Updates from Agustus, 2017 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 1:07 am on 30 August 2017 Permalink | Balas  

    Nafsiyyah Fikriyyah : Buah Syariat Qurban 

    kambing-kurban-300x225Nafsiyyah Fikriyyah : Buah Syariat Qurban

    Musim haji akan segera mencapai puncaknya. Kita akan menyambut datangnya hari raya haji atau hari raya kurban atau Iedul Adha pada tanggal 10 Dzul Hijjah, yakni sehari setelah para jamaah haji wuquf di padang Arafah (9 Dzul Hijjah).

    Pada hari raya ini kaum muslimin disunnahkan menyembelih hewan qurban pada tanggal 10 (hari nahar) maupun pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah atau dikenal dengan hari tasyriq.

    Apa makna qurban, bagaimana hakikat syariat ini, dan apa pelajaran yang mesti dipetik oleh kaum muslimin dalam ajaran ini? Tulisan ini mencoba menguraikannya.

    Syariat Qurban

    Syariat qurban terkait dengan syariat ibadah haji. Dalam surat Al Hajj Allah SWT menyebut hikmah ibadah haji sebagai mendapatkan berbagai manfaat perdagangan maupun saling mengenal antara kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru dunia di dalam haji disamping untuk mengingat Allah dalam memenuhi syiar-syiar haji. Allah SWT berfirman:

    “Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”. (QS. Al Haj 28).

    Hari-hari yang ditentukan (ayyam ma’luumaat) dalam ayat di atas maksudnya adalah tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, yaitu hari nahar dan hari tasyriq (lihat Al Quran dan Terjemahannya hal 516). Hari nahar adalah hari penyembelihan qurban, demikian juga hari tasyriq selama tiga hari berikutnya. Diriwayatkan dari Jabir r.a. yang mengatakan:

    Rasulullah saw. melempar jumrah (aqabah) pada hari raya qurban (yaumun nahr) pada waktu dluha, sedangkan sesudahnya, dilakukannya bila matahari tergelincir (HR. Al Khamsah).

    Diriwayatkan bahwa sahabat Anas r.a. menyatakan:

    “Bahwa Nabi saw. tiba di Mina dan mendatangi jumrah lalu melemparinya, kemudian kembali ke tempat tinggalnya di Mina dan menyembelih kurbannya” (HR. Al Khamsah).

    Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:

    “Segala hari tasyriq (11,12,13 Dzul hijjah) adalah hari menyembelih” (HR. Ahmad).

    Dari perbuatan (fiil) Rasulullah saw. maupun ucapan (qaul) beliau saw. dalam riwayat-riwayat hadits di atas jelas bahwa qurban merupakan salah satu dari ajaran syariat Islam. Perbuatan maupun pernyataan Rasulullah saw. itu adalah jawaban atas perintah Allah SWT dalam firman-Nya:

    “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar 1-2).

    Juga firman-Nya:

    “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)”, (QS. Al Hajj 34).

    Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT mengabarkan bahwa menyembelih korban dan menumpahkan darah dengan nama Allah adalah disyariatkan pada semua agama. As Shobuni dalam Shafwatut Tafaasir Juz II/265 mengatakan bahwa Allah memerintahkan penyembelihan korban sebagai rasa syukur kepada Allah atas rezki yang dikaruniakan Allah, berupa ternak seperti unta, sapi, dan kambing dan agar mereka menyebut asma-Nya dan menyembelih korban untuk mencari keridloan-Nya karena Dialah Sang Pencipta dan Pemberi rizki, bukan seperti orang-orang musyrik yang berkorban demi patung-patung berhala.

    Hakikat Berkurban

    “Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.(QS. Al Maidah 27).

    “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Hajj 37).

    Korban dilakukan dengan memberikan yang terbaik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan keridloan-Nya. Ash Shobuni (idem) mengatakan bahwa prinsip korban ini adalah sikap taqwa dari kaum muslimin dengan tunduknya kaum muslimin mengikuti perintah-perintah Allah dan sikap mencari ridlo Allah dalam pelaksanaan perintah-perintah itu.

    Sikap Jiwa ber-Qurban

    Seorang muslim yang telah terbudaya dengan melaksanakan syariat Qurban akan terbentuk dalam dirinya untuk senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan menggapai keridloan-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-perintah-Nya yang wajib-wajib maupun yang sunnah-sunnah, sekalipun untuk itu dia harus mengorbankan apa saja yang dimilikinya, baik harta maupun nyawanya.

    Dia memahami bahwa segala aktivitasnya, adalah didasari kesadaran bahwa itu adalah perintah agama-Nya, perintah Allah dan rasul-Nya. Ia sadar betul bahwa bilamana dia mengerjakan suatu kebajikan, tanpa didasari oleh motivasi agama, maka akan percuma baginya. Dia paham, jika suatu perbuatan dilakukan tanpa motivasi agama, hanya sekedar kemanusiaan, mungkin saja orang akan membanggakan dan memujinya, mungkin negara memberikan piagam penghargaan kepadanya, tapi kalau di hadapan Allah, semua perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlas lilahi ta’ala dan tidak dilakukan dengan cara-cara yang disunnah Rasul-Nya tidak akan Dia SWT terima. Jadi kalau dia menyembelih korban, dia laksanakan sesuai tuntunan Rasulullah saw, yakni menyembelih onta, sapi, atau kambing. Tidak dia ganti dengan ayam, bebek, atau hewan lainnya yang tidak disyariatkan. Sebab, dia sadar bahwa yang diterima oleh Allah SWT adalah aktivitas yang disyariatkan oleh-Nya.

    Oleh karena itu, buah dari syariat Qurban adalah tercetaknya jiwa-jiwa muslim yang rela berkorban dan mengorbankan segala yang dimilikinya untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dijelaskan dan dicontohkan oleh rasul-Nya.

    Maka, jika dia menyembelih hewan qurban dan dengan-Nya memberi maka orang-orang fakir, yang meminta maupun yang tidak meminta, bukanlah agar dia mendapat predikat dermawan. Atau kalau dia kirim hewan korban-Nya ke daerah bencana dan dia membantu orang-orang yang terkena musibah, bukanlah untuk mendapatkan sebutan orang bermoral dan berperikemanusiaan. Tapi semua itu dia lakukan dalam rangka ketaqwaan-Nya kepada Allah Sang Pencipta dan kesukaannya mendapatkan Ridlo-Nya.

    ***

    Kiriman Syabab Muslim

     
    • dietdietsihat 7:26 am on 30 Agustus 2017 Permalink

      bukannya berapa banyak lembu, bukannya daging, bukannya darah, tapi pahala qurban itu. semoga keikhlasan kita itu diterima dan diredhai Allah

  • erva kurniawan 1:26 am on 29 August 2017 Permalink | Balas  

    Syariat Dan Kazaliman Dalam Penyembelihan (2/2) 

    menyembelih sapiSyariat Dan Kazaliman Dalam Penyembelihan (2/2)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu

    `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    Penggunaan cara bius, stunning atau kejutan elektrik itu hendaklah disahkan dan diperakui oleh orang Islam yang adil yang pakar atau yang ahli dalam hal ini, bahwa binatang-binatang yang hendak di sembelih itu masih dalam keadaan hayah mustaqirrah, dan tidak menyebabkan penyeksaan terhadap binatang tersebut.

    Jika perkara melemahkan atau memengsankan binatang itu akan menyeksa binatang tersebut, maka perbuatan yang sedemikian itu adalah haram, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melaknat kepada sesiapa yang melakukan penyeksaan kepada binatang sama ada untuk tujuan menyembelihnya atau pun bukan. Pernah pada satu masa Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma melihat sekumpulan orang melontar seekor ayam yang sengaja ditambatkan lalu ia berkata:

    Maksudnya: “Sesiapa yang melakukan perkara ini (menyeksa binatang), sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melaknat sesiapa melakukan perkara ini.” (Hadits riwayat Muslim)

    Adapun hukum daging binatang yang diseksa itu, jika ia mati disebabkan oleh seksaan tersebut atau disembelih ketika nyawanya diperingkat harakah mazbuh, maka ia dihukumkan bangkai, manakala jika ia tidak mati karena seksaan dan ada (zhan) sangkaan padanya hayah mustaqirrah melalui salah satu tandanya seperti pergerakan yang kuat, pancutan darah dan sebagainya selepas disembelih maka dagingnya itu halal dimakan.

    Begitulah sikap agama Islam terhadap binatang yang hendak disembelih, dilakukan dengan penuh ihsan sebagaimana hadis yang tersebut di atas yang bermaksud:

    “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan ke atas tiap-tiap sesuatu, maka apabila kamu membunuh maka elokkanlah pembunuhan itu, dan apabila kamu menyembelih maka elokkanlah penyembelihan itu, dan hendaklah salah seorang kamu menajamkan pisaunya dan hendaklah dia menyelesakan kepada binatang sembelihannya”. (Hadits riwayat Muslim)

    Bahkan ada lagi etika penyembelihan yang amat elok diikuti (disunatkan melakukannya) yang termasuk dalam pengertian ihsan yang disebutkan di dalam hadis tersebut:

    (i) Memalingkan binatang sembelihannya dan orang yang menyembelih ke kiblat, serta membaca Bismillah serta selawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam ketika menyembelih.

    (ii) Mempercepatkan pemotongan halqum dan mari` ketika menyembelih.

    (iii) Mengiringi binatang sembelihan ke tempat penyembelihan dengan lembut (selayaknya).

    (iv) Memberi minum binatang sembelihan itu sebelum disembelih.

    (v) Menajamkan pisau tidak diperlihatkan di hadapannya, dan ianya tidak disembelih di hadapan binatang-binatang yang lain.

    (vi) Memotong wadajan (dua urat darah yang di leher), karena ia cepat membawa kepada kematian binatang itu.

    (vii) Jika sudah disembelih binatang itu, tidak segera dilapah dagingnya kecuali setelah ia sampai benar-benar mati dan sejuk tubuhnya.

    Pada dasarnya agama Islam mengecam segala bentuk kezaliman, sekalipun terhadap binatang. Sebagai contoh seorang perempuan dimasukkan ke dalam neraka semata-mata menyeksa seekor kucing sepertimana yang terdapat diceritakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abdullah Radhiallahu ‘anhu katanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Seorang wanita diseksa pada hari kiamat lantaran dia mengurung seekor kucing sehingga kucing itu mati, karena itu Allah memasukkannya ke neraka, oleh sebab kucing itu dikurungnya tanpa diberi makan dan minum dan tidak pula dilepaskannya supaya ia dapat menangkap serangga-serangga yang terdapat di bumi.” (Hadits riwayat Muslim)

    Sebaliknya seorang itu telah diberi ganjaran pengampunan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu katanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Pada suatu ketika, ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui sebatang jalan, lalu dia merasa sangat kehausan, kebetulan dia menemukan sebuah telaga, maka dia turun ke telaga itu untuk minum. Setelah keluar dari telaga, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan. Orang itu berkata dalam hatinya: “Alangkah hausnya anjing ini, seperti yang baru kualami” lalu dia turun kembali ke telaga, diceduknya air dengan sepatunya, dibawanya ke atas dan diminumkannya kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu (diterimaNya amalnya) dan diampuniNya dosanya. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Dapat pahalakah kami menyayangi haiwan-haiwan ini?” Jawab (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam): “Menyayangi setiap makhluk hidup itu berpahala.”  Hadits riwayat Muslim)

    Lain-lain kezaliman yang dicela oleh Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:

    Maksudnya: “Seekor semut menggigit seorang Nabi di antara para nabi-nabi, lalu Nabi tersebut menyuruh membakar sarang semut itu, lalu dibakarlah. Maka Allah mewahyukan kepadanya: “Hanya seekor semut yang menggigitmu, lalu engkau musnahkan umat yang selalu membaca tasbih.” (Hadits riwayat Muslim)

    Demikian sikap Islam terhadap penyembelihan binatang dan kezaliman. Kedua-duanya sangat berbeza.

    Jika kita mengikuti penyembelihan yang disyariatkan oleh Islam dan mengikut adab-adab yang telah dianjurkannya terhadap binatang sembelihan, maka itu sudah jelas bahwa ia menepati akan maksud berbuat ihsan kepada binatang. Adalah belum pasti bahwa melemahkan binatang dengan menggunakan bius atau lain-lain cara yang diamalkan oleh Barat itu lebih menepati apa yang dikehendaki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.

    Tidak terdapat sebarang arahan syara’ menyuruh binatang-binatang itu dilemahkan atau dipengsankan terlebih dahulu dan kemudian barulah menyembelihnya. Sekiranya melemahkan atau memengsankan itu ialah cara yang dibuat atau dikehendaki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, nescaya sudah barang tentu ada hadis Baginda menyebut begitu, atau setidak-tidaknya perkhabaran daripada para sahabat yang telah menyaksikannya daripada Baginda.

    Sebenarnya perbuatan menyembelih ini adalah bukan perkara akal semata-mata. Jika ianya telah mengikut kehendak syara’, maka kezaliman tidak lagi berbangkit. Inilah bahaya jika akal digunakan tanpa timbangan syara’, karena berpandukan akal semata-mata itulah orang-orang jahil dan musuh-musuh Islam telah menohmah hudud undang-undang Islam sebagai kejam, ganas dan tidak sesuai dengan masa. Mereka mempertikaikan hukum potong tangan karena mencuri, rejam dan sebat karena zina, hukum bunuh balas bunuh (qishash) dan lain-lain tohmah yang diasaskan semata-mata kepada akal yang dangkal.

    Orang-orang seperti itu langsung tidak memahami apa itu syara’, apatah lagi untuk memikirkan disebalik hukum syara’ itu ada hikmah atau rahsia yang tidak boleh dikesan dan dianalisa oleh akal seratus peratus. Firman Allah Ta’ala:

    Tafsirnya: “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Surah Al-Isrâ’: 85)

    Umat Islam hendaklah berwaspada terhadap segala tohmahan-tohmahan yang dilemparkan kepada umat Islam yang kebanyakannya bukan sahaja bertujuan memberi keraguan dan gambaran yang buruk kepada penganut selain Islam, malah memberi keraguan kepada umat Islam sendiri, lebih-lebih lagi jika tohmahan itu datang daripada musuh-musuh Islam yang berselindung di bawah pertubuhan-pertubuhan yang kononnya berdasarkan kepada memperjuangan hak-hak asasi manusia atau hak asasi binatang.

    Sebenarnya apabila musuh-musuh Islam itu membuat kecaman terhadap Islam dan umat Islam atas nama hak-hak, maka yang sebenarnya kecaman itu adalah sebagai merealisasikan permusuhan mereka yang panjang dan lama terhadap Islam, karena itu Allah telah memperingatkan awal-awal lagi akan bahaya orang-orang kafir itu melalui firmanNya:

    Tafsirnya: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemahuan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Surah Al-Baqarah: 120)

    FirmanNya lagi:

    Tafsirnya: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (Surah Al-Mâ’idah: 82)

    Walau bagaimanapun, orang-orang Islam hendaklah mencerminkan dan menggambarkan sesuatu yang terbaik kepada penganut-penganut agama yang lain, karena dengan penampilan yang baik itu adalah merupakan salah satu cara dakwah yang akan menjinakkan hati orang-orang yang benar-benar mahu mencari kebenaran, semoga Allah akan memberi hidayat kepada mereka, sesuai dengan firmanNya:

    Tafsirnya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab itu beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.”

    (Surah Ali ‘Imrân: 110)

    ***

    Kiriman Sahabat Arland

     
  • erva kurniawan 1:23 am on 28 August 2017 Permalink | Balas  

    Syariat Dan Kazaliman Dalam Penyembelihan (1/2) 

    kambing-kurban-300x225Syariat Dan Kazaliman Dalam Penyembelihan (1/2)

    Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu

    `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

    Kedatangan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rahmat kepada manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan bahkan rahmat kepada sekalian yang wujud di alam ini. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    Tafsirnya: “Dan tiadalah Kami mengutuskan engkau (wahai Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam.”

    (Surah Al-Anbiyâ’: 107)

    Cara Islam mengatur hubungan manusia sesama manusia, malah juga hubungan manusia dengan binatang dan seluruh alam ini, adalah bukti kerahmatan itu. Ini termasuklah cara melakukan penyembelihan binatang. Islam telah memberi garis pandu yang lengkap bagaimana untuk melakukannya. Di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari Abu Ya’la Syaddad Ibnu Aus Radhiallahu ‘anhu :

    “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan ke atas tiap-tiap sesuatu, maka apabila kamu membunuh elokkanlah pembunuhan itu, dan apabila kamu menyembelih maka elokkanlah penyembelihan itu, dan hendaklah salah seorang kamu menajamkan pisaunya dan hendaklah dia menyelesakan binatang sembelihannya.”

    (Hadits riwayat Muslim)

    Menyembelih binatang dengan aturan yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ adalah satu jalan yang boleh menghalalkan daging binatang itu halal dimakan di samping memenuhi syarat-syarat yang lain. Hal ini digambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    Tafsirnya: “Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang yang disembelih karena yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan yang mati dipukul, dan yang mati jatuh dari tempat yang tinggi, dan yang mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan yang disembelih atas berhala; dan (diharamkan juga) kamu menengok nasib dengan undi batang-batang anak panah. Yang demikian itu adalah perbuatan fasiq.”

    (Surah Al-Ma’idah: 3)

    Sekalipun disyariatkan demikian, namun ada juga suara-suara yang coba mempertikaikan ketentuan hukum tersebut untuk meragukan keyakinan dan kefahaman kita dalam hal penyembelihan ini. Antaranya mereka mengatakan penyembelihan yang biasa dilakukan oleh orang Islam adalah suatu kezaliman terhadap binatang. Mereka berpendapat binatang tersebut perlu dipengsankan terlebih dahulu sebelum disembelih. Benarkah cara yang biasa kita lakukan iaitu tanpa memingsankan binatang sembelihan itu suatu kezaliman?

    Islam telah menentukan rukun-rukun dan syarat-syarat sembelihan itu sebagaimana huraiannya yang berikut:

    Rukun menyembelih itu ada empat:

    1. Penyembelih
    2. Binatang yang disembelih
    3. Alat untuk meyembelih
    4. Penyembelihan (perbuatan menyembelih)

    Setiap rukun-rukun ini, mempunyai syarat-syaratnya yang tertentu.

    1. Penyembelih

    Syarat penyembelih itu hendaklah seorang Islam atau ahli kitab (yang memenuhi syarat hakiki orang ahli kitab sebagaimana yang disebutkan oleh ulama-ulama Asy-Syafi’eyah).

    Tiada halal sembelihan orang Majusi (penyembah api), penyembah berhala, orang murtad dan lain-lain daripada orang kafir yang tiada mempunyai kitab agama Allah.

    1. Binatang yang disembelih

    Syarat binatang yang disembelih itu ialah:

    (i) Binatang darat yang halal dimakan.

    (ii) Zhan (sangkaan) terhadap binatang, bahwa ada padanya hayah mustaqirrah pada permulaan penyembelihan kecuali binatang yang sakit.

    Adapun binatang yang sakit atau kehausan tidak disyaratkan ada padanya hayah mustaqirrah ketika menyembelihnya, memadai sahaja padanya harakah mazbuh ketika menyembelihnya. Tetapi tidak halal jika binatang yang hendak disembelih yang nyawanya pada ketika itu di peringkat harakah mazbuh disebabkan oleh memakan tumbuh-tumbuhan yang membawa kepada maut, pukulan, hentakan dan seumpamanya daripada sebab-sebab yang boleh membawa kepada maut. Demikian yang dijelaskan dalam kitab-kitab Al-Majmu’, Fath Al-‘Alam dan I’anat At-Thalibin.

    Adapun yang dimaksudkan dengan hayah mustaqirrah itu ialah keadaan binatang yang masih bernyawa dan melihat dan bersuara serta bergerak dengan kehendaknya, dan di antara tanda-tandanya ialah pergerakan yang kuat, pancutan darah, suara rengekan kerongkong dan yang seumpamanya selepas disembelih. Manakala yang dimaksudkan dengan harakah mazbuh ialah keadaan binatang yang tiada lagi ada padanya penglihatan, pergerakan, suara dengan kehendaknya atau keadaan binatang yang apabila dibiarkan dengan keadaannya yang sedemikian itu, ia akan mati dengan serta merta.

    1. Alat untuk menyembelih

    Disyaratkan alat untuk menyembelih itu sesuatu yang boleh memotong dengan ketajamannya selain kuku, gigi dan semua jenis tulang. Maka tidak halal binatang yang disembelih menggunakan tiga jenis alat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari Rafi’ ibnu khadij Radhiallahu ‘anhu:

    Maksudnya: “Apa-apa yang dapat mengalirkan darah serta disebut nama Allah padanya (waktu menyembelih), maka boleh kamu makan, kecuali gigi dan kuku, dan aku akan khabarkan kepada kamu sedemikian itu, (karena) gigi adalah tulang dan kuku adalah pisau orang Habsyah.”

    (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

    1. Penyembelihan

    Disyaratkan penyembelihan itu:

    (i) Memotong seluruh halqum (saluran nafas) dan seluruh mari` (saluran makanan dan minuman).

    (ii) Niat untuk menyembelih ketika melakukan penyembelihan. Jika seseorang memegang pisau di tangannya dan terlepas pisau itu daripada tangannya, lalu terkena leher binatang dan terputus seluruh halqum dan mari`nya, tidaklah dikira sebagai penyembelihan, karena tidak ada niat untuk melakukan penyembelihan, maka tidak halal memakan daging binatang tersebut.

    (iii) Hendaklah binatang itu mati semata-mata disebabkan oleh penyembelihan (tidak dilakukan satu perbuatan lain yang boleh membawa maut kepada binatang itu ketika disembelih).

    Apabila telah cukup segala rukun-rukun dan syarat-syarat penyembelihan yang tersebut, maka halal binatang itu kecuali sembelihan yang dimaksudkan kepada selain Allah atau disebutkan sewaktu menyembelihnya selain nama Allah, walaupun sembelihan itu mencukupi segala rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan.

    Dasar perintah ini ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    Tafsirnya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan ke atas kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut selain nama Allah.” (Surah Al-Nahl: 115)

    Berdasarkan kepada rukun yang kedua (binatang yang disembelih) dan syarat-syaratnya, maka melemahkan atau memingsankan binatang yang hendak disembelih dengan cara seperti bius, stunning, kejutan elektrik yang tidak membawa kepada maut dan ada padanya hayah mustaqirrah ketika disembelih, adalah harus pada hukum syara’.

    Bersambung

    ***

    Kiriman Sahabat Arland

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal