Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (11)


lebahMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (11)

Harun Yahya

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

Perilaku Lebah: Kebuntuan Bagi Kaum Evolusionis

Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa Dia telah mengilhami lebah dan memerintahkan kepadanya apa yang harus dilakukannya:

Seperti kita ketahui, lebah mengumpulkan serbuk sari dan menghasilkan madu dengan cara mencampur serbuk sari dengan cairan dari tubuhnya. Untuk menyimpan madu dan membesarkan anak-anaknya, lebah membentuk sel-sel lilin heksagonal (segi enam) yang semuanya amatlah teratur, bersudut sama, dan secara umum sama sebangun. Lebah membangun sarang madu dengan sel-sel itu. Lebih jauh, lebah yang meninggalkan sarang mencari makan dan selalu kembali ke sana memiliki sistem khusus yang diciptakan Allah sehingga dapat menemukan jalan pulang.

Bagi seekor serangga, mengetahui besarnya sudut astakona, menemukan resep lilin dan merancang sistem yang diperlukan untuk menghasilkannya dalam tubuhnya, dan memasukkan keterangan itu ke dalam DNA-nya sendiri sehingga anggota sejenisnya di masa depan memiliki kemampuan yang sama, sudah pasti tidak mungkin.

Sudah sendirinya terbukti bahwa lebah telah diajarkan semua hal itu oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pengetahuan semacam itu telah diilhamkan dalam dirinya, sebagaimana diungkapkan ayat-ayat di muka.

Allah, Yang Maha Mengetahui, menjabarkan kepada lebah apa yang harus dikerjakannya, dan lebah bertindak dalam sepenuhnya penerangan ilham itu. Perilaku sadar sedemikian merupakan bukti nyata penciptaan.

Penelitian sifat-sifat serupa pada hewan mengungkapkan rancangan tanpa cacat dan kesadaran lebih tinggi yang melekat pada makhluk hidup. Hal-hal seperti itu menyempatkan orang sekali lagi mengerti kekuatan Allah yang tak tertandingi. Dia memiliki daya menciptakan makhluk apa pun yang Dia kehendaki dan dengan sifat-sifat apa pun yang Dia kehendaki, memiliki kekuatan tak berbatas, dan Penguasa segala sesuatu.

Akan tetapi, kaum evolusionis percaya bahwa sifat-sifat luar biasa makhluk hidup muncul tanpa disengaja. Menurut pernyataan tak masuk akal ini, lebah belajar menghitung sudut dan berhasil menularkan pengetahuannya kepada lebah lain secara tidak disengaja atau kebetulan. Ketidaksengajaan juga mendorong munculnya sistem tubuh yg menghasilkan lilin dan madu.

Sekadar renungan beberapa detik saja sudah cukup untuk melihat bahwa jalan cerita khayal seperti itu adalah jauh dari nalar dan ilmu pengetahuan. Allah menciptakan lebah dan memberinya kesadaran. Keajaiban penciptaan serupa itu menempatkan kaum evolusionis ke dalam sebuah kesulitan tanpa jalan keluar.

Nabi Sulaiman Mengerti Bahasa Semut

Telah disinggung di bagian sebelum ini bahwa kaum evolusionis menganggap makhluk hidup adalah karya ketidaksengajaan buta dan peristiwa acak. Dalam pandangan mereka, sekalipun menghadapi fakta bahwa sama sekali tiada bukti yang membenarkan pendapat khayali ini, hewan tidak memiliki kesadaran. Akan tetapi, ada banyak bukti yang membantah pernyataan mereka.

Tinjaulah kisah dalam Al Qur’an tentang Nabi Sulaiman AS dan seekor semut betina. Menurut ayat-ayat Al Qur’an tersebut, beliau mendengar dan mengerti kata-kata semut itu, sebagaimana diceritakan ayat-ayat berikut ini:

Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu-bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. An Naml, 27: 18-19)

Seperti ditegaskan ayat ini, seekor semut berkata kepada semut lainnya. Tentu, tidak mungkin makhluk yang dianggap “diciptakan” oleh ketidaksengajaan dapat memiliki sistem komunikasi khusus yang membuatnya mampu menyampaikan pesan kepada masyarakatnya, atau menunjukkan perilaku yang menandakan nalar dan akal. Makhluk yang mewujud karena kehendak Allah akan menunjukkan perilaku sadar dengan cara dan rentang yang dikehendaki Allah. Manusia bisa saja bertukar pikiran dengan makhluk semacam itu, jika Allah menghendakinya.

Hewan-hewan, yang menurut teori evolusi, diperkirakan tidak memiliki kesadaran, ternyata menampakkan bukti adanya penalaran yang memadai, sebagaimana kita lihat dalam dua contoh ini. Mungkin kita tidak bisa mengharapkan kaum Darwinis untuk mengerti sifat luar biasa pada keadaan ini (Kita kecualikan dari sangkaan apa pun mereka yang berpikir tulus dan mengikuti petunjuk nuraninya). Akan tetapi, mereka yang berkata bahwa mereka percaya kepada keberadaan dan kekuasaan Allah, harus benar-benar memikirkan tanda-tanda semacam itu, sebab semua itu membantah evolusi. Ini, pada gilirannya, memperlihatkan bahwa evolusi tidak dapat dibela dengan cara apa pun yang mungkin.

Penciptaan Adalah Sebuah Keajaiban

Mengabaikan kenyataan bahwa Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan dan menghancurkan berperan penting dalam menyebabkan sebagian kaum Muslimin percaya kepada evolusi. Kaum evolusionis Muslim ini ada di bawah pengaruh paham naturalisme, yang menyatakan bahwa hukum-hukum alam tetap sifatnya dan tak berubah, dan bahwa tak sesuatu pun dapat berada di luar itu semua. Namun, ini kekeliruan besar.

Yang kita maksudkan dengan “hukum alam” lahir dari tindakan Allah menciptakan dan mempertahankan benda dalam sebuah bentuk tertentu. Tidak mungkin semua itu dianggap sebagai sifat-sifat yang muncul dari dalam benda sendiri. Sebagaimana Allah tegaskan, Dia dapat mengubah hukum-hukum itu kapan saja, dan bertindak di luar cakupan semua itu.

Kita menyebut tindakan Allah yang demikian itu sebagai mukjizat (keajaiban). Bahwa sekawanan penghuni gua yang disebutkan di muka tetap hidup selama lebih dari 300 tahun merupakan sebuah keajaiban di luar hukum-hukum alam. Mereka, yang Allah matikan dan lalu hidupkan kembali, adalah juga keajaiban. Setiap peristiwa terjadi karena Allah menghendakinya terjadi. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batas-batas hukum tertentu adalah peristiwa “biasa”, sementara selebihnya adalah keajaiban.

Hal yang mesti dimengerti di sini adalah, Allah tidak dibatasi oleh hukum yang Dia ciptakan. Jika Dia kehendaki, Dia dapat membalikkan semua hukum alam. Mudah bagi Allah melakukan hal itu.

Karena sudah terperosok ke dalam pengaruh paham naturalisme yang membentuk landasan Darwinisme, para evolusionis Muslim mencoba menjelaskan asal-muasal manusia dan kehidupan lainnya berdasarkan hukum alam. Mereka percaya bahwa Allah membuat makhluk hidup terwujud dengan cara penciptaan yang dibatasi oleh hukum alam, dan karena itu membayangkan bahwa penciptaan disebabkan oleh mutasi, seleksi alam, pembentukan keragaman (variasi), dan satu makhluk hidup berubah menjadi makhluk hidup lain. Akan tetapi, salah besar bagi kaum Muslimin untuk menerima jalan pikiran “naturalis” seperti itu, sebab mukjizat-mukjizat (keajaiban) yang dilukiskan dalam Al Qur’an nyata-nyata mengungkapkan bahwa cara berpikir demikian adalah rapuh landasannya.

Apabila kita cermati ayat-ayat yang membahas penciptaan makhluk hidup dan manusia, kita melihat bahwa penciptaan ini terjadi secara ajaib dan di luar hukum-hukum alam. Inilah bagaimana Allah mengungkapkan penciptaan makhluk hidup:

Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. An Nuur, 24: 25)

Ayat ini merujuk ke kelompok-kelompok utama makhluk hidup di Bumi (reptil, burung, dan mamalia) dan mengatakan bahwa Allah menciptakan itu semua dari air. Ditinjau lebih seksama, kelompok-kelompok ini tidak diciptakan “dari satu kelompok menjadi kelompok lainnya”, sebagaimana “diramalkan” oleh teori evolusi, namun “dari air”. Dengan kata lain, semua itu dibentuk secara terpisah dari satu zat yang dibentuk Allah.

Ilmu pengetahuan mutakhir juga menegaskan bahwa satu zat tersebut adalah air, penyusun dasar setiap tubuh yang hidup. Tubuh mamalia adalah kira-kira 70 persen air. Air tubuh setiap makhluk hidup memungkinkan hubungan di antara sel-sel, maupun hubungan di dalam sel dan antar-jaringan. Sudah disepakati bahwa tiada yang bisa hidup tanpa air.

Namun, sebagian kaum Muslimin keliru menafsirkan ayat di atas, dan mencoba memberinya makna yang lebih sejalan dengan evolusi. Akan tetapi, jelas bahwa fakta penciptaan dari air sama sekali tidak berkaitan dengan evolusi, karena teori itu tidak menyatakan bahwa semua makhluk hidup muncul dari air dan berevolusi. Sebaliknya, teori itu bertahan bahwa makhluk hidup berevolusi dari satu jenis ke jenis lain, pertentangan yang nyata dengan fakta bahwa semua kelompok makhluk hidup diciptakan dari air (dengan kata lain, semua itu diciptakan sendiri-sendiri secara terpisah).

Penciptaan Manusia Dari Tanah Liat

Dalam Al Qur’an, Allah mengungkapkan bahwa manusia diciptakan secara ajaib. Untuk menciptakan manusia pertama, Allah membentuk tanah liat, lalu meniupkan ruh ke dalamnya:

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (QS. Shaad, 38: 71-72)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. Al Mu’minuun, 23: 12)

Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS. Ash Shaffaat, 37: 11)

Terlihat di sini bahwa manusia tidak diciptakan dari kera atau makhluk hidup lainnya, sebagaimana kaum evolusionis Muslim inginkan kita percayai, namun dari tanah liat, suatu zat yang tak-hidup. Allah secara ajaib mengubah zat tak-hidup itu menjadi manusia dan meniupkan ruh ke dalamnya.

Tidak ada “proses evolusi alamiah” yang bekerja di sini, melainkan penciptaan Allah yang ajaib dan langsung. Nyatanya, firmanNya sebagaimana berikut ini memperlihatkan bahwa manusia diciptakan langsung oleh kekuasaan Allah:

Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shaad, 38: 75)

Singkatnya, Al Qur’an tidak berisikan kisah “evolusi” penciptaan manusia dan makhluk hidup. Sebaliknya, Al Qur’an mengatakan bahwa Allah menciptakan semua makhluk secara ajaib dari zat-zat tak hidup seperti air dan lumpur. Sekalipun demikian, sejarah Islam menunjukkan bahwa sebagian kaum Muslimin terpengaruhi filsafat Yunani kuno, maupun oleh anasir-anasir evolusi dan materialis di kalangan Muslim sendiri, dan lalu mencoba menyesuaikan filsafat itu dengan Al Qur’an.

Ulama dan pembaharu besar Islam, Imam Ghazali (wafat 1111), menanggapi kecenderungan ini, yang muncul di saat beliau masih hidup, dalam bukunya Tahafut al-Falasifa (Ketaklurusan Para Filsuf) dan buku lainnya. Akan tetapi, bersamaan dengan penyebaran teori evolusi selama abad ke-19 dan ke-20, pandangan-pandangan “penciptaan lewat evolusi” mulai muncul kembali di dunia Islam.

Bab selanjutnya meninjau kekeliruan-kekeliruan yang dibuat sebagian kaum Muslimin yang membela pandangan-pandangan itu, dan menguraikan ulasan mereka tentang ayat-ayat Al Qur’an yang mereka gunakan untuk membenarkan kedudukan mereka.