an. Mereka keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya.” (HR Imam Ahmad)

    Kata ahlu (keluarga) menunjukkan hubungan yang dekat antara Allah Swt dan hamba-Nya. Kedekatan itu melambangkan kecintaan dan cinta akan dapat meringankan manusia dalam melaksanakan seluruh perintah Allah Swt. Sekalipun berat, perintah yang susah pun akan menjadi mudah.

    2. Alquran adalah kenikmatan yang harus didamba-dambakan.

    ” Tidak boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan : Seseorang yang diberi Allah Alquran, lalu ia membacanya sepanjang malam dan siang. Seseorang yang diberi Allah harta, lalu ia belanjakan di jalan Allah sepanjang malam dan siang.”

    Penetapan Alquran sebagai nikmat yang harus didamba-dambakan adalah suatu isyarat agar orang beriman dapat membedakan nikmat yang hakiki dan semu. Kemampuan merasakan Alquran sebagai nikmat yang hakiki merupakan indikasi iman yang sehat dan keyakinan terhadap hari akhirat serta janji Allah Swt yang ada di dalamnya. Sebaliknya, ketidakmampuan manusia merasakan nikmat Alquran merupakan indikasi penyakit hubbud dun-ya (cinta dunia yang berlebihan), lemahnya iman kepada hari akhir, dan tidak yakin terhadap janji Allah Swt yang ada di dalamnya.

    3. Allah Swt menyandingkan derajat Ahlul Qur’an dengan para malaikat atau nabi yang telah diberi wahyu. Adapun yang kemampuan membaca Al-qurannya masih terbata-bata, Allah Swt memberinya dua pahala. Rasulullah Saw bersabda,

    ” Orang yang mahir berinteraksi dengan Alquran akan bersama para malaikat yang mulia dan taat, sedangkan yang membaca Alquran dengan terbata-bata dan ia merasa sulit, ia mendapatkan dua pahala.” (HR Imam Muslim)

    Imam Nawawi dalam kitab Syarh Muslim menjelaskan bahwa kata mahir berarti mampu membaca, menghafal, memahami, tadabbur, dan mengamalkan Alquran. Pribadi yang seperti itu sangat diperlukan masyarakat karena akan berfungsi sebagai cahaya pencerah hidup Islami di tengah masyarakatnya. Adapun dua pahala bagi muslim yang bacaannya terbata-bata merupakan himbauan agar ia terus rajin membaca walaupun masih terbata-bata karena Allah Swt tidak akan menyia-nyiakan kesulitan upayanya dalam membaca. Dua pahala baginya bukan berarti legitimasi bagi yang tidak mampu membaca Alquran untuk tidak mengembangkan kemampuannya. Janji itu harus menjadi motivasi yang kuat untuk terus berinteraksi dengan Alquran. Interaksi yang teratur menjamin bacaan seorang muslim yang terbata-bata menjadi lancar. Ingat ungkapan, “alah bisa oleh biasa.” Adapun yang sudah mahir, ia harus berusaha istiqamah bersama Alquran.

    4. Ahl al Qur’an adalah orang yang paling berhak menjadi imam dalam solat. Rasulullah Saw bersabda,

    ” Orang yang berhak menjadi imam adalah orang yang paling banyak interaksinya dengan Alquran. ”

    Rekomendasi Rasulullah Saw itu bukan semata-mata penghargaan terhadap Ahlul Qur’an, melainkan menunjukkan peran yang harus diutamakan di tengah masyarakat, yaitu peran tarbiyah (pembinaan keimanan) dalam kehidupan masyarakat. Pelaksanaan solat setiap hari di masjid sesungguhnya merupakan kegiatan tarbiyah yang sangat efektif bagi setiap mukmin jika didukung, misalnya, dengan imam yang berkualitas sesuai rekomendasi Rasulullah Saw. Namun, kondisi masyarakat kita saat ini masih jauh dari interaksi Alquran yang tinggi sehingga pelaksanaan solat berjamaah di masjid kehilangan ruh dan atsarnya (dampak). Dengan kondisi seperti itu, ada beberapa kerugian yang dialami umat Islam.

    Pertama, umat menjadi tidak terbiasa dengan ayat-ayat Alquran karena selama bertahun-tahun mereka hanya mendengar ayat atau surat yang sama. Hal itu berdampak pada kesulitan mereka membaca atau menghafal Alquran karena jarangnya mereka mendengar ayat-ayat Allah Swt di sekitar mereka.

    Kedua, umat kurang merasakan ruh ayat – ayat Alquran sehingga kandungan Alquran tidak sampai dengan baik. Kandungan itu berupa ancaman, himbauan, perintah, atau larangan.

    Terakhir, peran Alquran sebagai pedoman hidup kurang tersosialisasi secara intensif. Hal itu berdampak pada banyaknya mutiara Alquran (seperti ayat-ayat tentang mengatur rumah tangga, ekonomi, dan bernegara) yang tidak tersampaikan secara rutin.

    5. Ahl alQur’an adalah orang yang selalu mendapat ketenangan, rahmat, naungan malaikat, dan namanya disebut-sebut Allah Swt,

    ” Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah lalu di antara mereka membaca kitab Allah dan mempelajarinya kecuali turun kepada mereka ketenangan yang diliputi rahmat, dikelilingi malaikat, dan Allah Swt menyebut nama-nama mereka di sisi makhluk yang ada di dekat-Nya,” (HR Imam Muslim)

    Mungkin kita bertanya, mengapa sedemikian tinggi penghargaan Allah Swt kepada orang-orang yang mempelajari Alquran, apalagi kepada orang yang mengamalkannya ?

    Sesungguhnya penghargaan Allah Swt itu merupakan rangsangan Rabbani agar manusia mau mengamalkan Alquran tanpa merasa berat, Ketika manusia mau mempelajari wahyu-Nya, itu merupakan indikasi keimanannya kepada kebenaran Allah Swt yang mutlak melalui firman-Nya. Sebaliknya, jika keimanannya kepada Allah Swt tipis dan lemah, manusia tidak akan siap melakukan amal apapun yang terkait dengan Alquran. Jangankan disuruh mengamalkan Alquran, sekadar membuka mushaf pun ia enggan melakukannya! Oleh karena itu, pantaslah jika penghargaan tadi diberikan Allah Swt hanya kepada Ahl al-Qur’an. Selanjutnya, kegiatan membaca dan mempelajari Alquran akan menguatkan keimanan sehingga Allah Swt menjadi Zat yang paling dicintai dalam hidupnya. Alquran pun akan menyirami hatinya yang gersang dan menjadikan hati itu lembut serta peka terhadap teguran Allah Swt. Keadaan itulah yang akan mengantarkan manusia kepada kesiapan mengamalkan Alquran di dalam hidupnya.

    6. Ahl alQur’an adalah orang yang mendapatkan kebaikan dari Allah Swt

    ” Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkan.” (HR Imam Bukhari)

    Kebaikan berarti keberkahan. Dan hidup yang penuh berkah menurut hadis tadi berarti hidup yang aktif bersama Alquran, bahkan dituntut untuk aktif belajar dan mengajarkannya karena diungkapkan dengan huruf waw dan bukan dengan fa’ atau tsumma yang artinya kemudian. ( Menunjukkan belajar dan mengajarkan Alquran sekaligus, bukan belajar dulu hingga menguasai baru mengajarkannya, peny.)

    Bagaimana jika kemampuan kita masih terbatas? Ada dua hal yang harus kita perhatikan tentang mengajarkan Alquran.

    Pertama, mengajar berarti menyampaikan sehingga secara teknis tidak harus dalam bentuk formal dengan jumlah murid yang banyak. Kepada satu orang saja-anak atau istri-sudah dianggap mengajar Alquran. Untuk itu, jangan pernah berpikir bahwa mengajar berarti harus formal dengan jumlah murid yang banyak sehingga hal itu akan menghambat percepatan pengajaran Alquran di tubuh umat ini.

    Semangat mengajar seperti itulah yang dapat mengem ban misi dakwah ke dalam masyarakat. Ingat, sasaran pertama dakwah adalah dimulai dari satu orang. Sabda Rasulullah Saw,

    ” Sesungguhnya,hidayah Allah yang berikan kepa- da seseorang karena usahamu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (**) “

    ** Unta merah di zaman Rasulullah Saw adalah kendaraan termahal yang harganya ratusan dinar (mata uang dari emas) dan jauh lebih mahal dibandingkan mobil mewah yang ada di masa sekarang.

    Kedua, mengajar Alquran memang harus dengan kemampuan yang optimal. Namun, bagaimana jika di lingkungan kita tidak ada orang yang siap mengajarkan Alquran kecuali kita? Dalam hal itu, kita wajib segera menghapus buta huruf Alquran di lingkungan kita. Ibaratnya, jika tetangga kita kelaparan dan kita tidak memiliki apa-apa kecuali nasi, kita pasti akan memberikan nasi itu dan tidak akan menunggu sampai kita memiliki nasi dengan lauk empat sehat lima sempurna. Begitulah ketentuan bagi orang yang terbatas kemampuannya dalam mengajarkan Alquran kepada umat yang sedang lapar akan hidayah Allah Swt. jadi, kita harus segera turun tangan mengajarkan Alquran. Insya Allah, selama proses belajar dan mengajar itu, setiap kekurangan akan tertutupi dengan sendirinya. Kemampuan tidak akan berhenti, bahkan akan terus meningkat.

    Fadha’il Al Qur’an di Akhirat

    Berikut ini beberapa fadha’il alQur’an di akhirat bagi manusia :

    1. Alquran Menjadi Syafaat bagi Manusia yang menjadi Sahabatnya

    ” Bacalah Alquran karena sesungguhnya ia akan tatang pada Hari Kiamat sebagai syafaat bagi orang-orang yang menjadi sahabatnya (Alquran).” (HR Imam Bukhari)

    Membaca merupakan langkah pertama membangun persahabatan kita dengan Alquran. Membaca Alquran membangun cinta kalamullah dan kecintaan itu akan memotivasi kita untuk lebih memahami, merenungi, mengamalkan, dan memperjuangkan Alquran sehingga wahyu Allah Swt menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri kita.

    Saya-penulis-yakin kondisi persahabatan seperti itulah yang dimaksudkan nasehat Rasulullah Saw itu. Terbukti kondisi seperti itu yang dicontohkan Rasulullah Saw, para sahabat, dan semua salafush shalih. Untuk itu, janganlah meremehkan satu langkah awal dalam berinteraksi dengan Alquran seperti halnya tidak boleh kita merasa puas hanya dengan satu interaksi, misalnya hanya tertarik membaca Alquran tanpa tergugah untuk lebih menyelaminya.

    Hadis itu pun mengingatkan kita tentang manfaat Alquran yang tidak hanya di dunia, tetapi di akhirat juga karena Rasulullah Saw mengangkat isu tentang pentingnya pertolongan pada hari kiamat. Alquran sendiri dengan luas menjelaskan suasana kehidupan akhirat mulai dari Hari Kiamat, kebangkitan, sampai ganjaran di surga dan neraka. Hadis tadi pun memiliki korelasi yang kuat dengan ayat-ayat Alquran dengan menjanjikan pertolongan melalui syafaat Alquran bagi siapa saja yang bersahabat dengannya.

    2. Alquran Menjadi Pembela bagi Manusia saat Menghadapi Pengadilan Allah Swt

    Dari Nazvwas bin Sam’ an Ra, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘ Pada hari Qiamat, didatangkan Alquran dan ahlinya, yaitu orang-orang yang dulu mengamalkannya di dunia. Sural al Baqarah dan Ali Imron pun maju mendampingi dan membelanya.” (HR Imam Muslim)

    Hadits ini sangat banyak memuat pesan-pesan keimanan terhadap hari akhirat. Bagi seorang muslim, tidak ada pilihan lain kecuali yakin sepenuhnya terhadap penjelasan Rasulullah Saw bahwa Alquran akan menjadi makhluk yang berperan seperti manusia ia dan dapat diperintahkan untuk datang, maju ke depan, bahkan membela manusia dengan gigih bagaikan seorang pengacara profesional. Itu langkah awal yang harus ada dalam diri kita ketika membaca hadits Rasulullah Saw itu. Tanpa sikap itu, iman kita menjadi batal karena berarti menolak kerasulan Muhammad Saw yang pasti benar dalam ucapannya. Tanpa sikap itu pula, kita tidak akan termotivasi untuk berinteraksi dengan Alquran seperti kandungan hadis itu.

    Hadis itu secara tidak langsung memberitahu juga bahwa tidak semua manusia mendapat pembelaan dari Alquran. Hadits Rasulullah Saw itu hanya meliputi manusla yang di dunianya betul-betul mengamalkan Alquran. Itu berarti komitmen terhadap Alquran tidak cukup hanya dengan komitmen lisan seperti tilawah, menghafal, dan mengkajinya, tetapi butuh pula komitmen badan dan hati yang harus bergerak sesuai dengan tuntutan Alquran. Misalnya, berinfak jika Alquran menyuruhnya berinfak, berjihad jika Alquran menyuruhnya berjihad, dan melakukan perintah lainnya. Dua komitmen itulah yang akan menjadikan manusia dibela Alquran di pengadilan Allah Swt yang saat itu tidak ada pengacara, ternan dekat, atau siapa pun yang dapat membela manusia.

    3. Alquran Mengangkat Kedudukan Manusia di Surga

    Dari Abdullah bin’ Amr bin’ Ash Ra, dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda, ” Dikatakan kepada Shahib Alquran, ‘ Bacalah dan naiklah dan nikmatilah seperti halnya kamu menikmati bacaan Alquranmu di dunia ! Sesungguhnya, kedudukanmu ada di akhir ayat yang kamu baca.” (HR Imam Abu Dawud dan Imam Turmudzi)

    Sekali lagi Rasulullah Saw mengingatkan kita bahwa keutamaan Alquran di akhirat ada di balik persahabatan manusia dengannya sehingga mereka yang mendapatkan kemuliaan dari Alquran disebut dengan Shahib. Di hadis itu, Shahib Alquran akan tetap menikmati kembali lantunan ayat-ayat Alquran di saat tidak ada lagi mush-haf untuk membaca Alquran.

    Hal ini mengingatkan kita pada kisah-kisah orang-orang beriman saat sakaratu/ maut. Pada umumnya, orang-orang yang sangat dekat dengan Alquran pada saat-saat itu selalu melantunkan ayat-ayat Alquran dengan fashih dan indah seakan mereka masih sehat dan jauh dari kematian.

    Begitulah mukjizat Alquran yang selalu ingin bersama sahabatnya di saat yang pada umumnya manusia tidak mungkin lagi mengingat Alquran. jadi, hadis itu sangat logis jika terjadi pada manusia. Bahkan kejadian itu akan mengantarkan manusia pada tingkatan surga yang sesuai dengan banyaknya ayat Alquran yang ia hafal.

    4. Alquran Sumber Pahala bagi Orang yang Beriman

    Rasulullah Saw bersabda, ” Siapa saja yang membaca satu huruf.Alquran, baginya satu kebaikan. Satu kebaikan akan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa alif-lam-mim itu satu huuf, melainkan alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf ” (HR Imam Turmudzi deiigan sanad hadis hasan sahih)

    Keimanan kita kepada akhirat mengharuskan kita meyakini janji pahala dan hukuman Allah Swt. jadi siapa pun yang yakin dengan hadis itu akan memiliki motivasi yang tinggi dalam hidup bersama Alquran dengan memperbanyak tilawah bahkan menghafalnya agar terjadi pengulangan tilawah yang sangat besar. Tanpa keyakinan itu manusia pun tidak akan kuat menyibukkan dirinya dengan Alquran, apalagi jika terus berlangsung sampai akhir hayatnya. Sungguh rugi orang yang hidupnya jauh dari Alquran karena tertutup baginya kesempatan mendapatkan limpahan pahala yang sangat besar dari Allah Swt melalui Alquran. Dari hadis itu pula kita dapat merasakan luasnya rahmat.Allah Swt kepada orarg mukmin. Bayangkan jika Allah tidak menurunkan Alquran atau mencabutnya seperti ancaman-Nya. (QS al-lsra’; 86-87)

    5. Alquran Mengangkat Derajat Orangtua di Akhirat bagi Orangtua yang Berhasil Mendidik Anaknya dengan Alquran.

    “Siapa saja yang belajar Alquran dan mengamalkannya, pada hari kiamat (Allah Swt) akan memberikan kepada kedua orangtuanya mahkota yang cahayanya lebih indah dari cahaya matahari. Kedua orangtua itu akan berkata, “Mengapa kami diberi (mahkota) ini ?” Dijawablah, ‘ Itu karena anakmu telah mempelajari Alquran. “(HR Imam Abu Dazuud, Imam Ahmad, dan Imam Ibnu Hakim)

    Hadits itu menunjukkan bahwa Alquran adalah sumber kemuliaan. Siapa saja yang berinteraksi dengannya akan dimuliakan Allah Swt. Bahkan orangtua yang mengajarkan Alquran kepada anaknya pun dimuliakan Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang menjauhkan dirinya dari Alquran akan direndahkan Allah Swt secara pribadi maupun secara jama’i. Dalam kenyataan sejarahnya, umat Islam adalah Umat yang paling mulia di muka Bumi ini bersama Al-Quran. Sebaliknya, umat Islampun adalah umat yang sangat terhina karena meninggalkan Al-qur’an.

    Silahkan Download sinopsis buku Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah di http://www.pks-kab-bekasi.org

    Sumber : Tarbiyah Syakhsiyah Qur’aniyah – Abdul Aziz Abdur Rouf, Lc

     
  • erva kurniawan 1:32 am on 6 February 2013 Permalink | Balas  

    Etika Berdo’a 

    Etika Berdo’a

    Dalam berinteraksi dengan manusia, ada etika, sopan santun, dan adab. Menjaga pola interaksi dan komunikasi yang baik, akan menjamin hubungan yang baik dengan sesama. Begitupun sebaliknya. Tanpa etika, sopan santun dan adab, hubungan sesama manusia akan sulit menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Ilustrasi ini, akan mengawali, bagaimana kita menjalin hubungan, komunikasi dan interaksi yang baik dengan Allah SWT melalui do’a.

    Tentu ada beberapa langkah yang diajarkan Allah, Rasulullah dan para salafushalih agar kita bisa berdo’a dengan baik.

    Pertama, pilihlah waktu-waktu yang tepat untuk berdo’a. Sebenarnya berdo’a itu tidak terikat dengan waktu, tetapi Islam memang mengajarkan ada waktu yang paling baik dan istimewa untuk berdo’a. Beberapa waktu istimewa untuk dikabulkannya do’a antara lain di malam qadar (sepuluh malam terakhir dalam bulan Ramadhan), di hari Arafah (9 Zulhijjah di kala jemaah haji wukuf di Arafah), di bulan Ramadhan, di hari Jum’at, di sepertiga malam yang terakhir (sesudah jam 2 malam), pada waktu sahur (sebelum fajar), sesudah berwudhu, usai azan sebelum iqamat, ketika sedang berpuasa, ketika dalam medan jihad, di setiap selesai shalat fardu, pada waktu sedang sujud (dalam sholat atau di luar sholat), ketika sedang musafir atau bepergian, dan sebagainya. Termasuk di sini, adalah tidak menyia-nyiakan untuk berdo’a di tempat-tempat yang istimewa, seperti di Masjidil Haram, misalnya.

    Kedua, gunakan keberadaan diri kita untuk meraih kesempatan berdo’a. Rasulullah menjelaskan, di antara do’a yang mustajab adalah do’a orang tua untuk anaknya, atau do’a anak yang berbakti dengan baik kepada orang tuanya, dan do’a seorang muslim untuk saudaranya yang muslim, tanpa diketahui oleh saudara yang dido’akan itu. Maka, bila kita menjadi orang tua, perbanyaklah do’a untuk anak-anak. Bila kita menjadi anak, berusahalah untuk berbakti kepada orang tua, agar do’a kita terkabulkan. Dan, jangan lupa seringlah berdo’a untuk saudara dengan diam-diam. Karena Allah berjanji akan memberi untuk kita, apa yang kita mintakan untuk saudara kita itu. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendo’akan saudaranya secara diam-diam, kecuali malaikat berkata,  ‘dan untukmu seperti apa yang engkau mintakan untuknya.” (HR. Muslim).

    Ketiga, mulailah berdo’a dengan memperbanyak puji-pujian kepada Allah. Memulai dengan tahmid (pujian terhadap Allah) dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam. Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kamu berdo’a, hendaknya memulai dengan memuji dan menyanjung Rabbnya, dan bershalawat kepada Nabi, kemudian berdo’a apa yang dia kehendaki.” (HR.Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ahmad, dishahihkan oleh Al-Albani). Ibnu Mas’ud ra pernah berdo’a, ia memulai dengan tahmid, kemudian bershalawat, kemudian diteruskan dengan do’a untuk kebaikan dirinya. Maka Rasulullah yang ketika itu mendengarnya mengatakan, “Mintalah pasti kamu diberi, mintalah pasti kamu diberi.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih, dan Abdul Qadir Al-Arnauth berkata, sanadnya hasan).

    Keempat, mengangkat kedua tangan. Ini adalah salah satu sikap yang menunjukkan kebutuhan seorang hamba dalam berdo’a. Perhatikanlah sabda Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Rabbmu itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, malu dari hamba-Nya jika ia mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya kemudian menariknya kembali dalam keadaan hampa kedua tangannya.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Albani).

    Kelima, jangan mengeraskan suara. Cukup berdo’a dengan suara samar. Menghinakan diri di hadapan-Nya dan menampakkan kebutuhan yang sangat. Cukup denqan kata-kata yang sederhana, jelas. Utamakan materi do’a yang berasal daripada Rasulullah SAW, sahabat atau salafushalih. Allah berfirman, “Berdo’alah kepada Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara pelan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-A’raf: 55).

    Keenam, sebelum berdo’a, ucapkan istighfar dan mohon ampun kepada Allah atas seluruh kesalahan dan dosa yang kita lakukan. Mintalah dengan penuh kesungguhan ampunan (maghfirah) Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahuinya, baik yang diingat maupun yang terlupa. Sebab bagi Allah, tak ada sesuatu yang tersembunyi. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan apa yang ada diantara keduanya. Dia juga mengetahui apa yang kita rahasiakan dari urusan kita, dan apa yang kita nyatakan. Allah berfirman: “Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.” (Qs. Al Baqarah: 284). “Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Mukmin: 19). Memohon ampun disertai dengan taubat yang benar dan niat yang ikhlas demi Allah akan menyucikan jiwa dan membersihkannya dari dosa-dosa.

    Ketujuh, konsentrasi dan khusyu’. Pahami dan resapi benar-benar apa yang kita minta. Berdo’a tidaklah sekadar melafadzkan bait-bait yang dihafal tanpa mengerti maknanya, tetapi harus benar-benar memahami dan menginginkan dikabulkannya do’a itu. Rasulullah bersabda: “Mohonlah kepada Allah sementara kamu sangat yakin untuk dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai dan bermain-main.” (HR. At-Tirmidzi, di hasankan oleh Al-Mundziri dan Al-Albani). Ketidaksesuaian sikap sewaktu berdo’a turut mempengaruhi kesempurnaan berdo’a. Jangan sampai kita berdo’a, sementara hati kita ngelayap entah ke mana. Ingat, perbuatan manusia hanya bermakna jika disertai kesadaran hati, oleh karena itu Allah hanya menilai perbuatan manusia yang berpijak pada kesadaran hati. Demikian juga do’a kepada Allah, yang didengar bukan bunyi kata-kata, tetapi kesadaran hati orang yang berdo’a. Menurut Hadist Riwayat Tirmizi, Allah tidak mendengarkan dan tidak mengabulkan do’a dari orang yang hatinya lalai (min qalbi ghafilin lahin).

    Kedelapan, hindari berdo’a untuk keburukan. Seorang muslim dilarang keras mendo’akan kemusnahan dan kehancuran sesama muslim, karena Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya (seagama) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Rasulullah tidak pernah mengajukan permohonan yang buruk untuk siapa pun. Bahkan pernah, ketika malaikat gunung menawarkannya untuk membalas perilaku keji penduduk Thaif, Rasul tetap menolak dan berharap agar keturunan mereka yang beriman. Rasulullah ketika itu malah berdo’a, “Ya Allah, berilah hidayah dan petunjuk-Mu kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”

    Kesembilan, tidak tergesa-gesa agar do’a itu dikabulkan. Rasulullah bersabda: “Akan dikabulkan bagi seseorang di antara kamu selagi tidak tergesa-gesa, yaitu dengan berkata, ‘Saya telah berdo’a tetapi tidak dikabulkan’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ibnul Qayyim berkata, “Termasuk penyakit yang menghalangi terkabulnya do’a adalah tergesa-gesa, menganggap lambat pengabulan do’anya sehingga ia malas untuk berdo’a lagi.” Padahal bisa jadi antara do’a dan jawabannya memerlukan waktu 40 tahun, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. (Abu Lairs As-Samarqandi dalam Tanbihul Ghafilin). Ibnul Jauzi berkata: “Ketahuilah bahwa do’a orang mukmin itu tidak akan ditolak, hanya saja terkadang yang lebih utama baginya itu diundur jawabannya atau diganti dengan yang lebih baik dari permintaannya, cepat atau lambat.” (Fathul Bari, 11/141).

    Kesepuluh, berdo’alah kepada Allah di segala kondisi dan keadaan. Jangan hanya berdo’a di saat-saat sempit dan membutuhkan pertolongan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT banyak menyinggung sikap orang-orang yang hanya berdo’a dalam situasi kepepet. “Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. Yunus: 12).

    Selain hal-hal di atas, tentu, soal terpenting lainnya adalah ikhlas dan hati yang bersih. Murnikan harapan dan keinginan dalam do’a untuk kebaikan mencapai ridha Allah. Ingat, kehadiran kita di muka bumi ini membawa misi ibadah dan untuk tunduk kepada Allah saja. Itulah tujuan akhir hidup seseorang yang sebenarnya. Maka, permohonan apa pun yang kita sampaikan, harus selalu dikaitkan dengan keridhaan Allah SWT. Wallahu’alam.

    ***

    Dari Sahabat

    beranda.blogsome.com

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 5 February 2013 Permalink | Balas  

    Tengoklah ke “Dalam” sebelum Bicara 

    Tengoklah ke “Dalam” sebelum Bicara

    Oleh Sus Woyo

    Ada sebuah kisah kecil, ketika saya masih aktif bersama teman-teman di organisasi remaja masjid kampung saya. Namun kisah kecil ini telah menjadi ‘prasasti’ indah dalam kehidupan saya sampai sekarang.

    Waktu itu kami sedang giat-giatnya menggelar usaha keagamaan. Tiba-tiba di belakang masjid kami, salah seorang warga membuka rumahnya untuk dijadikan tempat judi togel.

    Setiap malam orang-orang ramai berkumpul di situ. Karena dari pihak desa tidak ada reaksi apa-apa terhadap judi itu, maka kami bersepakat untuk negosiasi dengan warga itu. Agar kegiatan yang banyak merugikan masyarakat itu dihentikan saja.

    Dengan semangat, kami bersepakat untuk mendatangi tempat tersebut.

    Namun sebelum berangkat, ada salah satu senior kami yang mengingatkan.

    Ia berkata pada kami. “Ini kerja besar.Ini perjuangan berat. Jangan gegabah kita melangkah. Kita harus lebih siap lagi untuk maju ke medan ‘jihad’ ini.

    Ada sesuatu yang harus kita laksanakan dulu sebelum kita maju kesana.”

    Senior kami itu menyarankan agar kami mengoreksi diri dulu. Sudah sejauh mana ibadah harian kita kepada Allah. Sudah sejauh mana komitmen kita terhadap apa yang diperintahNya dan apa yang dilarangNya.

    Ahirnya, selama beberapa hari, kami disarankan untuk sebisa mungkin sholat wajib berjamaah. Kita juga harus bangun malam untuk qiamullail.

    Yang biasanya jarang puasa Senin Kamis, sekarang amalan Nabi itu harus dilaksanakan dengan intensif. Pokoknya, senior kami itu menyarankan agar sebisa mungkin mengaplikasikan bentuk ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Tidak hanya bentuk “amar ma’ruf” saja, tapi mesti diiringi juga dengan “nahi mungkar.” Seperti yang masih merokok untuk segera meninggalkan perbuatan mubah itu.

    Beberapa hari kemudian, saat hari ‘H’ sudah tiba, kami berkumpul lagi.

    Namun kami tidak jadi menemui bandar togel itu. Sebab, dengan izin Allah, orang itu sudah menutup total usahanya. Rupanya ia sudah kembali berprofesi seperti biasa, yaitu sebagai kuli bangunan. Kami merasa gembira sekali. Dan semua ini sudah jelas merupakan pertolongan dariNya. Entah apa yang terjadi seandainya kami menyikapi perbuatan salah seorang warga di dekat masjid itu dengan emosional pada waktu itu, tanpa mengindahkan nasehat senior kami.

    Apakah ini sebuah kemenangan sebelum bertanding? Tidak juga.

    Sebab kami telah berjuang dulu, berjuang menaklukan napsu diri.

    Bukankah ini juga jihad besar?

    Pantas, jika sahabat Umar ra. sebelum berangkat perang dengan orang kafir, selalu memeriksa pasukannya sedetil mungkin. Mereka yang malamnya tidak qiamullail, sementara jangan ikut ke medan jihad dulu. Kata Khalifah kedua itu: “Saya tidak takut dengan musuh yang banyak, tapi saya lebih takut kepada banyaknya dosa yang kita bawa. Sehingga kita akan kesulitan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT.”

    Dan sejarah juga mencatat gemilangnya perang Badar bagi kaum muslimin.

    Padahal erbandingan jumlah pasukan antara kaum muslimin dan kafir sama sekali tidak seimbang. Tentu sudah bisa dipastikan bahwa salah satu faktor kemenangan kaum muslimin adalah karena kwalitas iman orang muslim masa itu yang sangat prima. Dan tentunya sangat minim dengan dosa-dosa. Tidak seperti kami di jaman ini.

    Saya hanya bisa berpikir, seandainya saya, keluarga saya, lingkungan saya, atau skup yang lebih luas lagi negri saya, dalam mengatasi masalah berkiblat dengan cara mereka, mungkin Allah pun akan memberi kemudahan dalam mengatasi berbagai masalah.

    Ya, tentunya harus dimulai dari pribadi masing-masing. Sebab tak mustahil, bahwa saya, kita-kita inipun ternyata ada dalam barisan orang-orang yang menghambat pertolongan Allah.

    Sampai sekarang pesan senior kami di organisasi remaja masjid bertahun-tahun lalu itu, selalu terngiang ditelinga saya, manakala ada sesuatu pekerjaan yang harus berhubungan dengan orang banyak. Pesan yang pendek, namun sangat berarti: “Bacalah dirimu! Sebelum kau baca orang lain!”

    Atau dalam bahasa populer penyanyi ballada Ebiet G Ade: “Tengoklah ke ‘dalam’, sebelum bicara.”

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:01 am on 4 February 2013 Permalink | Balas  

    Tolok Ukur Kebenaran 

    Tolok Ukur Kebenaran

    Apa dasarnya suatu pendapat/keyakinan dikatakan benar, atau salah?

    Di dalam kehidupan kita sehari-hari, sering kali suatu pendapat dikatakan benar karena pendapat itu telah diterima dan dijalankan secara turun temurun sejak zaman dahulu. Kita mendapati orang tua kita meyakini seperti itu, orang tua kita mendapati keyakinan yang sama dari kakek dan nenek kita, dan seterusnya.

    Padahal kalau kita perhatikan, suatu keyakinan terbentuk menjadi tradisi adalah karena ia dilakukan secara berkelanjutan dari generasi ke generasi, terlepas apakah yang dilakukan itu benar atau salah.

    Al-Qur’an menggambarkan bagaimana manusia secara keliru telah mengidentikkan tradisi dengan kebenaran. Ketika diajak untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah, mereka yang ingkar menolaknya dan memilih untuk mengikuti apa yang sudah menjadi tradisi dari dulu.

    “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang Allah turunkan’. Mereka berkata, ‘(tidak) bahkan kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.’ Padahal nenek moyang mereka tidak memahami sesuatu, dan tidak mendapat petunjuk.” (Q.S. 2:170)

    Sandaran berikutnya yang juga sangat umum digunakan orang dalam menetapkan benar atau salahnya suatu keyakinan adalah pendapat umum. Orang-orang ini melakukan sesuatu semata-mata karena kebanyakan orang juga melakukan hal yang sama. Mereka menyandarkan tindakannya pada sebuah asumsi bahwa tidaklah mungkin sekian ratus juta atau sekian milyar orang telah mempraktikkan sesuatu yang salah.

    Terdapat rasa aman dan nyaman ketika melakukan sesuatu yang sesuai dengan kebanyakan orang. Perasaan tersebut manusiawi sifatnya, karena jumlah pendukung yang banyak cenderung meningkatkan “kesan benar” suatu keyakinan.

    “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar kamu beruntung.” (Q.S. 5:100)

    Namun di balik aman dan nyaman yang dirasakan itu, perlu diingat bahwa sesuatu yang dilakukan oleh kebanyakan orang bukanlah jaminan kebenaran. Ketika ratusan juta orang sama-sama memelihara asumsi (persangkaan) bahwa apa yang mereka lakukan itu benar, sedangkan al-Qur’an berkata lain, maka hasil akhirnya adalah semua akan sama-sama salah dan salah sama-sama.

    “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka hanyalah berdusta.” (Q.S. 6:116)

    Fatwa dari orang-orang yang memiliki pengaruh seperti pemuka agama adalah alternatif lain pedoman kebenaran bagi banyak orang. Kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa kebanyakan orang menyukai kemudahan dengan “menerima jadi” fatwa-fatwa agama daripada coba menelaah sendiri kitab al-Qur’an yang telah diturunkan Allah untuk manusia.

    Ironisnya, para pemuka agama yang telah diberi kepercayaan ini pun tidak luput dari kemungkinan menjadi berhala yang akan menyesatkan manusia dengan cara mengeluarkan fatwa yang berlainan dari apa yang telah diturunkan oleh Allah.

    “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pemuka agama dan rahib memakan harta manusia dengan cara palsu, dan menghalangi dari jalan Allah…” (Q.S. 9:34)

    Di Akhirat banyak manusia yang menyesal karena telah mentaati pemuka-pemuka mereka ketika di dunia.

    “Dan mereka berkata: `Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mentaati pemimpin-pemimpin kami dan pembesar-pembesar kami. Lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar)’.” (Q.S. 33:67)

    Karena itu, dukungan dari orang-orang yang terkemuka bukanlah jaminan kebenaran suatu pendapat atau keyakinan.

    Dalam kaitannya dengan kecenderungan manusia kepada materi, adapula orang yang ketika dihadapkan kepada suatu pilihan, ia meniliknya berdasarkan ukuran materi. Seakan-akan kebenaran itu pastilah berada di pihak yang dikaruniai keunggulan materi.

    Cara pandang yang dangkal ini juga telah terjadi sejak dahulu. Di dalam al-Qur’an dikisahkan bagaimana orang-orang yang tidak beriman bermaksud membandingkan tempat tinggal dan majelisnya dengan golongan mereka yang beriman. Allah ingatkan bahwa bahkan generasi terdahulu yang lebih mewah daripada mereka telah dmusnahkan oleh Allah karena keingkarannya.

    “Apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, bukti-bukti yang jelas, orang-orang yang tidak beriman berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Yang manakah antara dua golongan yang lebih baik tempatnya, dan lebih baik majelisnya?’ Dan berapa banyaknya generasi yang Kami telah musnahkan sebelum mereka yang lebih baik peralatan rumah dan penampakan luarnya!” (Q.S. 19:73-74)

    Allah menolak berbagai bentuk persangkaan yang dijadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran sebagaimana telah diuraikan di atas. Allah dengan lugas menetapkan bahwa suatu pendapat/keyakinan dikatakan benar adalah karena ia dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Kitab Allah.

    “Alif Lam Mim Ra. Inilah ayat-ayat Kitab; dan apa yang diturunkan kepada kamu dari Rabb kamu adalah yang benar, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (Q.S. 13:1)

    Dan yang benar itu bisa jadi berbeda dengan apa yang sudah menjadi tradisi sejak dulu, dengan keyakinan banyak orang, ataupun dengan pendapat pemuka agama.

    ***

    http://allah-semata.com

     
  • erva kurniawan 1:30 am on 3 February 2013 Permalink | Balas  

    Ya Kayuku, Ya Kayumu 

    Ya Kayuku, Ya Kayumu

    Oleh: Luthfi Bashori

    Konon menurut shahibul hikayat, di jaman penjajahan Jepang pernah terjadi suatu keajaiban. Saat itu, ada seorang petani yang aktif shalat di sebuah mushalla dekat perkampungan. Sekali pun ia bukanlah penduduk desa itu, namun ia memiliki sebidang tanah sawah yang berada di wilayah tersebut.

    Karena itulah hampir setiap Dhuhur dan Ashar petani itu selalu meluangkan waktunya shalat di mushalla itu, bahkan karena keaktifannya, maka warga setempat menunjuknya sebagai imam shalat khusus Dhuhur dan Ashar.

    Sebenarnya, petani itu bukanlah ahli ilmu agama, namun karena kondisi masyarakat di jaman itu cukup mengenaskan, baik dari segi keilmuan, perekonomian maupun keamanan, maka karena keadaanlah memaksa mereka untuk memanfaatkan apa saja yang dianggap maslahat tanpa harus meninjau syarat-syarat ideal, termasuk dalam mengangkat imam shalat Dhuhur dan Ashar.

    Di sisi lain, kaum lelaki di kampung itu kebanyakan adalah para pejuang kemerdekaan, sehingga bukan urusan gampang mencari kaum lelaki yang senantiasa stand by di kampung halamannya, karena mereka harus bergerilya dan selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, masuk hutan keluar hutan, demi menyusun strategi menghadapi dan menyerang penjajah Jepang.

    Suatu saat, ada serombongan gerilyawan yang berlarian menuju mushalla kampung tersebut. Rupanya mereka sedang dikejar tentara Jepang. Sangat kebetulan, di saat yang bersamaan si petani itu sedang mengimami shalat Dhuhur. Maka kontan para gerilyawan bergabung shalat berjamaah, sekaligus untuk menghilangkan jejak dari kejaran tentara Jepang.

    Sayangnya barisan tentara Jepang itu tetap mencurigai para jamaah shalat Dhuhur di mushala itu, dan menghitungnya sebagai para pejuang yang sedang mereka kejar, maka tanpa ba-bi-bu, tiba-tiba tembakan demi tembakan meletus dan diarahkan kepada para jamaah shalat.

    Tentu saja banyak para jamaah yang bergelimpangan mati syahid, sedangkan mereka yang tidak terkena peluru, secara refleksi menggunakan trik menjatuhkan diri pura-pura mati, agar tidak menjadi sasaran tembak berikutnya.

    Lain halnya dengan si petani yang menjadi imam shalat, ia dengan khusyu` terus menyelesaikan shalatnya, hingga tentara Jepang itupun membrodongkan tembakannya ke arah si petani yang menjadi imam shalat. Anehnya, si petani itu tetap istiqamah dalam shalatnya tanpa terpengaruh apapun, hingga akhirnya tentara barisan Jepang beranjak meninggalkan si petani di saat sedang membaca salam pada tahiyyat akhir.

    Peristiwa ini sangat mengejutkan para pejuang yang masih hidup. Maka Mereka beramai-ramai menanyakan ajian apa yang digunakan oleh si petani hingga dirinya tidak mempan ditembak.

    Dengan polos, si petani mengatakan bahwa konon ia mendapat ijazah dari seorang Kiai yang kebetulan sedang mengajar di kampung tempat tinggalnya, yaitu agar setiap usai shalat fardlu hendaklah selalu membaca : YA KAYUKU YA KAYUMU sebanyak seratus kali, dan jika berada dalam keadaan darurat/genting maka hendaklah dibaca sebanyak-banyaknya tanpa hitungan tertentu. Karena itulah si petani selalu istiqamah membacanya dengan penuh keyakinan `seyakin-yakinnya`, sehingga dalam keadaan darurat tadi si petani merasa dirinya menjadi seperti KAYU yang tidak mempan ditembak.

    Kebetulan ada salah seorang dari kalangan pejuang yang masih hidup itu, konon adalah alumni sebuah pesantren. Maka dengan sedikit senyum ia ingin mengoreksi bacaan sang petani yang merangkap jadi imam shalat > Lantas dengan nada lembut dan hormat alumni pesantren itu mengatakan: Pak, mohon maaf, barangkali bacanya yang benar itu adalah YA HAYYU YA QAYYUM, karena yang bapak baca itu adalah termasuk Asmaul Husna, yaitu nama-nama Allah, bukan YA KAYUKU YA KAYUMU, hingga badan bapak berubah menjadi KAYU.

    Karena keawwaman si petani, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan lisan awwamnya tetap saja membaca YA KAYUKU YA KAYUMU dengan penuh keyakinan, hal ini karena lisannya sudah terbiasa dengan bacaan itu.

    Berbeda dengan alumni pesantren tersebut, ia pun berusaha mengamalkan bacaan YA HAYYU YA QAYYUM seperti yang diamalkan si petani, bahkan lisannya jauh lebih baik dan lebih fasih saat membacanya. Hanya saja dari segi keyakinan saat mengamalkan ijazah itu, masih di bawah standar keyakinan si petani awwam tadi.

    Hingga suatu saat, terjadi lagi peristiwa yang hampir sama, bahwa para gerilyawan itu kembali dikejar-kejar tentara Jepang dan dibrondong peluru. Namun karena nasib yang berbeda, alumni pesantren yang fasih mengucapkan YA HAYYU YA QAYYUM itu pun akhirnya mati syahid tertembak peluru tentara Jepang. Innalillahi wa inaa ilaihi raaji`un.

    Penyair mengatakan :

    Idzil fataa hasba`tiqaadihi rufi` # wakullu man lam ya`taqid lan yantafi`

    Seseorang itu akan diangkat derajatnya sesuai kadar keyakinannya, siapa yang tidak yakin terhadap sesuatu, ia tidak akan dapat mengambil manfaatnya.

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 2 February 2013 Permalink | Balas  

    Yang Lalu Biar Berlalu 

    Yang Lalu Biar Berlalu

    Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih, atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu sama artinya dengan membunuh semangat, memupus tekad dan mengubur masa depan yang belum terjadi.

    Bagi orang yang berpikir, bekas-bekas masa lalu akan dilipat dan tak pernah kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam ruang penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam penjara pengacuhan selamanya, atau diletakan di dalam ruang gelap yang tak tertembus cahaya. Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis, keresahan tak akan sanggup memperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnya menjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.

    Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau dibawah payung gelap masa silam; selamatkan diri Anda dari bayangan masa lampau! Adakah Anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ketempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke kelopak mata? Ingat; keterikatan Anda dengan masa lalu, keresahan Anda atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwa Anda oleh api panasnya, dan kedekatan jiwa Anda pada pintunya, adalah kondisi yang sangat naïf, ironis, memperihatinkan, dan sekaligus menakutkan.

    Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan mempuaskan m masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang demikian sangat berharga. Dalam Al-Qur’an, setiap kali usai menerangkan kondisi suatu kaum dan apa saja yang telah mereka lakukan, Allah selalu mengatakan, “Itu adalah umat yang lalu.” Begitulah; ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembal;i roda sejarah.

    Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, adalah tak ubahnya orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji serbuk kayu. Syahdan nenek moyang kita dahulu selalu mengingatkan orang yang meratapi masa lalunya demikian, “Janganlah engkau mengeluarkan mayat- mayat itu dari kuburnya.” Dan konon, kata orang yang mengerti bahasa binatang, sekawanan binatang sering bertanya kepada seekor keledai begini, “Mengapa engkau tidak menarik gerobak?” “Aku benci khayalan,” jawab keledai.

    Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa depan dan justru hanya disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan kita mengabaikan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi puing- puing yang telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan jin bersatu untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab, yang demikian itu sudah mustahil pada asalnya.

    Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan segala sesuatu bergerak menuju ke depan. Maka dari itu, janganlah pernah melawan sunnah kehidupan!

    ***

    die *La Tahzan* DR. Aidh al-Qarni

     
  • erva kurniawan 1:57 am on 1 February 2013 Permalink | Balas  

    Istiqomah 

    Istiqomah

    Istiqomah adalah anonim dari thughyan (penyeimbang atau melampaui batas). Ia bisa berarti berdiri tegak di suatu tempat tanpa pernah bergeser, karena akar kata istiqomah dari kata “qooma” yang berarti berdiri. Maka secara etimologi, istiqomah berarti tegak lurus. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istiqomah diartikan sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.

    Dalil-dalil dan Dasar Istiqomah “Maka tetaplah (istiqomah) kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 11:112).

    Juga dalam ayat lain disebutkan, “Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Tuhan) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 41: 31-32)

    “Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni- penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. 46: 13-14)

    Ayat diatas menggambarkan urgensi istiqomah setelah beriman dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.

    Hal ini dikuatkan hadits Nabi berikut ini. “Aku berkata: “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan DALAM Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda: “Katakanlah, `Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqomahlah (jangan menyimpang).” (HR. Muslim dari Abu’ Amarah Sufyan bin Abdullah)

    Faktor-Faktor yang Melahirkan Istiqomah Ibnu Qayyim dalam “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada lima faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut:

    1. Beramal dan melakukan optimalisasi

    “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar- benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. 22:78)

    2. Berlaku moderat antara tindakan melampaui batas dan menyia-nyiakan

    “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. 25:67)

    Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash: “Wahai Abdullah bin Amr, sesungguhnya setiap orang yang beramal memiliki puncaknya dan setiap puncak akan mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barangsiapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada bid’ah, maka ia akan merugi” (HR. Iman Ahmad dari sahabat Anshor)

    3. Tidak melampaui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya

    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (QS. 17:36)

    4. Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas – ikhlas

    Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. 98:5)

    5. Mengikuti Sunnah Rasulullah SAW bersabda: “Siapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perbedaan yang keras, maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidin (yang lurus), gigitlah ia dengan gigi taringmu.” (Abu Daud dari Al- Irbadi bin Sariah)

    Imam Sufyan berkata: “Tidak diterima suatu perkataan kecuali bila ia disertai amal, dan tidaklah lurus perkataan dan amal kecuali dengan niat, dan tidaklah lurus perkataan, amal dan niat kecuali bila sesuai dengan sunnah.”

    ***

    die *Buleti Jum’at Ummul Quro*

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal