Updates from Juli, 2014 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 3:13 am on 31 July 2014 Permalink | Balas  

    Hanya Ingin Jadi Orang Baik 

    itikafHanya Ingin Jadi Orang Baik

    Hari ini aku lelah fisik dan batin. Seharian tadi aku melangkahkan kaki untuk mencari barisan kata penyampai fakta. Tak mudah. Aku harus berlari, berkejaran dengan waktu dan debu. Aku harus berlomba, beradu dengan manusia, sekedar untuk mendapat rangkaian kalimat yang keluar dari mulut sang pejabat. Sekedar meminta ucapan dari sekumpulan orang yang mengaku orang baik. Padahal, sejarah memaparkan, sebagian mereka adalah pembual. Pembual besar.

    Kadang aku harus sedikit merayu dan memaksa. Bukan apa-apa, tanpa rayu dan paksaan, ada narasumberku yang enggan membuka mulutnya. Padahal dari kalimatnya lah aku mendapat upah. Padahal dari ceritanya lah aku mendapat penghargaan. Sekedar ucapan, “berita kamu bagus.”

    Tak jarang aku harus berpura-pura iba, mengumbar senyum dan seolah ikut merasai mereka yang memikul duka. Padahal kutahu luka mereka bukan sembarang luka. Luka mereka adalah luka teramat dalam yang tak akan pernah hilang. Luka yang tak pernah kering oleh panasnya matahari. Luka yang tak pernah bisa diterbangkan oleh angin.

    Namun aku malah memaksanya kembali mengingat dan memaparkan lukanya. Tanpa hatiku memaknai, merasakan lukanya. Tanpa tanganku menawarkan, melingkarkan sebuah pelukan, memberikan sedikit rasa nyaman. Lagi-lagi demi sebuah pujian, demi sebuah kekaguman.

    Pernah aku dihadapkan pada pilihan. Saat aku harus memutuskan satu saja dari dua. Saat kulihat luka menganga disekitarku, aku harus memilih. Mencoba mengobati luka mereka sesegera atau mendahulukan membuat cerita dari luka itu. Dan aku memilih mendapat acungan jempol, karena cerita ku memampangkan luka itu.

    Seringkali aku memaksa membuka memori mereka. Kenangan yang tak ingin dibuka. Dan aku memaksanya membuka atau memaksaku membukanya. Tanpa seijin pemiliknya, tanpa merasai akibatnya. Dan itu demi sebuah cerita. Cerita yang membuatku dikejar kalimat berbunga.

    Waktu lalu, aku juga pernah menjual kata-kata manis. Seolah aku adalah peri yang bisa membantu si kecil. Padahal tak lain itu adalah bagian dari strategi. Berpura-pura simpati. Kepura-puraan untuk mulusnya penyusunan sebuah kisah. Kisah sejati dan mengharukan. Demi tetesan air mata pendengar cerita. Indikator keberhasilan penyajian cerita duka.

    Pernah aku menatap bencana dengan datar. Karena itu bukan bencanaku. Bencana itu milik tokoh dalam kisahku. Aku hanya sekedar menyampaikan bencana itu dengan kata-kata haru. Tambahan pemanis disana-sini. Menuntun si tokoh untuk berekspresi sesuai dengan skenarioku.

    Seolah itu adalah fiksi, bukan nyata. Tak perlu dimaknai, tak perlu dihargai. Hanya dibungkus. Untuk santapan mata dan kuping sekumpulan orang yang dinamakan penonton. Penonton cerita. Makin banyak mereka, makin baguslah aku.

    Tapi, hari ini aku lelah.

    Hari ini, aku tiba-tiba saja ingin merenung. Merenungi makna hidupku, merasai peranku dalam perjalanan sang waktu. Kali ini aku merasa tak lagi berhati. Kali ini di kepalaku hanya ada obsesi. Obsesi dihargai manusia dan diimbali deretan angka di rekeningku setiap bulan berganti.

    Hari ini aku hanya ingin mengingat. Merindui masa saat aku bercita sederhana. Menjadi orang baik. Orang yang memberi arti bagi orang lain. Tak pernah melukai, meski setitik. Tak pernah menyakiti, meski senoktah.

    Padahal aku tak pernah ingin berpura-pura dalam hidupku. Aku ingin menjadi aku. Dengan idealismeku dulu. Menyampaikan apa yang perlu kusampaikan. Tak perlu menyampaikan kepalsuan. Aku ingin menyampaikan kebenaran. Jika kepalsuan itu harus disampaikan, semata untuk membuat si palsu terkuak. Aku ingin menjadi orang baik.

    Padahal aku ingin, dengan peranku aku memberi secercah harap. Seberkas asa. Bagi mereka, Tuhan. Mereka yang dihempas duka, mereka yang terluka, mereka yang menahan jerit. Meski sekedar uluran tangan. Pelukan seorang saudara. Sekedar menenangkan. Meski hanya sementara. Menjadi orang baik.

    Padahal, dengan peranku, aku bisa tulus berbagi dengan mereka. Membiarkan mereka membagi luka, memberi sedikit kehangatan. Dengan ikhlasku, dengan kerelaanku. Sebagai saudara, sebagai teman, sebagai tempat berbagi. Menjadi orang baik.

    Padahal dengan peranku, aku tak usah berpura-pura. Aku bisa lebih memaknai senyumku untuk menghadiahkan sedikit bahagia dihati mereka. Dengan simpati yang tak lagi palsu. Sebenar-benarnya simpati.

    Padahal dengan peranku, dengan kelurusan niatku, aku ingin membuat cerita-ceritaku bermakna. Membuat kisah-kisah dari tanganku dapat merubah dunia. Membuat manusia lain lebih merasa dan berterimakasih atas takdir mereka yang lebih. Membuat mereka berlomba menjadi orang baik.

    Padahal dengan peranku, aku bisa mengungkap dusta dan mengusir si durjana. Dengan keteguhan dan keberanianku, aku bisa menghapus kotoran-kotoran dunia. Menuntut mereka untuk menjadi orang baik.

    Wahai Penguasa Dunia, Penguasa Diriku…..

    Ampuni aku yang telah menutup hati dan mengebalkan rasa. Ampuni aku yang tidak memaknai peranku. Aku mencintai peranku, Yang Maha Perkasa. Aku ingin lelah fisik dan batinku memberi arti, hanya bagiMu, Penulis Skenario sesungguhnya, bukan sekedar kekaguman para ciptaanmu.

    Penguasaku, luruskan langkahku. Untuk menjadi ciptaanmu yang tak sia-sia. Yang tak terlupa oleh kecantikan fana. Yang tak membuat peranku, amanahMu, mengantarku pada amarahMu. Yang selalu diingatkan untuk menjadi orang baik. Seperti cita sederhanaku dulu.

    Raja Dunia, tetapkan niatku untuk memaknai setiap detik peranku. Merasainya, menikmatinya, mensyukurinya sebagai sebuah kepercayaan-Mu padaku. Kuatkan aku untuk melangkahkan kakiku dan menghargai keringatku dengan harapan hanya balasan-Mu. Menjadi orang baik.

    “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah padaKu.” (Adz Dzariyaat:56)

    ***

    Dari Sahabat Karlina

     
  • erva kurniawan 4:52 am on 30 July 2014 Permalink | Balas  

    11 Bulan Pembuktian Paska Ramadhan 

    maaf11 Bulan Pembuktian Paska Ramadhan

    Apa yang bisa kita ambil dari ibadah selama bulan Ramadhan? Banyak lika-liku, suka-duka, maupun pengalaman mengesankan dalam menjalankan roda kehidupan di kala bulan Ramadhan. Dimulai dari dini hari, pada saat dimana pada umumnya manusia masih terlelap, kita memulai aktivitas Ramadhan dengan bersahur. Sahur kita lakukan untuk mempersiapkan diri sebelum berpuasa sepanjang hari nantinya. Walaupun hanya segelas air, itupun sudah cukup, sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah.

    Dilanjutkan di siang hari, di kala kita sedang beraktivitas. Di tengah terik panas matahari, kita tetap bersabar untuk menahan haus. Demikian pula, ketika beban kerja begitu menekan. Dalam keadaan ingin marah, kita langsung ingat bahwa kita sedang berpuasa. Sehingga amarah menjadi reda kembali. Tidak lupa kita senantiasa menjaga pandangan dari hal yang menjurus maksiat dan sia-sia. Begitu tiba saatnya berbuka, kita lepas lapar dan dahaga. Rasulullah menganjurkan menyegerakan berbuka dan dengan makanan-makanan yang ringan seperti korma. Aktivitas kita diakhiri dengan melakukan ibadah shalat malam. Demikian seterusnya selama satu bulan penuh.

    Kalau kita mau memikirkan hikmah di balik aktivitas selama Ramadhan, insya Allah banyak pelajaran yang bisa diambil. Dalam memulai beraktivitas kita dianjurkan untuk selalu mempersiapkan diri, sebagaimana tercermin dari sahur. Bagaimana kita akan menjadi manusia yang sukses jika kita tidak mengawali dengan persiapan yang baik. Kita pun dituntut untuk bekerja dengan efektif, yaitu menjauhi perbuatan sia-sia dan maksiat, sebagaimana kita lakukan di siang hari kala berpuasa. Hal ini merupakan kontrol yang efektif bagi manusia. Karena tanpa perlu disuruh atasan, kita akan selalu mengendalikan diri, karena merasa ada yang mengawasi yaitu Allah. Demikian pula di saat berbuka, pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa dalam hidup kita dituntut untuk senantiasa sederhana. Walaupun kita dapat mengumbar nafsu untuk menyantap hidangan semaunya, kita tetap dianjurkan untuk memakan makanan yang sederhana terlebih dahulu.

    Satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah manajemen waktu yang begitu terjaga di kala Ramadhan. Mulai dari sahur, berpuasa di siang hari, sampai berbuka, kita dituntut untuk selalu mematuhi waktu itu. Setelah melakukan semua rangkaian aktivitas itu, kita diminta untuk mengembalikan semua itu kepada Allah saat melakukan shalat malam. Di dalam hidup ini, demikianlah adanya dimulai dengan berikhtiar semaksimal mungkin dan harus selalu dibarengi dengan tawakkal hanya kepada Allah.

    Betapa murah hatinya Allah, memberikan pelatihan kepada kita selama Ramadhan ini untuk bisa menjadi manusia yang dapat mengatur hidupnya menjadi lebih baik. Apakah berhasil pelatihan yang Allah berikan ini? Pelatihan di bulan Ramadhan akan berhasil jika kita bisa mengimplikasikannya dalam bulan-bulan selain Ramadhan. Karena sesungguhnya hal itu bisa kita lakukan tidak hanya di bulan Ramadhan. Justru cobaan akan terjadi di sebelas bulan mendatang, apakah Ramadhan kita berhasil atau tidak. Ibadah Ramadhan kita dikatakan berhasil, jika di sebelas bulan ke depan, kita dapat beraktivitas sebaik di bulan Ramadhan.

    Akan sangat beruntunglah kita yang dapat tetap menjaga ibadah maupun ritme kehidupan seperti di kala Ramadhan dalam sebelas bulan mendatang sampai bertemu Ramadhan yang akan datang, insya Allah. Betapa kita akan menjadi orang yang beruntung, karena setiap hari lebih baik dari hari yang kemarin. Bulan ini menjadi lebih baik dari yang kemarin, dan insya Allah bulan yang akan datang lebih baik dari bulan ini. Ramadhan kali ini lebih baik dari Ramadhan kemarin, dan demikian pula insya Allah Ramadhan yang akan datang kita persiapkan agar lebih baik dari Ramadhan kali ini. Dengan demikian insya Allah kita akan menjadi manusia berhasil dunia dan akhirat.

    Wallahu’a’lam bishshawab

    ***

    Oleh: Zulfikar –  eramuslim

     
  • erva kurniawan 6:39 am on 29 July 2014 Permalink | Balas  

    Kenapa Tidak Minta Yang Terbaik? 

    kerja kerasKenapa Tidak Minta Yang Terbaik?

    Manusia memang tidak pernah luput dari yang namanya “menyesal”. Setelah menyesal, barulah dia merasa sedih dan memohon ampun pada Sang Khalik. Memang seperti itulah kodratnya. Tetapi bagi hamba yang telah mencapai titik keimanan yang lebih, tentunya ia tidak akan mengalami hal seperti diatas, dia akan pasrah kepada-Nya, dan menerima semua keputusan-Nya dengan lapang dada, sehingga tidak tampak penyesalan di wajahnya.

    Manusia memang diberi nafsu oleh Allah Swt. Jika nafsu itu bisa dikelola dengan baik, artinya apa yang diinginkannya semata-mata adalah untuk mencapai keridhoan-Nya, maka apapun hasilnya, insya Allah, akan menyenangkan. Lain halnya jika manusia bernafsu akan suatu hal, tetapi ia tidak mengelolanya dengan baik, maka hasil apapun yang diberi Allah dianggapnya sebagai suatu tanda bahwa Allah tidak sayang lagi padanya.

    Manusia hanya manusia pemikir, begitu kata teman saya, semuanya akan kembali kepada Allah juga. Ketika usaha sudah kita lakukan dengan segenap kemampuan kita, sudah sepatutnya semua hasilnya pun kita serahkan pada Allah, tidak lantas memaksa Allah untuk mengabulkan apa maunya kita sendiri. Allah Maha Tahu segalanya, apa yang ada di hati kita Dia tahu, apa yang terbaik untuk kita jelas Dia sangat tahu. Kenapa masih saja kita memaksakan suatu keinginan kepada-Nya?

    Seringkali kita baca ayat yang menyebutkan bahwa, apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, dan apa yang buruk menurut kita belum tentu buruk menurut Allah, tapi kenapa pula kita seringkali tidak merealisasikan ayat tersebut?

    Banyak rahasia Allah yang tidak kita ketahui, mungkin dibalik apa yang buruk menurut kita, Allah menyimpan suatu keberhasilan untuk kita di kemudian hari. Atau sebaliknya, mungkin dibalik apa yang baik menurut kita tersimpan suatu kegagalan di hari depan, sehingga tidak Ia kabulkan apa yang kita minta tersebut.

    Sudah sepantasnya kita ber-husnudzon kepada Allah. Tidak berat rasanya di setiap do’a kita meminta Allah memberikan yang terbaik untuk hari depan kita, beratkah mengucapkan sebaris kata-kata itu? Mungkin berat karena hati kita masih dikuasai oleh nafsu. Nafsu yang menyelimuti hati punya porsi lebih besar dari kepasrahan kita kepada-Nya. Coba kita latih untuk bisa mengucapkan kalimat itu di hadapan-Nya, setiap kita berdo’a. Jika kita sudah mampu mengatakannya, insya Allah, hati kita telah pasrah kepada-Nya dan insya Allah hasil apapun yang Allah berikan akan dapat kita terima dengan ikhlas dan lapang dada. Allah pun, insya Allah, akan memberikan pahala buat kita. Amiin.

    Berdo’a apa saja memang Allah anjurkan, asalkan itu adalah kebaikan. Tapi tidak ada salahnya jika di setiap akhir do’a kita sisipkan kata-kata itu, sehingga hati lebih tentram. Saya yakin hasil apa pun yang akan Allah berikan akan dapat kita terima dengan ikhlas dan menjalaninya pun akan dengan senang hati.

    Mulailah untuk dapat meminta yang terbaik kepada Allah, jangan sampai kita terbelenggu oleh nafsu kita sendiri. Ingat, Allah Maha Tahu dan akan memberi yang terbaik untuk hamba-Nya yang beriman. Wallahu’alam bishowab.

    Terimakasih ya Allah, hamba tahu inilah yang terbaik untuk hamba.

    ***

    eramuslim

     
  • erva kurniawan 6:34 am on 28 July 2014 Permalink | Balas  

    NIKMATNYA MAIYAH 

    89masjidNikmatnya Maiyah

    Dalam forum Maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum :

    “Apakah Anda punya tetangga?”

    Dijawab serentak  “ Tentu punya!”

    “Punya istri enggak tetangga Anda?” –

    “Ya, punya dooooong”

    “Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”

    “Secara khusus, tak pernah melihat” –

    “Jari-jari kakinya lima atau tujuh?”

    “Tidak pernah memperhatikan” –

    “Body-nya sexy enggak?”

    Hadirin tertawa lepas. Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka.

    “Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja.

    Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah  disimpan didalam hati. Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam. Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran. Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter, umpamanya.

    Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misalnya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhammadiyah. Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing.

    Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerjasama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati. Itulah Maiyah.”

    Emha Ainun Nadjib

     
  • erva kurniawan 6:25 am on 27 July 2014 Permalink | Balas  

    Cinta Tak Berujung 

    Nasehat IbuCinta Tak Berujung

    Sore ini seperti biasa aku pulang naik angkot. Tidak terlalu jauh memang, tapi kemacetan seringkali membuat aku harus lebih banyak menghirup sesaknya udara polusi. Dan di sinilah, aku seringkali mengingat kisah kami, aku dan bayiku.

    Saat itu, ketika setiap hari ibu membawamu ke kantor, saat itu pula tumbuh rasa sesal di hati ibu. Mungkin sebuah penyesalan yang wajar bagi seorang bunda. Karena ibu sudah memaksamu untuk keluar rumah, menikmati hiruk pikuknya dunia. Idealnya, di usiamu yang masih rentan itu, ibu menungguimu di rumah. Di kamar yang bersih dan sejuk, tanpa polusi, tanpa kericuhan, tanpa keramaian dan tanpa hal-hal yang membuat ibu sendiri pusing. Padahal ibu sudah dewasa, anakku. Bagaimana denganmu, yang masih berusia dua bulan.

    Namun ibu lalui semuanya dengan senyum. Bersama dukungan ayahmu dan iringan tawa riangmu. Hati ibu pun semakin menguat tatkala melihat keluarga yang kurang beruntung. Yang tinggal di pinggir-pinggir jalan. Juga di terminal tempat angkot kita berhenti untuk berganti angkot berikutnya. Ibu melihat betapa anak-anak itu juga bisa tumbuh dewasa, walaupun dengan segala keterbatasan fasilitas orang tuanya. Dari wajah-wajah mereka yang ceria, mereka juga tampak sehat. Allah memang Maha Adil, sayang. Ibu sangat percaya itu.

    Ibu yakin, hal yang terbaik untukmu saat itu adalah dekat dan mendapatkan air susu ibumu. Dan, satu-satunya jalan untuk mewujudkannya, hanya dengan membawamu kemanapun ibu pergi. Aneh! Beberapa orang yang ibu temui di jalan menganggapnya demikian. Pun dengan rekan-rekan sekerja ibu. Apalagi saat ibu memilih menghampirimu daripada menghadiri undangan meeting, saat kau menangis kehausan. Beberapa rekan mengatakan bahwa ibu bisa di-PHK karena itu.

    Tapi ibu tidak takut, sayang. Yang lebih ibu khawatirkan adalah jika ibu tidak bisa memberikan hak yang seharusnya kau terima. Rizki yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Welas Asih melalui ibumu yaitu air susu. Karena ibu sangat berharap, bisa menggenapkan kewajiban ibu hingga dua tahun usiamu.

    Untuk itu, maafkan ibu jika terpaksa mengurungmu dalam sesaknya polusi di angkot yang kita naiki. Sungguh, kami tak pernah menghendakinya, sayang.

    Hanya doa yang ibu panjatkan tiap saat agar rasa sesal ini sedikit berkurang. Bermohon kekuatan dan kesehatan untukmu. Mohon agar kau bisa tumbuh sehat dan kuat. Bisa tumbuh dan berkembang dengan sempurna untuk menjadi generasi yang lebih baik daripada kami.

    Ya Tuhanku Allah Yang Maha Waspada…
    Allah Yang Tak Pernah Lengah…
    Dzat Yang Maha Pemurah…

    Berikan perlindungan untuk putra-putri kami…
    Awasi dia selalu…
    Jaga fitrahnya Ya Robb
    Jadikan mereka putra-putri yang sholeh dan sholehah

    Jangan timpakan hukuman pada mereka akibat dosa dan kesalahan kami, Tuhanku…

    Ampuni kami Ya Allah, Berilah kami kekuatan untuk menjadi orang tua yang adil buat mereka, aamiiin.

    ***

    Aku tahu…dan teramat sadar, bahwa aliran kata-kata bermakna doa yang selalu kuhadirkan buat buah hatiku, bukanlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan ibu bapakku. Aku hanya ingin memulainya saat ini. Untuk menjadi bunda yang baik baginya… untuk menjadi madrasah yang berkualitas buatnya.

    Dengarlah doaku Ya Robbi, dan kabulkan keinginanku.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:40 am on 26 July 2014 Permalink | Balas  

    Panduan Shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha 

    shalat-tarawih-puasa-pertama_fullPANDUAN SHALAT ‘IEDUL FITHRI DAN ‘IEDUL ADHHA

    1. Diriwayatkan dari Abu Said, ia berkata : Adalah Nabi saw. pada hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adhha keluar ke mushalla (padang untuk shalat), maka pertama yang beliau kerjakan adalah shalat, kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap kepada manusia sedang manusia masih duduk tertib pada shof mereka, lalu beliau memberi nasihat dan wasiat (khutbah) apabila beliau hendak mengutus tentara atau ingin memerintahkan sesuatu yang telah beliau putuskan,beliau perintahkan setelah selesai beliu pergi. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)

    2. Telah berkata Jaabir ra: Saya menyaksikan shalat ‘ied bersama Nabi saw. beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqamah, setelah selesai beliau berdiri bertekan atas Bilal, lalu memerintahkan manusia supaya bertaqwa kepada Allah, mendorong mereka untuk taat, menasihati manusia dan memperingakan mereka, setelah selesai beliau turun mendatangai shaf wanita dan selanjutnya beliau memperingatkan mereka. (H.R : Muslim)

    3. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Umar mendapati pakaian tebal dari sutera yang dijual, lalu beliau mengambilnya dan membawa kepada Rasulullah saw. lalu berkata : Yaa Rasulullah belilah pakaian ini dan berhiaslah dengannya untuk hari raya dan untuk menerima utusan. Maka beliaupun menjawab : Sesungguhnya pakaian ini adalah bagian orang-orang yang tidak punya bagian di akherat (yakni orang kafir). (H.R Bukhary dan Muslim)

    4. Diriwayatkan dari Ummu ‘Atiyah ra. ia berkata : Rasulullah saw. memerintahkan kami keluar pada ‘iedul fitri dan ‘iedul adhha semua gadis-gadis, wanita-wanita yang haidh, wanita-wanita yang tinggal dalam kamarnya. Adapun wanita yang sedang haidh mengasingkan diri dari mushalla tempat shalat ‘ied), mereka meyaksikan kebaikan dan mendengarkan da’wah kaum muslimin (mendengarkan khutbah). Saya berkata : Yaa Rasulullah bagaimana dengan kami yang tidak mempunyai jilbab? Beliau bersabda : Supaya saudaranya meminjamkan kepadanya dari jilbabnya. (H.R : Jama’ah)

    5. Diriwayatkan dariAnas bin Malik ra. ia berkata : Adalah Nabi saw. Tidak berangkat menuju mushalla kecuali beliau memakan beberapa biji kurma, dan beliau memakannya dalam jumlah bilangan ganjil. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)

    6. Diriwayatkan dari Buraidah ra. ia berkata : Adalah Nabi saw keluar untuk shalat ‘iedul fitri sehingga makan terlebih dahulu dan tidak makan pada shalat ‘iedul adhha sehingga beliau kembali dari shalat ‘ied. (H.R :Ibnu Majah, At-Tirmidzi dan Ahmad)

    7. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Bahwasanya Nabi saw. Keluar untuk shalat ‘iedul fitri dua raka’at, tidak shalat sunah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. (H.R : Bukhary dan Muslim)

    8. Diriwayatkan dari Jaabir ra. ia berkata : Adalah Nabi saw apabila keluar untuk shalat ‘ied ke mushalla, beliau menyelisihkan jalan (yakni waktu berangkat melalui satu jalan dan waktu kembali melalui jalan yang lain (H.R : Bukhary)

    9. Diriwayatkan dari Yazid bin Khumair Arrahbiyyi ra. ia berkata : Sesungguhnya Abdullah bin Busri seorang sahabat nabi saw. Keluar bersama manusia untuk shalat ‘iedul fitri atau ‘iedul adhha, maka beliau mengingkari keterlambatan imam, lalu berkata : Sesungguhnya kami dahulu (pada zaman Nabi saw.) pada jam-jam seperti ini sudah selesai mengerjakan shalat ‘ied. Pada waktu ia berkata demikian adalah pada shalat dhuha. (H.R : Abu Daud dan Ibnu Majah)

    10. Diriwayatkan dari Abi Umair bin Anas, diriwayatkan dari seorang pamannya dari golongan Anshar, ia berkata : Mereka berkata : Karena tertutup awan maka tidak terlihat oleh kami hilal syawal, maka pada pagi harinya kami masih tetap shaum, kemudian datanglah satu kafilah berkendaraan di akhir siang, mereka bersaksi dihadapan Rasulullah saw.bahwa mereka kemarin melihat hilal. Maka Rasulullah saw. memerintahkan semua manusia (ummat Islam) agar berbuka pada hari itu dan keluar menunaikan shalat ‘ied pada hari esoknya. (H.R : Lima kecuali At-Tirmidzi)

    11. Diriwayatkan dari Azzuhri, ia berkata : Adalah manusia (para sahabat) bertakbir pada hari raya ketika mereka keluar dari rumah-rumah mereka menuju tempat shalat ‘ied sampai mereka tiba di mushalla (tempat shalat ‘ied) dan terus bertakbir sampai imam datang, apabila imam telah datang, mereka diam dan apabila imam ber takbir maka merekapun ikut bertakbir. (H.R : Ibnu Abi Syaibah)

    12. Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud ra. bertakbir pada hari-hari tasyriq dengan lafadz sbb : (artinya) : Allah maha besar, Allah maha besar, tidak ada Illah melainkan Allah dan Allah maha besar, Allah maha besar dan bagiNya segala puji. (H.R Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih)

    13. Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari neneknya, ia berkata : Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada shalat ‘ied dua belas kali takbir. dalam raka’at pertama tujuh kali takbir dan pada raka’at yang kedua lima kali takbir dan tidak shalat sunnah sebelumnya dan juga sesudahnya. (H.R : Amad dan Ibnu Majah)

    14. Diriwayatkan dari Samuroh, ia berkata : Adalah Nabi saw. Dalam shalat kedua hari raya beliau membaca : Sabihisma Rabbikal A’la dan hal ataka haditsul ghosiah. (H.R : Ahmad)

    15. Diriwayatkan dari Abu Waqid Allaitsi, ia berkata : Umar bin Khaththab telah menanyakan kepadaku tentang apa yang dibaca oleh Nabi saw. Waktu shalat ‘ied . Aku menjawab : beliau membaca surat (Iqtarabatissa’ah) dan Qaaf walqur’anul majid). (H.R : Muslim)

    16. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqom ra. ia berkata : Nabi saw. Mendirikan shalat ‘ied, kemudian beliau memberikan ruhkshah / kemudahan dalam menunaikan shalat jum’at, kemudian beliau bersabda : Barang siapa yang mau shalat jum’ah, maka kerjakanlah. (H.R : Imam yang lima kecuali At-Tirmidzi)

    17. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Nabi saw. Bersabda pada hari kamu ini, telah berkumpul dua hari raya (hari jum’ah dan hari raya), maka barang siapa yang suka shalat jum’ah, maka shalatnya diberi pahala sedang kami akan melaksanakan shalat jum’ah. (H.R : Abu Daud)

    KESIMPULAN

    Hadits-hadits tersebut memberi pelajaran kepada kita tentang adab-adab shalat hari raya sbb :

    Pakaian

    Pada saat mendirikan shalat kedua hari raya disunnahkan memakai pakaian yang paling bagus. (dalil : 3)

    Makan

    a. Sebelum berangkat shalat hari raya fitri disunnahkan makan terlebih dahulu, jika terdapat beberapa butir kurma , jika tidak ada maka makanan apa saja.

    b. Sebaliknya pada hari raya ‘iedul adhha, disunnahkan tidak makan terlebih dahulu sampai selesai shalat ‘iedul adhha. (dalil : 5 dan 6) Mendengungkan takbir

    a. Pada hari raya ‘iedul fitri, takbir didengungkan sejak keluar dari rumah menuju ke tempat shalat dan sesampainya di tempat shalat terus dilanjutkan takbir didengungkan sampai shalat dimulai. (dalil : 11)

    b. Pada hari raya ‘iedul adhha, takbir boleh didengungkan sejak Shubuh hari Arafah (9 Dzul Hijjah) hingga akhir hari tasyriq (13 Dzul Hijjah). (dalil : 12)

    Jalan yang dilalui

    Disunnahkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat shalat hari raya dengan jalan yang dilalui di waktu pulang dari shalat ‘ied (yakni waktu berangkat melalui satu jalan, sedang waktu pulang melalui jalan yang lain). (dalil : 8)

    Bila terlambat mengetahui tibanya hari raya

    Apabila datangnya berita tibanya hari raya sudah tengah hari atau petang hari, maka hari itu diwajibkan berbuka sedang pelaksanaan shalat hari raya dilakukan pada hari esoknya. dalil : 10)

    Yang menghadiri shalat ‘ied

    Shalat ‘ied disunnahkan untuk dihadiri oleh orang dewasa baik laki-laki maupun wanita, baik wanita yang suci dari haidh maupun wanita yang sedang haidh dan juga kanak-kanak baik laki-laki maupun wanita. Wanita yang sedang haidh tidak ikut shalat, tetapi hadir untuk mendengarkan khutbah ‘ied. (dalil :4)

    Tempat shalat ‘ied

    Shalat ‘ied lebih afdhal (utama) diadakan di mushalla yaitu suatu padang yang di sediakan untuk shalat ‘ied, kecuali ada uzur hujan maka shalat diadakan di masjid. Mengadakan shalat ‘ied di masjid padahal tidak ada hujan sementara lapangan (padang) tersedia, maka ini kurang afdhal karena menyelisihi amalan Rasulullah saw. yang selalu mengadakan shalat ‘ied di mushalla (padang tempat shalat), kecuali sekali dua kali beliau mengadakan di masjid karena hujan. (dalil : 1 dan 8)

    Cara shalat ‘ied

    a. Shalat ‘ied dua raka’at, tanpa adzan dan iqamah dan tanpa shalat sunnah sebelumnya dan sesudahnya. (dalil : 1,2 dan 7)

    b. Pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum membaca Al-Fatihah, ditambah 7 kali takbir. Sedang pada raka’at yang kedua sebelum membaca Al-Fatihah dengan takbir lima kali. (dalil 13)

    c. Setelah membaca Fatihah pada raka’at pertama di sunnahkan membaca surat (sabihisma Rabbikal a’la / surat ke 87) atau surat iqtarabatissa’ah / surat ke 54). Dan setelah membaca alFatihah pada raka’at yang kedua disunnahkan membaca surat (Hal Ataka Haditsul Ghaasyiyah / surat ke 88) atau membaca surat (Qaaf walqur’anul majid / surat ke 50).(dalil : 15)

    d. Setelah selesai shalat , imam berdiri menghadap makmum dan berkhutbah memberi nasihat-nasihat dan wasiat-wasiat, atau perintah-perintah penting.

    e. Khutbah hari raya ini boleh diadakan khusus untuk laki-laki kemudian khusus untuk wanita.

    f. Khutbah hari raya ini tidak diselingi duduk .(dalil : 1 dan 2)

    Waktu shalat

    Shalat ‘ied diadakan setelah matahari naik, tetapi sebelum masuk waktu shalat dhuha. (dalil : 9)

    Hari raya jatuh pada hari jum’ah Bila hari raya jatuh pada hari jum’ah, maka shalat jum’ah menjadi sunnah, boleh diadakan dan boleh tidak, tetapi untuk pemuka umat atau imam masjid jami’ sebaiknya tetap mengadakan shalat jum’at. (dalil : 16 dan 17)

     

     
  • erva kurniawan 2:22 am on 25 July 2014 Permalink | Balas  

    Alasan Apa Lagi? 

    kerja kerasAlasan Apa Lagi?

    Tatkala seorang yang kaya raya ditanya. Mengapa engkau tidak beribadah….? Sang hartawan beralasan bahwa ia tidak punya waktu untuk beribadah karena seluruh waktunya dihabiskan untuk mengurusi kekayaanya. Mungkin ia lupa, bahwa dirinya sebenarnya tidaklah lebih kaya dari nabi Sulaeman as. Yang justru menjadi semakin bertakwa dengan bertambah kekayaannya.

    Alasan apa lagi……?

    Pertanyaan serupa ditujukan pada seorang karyawan. Mengapa engkau tidak beribadah….? Sang karyawan berargumen bahwa ia tidak punya waktu untuk beribadah karena sibuk dengan pekerjaannya. Mungkin ia pun lupa, bahwa dirinya tidaklah lebih sibuk dibandingkan dengan nabi Muhammad saw. yang disamping sebagai kepala negara, panglima perang, beliau juga seorang pendidik umat.

    Alasan apa lagi…..?

    Begitupun ketika seorang hamba sahaya ditanya. Mengapa engkau tidak beribadah….? Sang hamba sahaya beralasan bahwa ia tidak punya waktu untuk beribadah karena sibuk melayani majikannya. Tidakkah ia lupa, bahwa dirinya tidaklah lebih sibuk dan sengsara dibandingkan dengan nabi Yusuf as?

    Alasan apa lagi…..?

    Seorang yang sakit ditanya dengan pertanyaan yang sama. Mengapa engkau tidak beribadah….? Sang pasien beralasan bahwa ia tidak punya waktu dan tenaga untuk beribadah karena derita sakitnya. Cobalah ia ingat, derita penyakitnya itu belumlah seberapanya dibandingkan dengan penderitaan yang dirasakan oleh nabi Ayub as.

    Alasan apa lagi…..?

    Ketika pertanyaan yang sama ditujukan pada seorang yang fakir miskin. Mengapa engkau tidak beribadah….? Sang fakir miskin menjawabnya bahwa ia tidak punya waktu untuk beribadah karena kemiskinannya. Apakah ia lupa, bahwa ia tidaklah lebih miskin dari nabi Isa as, yang terpaksa harus memakan dedaunan dan minum air hujan?

    Alasan apa lagi…..?

    Seorang yang tidak berpendidikan ditanyanya. Mengapa engkau tidak beribadah….? Ia beralasan, bahwa ia tidak mampu untuk beribadah karena ilmunya rendah. Tidakkah ia lupa bahwa nabi Muhammad saw itu tidak bisa membaca dan menulis?

    Alasan apa lagi…..?

    Padahal Alloh telah jelas berfirman dalam Al-Qur’an surat Adz- Dzariyat ayat 56: “Tidak semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

    Sekarang………….mau alasan apa lagi……….?

    (Dicuplik dari : Sentuhan Kalbu melalui kultum, Ir.Permadi Alibasyah)

     
  • erva kurniawan 1:45 am on 24 July 2014 Permalink | Balas  

    Kisah Keutamaan Sholat di Masjid 

    sholat-berjamaahKisah Keutamaan Sholat di Masjid

    Ada seorang buta yang rajin solat berjemaah di masjid . Ada tali yang di buat untuk menghubungkan rumahnya dan masjid. Antara rumah dan masjid ada satu lubang yang berair.

    Suatu hari, dia terjatuh ke dalam lubang tersebut dan beliau akhirnya kembali ke rumah, untuk ganti baju yang bersih. Kali kedua, dia terjatuh lagi dan balik ke rumah lagi untuk ganti baju. Kali ketiga, ketika akan terjatuh lagi, tiba-tiba ada orang yang menyambut untuk menahannya dari jatuh dan membimbingnya hingga sampai ke masjid.

    Beliau bertanya kepada orang tersebut, siapakah dia. Orang itu menjawab Aku adalah syaitan? Orang buta itu terkejut lalu bertanya, kenapa dia menolongnya dari jatuh ke dalam lubang tersebut. Syaitan menjawab , Aku menolong sebab aku takut dosa orang-orang Islam lain terampun. Ini karena semasa engkau terjatuh untuk kali pertama, dosamu Allah ampunkan, semasa engkau jatuh kali kedua, seluruh dosa ahli keluargamu diampunkan, dan jika aku biarkan engkau jatuh kali ketiga maka seluruh dosa umat Islam akan terampun. Sebab itu aku menolongmu.?

    Lihatlah dan fikirkanlah betapa besarnya pahala orang yang melangkah ke masjid atau surau, itu belum ditambah dengan pahala mengerjakan solat berjemaah. Orang yang butapun sanggup bersusah payah untuk solat berjemaah di masjid, bagaimana kita yang sehat walafiat tanpa ada halangan kecuali halangan nafsu yang sering membujuk kita untuk terus malas dalam menambah pahala untuk bekal ke akhirat, kehidupan yang lebih kekal.

    Dari Abdullah bin ‘Amr r.a, Rasulullah saw bersabda : “Sampaikanlah pesanku biarpun satu ayat.”

    Muhasabahlah diri sendiri (yakni diri saya) sebelum muhasabah diri orang lain.

    Apa yang baik dan benar itu datangnya dari Allah swt. Apa yang salah dan khilaf itu adalah dari kelemahan manusia itu sendiri.

    Wassalam

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 2:29 am on 23 July 2014 Permalink | Balas  

    Mengapa Engkau Menangis? 

    air mataMengapa Engkau Menangis?

    Penulis:Saad Saefullah

    Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?”

    “Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang- barang dagangannya,” seseorang menjawab.

    Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”

    “Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.”

    Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya. Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

    Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakiknya ke rumah Aisyah. “Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”

    Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar. Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemipin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal. Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.

    Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”

    Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.

    Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”

    Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”

    Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.

    Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?”

    Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa betapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini. Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”

    Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap rida Allah.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:19 am on 22 July 2014 Permalink | Balas  

    Kisah Sesendok Madu 

    madu (1)Kisah Sesendok Madu (Mulailah Dari Diri Sendiri)

    Diceritakan, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji kesadaran warga kotanya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah ditetapkan membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga kota memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam pikiran seorang warga kota ( katakanlah namanya Fulan); terlintas cara untuk mengelak perintah tersebut. “Aku akan membawa sesendok penuh, tapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungiku dari pandangan mata orang lain. Sesendok air tidak akan mempengaruhi isi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota.”

    Tibalah waktu yang ditetapkan. Apa kemudian yang terjadi? Bejana itu ternyata seluruhnya berisi penuh dengan air! Rupanya seluruh warga kota berpikiran sama dengan si Fulan. Mereka mengharapkan warga kota yang lain membawa madu sambil membebaskan diri dari tanggung jawab.

    Kisah simbolik ini sering terjadi dalam berbagai kehidupan masyarakat. Idealnya memang bahwa seseorang harus memulai dari dirinya sendiri disertai dengan pembuktian yang nyata, baru kemudian melibatkan pengikut-pengikutnya.

    Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku. Aku mengajak ke jalan Allah disertai dengan pembuktian yang nyata. Aku bersama orang-orang yang mengikutiku (QS 12:108)

    Berperang atau berjuang di jalan Allah tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri, dan bangkitkanlah semangat orang-orang mukmin (pengikut-pengikutmu) (QS 4:84)

    Perhatikanlah kata-kata : “tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri”. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian susulkanlah keluargamu” Setiap orang menurut beliau adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Berarti setiap orang harus harus tampil terlebih dulu. SIkap mental yang seperti ini akan menyebabkan bejana sang raja akan penuh dengan madu, bukan air, apalagi racun.

    (Dari : Lentera Hati, M Quraish Shihab)

     
  • erva kurniawan 1:19 am on 21 July 2014 Permalink | Balas  

    Motor Tua 

    motor tuaMotor Tua

    Dengan riang kulangkahkan kaki memasuki pekarangan rumah. Ah, cukup lama aku meninggalkan orang-orang yang kucintai. Langkahku terhenti, pandanganku tertumbuk pada sebuah motor tua. 20 tahun yang lalu motor itu sangat berarti. Allah menyatukan hati papa, mama, aku dan adik-adik (kami 4 bersaudara) lewat kendaraan bekas yang sekarang sudah dipenuhi debu dan karat itu. Sebagai pegawai negeri biasa dengan ekonomi pas-pasan, papa dan mama hanya bisa mencicil sebuah motor sebagai sarana transportasi kami sekeluarga. Waktu itu aku berusia 5 tahun, adikku no 2 berusia 3 tahun, no 3 berusia 2 tahun dan adik bungsuku berusia kira-kira 5 bulan. Kalau kedua orang tuaku pergi, kami semua pasti dibawa.. tentu saja dengan motor tua itu.

    Sejenak, senyumku mengembang seiring memori yang tetap mengalunkan kenangan indah. Urutan-urutan di motor itu adalah : adikku no.2 di depan sekali (di tank bensin), papa (sebagai rider), adikku no.3, aku dan terakhir mama duduk miring ke satu arah dengan menggendong adik bungsuku yang masih bayi. Aku juga ga habis pikir kenapa bisa muat dan kenapa orang tuaku begitu berani ? Tapi sudahlah, semua sudah berlalu dan aku sedang menikmati kebersamaan kami ketika itu.

    Hal yang paling bertahan dalam ingatanku adalah ketika tiba-tiba hujan turun, papa segera menepikan motornya, kami semua diturunkan karena mantel hujan tersimpan di bawah sadel. Mantel dikeluarkan .. kemudian kami kembali menempati posisi dan masuk ke dalam mantel. Mantel satu dipakai ramai-ramai. Pemandangan yang tadinya indah mendadak gelap gulita tapi tawa canda tetap mewarnai perjalanan hingga tempat tujuan.

    Namun… perjalanan hidup tidak selamanya bahagia. Di suatu sore, dalam keadaan kurang sehat papa pulang ke rumah untuk istirahat. Namun di perjalanan papa tidak sempat mengelakkan segerombolan sapi yang melintas dan menabrak salah satunya. Papa terpental dari motor dan mengalami patah kaki. Otomatis, kebersamaan di motor tua terhenti untuk sementara waktu. Terasa ada yang lain.. kami merindukan kehangatan berdesakan di motor tua (tak terasa air mataku mengalir)..

    Betapa bersyukurnya aku dikarunia keluarga yang hidup pas-pasan oleh Allah. Kenangan ini menjadi milikku… belum tentu dimiliki oleh orang lain. Kebahagiaan dan kebersamaan keluargaku dibangun di atas motor tua. Antara percaya dan tidak, tapi aku yakin motor itu jadi salah satu sarana kehangatan aku dan keluarga hingga sekarang. Dengan menyusut air mata, kulangkahkan kaki menuju pintu dan subhaanallaah… suara orang tua dan adik-adik riuh rendah menyambut kedatanganku… Betapa hangatnya cinta-Mu ya Allah. Ijinkan aku untuk selalu ingin memiliki cinta ini…dalam sabar dan syukurku…

    Ayo sobat, bangkitkan kenangan indah beserta anggota keluarga. Janganlah sesekali menyesali kondisi keluarga. Insya Allah kebahagiaan dan semangat akan selalu mewarnai hidup kita. Jangan lupa bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada orang-orang yang berjasa kepada kita.

    ***

    (Diambil dari http://www.eramuslim.com)

     
  • erva kurniawan 2:15 am on 20 July 2014 Permalink | Balas  

    Malam Keagungan 

    itikaf2Malam Keagungan

    Al-qadar artinya keagungan. Dan dalam ajaran Islam, ia telah diabadikan menjadi nama dari suatu malam di antara malam-malam bulan Ramadhan. Itulah ” Lailatul-Qodar”. Malam di mana sang hamba pada saat itu terbangun. Mensucikan diri. Menghadap Tuhannya yang menciptakan dirinya dan seluruh alam yang ia diami. Malam, yang sepenuhnya menyatu dalam kekhusukan sujud. Malam, yang datang seirama dengan dzikir dan dtangis sang hamba di belahan bumi manapun; di pojok-pojok masjid dan di rumah-rumah di tengah keterpencilan kampung. Di malam itulah, ia telah menemukan identitas kehambaan yang sebenarnya. Ia telah terbebas dari penyakit ‘Riyak’ (ingin dipuji orang), ketika ia sembahyang, dimana semua manusia sedang nyenyak dalam tidur… ketika ia menagis beristighfar, hanya di depan Tuhannya (bukan di depan siapa-siapa, bukan di depan uang dan patung dunia lainnya).

    Demikianlah setidaknya, seorang hamba di Lailatul Qodar, itu. Dan betapa kwalitas kehambaan itu kian lengkap, ketika ia memburu malam-malamnya, seperti memburyu Lailatul qodar. (Dan semoga kita termasuk dalam model hamba yang semacam ini ameen).

     Keistimewaan Lailatul Qodar.

    Apa yang membuat malam Lailatul Qodar lebih agung dari malamm-malam lainya?. Sedemikian rupa, sehingga keberadaan sang hamba di malam itu, bagai tenggelam dalam sebuah upacara yang sakral. Inilah sebuah pertanyaan, yang sejak dini telah dijawab oleh Allah SWT dalam al Qur’an, surat al Qodar yang artinya : Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

    Terlihat dalam surat pendek ini, dari awal sampai akhir hanya melukiskan malam yang agung dengan segala keistimewaannya. Dan setidaknya ada keistimewaan yang bisa diraba dari gambaran tersebut:

    a- Ia sebuah malam pertama kalinya diturunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw. Karenanya, malam ini adalah malam yang penuh berkah. Seperti yang Allah swt. lukiskan dalam surat ad-Dukhan;

    b- Ia sebuah malam yang dalam definisi Allah swt., lebih mulya dari pada seribu bulan: Suatu definisi yang menunjukan betapa agungnya kehadiran malam itu di tengah-tengah stuktur kehambaan manusia. Dan ternyata di malam itulah Allah swt. dengan segala kemaha kuasaan-Nya menjelaskan semua urusan yang mengandung hikmah (ad-Dukhan; 4).

    Dari definisi ini, ada beberapa hal yang cukup penting untuk digaris bawahi, yaitu: Pertama : seorang mufasir kontemporer; Dr. Wahbah al Zuhaily mengatakan bahwa jika pada malam itu seseorang melakukan amal baik, maka nilai perbuatan itu lebih besar dibandingkan dengan seribu bulan perbuatan serupa di malam-malam lainnya. Kedua : dalam sebuah riwayat yang dikishkan oleh imam Ibnu Abi hatim dan Al wahidy, bahwa suatu hari Rasulullah saw. pernah menceritakan seorang di antara bani Israil yang berjuang merangkul senjata di jalan Allah swt. selama seribu bulan.  Pada waktu itu, para sahabat terkagum-kagum terhadap kepribadian mujahid yang diceritakan Rasulullah saw. itu. Sejak itulah Allah swt. kemudian menurunkan surat al Qodar ini, yang menerangkan ahwa beribadah di malam Lailatul qodar masih lebih utama dari seribu bulan berjihat di jalan Allah swt. Ketiga : dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa bangun di malam Lailatul qodar dengan bekal iman seraya melakukan muhasabah; introspeksi diri maka pahalanya adalah ampunan atas segala dosa-dosanya yang telah lewat “.

    c- Ia sebuah malam, yang di dalamnya Alllah swt. menurunkan malaikat-malaikatNya, termasuk juga malaikat Jibril. Maksud pengiriman delegasi para malaikat ini, seperti yang ditafsirkan olleh Dr, Wahbah Al Zuhaily- tafsir al Munir- adalah untuk merekam segala perbuatan manusia; berbentuk ketaatan maupun kemaksiatan.

    d- Ia sebuah malam yang menyimpan kedamaian, ketenangan dan barakah yang tiada bandingannya. Dan kedamaian ini terus berlangsung hingga terbit fajar. Suatu kedamaian, yang dalam pandangan Dr Wahbah, ditandai dengan turunya segala kebaikan dan barakah. Turunya para malaikat silih berganti sambil menghantarkan rahmat Allah swt. Demikianlah suasana itu mengalir bagai air bah, hingga menjelang fajar. pada waktu itu, malam menjadi seperti sebuah mekanisme Illahiah yang berbeda dari malam-malam lainnya; tiada balak (siksaan langsung dari Allah swt), tiada keleluasaan bagi Syetan untuk beroprasi, dan meloloskan semua siasatnya. Karena di malam itu, semua hamba pada menyatukan sujud di hadapan penciptanya; Allah swt.

    Bagaimana Mengetahui Lailatul Qodar

    Pertama ; dalam riwayat imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda bahwa lailatul Qodar turun pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Terutama pada malam-malam yang ganjil; ke sembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau pada malam yang paling akhir.

    Kedua ; Sebagian besar ulama’ meyakini bahwa malam Lailatul qodar itu turun pada malam ke 27 dari bulan Ramadhan. Dasar keyakinan itu adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim  dan Tirmizi bahwa Ziir Ibnu Jubais berkata kepada Ubai Ibnu Kaab bahwa saudara Ibnu Masud berkata: “Barang siapa (tidak pernah tidur malam) sepanjang tahun pasti akan mendapatkan malam lailatul qadar. Ubai berkata: semoga Allah swt. mengampuni Abi Abdirrohman (Ibnu MAsud). Dia  sebenarnya mengetahui bahwa malam lailatul qadar itu turun pada sepuluh  hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bahkan ia tahu bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan. (tapi ia tidak menerangkan hal itu)  supaya orang-orang tidak hanya bangun di malam itu saja. (untuk menguatkan perkataannya ini ) Ubai kemudian berrsumpah bahwa malam itu jatuh pada malam 27 Ramadhan. Ziir berkata kepada Ubai: dengan apa kau bisa berkata demikian wahai Abu Mundzir ? Ubai menjawab : dengan tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Rasulullah saw. yakni bahwa matahari pada waktu itu terbit dengan  tanpa cahaya.

    Ketiga : hal yang juga menandai hadirnya malam lailatul qadar ini, bisa di intip dari kenyataan alam; jika di pagi harinya matahari  agak suram dan cahayanya tidak begitu terang , berarti di malam harinya, lailatul qadar telah turun. Itulah seperti yang di terangkan dalam riwayat berikut:

    1. Riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasululah saw. bersabda : Malam lailatul qadar hawanya sedang; tidak panas dan tidak dingin. Dan dipagi harinya matahari terbit dengan cahaya yang agak lemah dan kemerah-merahan.

    2. Riwayat Jabir Ibnu Abdullah: Rasulullah saw. bersabda bahwa belia melihat lailatul qadar , hawanya sedang, tidak panas dan tidak dingin. Cerah  seperti berbulan. Pad waktu itu syetan pada terdiam hingga terbit fajar.

    Jabir ra. dalam sebuah riwayat berkata : “saya pernah menyaksikan malam laulatul qadar. (Namun entah  ) malam itu (tiba-tiba) hilang dari ingatan saya. (yang jelas) malam itu jatuh pada sepuluh hari terakhir dari malam-malam (bulan Ramadhan). Ia tampak cerah dan terang. Tidak panas dan tidak dingin . Terlihat seperti di sinari bulan. Pada waktu itu, tidak keluar syetan-syetan malam , hingga cahaya fajar memancar.”

    Penutup

    Yang jelas, rahasia disembunyikannya lailatul qadar ini, banyak hikmahnya. Seperti disembunyikannya waktu kapan dari setiap hamba ini akan mati. Diantara hikmah yang paling pokok adalah agar masign-masing dari hamba ini kian bersungguh-sungguh untuk meningkatkan amal soleh dan menjauhi segala macam bentuk kemungkaran , sebagaimana ia harus bersungguh-sungguh dalam mengintai malam lailatul  qadar. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw.: Intailah malam lailatul qadar, pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

    Semoga uraian singkat ini ada mamfaatnya bagi penulis,khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Hasbiyallah wa ni’mal wakiil ni’mal maula wa ni’mannasiir…

    ***

    Pesantren Virtual

    Disusun oleh : Amir Faishol Fath.

     
  • erva kurniawan 3:35 am on 19 July 2014 Permalink | Balas  

    Panduan Mengeluarkan Zakat Fitrah 

    zakatPANDUAN MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH

    1. Diriwayatkan dari Ibnu Umar t.ia berkata : Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah dari bulan Ramadhan satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari sya’iir. atas seorang hamba, seorang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslilmin. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)

    2. Diriwayatkan dari Umar bin Nafi’ dari ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata ; Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah satu sha’ dari kurma atau satu sha’ dari sya’iir atas seorang hamba, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar di tunaikan / dikeluarkan sebelum manusia keluar untuk shalat ‘ied. (H. R : Al-Bukhary, Abu Daud dan Nasa’i)

    3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat fithrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan sia-sia dan dari perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum shalat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang siapa yang mengeluarkannya sesudah shalat ‘ied, maka itu berarti shadaqah seperti shadaqah biasa (bukan zakat fithrah). (H.R : Abu Daud, Ibnu Majah dan Daaruquthni)

    4. Diriwayatkan dari Hisyam bin urwah dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda : Tangan di atas (memberi dan menolong) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta-minta), mulailah orang yang menjadi tanggunganmu (keluarga dll) dan sebaik-baik shadaqah adalah yang di keluarkan dari kelebihan kekayaan (yang di perlukan oleh keluarga) (H.R : Al-Bukhary dan Ahmad)

    5. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah sw. memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fithrah unutk anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya dari orang yang kamu sediakan makanan mereka (tanggunganmu). (H.R : Daaruquthni, hadits hasan)

    6. Artinya : Diriwayatkan dari Nafi’ t. berkata : Adalah Ibnu Umar menyerahkan (zakat fithrah) kepada mereka yang menerimanya (panitia penerima zakat fithrah / amil) dan mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fithrah sehari atau dua hari sebelum ‘iedil fitri. (H.R.Al-Bukhary) 7. Diriwayatkan dari Nafi’ : Bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menyuruh orang mengeluarkan zakat fithrah kepada petugas yang kepadanya zakat fithrah di kumpulkan (amil) dua hari atau tiga hari sebelum hari raya fitri. (H.R: Malik)

    KESIMPULAN

    Hadits-hadits tersebut di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa :

    1 Wajib bagi tiap kaum muslimin untuk mengeluarkan zakat fithrah untuk dirinya , keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. (dalil : 1,2 dan 5)

    2. Yang wajib mengeluarkan zakat fithrah adalah yang mempunyai kelebihan dari keperluan untuk dirinya dan keluarganya. (dalil : 4)

    3. Sasaran zakat fithrah adalah dibagikan kepada kaum miskin dari kalangan kaum muslimin. (dalil : 3)

    4. Zakat fithrah dikeluarkan dari makanan pokok (di negeri kita adalah beras) sebanyak lebih kurang 3,1 liter untuk seorang. (dalil : 1 dan 2)

    5. Cara menyerahkan zakat fithrah adalah sebagai berikut :

    a. Bila diserahkan langsung kepada yang berhak (fakir miskin muslim) waktu penyerahannya adalah sebelum shalat ‘ied yakni malam hari raya atau setelah shalat Shubuh sebelum shalat ‘iedul fitri. (dalil : 2 dan 3)

    b. Bila diserahkan kepada amil zakat fithrah (orang yang bertugas mengumpulkan zakat fithrah), boleh diserahkan tiga,dua atau satu hari sebelum hari raya ‘iedul fitri. (dalil : 6 dan 7)

    6. Zakat fithrah disyari’atkan untuk membersihkan pelaksanaan shaum Ramadhan dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji di waktu shaum. (dalil : 3)

     
  • erva kurniawan 4:23 am on 18 July 2014 Permalink | Balas  

    Panduan I’tikaf Ramadhan 

    itikafPANDUAN I’TIKAF RAMADHAN

    Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang dangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan ) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. I’tikaf merupakan sarana meditasi dan kontemplasi yang sangat efektif bagi muslim dalam memelihara keislamannya khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.

    Definisi I’tikaf

    Para ulama mendefinisikan i’tikaf yaitu berdiam atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT . Ibnu Hazm berkata: I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan niat taqorrub kepada Allah SWT pada waktu tertentu pada siang atau malam hari. ( al Muhalla V/179)

    Hukum I’tikaf

    Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnatkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ” HR. Bukhori & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata: ” Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

    Fadhilah ( keutamaan ) I’tikaf

    Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama’ salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

    Macam-macam I’tikaf

    I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam; satu sunnah, dan dua wajib. I’tikaf sunnah yaitu yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah SWT seperti i’tikaf 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dan I’tikaf yang wajib yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti : “Kalau Allah SWT menyembuhkan sakitku ini, maka aku akan beri’tikaf.

    Waktu I’tikaf

    Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan , sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Ya’la bin Umayyah berkata: ” Sesungguhnya aku berdiam satu jam di masjid tak lain hanya untuk i’tikaf”.

    Syarat-syarat I’tikaf

    Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :

    1. Muslim.

    2. Berakal

    3. Suci dari janabah ( junub), haidh dan nifas. Oleh karena itu i’tikaf tidak diperbolehkan bagi orang kafir, anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.

    Rukun-rukun I’tikaf

    1. Niat (QS. Al Bayyinah : 5), (HR: Bukhori & Muslim tentang niat)

    2. Berdiam di masjid (QS. Al Baqoroh : 187)

    Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian ulama membolehkan i’tikaf disetiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhol yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.

    Awal dan akhir I’tikaf

    Khusus i’tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan ku, hendaklah ia beri’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam, sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i’tikaf dilakukan 10 malam terakhir, yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menuggu sampai shalat ied.

    Hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf

    Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT , seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, do’a dan sebagainya. Termasuk juga didalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir, hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

    Hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf)

    1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)

    2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.

    3. Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya .

    4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

     Hal-hal yang membatalkan I’tikaf

    1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.

    2. Murtad ( keluar dari agama Islam ) (QS. 39: 65

    3. Hilangnya akal, karena gila atau mabuk

    4. Haidh

    5. Nifas

    6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187). Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan istri- istrinya.

    7. Pergi shalat jum’at ( bagi mereka yang membolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum’at)

    I’tikaf bagi Muslimah

    I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:

    1. Mendapat izin (ridlo) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.

    2. Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.

    Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhol- wallahu ‘alam- ialah tempat shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya. Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

     
  • erva kurniawan 3:47 am on 17 July 2014 Permalink | Balas  

    Ajaklah Keluarga Berjumpa Allah Lebih Dekat Di Malam Qodr 

    malamAjaklah Keluarga Berjumpa Allah Lebih Dekat Di Malam Qodr

    Begitu cepat waktu berlalu. Amboi, tak terasa kita telah berada di penghujung Ramadhan. Kelelahan fisik yang mendera kita, seperti sirna oleh semangat kita untuk memetik pahala Taqwa di bulan yang penuh ampunan ini. Setiap tetes keringat kita yang jatuh, dana yang sudah keluar, serta jerih payah yang kita upayakan demi tegaknya Ramadhan di dalam keluarga kita, insya Allah ia akan menjadi investasi kebajikan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Saudaraku, jangan pernah putus asa untuk mencapai puncak keutamaan bulan seribu bulan ini.

    Jangan pernah menyerah dan kalah terhadap nafsu kita. Lawan rasa malas itu, enyahkan bisikan-bisikan manja yang akan meninabobokan semangat ibadah kita yang tengah menggebu di bulan Ramadhan. Bersiagalah, jangan sampai “si malam seribu bulan” (lailatul Qodr) datang pada saat kita sedang loyo dalam beribadah. Pada saat kita malas berdoa dan berdzikir. Di saat kita dalam kondisi lesu dan segan untuk menegakkan malam-malam Ramadhan dengan kebajikan. Ketika pikiran dan hati kita mulai gandrung pada kemilau dunia yang fana. Astaghfirulloh….!

    Mari kita ajak seluruh anggota keluarga untuk berjaga di “malam keberkahan 1000 bulan” yang menaburkan keselamatan sepanjang malam hingga fajar itu. Malam dimana Malaikat Jibril turun membawa rahmat Allah bagi hamba-hambaNya yang tetap istiqomah menegakkan malam-malam Ramadhannya. Malam untuk kita bisa “berjumpa” Allah lebih dekat.

    Alangkah baiknya bila kita bisa mengumpulkan seluruh anggota keluarga di malam-malam sepuluh hari terakhir ini dalam satu majelis dzikir dan do’a. Setidaknya, jika tidak bisa mengajak mereka seluruhnya i’tikaf di masjid, kita bisa berwukuf di rumah menegakkan malam-malam di penghujung Ramadhan. Ajaklah seluruh anggota keluarga melakukan muhasabah, berdzikir, bertaubat, dan berdo’a.

    Malam sepuluh terakhir, adalah momentum yang paling kondusif untuk kita mengakui kekerdilan kita di hadapan Dzat Yang Maha Agung. Mengakui ketololan kita di hadapan Dzat Yang Maha ‘Alim dan Maha Bijaksana. Mengakui kelemahan kita di hadapan Yang Maha Gagah dan Maha Kuat. Mengakui kelalaian kita di hadapan Dzat Yang Selalu Waspada dan Tidak Pernah Lupa.

    Inilah malam-malam dibukanya pintu ampunanNya yang luas tak terbatas. Menangislah sepuasnya, seraya memohon kepadaNya, agar dosa-dosa dan kelalaian kita di masa lalu Ia hapus. Ya, inilah malam yang tepat untuk kita mengadukan segala kelemahan, persoalan hidup yang sulit kita cerna dan pecahkan. Kita mohonkan pada Allah ‘Azza wa Jalla di malam seribu bulan ini, agar seluruh persoalan hidup dimudahkanNya. Agar anak-anak kita menjadi hamba-hambaNya yang ta’at, penyantun, dan lembut hatinya. Kita tundukkan diri serendah-rendahnya di hadapan Dzat Yang Maha Agung dan Perkasa, seraya menengadahkan tangan memohon semohon-mohonnya, supaya Dia tak pernah meninggalkan kita. Agar Dia selalu menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga kita.

    Ya Allah Robbul ‘Izzati janganlah Engkau tinggalkan kami walau cuma sekejap. Berikanlah kami kekuatan dan hidayahMu agar kami mampu menghadapi setiap persoalan hidup dengan tegar, dan tetap istiqomah di atas jalanMu. Jadikanlah anak-anak kami sebagai generasi pencinta Al Qur’an, generasi pencinta kebajikan, dan pemuda-pemudi yang memiiki rasa malu, menutup aurat mereka, serta selalu menjauhi zina.

    Ya Allah Ya Rohman Ya Rohim, jauhkan anak-anak kami dari sifat pengecut, malas, penghambur-hambur harta. Jauhkan mereka ya Allah, dari pergaulan yang rusak. Hiasilah hati-hati kami dengan rasa rindu berjumpa denganMu dan takut pada adzabMu yang pedih ya Allah.

    Ya Allah ya Jalaali wal Ikrom, kuatkan dan kokohkanlah sendi-sendi bangunan keluarga kami sekokoh-kokohnya. Hiasilah selalu rumah kami dengan rahmat, maghfiroh, dan ampunanMu. Jauhkanlah seluruh anggota keluarga kami dari sifat hasad, pemarah, dengki, khianat dan perpecahan.

    Ya Allah wafatkanlah kami sebaik-baiknya, tatkala kami telah menunaikan amanat keluarga ini hingga mencapai keridhoanMu. Hingga kami menghasilkan generasi yang Engkau cintai dan ridhoi. Amien ya Allah, ya Robbal ‘alamien….!

    ***

    Sumber: Eramuslim – Sulthoni

     
  • erva kurniawan 3:14 am on 16 July 2014 Permalink | Balas  

    Panduan Menggapai Lailatul Qodar 

    malam lailatul qodrPANDUAN MENGGAPAI LAILATUL QODAR

    Muqadimah

    Sesudah disyariatkannya ibadah shaum, dan agar umat Islam dapat merealisasikan nilai taqwa, Allah SWT melengkapi nikmat-Nya dengan memberikan adanya “Lailat al qodr”. Allah berfirman : ” Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada ” Lailat al qodr”. Tahukah kalian apakah ” Lailat al qodr” ?. Itulah malam yang lebih utama dari pada seribu bulan” (QS. Al Qodr : 1-3)

    Keutamaan Lailat al Qodr

    Ayat yang dikutip di atas jelas menunjukkan nilai utama dari ” Lailat al qodr”. Mengomentari ayat di atas Anas bin Malik ra menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan disitu adalah bahwa amal ibadah seperti shalat, tilawah al-Qur’an, dan dzikir serta amal sosial (seperti shodaqoh dana zakat), yang dilakukan pada malam itu lebih baik dibandingkan amal serupa selama seribu bulan (tentu di luar malam lailat al qodr sendiri). Dalam riwayat lain Anas bin Malik juga menyampaikan keterangan Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya Allah mengkaruniakan ” Lailat al qodr” untuk umatku, dan tidak memberikannya kepada umat-umat sebelumnya. Sementara berkenaan dengan ayat 4 surat al qodr, Abdullah bin Abbas ra menyampaikan sabda Rasulullah bahwa pada saat terjadinya lailat al qodr, para malaikat turun kebumi menghampiri hamba-hamba Allah yang sedang qiyam al lail, atau melakukan dzikir, para malaikat mengucapkan salam kepada mereka. Pada malam itu pintu-pintu langit dibuka, dan Allah menerima taubat dari para hambaNya yang bertaubat. Dalam riwayat Abu Hurairah ra, seperti dilaporkan oleh Bukhori, Muslim dan al Baihaqi, Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan , “barangsiapa melakukan qiyam ( shalat malam) pada lailat al qodr, atas dasar iman serta semata-mata mencari keridloan Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang pernah dilakukannya”. Demikian banyaknya keutamaan lailat al qodr, sehingga Ibnu Abi Syaibah pernah menyampaikan ungkapan al Hasan al Bashri, katanya : ” Saya tidak pernah tahu adanya hari atau malam yang lebih utama dari malam yang lainnya, kecuali ‘ Lailat al qodr’, karena lailat al qodr lebih utama dari (amalan) seribu bulan”.

    Hukum “Menggapai” Lailat al Qodr.

    Memperhatikan pada arahan (taujih) Rasulullah SAW, serta contoh yang beliau tampilkan dalam upaya “menggapai” lailat al qodr, dalam hal ini misalnya Umar pernah menyampaikan sabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa mencari lailat al qodr, hendaknya ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh” (HR. Ahmad). Maka para ulama’ berkesimpulan bahwa berupaya menggapai lailat al qodr hukumnya sunnah. IV. Kapankah terjadinya Lailat al Qodr Sesuai dengan firman Allah pada awal surat Al Qodr, serta pada ayat 185 surat Al Baqoroh, dan hadits Rasulullah SAW. Maka para ulama’ bersepakat bahwa ” Lailat al qodr” terjadi pada malam bulan Ramadhan. Bahkan seperti diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Abu Dzar, dan Abu Hurairah, lailat al qodr bukannya sekali terjadi pada masa Rasulullah SAW saja, malainkan ia terus berlangsung pada setiap bulan Ramadhan untuk mashlahat umat Muhammad, sampai terjadinya hari qiyamat. Adapun tentang penentuan kapan persis terjadinya lailat al qodr, para ulama berbeda pendapat disebabkan beragamnya informasi hadits Rasulullah, serta pemahaman para shahabat tentang hal tersebut. Sebagaimana tersebut dibawah ini :

    1. Lailat al qodr terjadi pada malam 17 Ramadhan, malam diturunkannya Al Qur’an. Hal ini disampaikan oleh Zaid bin Arqom, dan Abdullah bin Zubair ra. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Baihaqi dan Bukhori dalam tarikh).

    2. Lailat al qodr terjadi pada malam-malam ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Diriwayatkan oleh Aisyah dari sabda Rasululah SAW: “Carilah lailat al qodr pada malam-malam ganjil disepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhori, Muslim dan Baihaqi)

    3. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abi Said al Khudri yang dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim.

    4. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 23 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Unais al Juhany, seperti dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim.

    5. Lailat al qodr terjadi pada malam tanggal 27 bulan Ramadhan, berdasarkan hadits riwayat Ibnu Umar, seperti dikutip oleh Ahmad. Dan seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, bahwa Umar bin al Khoththob, Hudzaifah serta sekumpulan besar shahabat, yakin bahwa lailat al qodr terjadi pada malam 27 bulan Ramadhan. Rasulullah SAW seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, juga pernah menyampaikan kepada shahabat yang telah tua dan lemah tak mampu qiyam berlama-lama dan meminta nasehat kepada beliau kapan ia bisa mendapatkan lailat al qodr, Rasulullah SAW kemudian menasehati agar ia mencarinya pada malam ke 27 bulan Ramadhan (HR. Thabroni dan Baihaqi).

    6. Seperti difahami dari riwayat Ibnu Umar dan Abi Bakrah yang dilaporkan oleh Bukhori dan Muslim, terjadinya lailat al qodr mungkin berpindah-pindah pada malam-malam ganjil sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sesuai dengan informasi terakhir ini, dan karena langka dan pentingnya lailat al qodr, maka selayaknya setiap muslim berupaya selalu mendapatkan lailat al qodr pada sepanjang sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

    Tanda-tanda terjadinya Lailat al qodr

    Seperti diriwayatkan Oleh Imam Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: ” Pada saat terjadinya lailat al qodr itu, malam terasa jernih, terang, tenang, cuaca sejuk tidak terasa panas tidak juga dingin. Dan pada pagi harinya matahari terbit dengan jernih terang benderang tanpa tertutup sesuatu awan”.

    Apa yang perlu dilakukan pada lailat al qodr dan agar dapat menggapai lailat al qodr

    1. Lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan semua bentuk ibadah pada hari-hari Ramadhan, menjauhkan diri dari semua hal yang dapat mengurangi keseriusan beribadah pada hari-hari itu. Dalam peribadatan ini juga dengan mengikutsertakan keluarga. Hal itulah yang dahulu dicontohkan Rasulullah SAW.

    2. Melakukan i’tikaf dengan berupaya sekuat tenaga. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

    3. Melakukan qiyamu al lail berjama’ah, sampai dengan rekaat terakhir yang dilakukan imam, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dzar ra.

    4. Memperbanyak do’a memohon ampunan dan keselamatan kepada Allah dengan lafal : “Allahumma innaka ‘afuwun tuhibul afwa fa’fu ‘anni”. Hal inilah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada Aisyah ra ketika beliau bertanya : ‘ wahai Rasulullah, bila aku ketahui kedatangan lailat al qodr, apa yang mesti aku ucapkan”? (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)

    Menggapai ” Lailat al qodr” bagi Muslimah

    Sebagaimana tersirat dari dialog Rasulullah SAW dengan Aisyah, istri beliau itu, maka mudah disimpulkan bahwa kaum muslimah-pun disyari’atkan dan diperbolehkan menggapai lailat al qodr . Dengan melakukan maksimalisasi ibadah yang memang diperbolehkan untuk dilakukan seorang muslimah. VIII. Khotimah Demikian panduan ringkas ini, mudah-mudahan pada bulan Ramadhan tahun ini Allah memperkenankan kita meraih ” Lailat al qodr”, malam yang utama dari 1000 bulan alias 83 tahun itu.

     

     
  • erva kurniawan 1:16 am on 15 July 2014 Permalink | Balas  

    Nikah: Tips Menambah Rezki 

    nikah erva kurniawan vs titik rahayuningsih 2Nikah: Tips Menambah Rezki

    Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud:

    “Barang siapa yang meninggalkan nikah kerana takut miskin, ia bukan termasuk golongan kami”

    “Nikah itu sunnahku, kerana itu barang siapa yang membenci sunnahku, ia bukan sebahagian golonganku”

    “Rezeki akan bertambah dengan perantaraan menikah”

    “Sesuatu yang kamu berikan kepada isterimu itu adalah sedekah bagimu”

    “Nikah itu berkah, anak itu rahmat. Kerana itu muliakan anak-anakmu sebab memuliakan anak itu adalah menjaga ibadah”

    “Nikah itu adalah sunahku, kerana itu barang siapa yang membenci sunnahku, ia bukan sebahagian golonganku”

    “Carilah rezeki dengan jalan menikah”

    “Seburuk-buruk kamu ialah orang yang membujang dan sehina-hina orang yang mati di antara kamu ialah orang yang membujang” (Imam Ahmad dari ‘Athiyah bin Busir)

    “Seburuk-buruk kamu ialah orang yang membujang, dua rakaat solat sunat dari orang yang beristeri itu lebih baik daripada tujuh puluh rakaat tanpa beristeri ” (Ibnu ‘Ady dari Abu Hurairah)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:09 am on 14 July 2014 Permalink | Balas  

    Termasuk Syirik: Istighatsah Atau Doa Kepada Selain Allah 

    contoh syirikTermasuk Syirik: Istighatsah Atau Doa Kepada Selain Allah

    Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

    Firman Allah Ta’ala (artinya):

    “Dan janganlah kamu memohon kepada selain Allah, yang tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula mendatangkan bahaya kepadamu; jika kamu berbuat (hal itu), maka sesungguhnya kamu, dengan demikian, adalah termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” (Yunus: 106)

    “Dan jika Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia; sedang jika Allah menghendaki untukmu sesuatu kebaikan, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya, Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hambaNya. Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus: 107)

    “Sesungguhnya mereka yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu, maka mintalah rezeki itu kepada Allah dan sembahlah Dia (saja) serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu sekalian dikembalikan.” (Al-Ankabut: 17)

    “Dan tiada yang lebih sesat daripada orang yang memohon kepada sembahan-sembahan selain Allah, yang tiada dapat memperkenankan permohonannya sampai hari Kiamat dan sembahan-sembahan itu lalai dari (memperhatikan) permohonan mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari Kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan mereka.” (Al-Ahqaf: 5-6)

    “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan di saat ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu sekalian menjadi khalifah di bumi? Adakah sembahan (yang haq) selain Allah? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (An-Naml: 62)

    Ath-Thabarani, dengan menyebutkan sanadnya, meriwayatkan bahwa: “Pernah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang munafik yang selalu menyakiti orang-orang mukmin, maka berkatalah salah seorang diantara mereka: “Marilah kita bersama-sama ber-istighatsah kepada Rasulullah supaya dihindarkan dari tindakan buruk orang munafik ini.” Ketika itu, bersabdalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya tidak boleh ber-istighatsah kepadaku, tetapi istighatsah itu seharusnya hanya kepada Allah saja.”

    Kandungan tulisan ini:

    1. Istighatsah pengertiannya lebih khusus daripada doa. Istighatsah ialah meminta pertolongan ketika dalam keadaan sulit supaya dibebaskan dari kesulitan itu.
    2. Tafsiran ayat pertama. Ayat pertama menunjukkan bahwa dilarang memohon kepada selain Allah karena selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula dapat mendatangkan bahaya kepada seseorang.
    3. Memohon kepada selain Allah adalah syirik akbar.
    4. Bahwa orang paling shaleh sekalipun, kalau dia melakukan perbuatan ini untuk mengambil hati orang lain, maka ia temasuk golongan orang yang zhalim (musyrik).
    5. Tafsiran ayat kedua. Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah-lah yang berhak dengan segala ibadah yang dilakukan manusia, seperti doa, istighatsah dan sebagainya. Karena hanya Allah Yang Maha Kuasa, jika Dia menimpakan suatu bahaya kepada seseorang, maka tiada yang dapat menghilangkannya selain Dia sendiri, dan jika Dia menghendaki untuk seseorang suatu kebaikan, maka tiada yang dapat menolak karunia-Nya. Tiada seorangpun yang mampu menghalangi kehendak-Nya.
    6. Memohon kepada selain Allah tidak mendatangkan manfaat duniawi, disamping perbuatan itu sendiri perbuatan kafir.
    7. Tafsiran ayat ketiga. Ayat ketiga menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak dengan ibadah dan rasa syukur kita, dan hanya kepada-Nya seharusnya kita meminta rezeki, karena selain Allah tidak mampu memberikan rezeki.
    8. Sebagaimana surga tidak dapat diminta kecuali dari Allah, demikian halnya dengan rezeki tidak patut diminta kecuali dari-Nya.
    9. Tafsiran ayat keempat. Ayat keempat menunjukkan bahwa doa (permohonan) adalah ibadah, karena itu barangsiapa menyelewengkannya kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik.
    10. Tiada yang lebih sesat daripada orang yang memohon kepada sesembahan selain Allah.
    11. Sesembahan selain Allah itu tidak merasa dan tidak tahu bahwa ada orang yang memohon kepadanya.
    12. Permohonan itulah yang menyebabkan sesembahan selain Allah membenci dan memusuhi orang yang memohon kepadanya (pada hari Kiamat).
    13. Permohonan ini disebut sebagai ibadah kepada sesembahan selain Allah.
    14. Dan sesembahan selain Allah itu nanti pada hari Kiamat akan mengingkari ibadah yang mereka lakukan.
    15. Permohonan inilah yang menyebabkannya menjadi orang paling sesat.
    16. Tafsiran ayat kelima. Ayat kelima menunjukkan bahwa istighatsah kepada selain Allah -karena tiada yang kuasa kecuali Dia- adalah bathil dan termasuk syirik.
    17. Hal yang mengherankan, bahwa para pemuja berhala itu mengakui bahwa tiada yang dapat memperkenankan permohonan orang yang berada dalam kesulitan selain Allah. Untuk itu, ketika mereka berada dalam keadaan sulit dan terjepit, mereka memohon kepada-Nya dengan ikhlas dan memurnikan ketaatan untuk-Nya.
    18. Hadits di atas menunjukkan tindakan preventif yang dilakukan Rasulullah Al-Musthofa, shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk melindungi benteng tauhid, dan sikap ta’addub (sopan santun) beliau kepada Allah.

    ***

    Dikutip dari buku: “Kitab Tauhid” karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

    Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

    Sumber : http://www.assunnah.or.id

     
    • fauzi bin rifai 7:35 pm on 14 Juli 2014 Permalink

      apakah istighosah itu meminta kepada selain Alloh atau dzikir kepada Alloh secara bersama di majlis ?

  • erva kurniawan 1:03 am on 13 July 2014 Permalink | Balas  

    Kematian Hati 

    nasehat-quran1Kematian Hati

    Banyak orang tertawa tanpa mau menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

    Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

    Kemana getarannya yang gelisah dan terluka saat televisi menyiarkan segala ‘kesombongan jahiliyah dan maksiat’? Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada Allah, dimana kau kubur dia?

    Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang Allah berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan Allah atasmu.

    ***

    Diambil dari artikel KH. Rahmat Abdullah, kiriman sdr. Oki

     
    • cheepan04 10:19 am on 15 Juli 2014 Permalink

      Jleeebb banget artikel ini.. syukron sudah mengingatkan…

  • erva kurniawan 1:55 am on 12 July 2014 Permalink | Balas  

    Agar Anda Bahagia Dengan Suami Anda 

    etika-suami-isteriAgar Anda Bahagia Dengan Suami Anda

    1. Jangan membiarkan suami anda memandang dalam keadaan anda tidak menggembirakannya. Wanita yang paling baik adalah wanita yang selalu membuat suaminya bahagia.
    2. Hendaklah senyum itu senantiasa menghiasi bibirmu setiap anda dipandang oleh sang suami.
    3. Perbanyaklah mencari keridhan suami dengan mentaatinya, sejauh mana ketaatan anda kepada suami, sejauh itu pulalah dia merasakan cintamu kepadanya dan dia akan segera menuju keridhaanmu.
    4. Pilihlah waktu ynag tepat untuk meluruskan kesalahan suami.
    5. Jadilah anda orang yang lapang dada, janganlah sekali-kali menyebut-nyebut kekurangan suami anda kepada orang lain.
    6. Perbaikilah kesalahan suami dengan segala kemampuan dan kecintaan yang anda miliki, janganlah berusaha melukai perasaannya.
    7. Janganlah memuji-muji laki-laki lain dihadapan suami kecuali sifat diniyah yang ada pada laki-laki tersebut.
    8. Jangan engkau benarkan ucapan negatif dari orang lain tentang suamimu.
    9. Upayakan untuk tampil di depan suamimu dengan perbuatan yang disenanginya dan ucapan yang disenanginya pula.
    10. Berilah pengertian kepada suami anda agar dia menghormatimu dan saling menghormati dalam semua urusan.
    11. Anda harus selalu merasa senang berkunjung kepada kedua orang tuanya.
    12. Janganlah anda menampakkan kejemuan padanya, jika terjadi kekurangan materi Ingatlah bahwa apa yang ia berikan kepadamu sudah lebih dari cukup.
    13. Biasakanlah anda tertawa bila ia tertawa, menangis dan bersedih jika ia bersedih. Karena bersatunya perasaan akan melahirkan perasaan cinta kasih.
    14. Diam dan perhatikanlah jika ia berbicara.
    15. Janganlah banyak mengingatkan bahwa anda pernah meminta sesuatu kepadanya. Bahkan jangan diingatkan kecuali jika anda tahu bahwa ia mudah untuk diingatkan.
    16. Janganlah anda mengulangi kesalahan yang tidak disenangi oleh suami anda dan ia tidak suka melihatnya.
    17. Jangan lupa bila anda melihat suami anda shalat sunnah di rumah, hendaknya anda berdiri dan ikut shalat dibelakangnya. Jika ia membaca, hendaknya anda duduk mendengarkannya.
    18. Jangan berlebih-lebihan berbicara tentang angan-angan pribadi di depan suami, tetapi mintalah selalu agar ia menyebutkan keinginan pribadinya di depanmu.
    19. Janganlah mendahulukan pendapatmu dari pendapatnya pada setiap masalah, baik yang kecil maupun yang besar. Hendaklah cintamu kepadanya mendorong anda mendahulukan pendapatnya.
    20. Janganlah anda mengerjakan shaum sunnah kecuali dengan izinnya, dan jangan keluar rumah kecuali dengan sepengetahuannya.
    21. Jagalah rahasia yang disampaikan kepadamu dan janganlah menyebarkannya sekalipun kepada kedua orang tuanya.
    22. Hati-hati jangan sampai menyebut-nyebut bahwa anda lebih tinggi derajatnya dari derajat suami. Hal itu akan mengundang kebencian kepadamu.
    23. Jika salah satu dari orang tuanya sakit atau kerabatnya, maka anda punya kewajiban untuk menjenguk bersamanya.
    24. Sesuaikanlah peralatan rumah tangga anda dengan barang-barang yang disenangi suami anda.
    25. Jangan sampai anda meninggalkan rumah meskipun sedang bertengkar dengannya.
    26. Katakanlah kejemuan dan kebosananmu ketika ia sudah meninggalkan rumah.
    27. Terimalah udzurnya ketika ia membatalkan janjinya untuk keluar bersamamu, karena mungkin ia terpaksa memenuhi panggilan orang yang datang kepadanya.
    28. Hindari sifat cemburu, sesungguhnya cemburu adalah senjata penghancur.
    29. Janganlah mengabaikan pemimpinmu (suami) dengan alasan bahwa ia telah menjadi suamimu.
    30. Janganlah anda berbicara dengan sang suami, seakan-akan anda suci dan dia berdosa.
    31. Jagalah perasaannya, jangan gembira ketika dia sedang sedih dan jangan menangis ketika dia gembira.
    32. Perbanyaklah menyebut-nyebut keutamaan suami di hadapannya.
    33. Perlihatkan kepada suamimu bahwa anda turut merasakan apa yang dirasakan sang suami tatkala ia tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya.
    34. Perbaharuilah (tekad suami) ketika terjadi kegagalan.
    35. Jauhilah sifat dusta karena hal itu akan menyakitkannya.
    36. Ingatkanlah selalu pada suamimu bahwa anda tidak tahu (bagaimana nasib anda) seandainya anda tidak dipersunting olehnya.
    37. Ucapkanlah rasa syukur dan terima kasih pada waktu ia memberikan sesuatu kepadamu.

    ***

    Diketik ulang dari: “Nasehat kepada para Muslimah”, bagian kedua, Fathi Majdi as-Sayyid.

    Penerjemah:Muzaidi Hasbullah, Lc,dkk.Penerbit: Pustaka Arafah,

     
  • erva kurniawan 1:45 am on 11 July 2014 Permalink | Balas  

    Sikap Yang Berlebihan Kepada Orang-orang Shaleh 

    siluet_adzan2_bostonSikap Yang Berlebihan Kepada Orang-orang Shaleh

    Oleh: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

    Faktor Yang Menyebabkan Manusia Menjadi Kafir & Meninggalkan Agama Mereka, Yaitu: Sikap Yang Berlebihan Kepada Orang-orang Shaleh

    Firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya):

    “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas (yang telah ditentukan Allah) dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…” (An-Nisa’: 171)

    Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, tafsiran dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengenai firman Allah Ta’ala (artinya):

    “Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, dan (terutama) janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq maupun Nasr’.” (Nuh: 23)

    Ia mengatakan: “Ini adalah nama-nama orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada kaum mereka: “Dirikanlah patung-patung pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana oleh mereka, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.” Orang-orang itupun melaksanakan bisikan syaitan tersebut, tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga setelah orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah.”

    Ibnu Qayyim (Abu ‘Abdillah: Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub bin Sa’d Az-Zur’i Ad-Dimasyqi, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Seorang ulama besar dan tokoh gerakan da’wah Islamiyah; murid Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah. Mempunyai banyak karya ilmiyah. Dilahirkan th. 691 H (1292 M) dan meninggal th. 751 H (1350 M)) mengatakan: “Banyak kalangan salaf yang berkata: ‘Setelah mereka itu meninggal, orang-orang pun sering mendatangi kuburan mereka, lalu membikin patung-patung mereka; kemudian, setelah masa demi masa berlalu, akhirnya disembahlah patung-patung tersebut’.”

    Diriwayatkan dari ‘Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah ‘Abdullah wa Rasuluhu’ (Hamba Allah dan Rasul-Nya).” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

    Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” (HR Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma)

    Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebihan tindakannya.” (Beliau sebutkan kalimat ini sampai tiga kali)

    Kandungan tulisan ini:

    1. Bahwa orang yang memahami bab ini dan kedua bab berikutnya, akan jelas baginya keterasingan Islam; dan akan melihat betapa kuasa Allah itu untuk merubah hati manusia.
    2. Mengetahui bahwa mula pertama syirik yang terjadi di muka bumi ini adalah karena sikap yang tidak benar terhadap orang-orang shaleh.
    3. Mengetahui apa yang pertama kali diperbuat orang-orang sehingga ajaran para Nabi menjadi berubah, dan apa faktor penyebabnya? Padahal para nabi itu, sebagaimana diketahui, adalah utusan Allah.
    4. Diterimanya hal-hal bid’ah, padahal syari’at Ilahi dan fitrah murni manusia menolaknya.
    5. Faktor yang menyebabkan itu semua adalah pencampuradukan antara al-haq dengan al-bathil. Adapun yang pertama ialah: rasa cinta kepada orang-orang shaleh; sedang yang kedua ialah: tindakan yang dilakukan sejumlah orang berilmu dan beragama dengan maksud untuk suatu kebaikan, tetapi orang-orang yang datang sesudah mereka menduga bahwa apa yang mereka maksudkan bukanlah hal itu.
    6. Tafsiran ayat dalam surah Nuh. Ayat ini menunjukkan bahwa sikap yang berlebihan dan melampaui batas terhadap orang-orang shaleh adalah yang menyebabkan terjadinya syirik dan tuntunan agama para nabi ditinggalkan.
    7. Watak manusia bahwa al-haq yang ada dalam dirinya bisa berkurang, sedangkan al-bathil malah bisa bertambah.
    8. Bab ini mengandung suatu bukti bagi kebenaran pernyataan kaum Salaf bahwa bid’ah adalah penyebab kekafiran, dan lebih disenangi oleh Iblis daripada maksiat, karena maksiat masih bisa diampuni, sedangkan bid’ah tidak.
    9. Syaitan mengetahui tentang dampak yang diakibatkan oleh bid’ah, sekalipun maksud pelakunya adalah baik.
    10. Mengetahui kaidah umum, yaitu bahwa sikap berlebihan dalam agama dilarang; dan mengetahui pula apa dampak yang diakibatkannya.
    11. Bahaya dari perbuatan sering berdiam diri di kuburan dengan niat untuk suatu amal shaleh.
    12. Larangan adanya patung-patung, dan hikmah dalam pemusnahannya (untuk menjaga kemurnian tauhid dan mengikis kemusyrikan).
    13. Kisah tentang kaum Nabi Nuh tersebut mengandung maksud besar, dan diperlukan sekali, meskipun sudah dilalaikan.
    14. Hal yang paling mengherankan, bahwa mereka (ahli bid’ah) telah membaca kisah ini dalam kitab-kitab tafsir dan hadits, dan mengerti arti kalimatnya; tetapi Allah menutup hati mereka, sehingga mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh adalah amal ibadah yang terbaik, maka merekapun berkeyakinan bahwa apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang menghalalkan darah dan harta.
    15. Dinyatakan bahwa sikap kaum Nabi Nuh yang berlebihan terhadap orang-orang shaleh tiada lain karena mengharapkan syafa’at mereka.
    16. Mereka menduga bahwa inilah maksud orang-orang berilmu yang mendirikan patung-patung itu.
    17. Pernyataan penting yang termuat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (‘Isa) putera Maryam…” Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau, yang telah menyampaikan risalah dengan sebenar-benarnya.
    18. Ketulusan hati beliau kepada kita dengan memperingatkan bahwa akan binasa orang-orang yang berlebihan tindakannya.
    19. Dinyatakan dalam kisah bahwa patung-patung itu baru disembah setelah ilmu (agama) dilupakan. Dengan demikian, dapat diketahui nilai keberadaan ilmu ini dan bahayanya apabila hilang.
    20. Bahwa sebab hilangnya ilmu adalah matinya para ulama.

    ***

    Dikutip dari buku: “Kitab Tauhid” karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

    Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

    Sumber : http://www.assunnah.or.id

     
  • erva kurniawan 1:37 am on 10 July 2014 Permalink | Balas  

    Syafa’at 

    syarat wajib syafaatSyafa’at

    Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

    *Syafa’at telah dijadikan dalil oleh kaum musyrikin dalam memohon kepada malaikat, nabi dan wali. Kata mereka: “Kami tidak memohon kepada mereka kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan syafa’at kepada kami di sisi-Nya.” Maka dalam bab ini diuraikan bahwa syafa’at yang mereka harapkan ini adalah percuma, bahkan syirik; dan syafa’at hanyalah hak Allah semata, tiada yang dapat memberi syafa’at kecuali dengan seizin-Nya bagi siapa yang mendapat ridha-Nya.

    Firman Allah ‘Azza wa Jalla (artinya):

    “Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (pada hari Kiamat), sedang mereka tidaklah mempunyai seorang pelindung dan pemberi syafa’at pun selain Allah; agar mereka bertakwa.” (Al-An’am: 51)

    “Katakanlah: Hanya hak Allah-lah syafa’at itu semuanya.” (Az-Zumar: 44)

    “Tiada seorangpun yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)

    “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan (untuk diberi syafa’at) bagi siapa yang dikehendaki dan diridhai-Nya.” (An-Najm: 26)

    “Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki kekuasaan seberat dzarrah pun di langit maupun di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu andil apapun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sama sekali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah, kecuali bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu…” (Sabba’: 22-23)

    Abul ‘Abbas (Taqiyyudin Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah: Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus-Salam bin Abdullah An Numairi Al Harrani Ad-Dimasyqi. Syaikh Al-Islam dan tokoh yang gigih sekali dalam gerakan dakwah Islamiyah. Dilahirkan di Harran th. 661 H (1263M) dan meninggal di Damaskus th. 728 H/1328M) mengatakan:

    “Allah telah menyangkal segala hal yang menjadi tumpuan kaum musyrikin, selain Diri-nya sendiri, dengan menyatakan bahwa tak seorang pun selain Allah mempunyai kekuasaan, atau sebagiannya, atau menjadi pembantu Allah. Adapun tentang syafa’at, maka telah ditegaskan Allah bahwa syafa’at ini tidak berguna kecuali bagi orang yang telah diizinkan Allah untuk memperolehnya, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Dan tidaklah mereka dapat memberi syafa’at, kecuali bagi orang yang telah diridhai Allah.” (Al-Anbiya’: 28)

    Syafa’at yang diperkirakan oleh kaum musyrikin inilah yang tidak ada pada hari Kiamat, sebagaimana dinyatakan demikian oleh Al-Qur’an. Dan diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pada hari Kiamat akan datang bersujud kepada Allah dan menghaturkan segala puji kepada-Nya. Beliau tidak langsung dengan memberi syafa’at lebih dahulu. Setelah itu barulah dikatakan kepada beliau: “Angkatlah kepalamu, katakanlah niscaya akan didengar apa yang kamu katakan, mintalah niscaya akan diberi apa yang kamu minta, dan berilah syafa’at niscaya akan diterima syafa’at yang kamu berikan itu.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

    Abu Hurairah telah bertanya kepada beliau: “Siapakah orang paling beruntung dengan syafa’at engkau?” Beliau menjawab: “Ialah orang yang mengucapkan “Laa ilaha illa Allah” dengan ikhlas dari dalam hatinya.” (HR Imam Ahmad dan Al-Bukhari)

    Syafa’at yang ditetapkan ini adalah syafa’at untuk Ahlul Ikhlas wa Tauhid (orang-orang yang mentauhidkan Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya), dengan seizin Allah; bukan untuk mereka yang berbuat syirik kepada-Nya. Dan pada hakekatnya, bahwa Allah-lah yang melimpahkan karunia-Nya kepada Ahlul Ikhlas wa Tauhid dengan memberikan maghfirah kepada mereka melalui do’a orang yang diizinkan Allah untuk memperoleh syafa’at, untuk memuliakan orang ini dan menerimakan kepadanya Al-Maqam Al-Mahmud (kedudukan terpuji).

    Jadi syafa’at yang dinyatakan tidak ada oleh Al-Qur’an adalah apabila ada sesuatu syirik didalamnya. Untuk itu Al-Qur’an telah menetapkan dalam beberapa ayat bahwa syafa’at adalah dengan izin dari Allah; dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan bahwa syafa’at hanyalah untuk Ahlul Tauhid wal Ikhlas.

    Kandungan tulisan ini:

    1. Tafsiran ayat tersebut di atas. Ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa syafa’at seluruhnya adalah hak khusus bagi Allah. Ayat ketiga menunjukkan bahwa syafa’at tidak diberikan kepada seseorang tanpa izin dari Allah. Ayat keempat menunjukkan bahwa syafa’at diberikan oleh orang yang diridhai Allah dengan izin dari-Nya, dengan demikian syafa’at adalah hak mutlak Allah, tidak dapat diminta kecuali dari-Nya; dan menunjukkan pula kebatilan syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin dengan mendekatkan diri kepada malaikat, atau nabi dan orang-orang shaleh, untuk meminta syafa’at mereka. Ayat kelima mengandung bantahan terhadap kaum musyrikin yang mereka itu menyeru selain Allah, seperti malaikat dan makhluk-makhluk lainnya, karena menganggap bahwa makhluk-makhluk itu mendatangkan manfaat atau menolak madharat; dan menunjukkan bahwa syafa’at tidak berguna bagi mereka, karena syirik yang mereka lakukan, tetapi hanya berguna bagi orang yang mengamalkan tauhid dan itu pun dengan seizin Allah.
    2. Syafa’at yang dinyatakan tidak ada, adalah syafa’at yang terdapat didalamnya unsur syirik.
    3. Syafa’at yang ditetapkan, ialah syafa’at untuk Ahlul Tauhid wal Ikhlas dengan izin dari Allah.
    4. Disebutkan tentang syafa’at kubra, yaitu Al Maqam Al-Mahmud.
    5. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak memberi syafa’at, bahwa beliau tidak langsung memberi syafa’at terlebih dahulu, akan tetapi bersujud dan menghaturkan segala pepuji kepada Allah. Maka apabila telah diizinkan Allah, barulah beliau memberi syafa’at.
    6. Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’at beliau?
    7. Syafa’at tidak diberikan kepada orang yang berbuat syirik kepada Allah.
    8. Keterangan tentang hakekat syafa’at.

    ***

    Dikutip dari buku: “Kitab Tauhid” karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

    Penerbit: Kantor Kerjasama Da’wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

    Sumber : http://www.assunnah.or.id

     
  • erva kurniawan 3:23 am on 9 July 2014 Permalink | Balas  

    Hidup Bertetangga 

    TETANGGA-OH-TETANGGAHidup Bertetangga

    “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS An Nisaa’ 4: 36)

    Salah satu nikmat dalam hidup adalah bagaimana rukun dengan tetangga. Kita harus menyikapi setiap tetangga dengan sikap terbaik. Kelebihannya kita syukuri sehingga mampu mendatangkan manfaat. Kekurangannya harus menjadi ladang amal bagi kita, mereka harus dibantu sehingga menjadi lebih baik hidupnya. Kita pun harus senang untuk melupakan jasa & kebaikan, merasa lebih, ingin dihargai, ingin dihormati, ingin dipuji. Meakin kita banyak berharap dari tetangga, akan banyak terluka hati ini. Merdekakan diri ini dengan banyak berbuat, bukan banyak berharap dari tetangga kita.

    Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Hak tetangga ialah, bila dia sakit, kamu kunjungi. Bila wafat, kamu mengantarkan jenazahnya. Bila dia membutuhkan uang, maka kamu pinjami. Dan bila mengalami kesukaran/kemiskinan, maka jangan dibeberkan, aib-aibnya kamu tutup-tutupi dan rahasiakan. Bila dia memperoleh kebaikan, maka kita turut bersuka cita dan mengucapkan selamat kepadanya. Dan bila menghadapi musibah, kamu datang untuk menyampaikan rasa duka. Jangan sengaja meninggikan bangunan rumahmu melebihi bangunan rumahnya, lalu menutup jalan udaranya (kelancaran angin baginya). Dan janganlah kamu mengganggunya dengan bau masakan, kecuali kamu menciduknya dan memberikan kepadanya.”

    Kalau kita punya tetangga kaya  dan sukses, jangan iri hati dan jangan suka mengintip. Belajarlah senang dengan kesuksesan orang. “Alhamdulillah, dia ternyata sekarang dititipi rizki. Mudah-mudahan barokah, mudah-mudahan bisa banyak manfaat.” Anaknya lulus dan dapat kerjaan, alhamdulillah. Anak tetangga dapat jodoh, alhamdulillah. Insya Allah, kita akan bahagia terus.

    Jika kita jadi orang kaya namun tinggal di lingkungan perumahan sederhana, kemudian bikin rumah lima lantai sendiri tapi di sekelilingnya gubuk, tentu bisa menimbulkan sakit hati. Usahakan kalau kita punya rumah jangan sampai terlalu menyolok, membuat orang lain dengki. Seperti kata Rasul, jangan sampai menutupi cahaya, kecuali kalau mereka ridha. Kalau tidak, berikan kompensasi yang memadai. Pokoknya jangan berbuat yang membuat tetanga tidak suka kepada kita.

    ***

    Diambil dari artikel Refleksi Republika

     
  • erva kurniawan 4:56 am on 8 July 2014 Permalink | Balas  

    Mengapa Beruang Tumbuh Besar 

    beruang ikanMengapa Beruang Tumbuh Besar

    Seekor beruang yang bertubuh besar sedang menunggu seharian dengan sabar di tepi sungai deras. Waktu itu memang tidak sedang musim ikan. Sejak pagi ia berdiri di sana mencoba meraih ikan yang meloncat keluar air. Namun, tak satu juga ikan yang berhasil ia tangkap. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya… hup… ia dapat menangkap seekor ikan kecil. Ikan yang tertangkap menjerit-jerit ketakutan.

    Si ikan kecil itu meratap pada sang beruang, “Wahai beruang, tolong lepaskan aku.”

    “Mengapa,” tanya sang beruang.

    “Tidakkah kau lihat, aku ini terlalu kecil, bahkan bisa lolos lewat celah-celah gigimu,” rintih sang ikan.

    “Lalu kenapa?” tanya beruang lagi.

    “Begini saja, tolong kembalikan aku ke sungai. Setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar. Di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku untuk memenuhi seleramu,” kata ikan.

    “Wahai ikan, kau tahu mengapa aku bisa tumbuh begitu besar?” tanya beruang.

    “Mengapa?” ikan balas bertanya sambil menggeleng-geleng kepalanya.

    “Karena aku tak pernah menyerah walau sekecil apa pun keberuntungan yang telah tergenggam di tangan!” jawab beruang sambil tersenyum mantap.

    “Ops!” teriak sang ikan

    Dalam hidup, kita diberi banyak pilihan dan kesempatan. Namun jika kita tidak mau membuka hati dan mata kita untuk melihat dan menerima kesempatan yang Tuhan berikan maka kesempatan itu akan hilang begitu saja. Dan hal ini hanya akan menciptakan penyesalan yang tiada guna di kemudian hari, saat kita harus berucap : “Ohhh….Andaikan aku tidak menyia2kan kesempatan itu dulu…??”.

    Maka bijaksanalah pada hidup, hargai setiap detil kesempatan dalam hidup kita. Disaat sulit, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan; disaat sedih, selalu ada kesempatan untuk meraih kembali kebahagiaan; disaat jatuh selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali; dan dalam kesempatan untuk meraih kembali yang terbaik untuk hidup kita.

    Bila kita setia pada perkara yang kecil maka kita akan mendapat perkara yang besar. Bila kita menghargai kesempatan yang kecil, maka ia akan menjadi sebuah kesempatan yang besar.

     
  • erva kurniawan 8:36 am on 7 July 2014 Permalink | Balas  

    Kisah Seekor Burung Pipit 

    siluet burungKisah Seekor Burung Pipit

    Ketika musim kemarau baru mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengeluh pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon khabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.

    Benar, lama kelamaan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

    Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai terkena salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya diselaputi salju. Sampai ke tanah, salju yang menyelaputi sayapnya justru semakin bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya.

    Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lalu datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki-maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bersuara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si Burung tidak dapat bersuara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung menjadi pasrah dan berfikir bahwa dia pasti akan mati karena tak dapat bernafas.

    Namun perlahan-lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya meleleh sedikit demi sedikit oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi sepuas- puasnya.

    Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, menghulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang-nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih melekat pada bulu si burung. Setelah bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia berfikir telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

    Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gelita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

    Dari kisah ini, banyak pesanan moral yang dapat dimanfaatkan sebagai pelajaran:

    Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu sesuai buat kita. Baik dan buruknya penampilan, jangan dijadikan sebagai satu- satunya ukuran. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang boleh berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya. Ketika kita baru mendapat kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak menyesal kelak. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 8:32 am on 6 July 2014 Permalink | Balas  

    Sebuah Mutiara 

    kerang mutiaraSebuah Mutiara

    “Nama saya Rita mbak, umur 23 tahun. Anak saya umurnya udah 5 tahun sekarang, ditinggal di Indonesia. Saya ingin belajar islam yang benar. Saya sholat dan juga berpuasa, tapi saya belum pernah benar-benar masuk Islam karena agama yang diturunkan orangtua bukan islam., saat ini saya benar-benar ingin jadi muslimah sejati, karena…,” ucapnya terhenti, ada bening di dua sudut matanya. Aku cuma diam membiarkan keheningan menyelimuti kami. “Karena… karena saya ingin punya anak anak yang sholeh mbak” lirihnya pelan.

    Subhanallah, sebaris kalimat sederhana dan datar, tapi cukup menyentakkan hatiku saat itu. Keharuan merayapi ruang-ruang hatiku. Cerita hidupnya yang berliku kemudian mengalir deras. Cerita-cerita yang tak akan pernah kita dengar di sinetron Indonesia yang penuh mimpi. Cerita hidup sarat perjuangan yang seakan menyadarkanku dari lamunan panjang bahwa beragam kisah terbentang di luar sana. Menunggu untuk dicermati dan dijadikan pelajaran.

    Diusir dari keluarga karena menikah dengan seorang muslim. Belajar Islam otodidak dan merangkak. Bekerja di negara sekuler dan mendapat majikan keluarga muslim yang tidak pernah sholat. Tapi hidayah Allah memang maha indah, justru dari lingkungan yang tidak kondusif inilah beliau merasakan nikmatnya berislam dan keinginan itu semakin besar ketika dikait-kaitkan dengan si buah hati. Berapa banyak diantara kita yang ingin menjadi muslim/muslimah sejati dengan tujuan mulia agar kelak nantinya bisa membentuk anak-anak yang sholeh dan menjadi rahmatan lil ‘alamin? Sudahkah keinginan semulia itu mendapat tempat khusus di hati kita? Anak sholeh, investasi abadi dunia akhirat, subhanallah, siapa yang tidak merindukannya.

    “Saya ingin belajar sholat yang benar mbak, saya merasa sholat saya selama ini tak pernah benar karena kan belajar sendiri,” lanjutnya dengan logat melayu yang kental. “Rasanya saya ingin sholat sesering mungkin, menurut saya sholat itu kebutuhan, bukan kewajiban.” lanjutnya mantap.

    Jleb…., lagi lagi kalimat ajaib meluncur dari mulutnya. Aku terpana. Aku menjelaskan rukun-rukun sholat, dan hal-hal lainnya tentang pelaksanaan sholat, tapi sesungguhnya batinku tidak disana. Aku serasa disindir habis-habisan. Pernahkah terfikir olehku konsep pemahaman sholat seindah yang dimilikinya. Sudahkah selama ini aku menganggap sholat sebagai suatu kebutuhan. Aku yang dilahirkan dari keluarga muslim. dibesarkan dalam lingkungan yang sangat islami. Rasanya aku menjadi tidak ada apa-apanya dibanding dia.

    Berkali-kali dia menyatakan rasa rendah dirinya karena statusnya sebagai PRT di sini, tapi di mataku dia sungguh wanita yang sangat mulia. Dirinya bagai mutiara yang tersimpan di tengah lumpur hitam pekat. Hari ini cerita hidupnya, dan kalimat-kalimat tulusnya telah kucatat baik-baik dalam hati ini. Akan kusimpan di salah satu bagian paling penting dalam memori hatiku, dan tak kan kulupakan selamanya. Insya Allah.

    ***

    Diambil dari http://www.detik.com

     
  • erva kurniawan 4:02 am on 5 July 2014 Permalink | Balas  

    Ketika Rasulullah dan Dua Sahabatnya Kelaparan 

    muhammad-2Ketika Rasulullah dan Dua Sahabatnya Kelaparan

    Apabila Anda menikmati hidangan makanan, mulailah dengan mengucap bismillah. Dan selesai makan hendaknya membaca,’Alhamdulillahilladzi asba’ana wa an’ama ‘alaina wa afdhala’

    Suatu hari Abu Bakar Ash Shidiq keluar dari rumahnya dalam keadaan gelisah di tengah panas terik matahari. Ketika sampai di masjid, ia melihat sahabat Umar bin Khaththab datang dalam keadaan yang sama. Umar lalu bertanya kepada Abu Bakar,”Mengapa engkau berada di sini?”

    “Aku di sini karena lapar,” jawab Abu Bakar.

    “Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini,” kata Umar.

    Lalu keduanya terus berbincang-bincang sampai kemudian Rasulullah SAW datang menghampiri mereka dan mengucap salam.

    “Untuk apa engkau berdua datang ke sini?” Tanya Rasulullah SAW kepada mereka.

    “Ya Rasulullah, kami sedang menderita kelaparan,“ jawab salah seorang di antara mereka.

    Rasulullah SAW tersenyum wajahnya berseri. Beliau lalu bersabda, ”Demikian juga yang menyebabkan aku datang ke sini.”

    Tak lama kemudian mereka bertiga pergi ke rumah salah seorang sahabat, Abu Ayub Al-Anshari. Namun saat itu Abu Ayub tidak berada di tumah, dan mereka disambut oleh istri Abu Ayub dengan perasaan hormat dan senang.

    “Ke manakah Abu Ayub,” tanya Rasulullah SAW.

    “Baru saja ia pergi tapi akan segera pulang,” jawab istri Abu Ayub.

    Memang benar apa yang dikatakan oleh istrinya, tak berapa lama kemudian Abu Ayub pulang.

    Ketika melihat Rasulullah bersama dua sahabat berada di rumahnya, ia sangat gembira. Ia lalu meletakan sejumlah kurma di hadapan Rasulullah SAW.

    “Mengapa engkau membawa sejumlah kurma yang sebagian mentah dan sebagian lagi masak? Bukankah lebih baik jika engkau mengambil yang masaknya saja?” kata Rasulullah SAW kepada Abu Ayub.

    “Aku membawa semuanya agar kita dapat memilih yang mana yang disukai.” (Karena ada orang yang senang dengan kurma masak, ada juga yang senang dengan kurma masih mentah).

    Kemudian Abu Ayub pergi untuk menyembelih seekor kambing muda, separuh dagingnya digoreng, dan separuhnya digulai. Segera ia menghidangkannya ke hadapan Rasulullah SAW.

    Beliau lalu mengambil sepotong roti dan sedikit daging, kemudian diserahkannya kepada Abu Ayub dan berkata, ”Makanan ini hendaknya engkau berikan kepada anak kesayanganku, Fatimah. Karena ia sudah beberapa hari ini tidak mendapatkan makanan.”

    Mendapat perintah dari beliau, Abu Ayub langsung segera pergi menuju rumah Fatimah, untuk memberikan roti dan daging kambing yang telah dimasak itu.

    Sementara itu, Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya menyantap makanan yang sudah disajikan.

    Setelah selesai makan, Rasulullah SAW bersabda, “Roti, daging dan aneka jenis buah kurma ini adalah nikmat Allah SWT.”

    Kemudian dengan meneteskan air mata, beliau melanjutkan, ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, ini semua adalah nikmat Allah SWT yang akan ditanya pada hari kiamat.”

    Para sahabat memperoleh kenikmatan itu dalam keadaan yang sangat membutuhkannya. Karena itu mereka merasa heran, mengapa kenikmatan yang diperoleh dalam keadaan demikian pun akan ditanya.

    Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Mensyukuri nikmat-nikmat Allah SWT itu diwajibkan. Oleh karena itu, apabila kalian menikmati hidangan makanan, minuman mulailah dengan mengucap bismillah dan selesai makan, hendaknya membaca,” ”Alhamdulillahilladzi asba’ana wa an’ama ‘alaina wa afdhala”(Segala puji bagi Allah, yang telah mengenyangkan kami dan memberikan kami kenikmatan yang sangat banyak). Dengan membaca doa ini, kalian bersyukur kepada Allah.” (HR At-Thahawi dari Abu Salamah, Musykilil Aatsari).

    ***

    Aji Setiawan – detikRamadan

    (rmd/rmd)

     
  • erva kurniawan 5:39 am on 4 July 2014 Permalink | Balas  

    Sholat Taraweh 

    sholat-berjamaahSholat Taraweh

    Sayyid Ali Fikri dalam bukunya “Khulashatul Kalam fii Arkaanil Islam” halaman 114 menuturkan tentang shalat tarawih sebagai berikut:

    Shalat tarawih itu hukumnya sunnat mu’akkad (sunnat yang hukumnya mendekati wajib) menurut para Imam Madzhab pada malam-malam bulan Ramadlan. Waktunya adalah setelah shalat Isyak sampai terbit fajar; dan disunnatkan shalat witir sesudahnya.

    Shalat tarawih itu disunnatkan beristirahat sesudah tiap adalah dua puluh raka’at dan setiap dua raka’at satu kali salam; dan empat raka’at selama cukup untuk melakukan shalat empat raka’at. Shalat tarawih ini disunnatkan bagi orang laki-laki dan perempuan.

    Cara melakukan shalat tarawih adalah seperti shalat shubuh, artinya setiap dua raka’at satu salam; dan shalat tarawih ini tidak sah tanpa membaca Fatihah dan disunnatkan membaca ayat atau surat pada setiap raka’at.

    Hikmah dari shalat tarawih ini adalah untuk menguatkan jiwa, mengistirahatkan dan menyegarkannya guna melakukan keta’atan; dan juga untuk memudahkan mencernak makanan sesudah makan malam. Karena apabila ada orang sesudah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercernak, sehingga dapat mengganggu kesehatannya; kesegaran jasmaninya menjadi lesu dan rusak.

    Adapun orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah dengan hitungan dua puluh raka’at adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan para shahabat Nabi pada waktu itu menyetujuinya. Dan pekerjaan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah  bersabda:

    “Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari Al Khulafa’ur Rasyidin”.

    Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. telah menambah jumlah raka’atnya dan menjadikannya 36 (tiga puluh enam raka’at). Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah. Karena penduduk Makkah setiap kali selesai melakukan shalat empat raka’at, mereka melakukan thawaf di Ka’bah. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan shalat empat raka’at sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran.

    Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut di atas, maka :

    Menurut madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali, jumlah shalat tarawih itu adalah duapuluh raka’at selain shalat witir.

    Menurut madzhab Maliki, jumlah shalat tarawih itu adalah 36 (tigapuluh enam) raka’at, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

    Adapun orang yang melakukan shalat tarawih 8 (delapan) raka’at dengan witir 3 (tiga) raka’at, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah A’isyah yang berbunyi sebagai berikut:

    “Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas raka’at . Beliau shalat empat raka’at dan jangan anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat raka’at dan jangan anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga raka’at. Kemudian aku (A’isyah) berkata: “Wahai Rasulullah, adakah tuan tidur sebelum shalat witir ?” Kemudian beliau bersabda: “Wahai A’isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur !”

    Syekh Muhammad bin ‘Allan dalam kitab “Daliilul Faalihiin” jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang shalat witir, karena shalat witir itu paling banyak hanya sebelas raka’at, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan A’isyah bahwa Nabi saw. tidak menambah shalat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas raka’at. Sedang shalat tarawih atau “qiyamu Ramadlan” hanya ada pada bulan Ramadlan saja.

    Adapun ucapan A’isyah “beliau shalat empat raka’at dan anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya”, tidaklah berarti bahwa beliau melakukan shalat empat raka’at dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:

    “Shalat malam itu dua raka’at, dua raka’at, maka jika kamu khawatir akan shubuh, shalatlah witir satu raka’at”.

    Dalam hadits lain yang disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :

    “Adalah Nabi saw. melakukan shalat dari waktu malam dua raka’at dua raka’at, dan melakukan witir dengan satu rakaat”.

    Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As Shiddiq, shalat tarawih itu dilaksanakan pada waktu tengah malam, dan namanya bukan shalat tarawih, melainkan “qiyaamu Ramadlaan” (Shalat pada malam bulan Ramadlan). Karena nama “tarawih” itu diambil dari arti “istirahat” yang dilakukan setelah melakukan shalat empat raka’at. Disamping itu perlu kita ketahui, bahwa pelaksanaan shalat tarawih itu di Masjid al Haram di Kota Makkah sekarang ini adalah 20 raka’at dengan dua raka’at satu salam.

    Almarhum KH. Ali Ma’sum Krapyak Jogyakarta, dalam bukunya yang berjudul “Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jama’ah” halaman 24 dan 40 menerangkan tentang shalat “SHALAT TARAWIH” yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

    Shalat tarawih itu, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, namun sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Shalat tarawih itu menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafi’i, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah duapuluh raka’at. Shalat tarawih ini hukumnya adalah sunnat mu’akkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Maliki.

    Shalat tarawih ini disunnatkan untuk dilakukan dengan berjama’ah bagi setiap muslim, menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjama’ah dalam shalat tarawih itu hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnat), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjama’ah dalam shalat tarawih itu hukumnya sunnat kifayah bagi penduduk kampung, sehingga apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berja ma’ah, maka lainnya gugur dari tuntutan.

    Para imam madzhab telah menetapkan kesunnatan shalat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad saw. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

    “Adalah Nabi saw. keluar pada waktu tengah malam pada malam-malam Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang  terpisah: malam tanggal 23, 25 dan 27. Beliau shalat di masjid dan orang-orang  shalat seperti shalat beliau di masjid. Beliau shalat dengan mereka  delapan raka’at, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan shalat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga shalat tersebut sempurna 20 raka’at menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah”.

    Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensunnatkan bagi ummat Islam shalat tarawih dan berjama’ah pada shalat tarawih tersebut, akan tetapi beliau tidak melakukan shalat dengan para sahabat sebanyak 20 raka’at sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman shahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.

    Telah diriwayatkan dari Sayyidah A’isyah ra. bahwa Nabi  Muhammad saw. keluar sesudah tengah malam pada bulan Ramadlan dan beliau melakukan shalat di masjid, maka para shahabat melakukan shalat dengan shalat beliau. Lalu pada pagi harinya para shahabat tersebut memperbincangkan shalat mereka dengan Rasulullah saw., sehingga pada malam kedua orang bertambah banyak. Kemudian Nabi saw. melakukan shalat dan orang-orang melakukan shalat dengan shalat beliau. Pada malam ketiga tatkala orang-orang bertambah banyak sehingga masjid tidak mampu menapung para jama’ah, Rasulullah saw. tidak keluar pada para jama’ah sehingga beliau keluar untuk melakukan shalat shubuh. Dan setelah beliau shalat shubuh,beliau menghadap kepada para jama’ah dan bersabda: “Sesungguhnya tidaklah dikhawatirkan atas kepentingan kalian tadi malam; akan tetapi aku takut apabila shalat malam itu diwajibkan atas kamu sekalian, sehingga kalian tidak mampu melaksanaknnya !”.

    Kemudian Rasulullah saw. wafat dan keadaan berjalan demikian pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Kemudian Khalifah Umar bin Khattab ra.  mengumpulkan orang-orang laki-laki untuk berjama’ah shalat tarawih dengan diimami oleh Ubai bin Ka’ab dan orang-orang perempuan berjama’ah dengan diimami oleh Usman bin Khatsamah. Oleh karena itu Khalifah Usman bin Affan berkata pada masa pemerintahan beliau: “Semoga Allah menerangi kubur Umar sebagaimana Umar telah menerangi masjid-masjid kita”. Yang dikehendaki oleh hadits ini adalah bahwa Nabi saw. keluar dalam dua malam saja.

    Menurut pendapat yang masyhur adalah bahwa Rasulullah saw. keluar pada para shahabat untuk melakukan shalat tarawih bersama mereka tiga malam, yaitu tanggal 23, 25 dan 27, dan beliau tidak keluar pada mereka pada malam 29. Sesungguhnya Rasulullah saw tidak tiga malam berturut-turut adalah karena kasihan kepada para shahabat. Dan beliau shalat bersama para shahabat delapan raka’at; tetapi beliau menyempurnakan shalat 20 raka’at di rumah beliau dan para shahabat menyempurnakan shalat di rumah mereka 20 raka’at, dengan bukti bahwa dari mereka itu didengar suara seperti suara lebah. Sesungguhnya Nabi saw. tidak menyempurnakan bersama para shahabat 20 raka’at di masjid adalah karena kasihan kepada mereka.

    Dari hadits ini menjadi jelas, bahwa jumlah shalat tarawih yang mereka lakukan itu tidak terbatas hanya delapan raka’at, dengan bukti bahwa mereka menyempurnakannya di rumah-rumah mereka.  Sedang pekerjaan Khalifah Umar ra. telah menjelaskan bahwa jumlah raka’atnya adalah duapuluh, pada sa’at Umar ra. mengumpulkan orang-orang di masjid dan para shahabat menyetujuinya serta tidak didapati seorangpun dari orang-orang sesudah beliau dari para Khulafa’ur Rasyidun yang berbeda dengan Umar. Dan mereka terus menerus melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah 20 raka’at. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

    “Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari Al Khulafa’ur Rasyidun yang telah mendapat petunjuk; dan gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham (berpegang  teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut). HR Abu Dawud

    Nabi Muhammad saw. juga pernah bersabda sebagai berikut:

    “Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar”. HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah.

    Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubai dan Tamim Ad Daari melakukan shalat tarawih bersama orang-orang sebanyak 20 raka’at. Dan Imam Al Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih, bahwa mereka melakukan shalat tarawih pada masa pemerintahan Umar bin Khattab 20 raka’at, dan menurut satu riwayat 23 raka’at. Dan pada masa pemerintahan Usman bin Affan juga seperti itu, sehingga menjadi ijma’. Dalam satu riwayat, Ali bin Abi Talib ra. mengimami orang-orang dengan 20 raka’at dan shalat witir dengan tiga raka’at.

    Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., maka beliau berkata:”Shalat tarawih itu adalah sunnat mu’akkadah. Dan Umar ra. tidaklah  menentukan bilangan 20 raka’at tersebut dari kehendaknya sendiri.  Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid’ah. Dan beliau tidak memerintahkan shalat 20 raka’at, kecuali berasal dari sumber  pokoknya yaitu dari Rasulullah saw.”

    Khalifah Umar bin Khattab ra. telah membuat sunnah dalam hal shalat tarawih ini dan telah mengumpulkan orang-orang dengan diimami oleh Ubai bin Ka’ab, sehinggaUbai bin Ka’ab melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah, sedangkan para shahabat mengikutinya. Di antara para shahabat yang mengikuti pada waktu itu terdapat: Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, ‘Abbas dan puteranya, Thalhah, Az Zubair, Mu’adz, Ubai dan para shahabat Muhajirin dan shahabat Ansor lainnya ra. Dan pada waktu itu tidak ada seorangpun dari para shahabat yang menolak atau menentangnya, bahkan mereka membantu dan menyetujuinya serta memerintahkan hal tersebut. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:

    “Para shahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan yang mana saja dari mereka kamu sekalian mengikuti, maka kamu sekalian akan mendapatkan petunjuk”.

    Memang, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu beliau mengikuti orang Madinah, bilangan shalat tarawih itu ditambah dan dijadikan 36 raka’at. Akan tetapi tambahan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan keutamaan dengan penduduk Makkah; karena penduduk Makkah melakukan thawaf di Baitullah satu kali sesudah shalat empat raka’at, artinya dua kali salam. Maka Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu mengimami para jama’ah berpendapat untuk melakukan shalat empat raka’at dengan dua kali salam sebagai ganti dari thawaf.

    Ini adalah dalil dari kebenaran ijtihad dari para ulama’ dalam menambahi apa yang telah datang dari ibadah yang telah disyari’atkan, karena sama sekali tidak perlu diragukan, bahwa setiap orang diperbolehkan untuk melakukan shalat sunnat semampu mungkin pada waktu malam atau siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan shalat.

    Pengarang dari kitab “Al Fiqhu ‘Ala al Madzaahibil Arba’ah” menyatakan bahwa shalat tarawih itu adalah 20 raka’at menurut semua imam madzhab kecuali witir.

    Dalam kitab “Mizan” karangan Imam Asy-Sya’rani halaman 148 dinyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad, shalat tarawih itu adalah 20 raka’at. Imam Asy-Syafi’i  berkata: “20 raka’at bagi mereka itu adalah lebih saya sukai!”.  Dan sesungguhnya shalat tarawih dengan berjama’ah itu adalah lebih utama beserta pendapat Imam Malik dalam salah satu riwayat dari beliau, bahwa shalat tarawih itu adalah 36  raka’at.

    Dalam kitab “Bidaayatul Mujtahid” karangan Imam Qurthubi juz I halaman 21 diterangkan bahwa shalat tarawih yang Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang untuk melakukannya dengan berjama’ah adalah disukai; dan mereka berbeda pendapat mengenai jumlah raka’at yang dilakukan orang-orang pada bulan Ramadlan. Imam Malik dalam salah satu dari kedua pendapat beliau, Imam Abu Hanifah, Imam As Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal memilih 20 raka’at selain shalat witir.

    Pada pokoknya Imam Madzhab Empat tersebut di atas memilih bahwa shalat tarawih itu adalah 20 raka’at selain shalat witir. Sedang orang yang berpendapat bahwa shalat tarawih itu adalah 8 (delapan) raka’at adalah menyalahi dan menentang terhadap apa yang telah mereka pilih. Dan sebaiknya pendapat orang ini dibuang dan tidak usah diperhatikan, karena tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu golongan yang selamat, yang mengikuti  sunnah Rasulullah saw. dan para shahabat beliau.

    Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa shalat tarawih delapan raka’at itu adalah berdasarkan hadits ‘A’isyah ra. sebagaimana disebutkan di muka.

    Hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan dasar shalat tarawih, karena maudlu’ dari hadits tersebut apa yang nampak jelas adalah shalat witir. Dan sebagaimana kita ketahui, shalat witir itu paling sedikit adalah satu raka’at dan paling banyak adalah sebelas raka’at. Dan Rasulullah saw. pada waktu itu melakukan shalat sesudah tidur empat raka’at dengan dua salam tanpa disela, lalu melakukan shalat empat raka’at dengan dua salam tanpa disela, kemudian melakukan shalat tiga raka’at dengan dua salam juga tanpa disela. Yang menunjukkan bahwa hadits ‘A’isyah ra. ini adalah shalat witir:

    Ucapan ‘A’isyah:”Apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?” Sesungguhnya shalat tarawih itu dikerjakan sesudah shalat isyak dan sebelum tidur.

    Sesungguhnya shalat tarawih itu tidak didapati pada selain bulan Ramadlan.

    Dengan demikian, maka sudah tidak ada dalil yang menentang  kebenaran shalat tarawih 20 raka’at.  Imam Al-Qasthalani dalam kitab “Irsyadus Saarii” syarah dari Shahih Bukhari berkata: “Apa yang sudah diketahui, yaitu apa yang dipakai oleh “jumhur ulama'” adalah bahwa bilangan / jumlah raka’at shalat tarawih itu 20 raka’at dengan sepuluh kali salam, sama dengan lima kali tarawih yang setiap tarawih empat raka’at dengan dua kali salam selain witir, yaitu tiga raka’at.

    Dalam Sunan Baihaqiy dengan isnad yang shahih sebagaimana ucapan Zainuddin Al Iraqi dalam kitab “Syarah Taqrib”, dari As-Sa’ib bin Yazid ra. katanya: “Mereka (para shahabat) adalah melakukan shalat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. pada bulan Ramadlan dengan 20 raka’at.

    Imam Malik dalam kitab “Al Muwaththa” meriwayatkan dari Yazid bin Rauman katanya: “Adalah orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra. melakukan shalat dengan 23 raka’at. Dan Imam Al Baihaqi telah mengumpulkan kedua riwayat tersebut dengan  menyebutkan bahwa mereka melakukan witir tiga raka’at. Dan para ulama’ telah menghitung apa yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab sebagai ijma’.

    Perlu kita ketahui bahwa shalat tarawih itu adalah dua raka’at satu salam, menurut madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dalam hal ini madzhab Syafi’i berpendapat: “Wajib dari setiap dua raka’at; sehingga jika seseorang melakukan shalat tarawih 20 raka’at dengan satu salam, maka hukumnya tidak sah”.

    Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat: “Disunnatkan melakukan salam pada akhir setiap dua raka’at. Sehingga jika ada orang yang melakukan shalat tarawih 20 raka’at dengan satu salam, dan dia duduk pada permulaan setiap dua raka’at, maka hukumnya sah tetapi makruh. Dan jika tidak duduk pada permulaan setiap dua raka’at maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para imam madzhab”.

    Adapun madzhab Syafi’i berpendapat: “Wajib melakukan salam pada setiap dua raka’at. Maka jika orang melakukan shalat tarawih 20 raka’at dengan satu salam, hukumnya tidak sah; baik dia duduk atau tidak pada permulaan setiap dua raka’at”. Jadi menurut para ulama’ Syafi’iyyah, shalat tarawih itu harus dilakukan dua raka’at dua raka’at dan salam pada permulaan setiap dua raka’at.

    Adapun ulama’ madzhab Hanafi berpendapat: “Jika seseorang melakukan shalat empat raka’at dengan satu salam, maka empat raka’at tersebut adalah sebagai ganti dari dua raka’at menurut kesepakatan mereka. Adapun jika seseorang melakukan shalat lebih dari empat raka’at dengan satu salam, maka ke absahannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat sebagai ganti dari raka’at yang genap dari shalat tarawih, dan ada yang berpendapat tidak sah”.

    Para ulama’ dari madzhab Hambali berpendapat bahwa shalat seperti tersebut sah tetapi makruh dan dihitung duapuluh raka’at. Sedang para ulama madzhab Maliki berpendapat:”Shalat yang demkian itu sah dan dihitung duapuluh raka’at. Dan orang yang melakukan shalat demikian itu adalah orang yang meninggalkan kesunnatan tasyahhud dan kesunnatan salam pada setiap dua raka’at; dan yang demikian itu adalah makruh”.

    Rasulullah saw. bersabda:

    “Shalat malam itu dua raka’at, dua raka’at. Maka jika salah seorang dari kamu sekalian khawatir akan shubuh, maka dia shalat satu raka’at yang menjadi witir baginya dari shalat yang telah dia lakukan”.

    Dan yang menunjukkan bahwa bilangan shalat tarawih 20 raka’at selain dari dalil-dalil tersebut di atas, adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan At Thabrani dari jalan Abu Syaibah bin Usman dari Al Hakam dari Muqassim dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. telah melakukan shalat pada bulan Ramadlan 20 raka’at dan witir.

    Wallohu a’lam bish-shawab,-

    ***

    Dari Hamba Allah

     
    • mhilal 10:00 am on 5 Juli 2014 Permalink

      Di akhir tulisan dr blog ini selalu ada catatan “dari hamba Allah” atau “dari seorang teman”.
      Kalau boleh tahu, sebetulnya siapa yg menuliskannya, Mas?

  • erva kurniawan 4:22 am on 4 July 2014 Permalink | Balas  

    Beginilah Kesabaran Rasulullah Saat Dakwah di Thaif 

    Muhammad SAWBeginilah Kesabaran Rasulullah Saat Dakwah di Thaif

    Saat berdakwah di Thaif, Rasulullah SAW dicemooh dan dilempari batu. Namun dengan keikhlasan dan kesabaran beliau tidak membalasnya dari gangguan orang-orang kafir, hingga akhirnya mereka menerima dakwah Islam.

    Setelah sembilan tahun Muhammad SAW diangkat sebagai Rasulullah, beliau masih menjalankan dakwah di kalangan kaumnya sendiri di sekitar kota Makkah untuk memperbaiki pola hidup mereka. Tetapi hanya sebagian kecil saja orang yang bersedia memeluk agama Islam atau bersimpati kepadanya, selebihnya beliau selalu dengan daya dan upaya untuk mengganggu dan menghalangi beliau dan pengikut-pengikutnya.

    Di antara mereka yang bersimpati dengan dakwah Nabi adalah paman beliau sendiri yakni Abu Thalib, namun sayangnya ia tidak pernah memeluk Islam sampai akhir hayatnya.

    Pada tahun kesepuluh setelah kenabian Abu Thalib wafat. Dengan wafatnya Abu Thalib ini, pihak kafir Quraisy merasa semakin leluasa mengganggu dan menentang Nabi SAW.

    Thaif merupakan kota terbesar setelah Hijaz. Di sana terdapat Bani Tsaqif, suatu Kabilah yang cukup kuat dan besar jumlah penduduknya. Rasulullah SAW pun berangkat ke Thaif dengan harapan dapat membujuk Bani Tsaqif untuk menerima Islam.

    Dengan demikian, beliau dan pengikutnya akan mendapatkan perlindungan dari gangguan kaum kafir Quraisy. Beliaupun berharap dapat menjadikan Thaif sebagai pusat gerakan dakwah.

    Setiba di sana, Rasulullah SAW mengunjungi tiga tokoh Bani Tsaqif secara terpisah untuk menyampaikan risalah Islam. Namun apa yang terjadi?

    Bani Tsaqif bukan saja menolak ajaran Islam, bahkan mendengar pembicaraan Nabi SAW pun mereka tidak mau. Rasulullah SAW diperlakukan secara kasar dan biadab.

    Sikap kasar mereka itu sungguh bertentangan dengan sikap bangsa Arab yang selalu menghormati tamunya. Dengan terus terang mereka mengatakan bahwa mereka tidak senang dengan Rasulullah dan pengikutnya tinggal di kota mereka. Semula Rasulullah membayangkan akan mendapatkan perlakuan sopan diiringi tutur kata yang lemah lembut, tetapi ternyata beliau diejek dengan kata-kata yang kasar.

    Salah seorang diantara mereka berkata sambil mengejek beliau dengan sangat kasar, ”Benarkah Allah telah mengangkatmu sebagai pesuruh-Nya?”

    Yang lain berkata sambil tertawa, ”Tidak dapatkah Allah memilih manusia selain kamu untuk menjadi pesuruh-Nya?”

    Ada juga yang berkata,”Jika engkau benar-benar seorang Nabi, aku tidak ingin berbicara denganmu, karena perbuatan demikian itu akan mendatangkan bencana bagiku. Sebaliknya, jika kamu seorang pendusta, tidak ada gunanya aku berbicara denganmu.”

    Menghadapi perlakuan tiga tokoh Bani Tsaqif yang sedemikian kasar itu, Rasulullah SAW yang memiliki sifat bersungguh-sungguh dan teguh pendirian, tidak menyebabkannya berputus asa dan kecewa.

    Setelah meninggalkan tokoh-tokoh Bani Tsaqif yang tidak dapat diharapkan itu, Rasulullah mencoba berdakwah di kalangan rakyat biasa. Namun kali ini pun beliau mendapat kegagalan.

    Mereka mengusir Rasulullah SAW dari Thaif dengan berkata, ”Keluarlah kamu dari kampung ini! Dan pergilah ke mana saja kamu suka!”

    Ketika Rasulullah SAW menyadari bahwa usahanya tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman. Mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh ejekan.

    Lemparan batu yang mengenai Nabi SAW sedemikian hebat, tiap beliau bergeser dari suatu tempat, lemparan batu bertubi-tubi mengenai tubuh beliau, sehingga tubuh beliau berlumuran darah.

    Dengan berjalan tertatih-tatih dan tubuh bersimbah darah, beliau dalam perjalanan pulang, Rasulullah SAW kemudian menjumpai tempat yang aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut, kemudian beliau berdoa dengan sambil meneteskan air mata mengadukannya kepada yang Allah SWT,

    ”Wahai Tuhanku, kepada Engkaulah aku adukan kelemahan tenagaku dan kekurangan daya upayaku pada pandangan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Rahim, Engkaulah Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku. Kepada siapa Engkau menyerahkan diriku? Kepada musuh yang akan menerkam aku atau kepada keluarga yang Engkau berikan kepadanya urusanku, tidak ada keberatan bagiku asalkan Engkau tidak marah kepadaku. Sedangkan afiat-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang mulia yang menyinari langit dan menerangi segala yang gelap dan atas-Nya lah teratur segala urusan dunia dan akhirat. Dari Engkau menimpakan atas diriku kemarahan-Mu atau dari Engkau turun atasku azab-Mu. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan Engkau.”

    Demikian sedihnya doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT oleh Nabi SAW sehingga Allah SWT mengirimkan malaikat Jibril untuk menemuinya.

    Setibanya di hadapan Nabi, Jibril AS memberi salam seraya berkata, ”Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.”

    Sambil berkata demikian, Jibril AS memperlihatkan barisan para malaikat itu kepada Rasululah SAW.

    Kata malaikat itu, “Wahai Rasululah, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertintih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.”

    Mendengar tawaran malaikat itu Rasulullah dengan sifat kasih sayangnya berkata, ”Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

    ***

    Aji Setiawan – detikRamadan

     
  • erva kurniawan 4:11 am on 3 July 2014 Permalink | Balas  

    Beginilah Cinta Rasulullah kepada Anak Yatim 

    PolaAsuhAnakBeginilah Cinta Rasulullah kepada Anak Yatim

    “Barang siapa mencintai dan menyantuni anak-anak yatim, kelak akan hidup berdampingan bersamaku di surga.” (Al-Hadis).

    Usai menunaikan salat Id dan bersalaman dengan para jamaah, Rasulullah SAW segera pulang. Di jalan pulang, dilihatnya anak-anak sedang bermain di halaman rumah penduduk. Mereka tampak riang gembira menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Pakaian mereka pun baru. Rasulullah SAW mengucap salam kepada mereka, dan serentak mereka langsung mengerubuti Rasul SAW untuk bersalaman.

    Sementara itu, tak jauh dari sana, di pojok halaman yang tak terlampau luas, tampak seorang anak kecil duduk sendirian sambil menahan tangis. Matanya lebam oleh air mata, tangisnya sesenggukan. Ia mengenakan pakaian bekas yang sudah sangat kotor penuh tambalan di sana-sini. Compang-camping.

    Melihat anak kecil yang tampak tak terurus itu, Rasulullah SAW segera bergegas menghampirinya. Dengan nada suara pelan penuh kebapakan, Rasulullah SAW bersabda, ”Hai anak kecil, mengapa engkau menangis, tidak bermain bersama teman-temanmu?” Rupanya anak itu belum tahu bahwa yang menyapanya adalah Rasulullah SAW.

    Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, ia menjawab sambil menangis, ”Wahai laki-laki, ayahku telah meninggal dunia di hadapan Rasulullah SAW dalam sebuah peperangan. Lalu ibuku menikah lagi dan merebut semua harta warisan. Ayah tiriku sangat kejam. Ia mengusirku dari rumah. Sekarang aku kelaparan, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Dan hari ini aku melihat teman-teman berbahagia, karena semua mempunyai ayah. Aku teringat musibah yang menimpa Ayah. Oleh karena itu, aku menangis.”

    Seketika Rasulullah SAW tak kuasa menahan haru mendengar cerita sedih itu. Bulir-bulir air matanya membasahi mukanya yang suci dan putih bersih penuh kelembutan itu. Maka Rasulullah SAW pun lalu memeluknya, tanpa memedulikan bau dan kotornya pakaian anak itu, sambil mengusap-usap dan menciumi ubun-ubun kepalanya.

    Lalu sabda Rasul, ”Hai anak kecil, maukah engkau sebut aku sebagai ayah, dan Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai saudara laki-lakimu, Fatimah sebagai saudara perempuanmu?” Seketika raut wajah anak itu berubah cerah. Meski agak kaget, ia tampak sangat bahagia. ”Mengapa aku tidak mau, ya Rasulullah?”

    Hidup Berdampingan

    Rasulullah SAW pun lalu membawanya pulang. Disuruhnya anak itu mandi, lalu diberikannya pakaian yang bagus dengan minyak wangi harum. Setelah itu, Rasulullah mengajaknya makan bersama. Lambat laun, kesedihan anak itu berubah menjadi kebahagiaan. Dan tak lama kemudian ia keluar dari rumah Rasul sembari tertawa-tawa gembira. Dan ia pun bermain bersama teman-teman sebayanya.

    ”Sebelumnya kamu selalu menangis. Mengapa sekarang kamu sangat gembira?” tanya teman-temannya.

    Dengan gembira anak itu menjawab, “Aku semula lapar, tapi sekarang sudah kenyang, dan sekarang berpakaian bagus. Sebelumnya aku yatim, sekarang Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Nah, bagaimana aku tidak bergembira?”

    ”Seandainya ayah kami gugur di jalan Allah dalam peperangan itu, niscaya kami menjadi seperti dia,” kata beberapa kawannya.

    Namun, kebahagiaan anak yatim itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang beberapa waktu setelah menunaikan haji wada, tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul wwal 11 H (633 M) Rasulullah SAW wafat.

    “Sekarang aku menjadi anak yatim lagi,” katanya ambil keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di kepalanya karena merasa sedih. Kata-kata anak itu kebetulan terdengar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang berada tak jauh dari sana. Maka ia pun lalu ditampung di rumah Abu Bakar.

    Demikian sekelumit kisah kecintaan Rasulullah SAW kepada anak yatim di hari raya. Betapa di hari yang penuh kemenangan itu, hari raya menjadi hari yang menyedihkan – sementara nasib mereka banyak yang luput dari perhatian. Anak-anak yatim adalah makhluk yang senantiasa berpuasa dalam hidupnya, baik dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Jangankan mengenakan pakaian baru, untuk makan sehari-hari saja sulit.

    Sungguh, memperlakukan dengan baik dan menyantuni anak yatim pada hari raya – dan tentu hari-hari biasa – merupakan langkah yang mulia dan terpuji. Dalam Islam, mereka yang menyantuni anak yatim niscaya mendapat penghargaan yang sangat tinggi.

    Sabda Rasul, ”Barang siapa menyantuni anak yatim, dia berada di surga bersamaku seperti ini (Rasulullah mempersandingkan jari telunjuk beliau dengan dan jari tengah).” Maksudnya, hidup berdampingan dengan Rasulullah SAW di surga.

    ***

    Aji Setiawan – detikRamadan

     
  • erva kurniawan 3:51 am on 2 July 2014 Permalink | Balas  

    Spiritualisme dan Materialisme 

    Selamat Puasa RamadhanSPIRITUALISME DAN MATERIALISME.

    Puasa Ramadhan hakekatnya adalah melatih dan mengajari naluri (instink) manusia yang cenderung tak terkontrol. Naluri yang sulit terkontrol dan terkendali itu adalah naluri perut yang selalu menuntut untuk makan dan minum dan naluri seks yang selalu bergelora sehingga manusia kewalahan untuk mengekang dua naluri ini. Dalam sejarah manusia didapatkan dua falsafah yang dapat menguasai dan mendominasi kebanyakan manusia, yakni falsafah materialisme yang berorientsi pada materi saja, dan falsafah spiritualisme yang hanya berorientasi pada rohaniah saja.

    Orang-orang yang berorientasi materi – terdiri dari orang-orang atheis, komunis dan animisme dan berhalaisme – mereka hidup untuk dunianya saja. Mereka melepaskan kenhendak nalurinya dan tak pernah puas. Bila terpenuhi satu keinginannya, timbul keinginan baru begitu seterusnya. Sahwat manusia bila sudah terbakar maka akan mengheret dari sedikit ke yang banyak, dari banyak ke yang terbanyak. Allah mengecam orang-orang seperti ini: “Biarkanlah mereka makan, dan bersenang-senang, mereka dilalaikan oleh angan-angan dan mereka akan mengetahui akibatnya“.(QS Al Hijr 3).

    Ayat lain: “Orang-orang kafir mereka bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Dan neraka adalah tempat tinggalnya“.(QS Muhammad 12)

    Mereka hidup di dunia ini dalam keadaan kosong. Jiwanya dikuasai nafsunya, m enghalalkan segala cara, dan dihari kiamat nanti mereka mendapat balasan yang setimpal. “Demikian itu bersenang-senang di bumi tanpa haq dan mereka sombong“.(QS Ghofir 75)

    Sementara filsafat spiritualisme yang didasarkan pada kerahiban, berpandangan bahwa pengabdian kepada Tuhan harus menekan naluri seks mengikis habis pendorong-pendorongnya dan mematikannya yang juga diatasi dengan mengurangi makan. Dengan kata lain mereka masuk dalam kancah peperangan melawan jasad manusiawinya. Filsafat ini dilakukan oleh gereja sejak dahulu kala. Orang-orang Barat dewasaa ini melepaskan diri dari filsafat gereja, mereka menggunakan waktu dan harta kekayaannya untuk memenuhi sahwat jasmaninya. Filsafat spiritualismenya telah lenyap, bahkan gereja-gereja sudah tiada lagi pengunjungnya walaupun pada hari Minggu. Seandainya masih ada, itu hanya sekelompok minoritas yang hidup di dunia Islam.

    Agama Islam adalah agama yang seimbang. Ia menghormati rohani dan jasmani sekaligus, ia memperhatikan nilai-nilai ideal manusia, tapi juga menjamin kebutuhan hidup naluri duniawinya asal dalam ruang keutamaan, ketaatan, kehormatan. Ia membolehkan manusia makan dengan catatan dalam batas kewajaran dan kehormatan. “Makanlah dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tidak diiringi kesombongan”.(HR Bikhari) Islam mengimbangkan antara ruhani dan jasmani. “Ya Allah, a ku berlindung kepadamu dari lapar, karena sesungguhnya seburuk- buruk tidur adalah dalam keadaan lapar. Dan aku berlindung kepadamu dari khianat, karena itu adalah seburuk-buruk suasana kejiwaan”.(HR Abu Daud)

    Islam memperhatikan kehidupan dunia dan akherat, “Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertaqwa: Apa yang Tuhan kalian turunkan? mereka berkata: ‘Keuntungan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini dan akherat lebih baik, dan sebaik tempat bagi orang-orang yang bertaqwa“.(QS AN Nahl 30)

    Ajaran Islam datang untuk mensucikan manusia, mengangkat darjatnya, ia mensucikan fisikalnya dengan mandi dan berwudlu, mensucikan jiwanya denga ruku’ dan sujud. Islam adalah jasmani dan ruhani, dunia dan akherat dengan falsafah puasa. Islam menegaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Nilai manusia tidak terletak pada jasadnya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah swt. Firman Allah: “Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: “Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya”.(QS ShAd 71-72)

    Setelah itu manusia ada yang mengenali siapa yang meniupkan ruh kapadanya dan yang memuliakannya atas seluruh makhluknya. Mereka itu akan bersyukkur kepada pemberi nikmat, sementara ada manusia-manusia yang melupakan Tuhannya, melupakan kepada dzat yang meniupkan ruh kepadanya.

    Demikian juga halnya kebudayaan. Kebudayaan yang memegang kendali alam sekarang ini telah melupakan Tuhannya, melalaikan haknya. Dunia ini tidak memiliki kebudayaan yang mengakui ruhani dan jasmani, berorientasi dunia dan akherat dan menentukan hak-hak manusia disamping hak-hak Allah -kebudayaan Islam-. Puasa Ramadhan sebagaimana Rasulullah jelaskan dapat mengangkat derajat pelakunya menjadi unsur rahmat, kedamaian, ketenangan, kesucian jiwa, aklaq mulia dan perilaku yang indah ditengah-tengah masyarakat. “Bila salah seorang dari kalian berpuasa maka hendaknya ia tidakberbicara buruk dan aib. dan jangan berbicara yang tiada manfaatnya dan bila dimaki seseorang maka berkatalah, ‘Aku berpuasa'”. (HR. Bukhori). Dalam bulan Ramadhan terdapat filsafat Islam yang mengaitkan dunia dengan akhirat, mengaitkan jasmani dan ruhani, mengaitkan bumi dengan langit, mengaitkan manusia dengan wahyu, dan mengaitkan dunia dengan kitab yang menerangi jalannya dan menentukan tujuannya

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 4:07 am on 1 July 2014 Permalink | Balas  

    Panduan Shalat dan Shaum dalam Bepergian 

    orang berbuka puasaPANDUAN SHALAT DAN SHAUM DALAM BEPERGIAN

    Hukum-hukum yang berkaitan dengan safar (perjalanan) ialah mengkoshor shalat, menjama’ shalat, menyapu sepatu saat wadhu’ selama tiga hari, berbuka di bulan Ramadhan, boleh tidak shalat jam’at dan sunnat ‘ied, shalat di atas kendaraan dan tayammum. Dalam kesempatan ini – insya Allah – akan dikemukakan lebih lanjut tentang ketentuan shalat dan shaum dalam safar, yang sekaligus menegaskan bahwa bahkan dalam keadaan safar (bepergian)pun Islam memberikan panduan agar umat selalu selamat dan sejahtera.

    Shalat Dalam Safar Berkenaan dengan shalat, illah (sebab) adanya perjalanan membolehkan hal-hal berikut :

    1. Mengqoshor (memendekkan) shalat:

    a. Pada dasarnya qoshor merupakan keringanan (rukhshoh) bagi orang yang bepergian (musafir), jika bukan untuk tujuan maksiat. Manyoritas ulama’ berkesimupulan bahwa qoshor adalah afdhol. Sebagaimana sunnah dan kebiasaan Rasulullah SAW kemudian para shahabat beliau. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar Rasulullah SAW katanya: ” Aku sering menyertai Rasulullah SAW dan beliau menunaikan shalat yang asalnya empat rekaat menjadi dua rekaat, demikian pula Abu Bakar, Umar dan Ustman Rasulullah SAW.

    b. Jarak perjalanan yang membolehkan qoshor adalah yang menurut ukuran urf di zamannya dan dikatagorikan safar atau bepergiaan/ melakukan perjalanan.

    c. Persyaratan teknis melaksanakan qoshor, dikemukakan fuqoha’ sebagai berikut :

    1) Bukan safar untuk maksiat, menurut mayoritas ulama’.

    2) Mempunyai tujuan tempat tertentu dalam jarak qoshor

    3) Telah keluar rumah dan wilayah dimana ia tinggal

    4) Tidak berniat untuk tinggal menetap di tempat ia mengqoshor

    5) Tidak menjadi makmun bagi imam yang tidak mengqoshor

    6) Niat qoshor saat takbirotul ikhrom .

    2. Menjama’ (mengumpulkan) shalat

    Menjama’ shalat dhuhur dengan ashar atau naghrib dengan isya’ dibolehkan dalam safar, baik dengan jama’ taqdim (didahulukan) maupun jama’ ta’khir (diakhirkan). Asal sudah berniat untuk safar boleh menjama’ taqdim menjelang keberangkatan tanpa keluar rumah terlebih dahulu. Sedang untuk jama’ ta’khir diharuskan berniat sejak tibanya waktu shalat pertama. Sesudah adzan untuk tiap shalat dilakukan iqomah (qomat) masing-masing. Dan antara kedua shalat yang dijama’ tidak diselingi dengan shalat sunnat.

    3. Menjama’ dan mengqoshor shalat

    Selain kedua hal diatas dan disebabkan oleh alasan-alasan yang sama, syari’at Islam juga membolehkan adanya jama’ dan qoshor sekaligus, baik secara taqdim maupun ta’khir, yaitu dengan menjama’ qoshor antara shalat dhuhur dengan ashar, masing-masing dua reka’at dan menjama’ qoshor antara shalat maghrib (tetap 3 reka’at) dengan isya’ dua rekaat.

    4. Shalat di atas kendaraan

    Jika tiba waktu shalat sedang di atas kendaraan dan tidak memungkinkan untuk berhenti dulu, maka boleh menunaikan shalat di atas kendaraan dengan tetap menghadap qiblat, minimal saat takbirotul ikhrom jika untuk sampai selesai shalat tidak memungkinkan. Dan jika sejak awal sudah tidak memungkinkan menghadap qiblat, boleh menunaikannya sesuai dengan arah kendaraan. Dan boleh sambil duduk jika tidak memungkinkan melaksanakannya sambil berdiri. Diriwayatkan dari Maemun bin Mahron dari Ibnu Umar RA.katanya: “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana caranya shalat di atas kapal laut? jawab beliau : “Shalatlah berdiri kecuali jika dikhawatirkan akan tenggelam ( karena oleng). Riwayat ad Daraquthni menurut syarat Bukhori dan Muslim.Asy Syaukani berkomentar: Diqiyaskan atas khawatir tenggelam, adanya udzur atau kesulitan lainnya termasuk kesulitan menghadap ke arah qiblat.

    Shaum Dalam Safar

    1. Safar (bepergian) termasuk kondisi yang membolehkan ifthor atau berbuka, artinya boleh tidak menunaikan shaum meski hukumnya wajib, seperti shaum Ramadhan, shaum nadzar, dan kafarot. Sekalipun tetap ada ketentuan untuk mengganti (mengqodho’) di waktu lain. Dalil syar’i yang mengaturnya; Al-Qur’an suarat Allah SWT Baqoroh : 185: “… Maka barangsiapa yang sakit atau dalam safar, (jika berbuka) maka hendaklah menggantinya pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan… “.

    2. Ukuran safar yang populer dikalangan ulama’ adalah pada jarak perjalanan yang boleh mengqoshor shalat. Dan jika memperhatikan isyarat ayat, bahwa ” Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian dan tidak menghendaki kesulitan”, dapat difahami bahwa keringan (rukhshoh) dibolehkannya berbuka saat safar agar tidak terjadi kondisi yang menyulitkan ( al usr) atau memberatkan (al masyaqqoh). Sebagaimana yang difahami oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah.

    3. Dengan mempertimbangkan (mura’at) terjadi tidaknya masyaqqoh, maka shaum dalam safar dapat dibedakan sebagai berikut:

    a. Shaum lebih utama (afdhol) dari pada berbuka: Bagi orang yang kuat menjalaninya tanpa suatu masyaqqoh. Demikian pendapat jumhurul ulama’ sesuai dengan taujih ayat : ” …. Dan bahwa kamu sekalian melaksanakan shaum adalah lebih baik jika kamu sekalian mengetahui nilai keutamaannya” ( QS:2:184)

    Shaum lebih baik walaupun terasa sedikit berat, jika untuk mengqodho’nya akan terasa berat. Demikian difatwakan oleh Umar bin Abdul Aziz. Shaum lebih utama bagi yang sudah biasa dan rutin bepergian relatif jauh tanpa merasakan adanya rasa berat (masyaqqoh). Dalam soal masyaqqoh, kecuali fisik yang harus dipertimbangkan, tapi kondisi ruhiyah atau kejiwaan lebih menentukan. Adalah para shahabat Rasulullah SAW biasa tetap menjalani shaum walaupun dalam keadaan perang, tanpa merasakan adanya masyaqqoh yang berarti.

    b. Berbuka lebih baik:

    Bagi orang yang kuat shaum tapi dikhawatirkan terganggu dengan rasa ujub (bangga) atau riya’. Sebagaimana difatwakan oleh Ibnu Umar RA. Imam Bukhori meriwayatkan hadits dari shahabat Anas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada mereka yang berbuka ketika melayani mereka yang shaum: ” Orang-orang yang berbuka hari ini meraih pahala”.

    Demikian pula berbuka lebih baik bagi orang yang belum pernah mengambil rukhshoh (keringanan ini). Sebagaimana kesimpulan Asy Syaukani tentang hadits riwayat Muslim dan an Nasa’i bahwa shahabat Hamzah bin Amr as Aslami berkata kepada Rasulullah SAW : ya Rasulullah saya kuat menjalankan shaum dalam safar bolehkah saya lakukan ? jawab beliau : ” Ini merupakan rukhshoh dari Allah ta’ala, siapa yang mengambilnya adalah baik dan siapa yang ingin shaum tidak apa-apa”.

    Berbuka adalah afdhol bahkan shaum menjadi makruh, bagi yang memaksakan shaum diperjalanan yang terdapat masyaqqoh. Dalam kontek ini Rasulullah SAW bersabda tentang musafir yang tetap shaum dalam kepayahan sehingga dikerumuni dan diteduhi orang banyak: ” Tidak merupakan kebaikan (al birr) as shaum dalam safar “. Demikian Imam Bukhori menyimpulkan. Berbuka dalam safar lebih baik jika akan lebih kuat untuk mengadapi musuh dalam jihad.

    Bahkan berbuka menjadi wajib hukumnya apabila panglima jihad memerintahkan untuk berbuka demi kepentingan jihad

    Dalam kajian fiqhiyah, ulama’ menyim-pulkan sejumlah persyaratan untuk mengambil rukhshoh ifthor (berbuka) dalam safar. Yaitu :

    a. Merupakan perjalanan yang halal atau mubah, bukan safar untuk tujuan maksiat

    b. Perjalanan relatif jauh menurut ukuran zamannya

    c. Tidak memulai perjalanan dalam keadaan shaum agar tidak sampai membatalkan amal ibadah yang sudah dimulai.

    Bukan merupakan perjalanan yang biasa dan rutin (seperti perjalanan supir) kecuali jika terjadi masyaqqoh. Para ulama’ cenderung bahwa untuk pengamalan sendiri memilih yang afdhol dan yang ahwath (lebih berhati-hati) dari pilihan yang ada.

    Wallahu ta’ala ‘alam.

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal