Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (12)


quranMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (12)

Harun Yahya

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

Kekeliruan Mereka Yang Menggunakan Ayat-Ayat Al Qur’an Untuk ‘Membuktikan’ Evolusi

Panduan dasar bagi semua Muslim yang percaya kepada Allah dan Islam adalah Al Qur’an dan Sunnah (teladan) Nabi SAW. Al Qur’an mengandung banyak ayat tentang penciptaan kehidupan dan alam semesta.

Tidak ada dari ayat-ayat ini yang memberikan tanda, sekalipun yang paling samar, tentang penciptaan melalui evolusi.

Dengan kata lain, Al Qur’an tidak mendukung gagasan bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu jenis ke jenis lainnya, atau bahwa ada rantai kaitan evolusi di antara itu semua. Sebaliknya, Al Qur’an mengungkapkan bahwa Allah menciptakan kehidupan dan alam semesta secara ajaib dengan memerintahkan “Jadilah!” Jika mengingat bahwa berbagai temuan ilmiah juga menggugurkan evolusi, kita melihat sekali lagi bagaimana Al Qur’an selalu sejalan dengan ilmu pengetahuan.

Tentu saja, jika Allah kehendaki, Dia dapat menciptakan apa pun lewat cara evolusi. Namun, tiada tanda Dia melakukan hal itu dalam Al Qur’an, dan tidak satu ayat pun mendukung pernyataan evolusionis bahwa jenis makhluk hidup berkembang secara bertahap.

Jika penciptaan terjadi secara demikian, kita seharusnya bisa membaca rinciannya dalam Al Qur’an. Walaupun semuanya demikian jelas, sebagian kaum Muslimin yang mendukung paham Darwinisme salah menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan memberikan makna yang tidak sejalan dengan makna jelas dan tegas yang sebenarnya dikandung ayat-ayat itu.

Untuk membela evolusi dan menyediakan sejumlah bukti Al Qur’an baginya, makna sejumlah ayat dipelintir, tebak-tebakan diandalkan, dan tafsir yang berprasangka dibuat.

Tentang orang-orang dalam keadaan berbahaya ini, Allah berfirman yang berikut:

Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah.” Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali ‘Imran, 3: 78)

Mereka yang mengetahui Al Qur’an namun memelintir makna asli ayat-ayatnya dan sengaja salah menafsirkan ayat-ayat itu dikatakan berdusta terhadap Allah. Tak seorang Muslim pun suka rela berbuat demikian, karena terlalu takut akan akibat-akibatnya. Jadi, semua uraian yang berdasarkan dugaan dan tebakan, khususnya yang dibuat oleh mereka yang mengetahui Al Qur’an dan apa yang dikatakannya tentang masalah-masalah sepenting ini, secara akhlak tak bisa diterima.

Tentu saja, adalah salah apabila kita menyamaratakan setiap orang yang menyatakan evolusi selaras dengan agama, sebab sebagian mereka tidak memikirkan apa makna pernyataan semacam itu, dan sebagian lain tidak menyadari bahaya-bahaya yang menyurukinya. Sekalipun demikian, tidak boleh menyesatkan orang lain tentang apa yang dikatakan Al Qur’an, dengan cara berbicara atas nama Allah, dan mencoba membuktikan evolusi dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an.

Mereka yang melakukan hal itu harus meninjau kembali beratnya akibat perbuatan mereka dan menghindarkan diri dari membuat tafsir dan uraian seperti itu, sebab Allah akan meminta tanggung jawab mereka atas kata-kata mereka. Tidak hanya mereka memperdaya diri sendiri, namun juga memperdaya orang-orang yang membaca karya-karya mereka – sungguh tanggung jawab yang berat.

Pada akar masalahnya adalah hal ini: kaum Muslimin yang percaya evolusi menerima gagasan tersebut sebagai fakta ilmiah, sehingga mereka mendekati Al Qur’an dengan anggapan bahwa Al Qur’an harus menegaskan evolusi. Jadi, mereka memuati setiap kata yang mungkin memiliki tafsir evolusioner dengan makna yang tak mungkin dikandungnya. Apabila Al Qur’an dilihat secara utuh, atau bila ayat yang terkait dibaca dalam kaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya, orang dapat melihat bahwa penjelasan yang ditawarkan itu adalah dipaksakan dan tidak sah.

Dalam bab ini, kita akan meninjau ayat-ayat yang disajikan oleh kaum Muslimin, yang menerima evolusi, sebagai bukti evolusi. Kita lalu akan menanggapi berbagai pernyataan mereka, juga dari Al Qur’an, dan membandingkan semua itu dengan tafsir yang dibuat oleh para ulama Islam yang terkemuka.

Akan tetapi, kita harus tetap ingat akan kenyataan dasar berikut ini: Al Qur’an harus dibaca dan ditafsirkan dalam bentuk yang telah Allah ungkapkan, dengan hati yang tulus sepenuhnya dan tanpa terpengaruhi gagasan dan filsafat apa pun yang bukan Islam.

Mendekati Al Qur’an dengan cara ini akan mengungkapkan bahwa Al Qur’an tidak berisi keterangan tentang penciptaan lewat evolusi. Sebaliknya, akan terlihat bahwa Allah menciptakan makhluk hidup dan segala sesuatu dengan perintah tunggal “Jadilah!” Jika makhluk setengah-manusia-setengah-kera memang benar-benar ada sebelum Nabi Adam, Allah akan menerangkannya dengan jelas dan mudah dimengerti. Fakta bahwa Al Qur’an amat jelas dan amat mudah dimengerti menunjukkan bahwa pernyataan tentang penciptaan evolusi tidaklah benar.

  1. Kekeliruan Bahwa Manusia Diciptakan Melalui Tahap-Tahap Evolusi

Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (QS. Nuh, 71: 13-14)

Mereka yang mendukung penciptaan evolusi menafsirkan kata-kata “beberapa tingkatan kejadian” sebagai “melalui tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, menafsirkan kata bahasa Arab atwaran sebagai tahap-tahap evolusi, yang tak lebih daripada sebuah pendapat pribadi, tidak secara umum disepakati oleh semua ulama Islam.

Atwar (suasana, keadaan) merupakan bentuk jamak tawru, dan tidak muncul dalam bentuk itu pada ayat Al Qur’an yang lain. Tafsiran dunia Islam atas ayat ini memperlihatkan fakta tersebut.

Dalam tafsirnya, Muhammad Hamdi Yazir dari Elmali menerjemahkan ayat itu sebagai: “Ia menciptakanmu tahap demi tahap melalui beberapa keadaan.” Dalam uraiannya, ia melukiskan tahap-tahap ini sebagai “tahap-tahap evolusi”. Akan tetapi, penjelasan ini tidak berkaitan dengan evolusi yang menyatakan bahwa akar manusia terletak di makhluk hidup lainnya.

Nyatanya, sesudah itu Yazir segera mengatakan bahwa tahap-tahap tersebut adalah:

Menurut penjelasan yang diberikan Ebus Suud 1 , pertama datang unsur-unsur, lalu zat gizi, lalu adonan/campuran, lalu sel mani, lalu segumpal daging, lalu daging dan tulang, dan ini akhirnya dibentuk dengan penciptaan yang sepenuhnya berbeda.

“Maka Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’minuun, 23: 14)

Tidakkah Allah, Sang Pencipta yang Mahaperkasa, patut dipuja dan diagungkan? Tidakkah Dia sanggup terus mengangkatmu lebih jauh dengan bentuk dan penciptaan lain? Atau tidakkah Dia juga bisa menghancurkanmu dan melemparkanmu ke dalam siksaan yang pedih? Mengapa tidak kaupikirkan semua hal ini?

Seperti ditunjukkan semua pernyataan di atas, ayat ini menggambarkan bagaimana manusia mencapai rahim ibunya sebagai sebuah sel mani, berkembang sebagai janin dan lalu segumpal daging, dan lalu tumbuh menjadi daging dan tulang sebelum lahir ke dunia sebagai manusia.

Dalam uraian Imam Tabari, Surat Nuh: 14 diterjemahkan sebagai “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian”, dan ini ditafsirkan sebagai bermakna “Engkau kali pertama berbentuk sebutir sel benih, lalu Dia menciptakanmu sebagai segumpal darah, lalu sepotong kecil daging.” 2

Omer Basuhi Bilmen menerjemahkan ayat itu sebagai “Nyatanya, Dia menciptakanmu melalui aneka tingkatan”, dan meneruskan dengan tafsir berikut:

Dia (menciptakan)mu melalui aneka tingkatan. Engkau pertama kali adalah sebutir benih, lalu setetes darah. Engkau menjadi sepotong daging dan memiliki tulang, lalu engkau dilahirkan sebagai manusia. Tidakkah semua kejadian dan perubahan, yang bermacam-macam dan patut dijadikan contoh ini, merupakan bukti cemerlang akan keberadaan, kekuasaan, dan keagungan Tuhan Penciptaan? Mengapa engkau tidak memikirkan penciptaan dirimu sendiri? 3

Sebagaimana kita lihat di sini, para ulama Al Qur’an Muslim sepakat bahwa penafsiran Surat Nuh: 14 merujuk kepada proses yang terlibat dalam perkembangan manusia dari penyatuan sel mani dan sel telur. Bahwa ayat tersebut harus ditafsirkan dengan cara ini adalah jelas dari azas “menafsirkan ayat Al Qur’an menurut ayat Al Qur’an lainnya”, karena dalam ayat-ayat lain Allah menjelaskan tahap-tahap penciptaan sebagai apa yang terjadi dalam rahim ibu. Itulah sebabnya, atwaran harus diterjemahkan dengan cara ini. Tidak dibenarkan menggunakan kata itu sebagai dukungan bagi teori evolusi, yang mencoba mengaitkan asal-muasal manusia dengan jenis makhluk hidup lainnya.

  1. Kekeliruan Bahwa Al Qur’an Berisi Isyarat Akan Proses Evolusi

Bukankah sudah datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS. Al Insaan, 76: 1)

Orang-orang yang sama tersebut juga menggunakan ayat ini sebagai bukti evolusi. Dalam terjemahan yang berdasarkan penafsiran pribadi, ungkapan “saat ia bukan sesuatu yang patut disebutkan” diungkapkan sebagai pernyataan “keadaan-keadaan sebelumnya, saat manusia belum menjadi manusia”. Akan tetapi, pernyataan ini sama jauhnya dari kebenaran dengan pernyataan pertama.

Bagian berbahasa Arab dari ruas yang digarisbawahi adalah:

Lam yakum shay’am madzkuuraan

lam yakun: ia bukanlah

shay’an: sesuatu

madzkuuraan: yang dibicarakan, disebutkan

Mencoba menggunakan ungkapan ini sebagai bukti evolusi adalah benar-benar memaksakan kata-kata. Nyatanya, para ulama Al Qur’an tidak menafsirkan ayat ini sebagai menandakan proses evolusi. Misalnya, Hamdi Yazir dari Elmali membuat uraian berikut:

Awalnya adalah berbagai anasir dan mineral, lalu gizi tumbuhan dan hewan – “saripati tanah” (QS. Al Mu’minuun, 23: 12) diciptakan dari semua itu dalam tahap-tahap. Lalu, sesuatu muncul amat lambat dan bertahap dari sel mani yang disaring dari semua itu. Namun, itu bukan sesuatu yang disebut manusia. Manusia tidak abadi, begitu juga zatnya; itu muncul kemudian. Manusia ada lama sesudah permulaan waktu dan penciptaan alam semesta. 4

Omer Basuhi Bilmen menjelaskan ayat itu dengan cara ini:

Ayat-ayat ini menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk melihat dan mendengar dari setetes air saat ia belum menjadi, dan Dia telah menetapkan suatu cobaan baginya … Manusia belum ada pada awalnya, namun diciptakan belakangan sebagai tubuh dibentuk dari setetes air, tanah, dan lempung. Orang itu tidak dikenal saat itu, namanya dan mengapa ia diciptakan tak diketahui oleh penghuni Bumi dan langit. Ia lalu mulai diingatkan bahwa ia memiliki ruh. 5

Imam Tabari menjelaskan arti ayat ini sebagai: “Begitu lama waktu telah berlalu sejak masa Adam yang di masa itu ia bahkan bukan sesuatu yang memiliki nilai atau keunggulan apa pun. Ia bukan apa-apa selain tanah liat yang lengket dan digubah.” 6

Karena alasan ini, memandang ungkapan waktu dalam ayat ini sebagai tenggang waktu evolusi adalah murni sebuah pendapat pribadi.

***

1.Ebus Suud adalah sheik Islam dan ulama zaman Ottoman yang hidup antara 1492/3-1574/5.

  1. Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2631

3.Omar Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851)

4.Hamdi Yazir of Elmali, http: //www.kuranikerim.com/telmalili/insandehr.html

5.Omer Nasuhi Bilmen, Turkish Edition of and Commentary on the Al Qur’an, vol. 8, h. 3851

6.Imam at-Tabari, Tabari Commentary, vol. 6, h. 2684