Updates from Januari, 2019 Toggle Comment Threads | Pintasan Keyboard

  • erva kurniawan 1:40 am on 16 January 2019 Permalink | Balas  

    Renungan Kisah Kematian 

    Renungan Kisah Kematian

    Barangsiapa yang mengharapkan mati syahid dgn sepenuh hati, maka ALLAH akan memberikan mati syahid kepadanya meskipun ia mati ditempat tidur (hadis).

    Dunia hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu rentang usia seorang manusia.

    **

    Saya, Khadijah sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993. Muhammad adalah kakak kelas saya di IPB. Selama menikah, suami sering mengingatkan saya tentang kematian, tentang syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kami bicara tentang sesuatu, ujung2nya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itu bagaimana. Kalau kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengan kenikmatan syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nanti kita ketemu lagi di syurga. Itu mempunyai makna yang dalam bagi saya.

    Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami mengembalikan saya kepada orang tua. Malam itu juga, suami saya mengatakan harus kembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau berangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.

    Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dingin mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kira maag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudah senang, sudah sampai karena berangkat sejak maghrib. Saya juga berharap kalau ada suami saya mungkin saya dipijitin atau bagimana. Tapi rupanya pada saat itulah terjadi peristiwa tragis menimpa suami saya.

    Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badan kurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar demi lembar mushaf kecil saya. Waktu shubuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah dan akhirnya tertidur hingga subuh. Pagi harinya, saya mendapat berita dari seorang akhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yang ditumpanginya hancur ditabrak truk tronton di jalan raya Parung. Sebenarnya waktu itu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar saya tidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang teman di Jakarta yang memberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.

    Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tidak menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami saya mati syahid. Saya bisa menasihati keluarga dan langsung ke Bogor. Disana, suami saya sudah dikafani. Sambil menangis saya menasihati ibu, bahwa dia bukan milik kita. Kita semua bukan milik kita sendiri tapi milik ALLAH.

    Alhamdulillah ALLAH memberi kekuatan. Kepada orang2 yang bertakziah waktu itu, saya mengatakan : “Doakan dia supaya syahid.. doakan dia supaya syahid”. Sekali lagi ketabahan saya waktu itu semata datang dari ALLAH, kalau tidak, mungkin saya sudah pingsan. Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meski tidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang2 suami. Saya memang sering bercanda sama suami, “Mas kalau ada hutang, catat. Nanti kalau Mas meninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa.” Canda itu memang se! ring muncul ketika kami bicara masalah kematian. Sampai saya pernah bilang pada suami saya, “kalau mas meninggal duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan, saya kembali lagi ke ummi, jadi anaknya lagi.” Semua itu akhirnya menjadi kenyataan.

    Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogor untuk mengurus surat2. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum sekali. Hampir seluruh ruangan rumah itu wangi. Saya sempat periksa barangkali sumber wangi itu ada pada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi tidak ada. Ruangan yang tercium paling wangi, tempat tidur suami dan tempat yang biasa ia gunakan bekerja.

    Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya bermimpi bersalaman dengan dia. Saya cium tangannya. Saat itu dia mendoakan saya: “Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wa yassara laki haitsu ma kunti” (Semoga Allah menambah ketakwaan padamu, mengampuni dosamu, dan mempermudah segala urusanmu di manasaja). Sambil menangis, saya balas doa itu dengan doa serupa.

    Semasa suami masih hidup, doa itu memang biasa kami ucapkan ketika kami akan berpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kami saling mengingatkan, kami juga saling mendoakan.

    Banyak doa-doa yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis doa di white board. Sampai sekarang saya selalu baca doa itu. Anak saya juga hafal. Saya banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa menjelaskan bagaimana indahnya syurga. Bagaimana indahnya syahid.

    Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, “Mas nanti saya kerja di mana?” Suami diam sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan supaya wanita itu memelihara jati diri. Saya bertanya, “Maksudnya apa?”, “Beribadah, bekerja membantu suaminya, dan bermasyarakat”. Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tangga dengan baik. Tidak usah memikir! kan pekerjaan. Sekarang, setiap bulan saya hidup dari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Dan rejeki dari ALLAH tetap saja mengalir. ALLAH memang memberi rejeki pd siapa saja, dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah meski suami saya tidak ada,tapi rejeki ALLAH itu tidak akan pernah habis.

    Insya ALLAH saya optimis dengan anak2 saya. Saya ingat sabda Nabi : “Aku dan pengasuh anak yatim seperti ini”, sambil mendekatkan kedua buah jari tangannya. Saya bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim. Meski masih kecil-kecil, saya sudah merasakan kedewasaan mereka. Kondisi yang mereka alami, membuat mereka lebih cepat mengerti tentang kematian, neraka, syurga bahkan tentang syahid. Rezeki yang saya terima, tak mustahil lantaran keberkahan mereka.

    ***

    Kiriman Sahabat Satriyo

     
  • erva kurniawan 2:03 am on 24 November 2018 Permalink | Balas  

    Kita Melihat Dunia Hanya Sebatas Pandangan 

    Kita Melihat Dunia Hanya Sebatas Pandangan

    Ingatkah engkau ketika dahulu kita mulai belajar berjalan?

    Ketika kita mulai melangkahkan kaki setapak demi setapak?

    Ingatkah engkau, ketika kita pertama kali memandang segala sesuatu dari kakimu yang mungil? Segala sesuatunya terasa begitu jauh dan tak terjangkau oleh tangan-tangan mungilmu. Kaki kursi maupun kaki bangku seakan-akan tongkat untuk menahanmu tetap berdiri…….

    Di bawah meja makan merupakan tempat favoritmu, meja makan cukup untuk menudungi kepalamu. Kau menegadah ke atas dan melihat lampu-lampu indah, kau takjub dan kagum melihatnya, lalu kau mengulurkan tanganmu untuk menjangkaunya. Tapi kau tak sanggup. Segala sesuatu nampak begitu jauh dan tak terjangkau bagi tangan dan kaki mungilmu yang berusaha untuk menggapainya……

    Lalu kau mendengar sebuah suara memanggilmu. Kau mencari berkeliling dengan tertatih-tatih, tapi kau tidak menemukannya. Suara itu memanggilmu lagi. Kau semakin penasaran dan menjejakkan kakimu ke lantai cepat-cepat untuk mencari sumber suara itu. Tangan dan kaki kecilmu berusaha menjaga keseimbanganmu ketika kau berlari untuk menemukan siapa yang memanggilmu……

    Suara yang begitu lembut, suara yang kau tahu berasal dari orang yang mengasihimu. Suara yang sama terdengar memanggilmu lagi, kau memandang sekelilingmu sekali lagi, tapi kau tetap tidak menemukan suara itu. Yang terlihat disekitarmu hanyalah mainan mobil-mobilan yang berserakkan, 4 buah kaki kursi, sebuah balon, beberapa buah buku, krayon dan… nah akhirnya, tempat favoritmu meja makan……

    Kau berlari dan melonggok ke bawah meja makan, kalo-kalo sumber suara itu berasal dari sana. Dan kau mendengar suara itu sekali lagi, disertai dengan tawa yang lembut…..

    “Kemana kau mencari anakku? Lihat aku ada diatasmu.”

    Kau pun mendongakkan kepalamu dan melihat sumber suara itu. Ibumu berdiri di hadapanmu dan tersenyum melihatmu. Kau pun tersenyum dan berpikir “Hei, lihat aku dapat menemukanmu.”

    Lalu kau mengulurkan tangan mungilmu, mencoba mengapainya. Mencoba menciumnya, mencoba memegang tangannya. Namun, aduhhh!!! tanganmu tidak dapat mencapainya.

    Tiba-tiba Ibumu terasa begitu jauh darimu. Ia berdiri menjulang tinggi dan tak dapat kau raih. Kau mulai kecewa dan menangis. Kau menginginkan ibumu!!! Kau ingin menciumnya, memegang pipinya, kau ingin menarik rambutnya. Kau menginginkan ibumu, tapi kau tidak dapat mencapainya … Ibumu terasa begitu jauh.

    Dan tiba-tiba kau merasa tubuhmu terangkat. Ada sepasang tangan yang memegang pinggang kecilmu. Kau melihat ibumu tersenyum dan berkata, “Nah, aku menemukanmu!” Kau menggapai dengan tanganmu, dan HEI lihat, sorakmu kau bisa memegang pipinya. Ia tertawa ketika tangan-tanganmu memegang pipinya. Bahkan ketika salah satu tanganmu menarik rambutnya … Ia tertawa dan ia menarik kau mendekat kepadanya dan mencium pipimu. Kau tertawa kesenangan. Akhirnya kau bisa meraih ibumu. Oh tidak, akhirnya ibumu bisa meraihmu dan mendekapmu.

    Berapa sering kita merasa bahwa Tuhan jauh dan tidak terjangkau bagi tangan-tangan kita? Atau mungkin kita ingin sekali menjangkaunya tapi … upsss, tanganmu kurang panjang. Kaki-kakimu kurang tinggi untuk dapat menjangkaunya.

    Pernahkah ketika kita merasa bahwa Tuhan jauh dari kita, kita berpikir dan membayangkan diri kita seperti anak kecil dengan pandangan yang serba terbatas sehingga kita tidak bisa melihat bahwa sesungguhnya kita ada dibawah kaki-Nya!!!

    Kita ada kurang dari 10 cm dari hadapan-Nya. Pandangan kita sangat terbatas. Tidak seperti pandangan-Nya!!! Pada pandangan-Nya kita begitu dekat, sehingga tangan-tangan-Nya bisa menjangkau dan menarik kita mendekat pada-Nya.

    Bagi-Nya kita begitu dekat, sehingga bunyi nafas kita pun terdengar oleh-Nya. Ketika Ia menundukkan kepala-Nya, ada kita di dekat kaki-Nya. Ia tersenyum dan tertawa ketika melihatmu mencari-cari-Nya, padahal kau ada di dekat kaki-Nya. Dan akhirnya, ia mengangkat pinggangmu, membawamu naik untuk dapat menciummu. Untuk membiarkanmu memegang pipi-Nya, untuk membiarkanmu menarik rambut-Nya. Ia ada dekat sekali denganmu. Yang kau perlukan hanyalah menjulurkan tanganmu keatas, menengadahkan kepalamu, dan Ia akan mengangkatmu ke atas. Ia akan membungkuk dan mengulurkan tangan-Nya.

    Jika kita merasa begitu jauh dari-Nya, INGAT kita ADA DIDEKAT KAKINYA!!!

     
  • erva kurniawan 1:00 am on 17 November 2018 Permalink | Balas  

    Segenggam Gundah (Ode Untuk Para Ayah) 

    Segenggam Gundah (Ode Untuk Para Ayah)

    Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. “Yah, beras sudah habis loh…” ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, “Ayah…, besok Agus harus bayar uang praktek”.

    “Iya…” jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

    Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, “besok beliin lengkeng ya” dan saya hanya menjawabnya dengan “Insya Allah” sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

    Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, “jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya”. Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, “ini, anak siapa minta susunya ke siapa”. Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

    Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

    Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, “Iya, nanti semua Ayah bereskan” meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

    Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

    Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

    Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak- anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

    Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

    Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

    Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

    Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

    ***

    Kiriman Sahabat Indra Subni

     
  • erva kurniawan 1:41 am on 15 January 2017 Permalink | Balas  

    Masa Depan Datang Dengan Sendirinya. 

    masalaluMasa Depan Datang Dengan Sendirinya.

    Hari esok itu berasal dari dunia yang tidak terlihat -seperti “jembatan” yang belum kita seberangi- sampai ia muncul dihadapan kita. Banyak orang menangis karena mengira esok hari akan kelaparan. Dicengkeram rasa takut dan cemas, khawatir dunia kan kiamat setahun lagi.

    Terperangkap pada khayalan masa depan dapat menggiring kita untuk mencintai dunia secara berlebihan, dan ini adalah suatu ketergantungan yang harus dihindari oleh orang beriman. Janganlah menjadi orang yang terobsesi dengan sesuatu yang akan terjadi nanti di dunia ini.

    Siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok hari ?. Hari esok belum tentu ada, dan yang akan terjadi pada esok hari itupun belum ada realitasnya pada hari ini. Bisa jadi esok hari “jembatan” impian kita itu justru runtuh sebelum kita mencapainya, atau bisa jadi juga berhasil kita seberangi dengan selamat. Janganlah tergesa-gesa dan terburu-buru untuk mendapatkan apa yang akan datang. Apakah kita kira sudah bijaksana jika memetik buah sebelum matang ?.

    “Telah datang ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta disegerakan (datang)nya”. (An-Nahl:1).

    Jadi mengapa kita harus repot dengan malapetaka di kemudian hari ?. Mengapa kita harus repot padahal kita sendiri tidak tahu apakah kita dapat bertemu dengan hari esok ?.

    “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia-Nya”. (Al-Baqarah:268).

    Karena kita disibukkan oleh yang kita kerjakan pada hari ini, maka tinggalkanlah hari esok. Biarkanlah ia datang dengan sendirinya.

    “Sungguh luar biasa seorang Mukmin itu. Seluruh perkara dalam hidupnya bernilai positif. Apabila ia mendapatkan kemudahan, maka ia bersyukur. Itu positif (baik) baginya. Apabila ia ditimpa kesulitan, maka ia bersabar. Itupun positif (baik) baginya”. (Hadits).

    Disadur dari : Biarkan Masa Depan Datang dengan Sendirinya. Cara hidup positif tanpa pernah sedih & frustasi. DON’T BE SAD.

    1. ‘Aidh Abdullah al-Qarni, MA.

    Maghfirah Pustaka.

     
    • LuciaDíez 1:43 pm on 17 Agustus 2018 Permalink

      Maraming mga lalaki na nagdusa dahil sa katandaan o kakulangan ng tamang kalusugan, ay natulungan sa kanilang mga sitwasyon ng pagkakaroon ng mga problema sa pakikipag-ugnayan sa kanilang mga mahal sa buhay. Sa mga tagubilin ng Titan Gel Gold , inilarawan ng mga tagagawa kung paano pinakamahusay na gamitin ang produkto. titangel-in-philippines.com 2017You have to try it. Titan Gel has become one of the hottest selling items on eBay. Titan Gel Side Effect?

  • erva kurniawan 1:19 am on 11 October 2016 Permalink | Balas  

    Memberikan Pujian 

    bungaMemberikan Pujian

    Sumber: Indonesia Business Online

    Oleh: Arvan Pradiansyah

    Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy, penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih ia berkata, “Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang.”

    Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab, “Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara. Ini pemberian yang sangat besar bagi saya.”

    Setiap manusia, apapun latar belakang nya, memiliki kesamaan yang mendasar: ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.

    Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan dalam bekerja.

    Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal, ini bisa sesederhana pujian yang tulus. Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah. Jauh lebih mudah mengritik orang lain.

    Seorang kawan pernah mengatakan, “Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu buruk.”

    “Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?” saya balik bertanya.

    “Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!”

    Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain? Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara kita memandang orang lain.

    Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita menci ntai pasangan kita karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.

    Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.

    Cinta adalah bukan “cinta karena”, tetapi “cinta walaupun”. Inilah cinta yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.

    Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya ta npa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah “cinta walaupun”. Walaupun  Anda mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positiforang lain. Ini bisa memudahkan Anda memberi pujian.

    Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia  berkata, “Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!”

    Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk, tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan berkata, “Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah saya sendiri!”

    Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain. Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan mudah sekali memberi pujian.

    Kesalahan ketiga, disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label:orang ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai manusia yang “segar dan baru”. Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah dan senantiasa baru dan segar setiap saat.

    Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi — bahasa Jakarta). Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka telah kehilangan daya tariknya.

    Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini, tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.

    Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir,  satpam, penjaga toko maupun petugas di jalan tol.

    Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih saya dengan doa, “Hati-hati di jalan Pak!” Orang-orang yang saya jumpai juga senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya  mereka terbebas dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.

    Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat orang bahagia dan bersyu kur. Yang lebih penting, membuat orang merasa dimanusiakan.

    **

    Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan di Dunamis-Franklincovey Indonesia.

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 10 January 2016 Permalink | Balas  

    Tatapan Penuh Kasih 

    tidur islamTatapan Penuh Kasih

    Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur? Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang. Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.

    Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.

    Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm… kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata-mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

    Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu : Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya. Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya.

    Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar. Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.

    Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya. Tanpa kata, tanpa suara dia berkata : “betapa lelahnya aku hari ini”. Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita. Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita. Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka.

    Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka -orang-orang terkasih itu- tak lagi membuka matanya, selamanya…..

    ***

    (Gundolo Sosro)

     
  • erva kurniawan 1:20 am on 8 June 2015 Permalink | Balas  

    Kehidupan : Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah 

    amanah semutKehidupan : Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah

    Tiga binatang kecil ini menjadi nama dari tiga surah di dalam Al-Qur’an. An Naml [semut], Al ‘Ankabuut [laba-laba], dan An Nahl [lebah].

    Semut, menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Konon, binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. Ketamakannya sedemikian besar sehingga ia berusaha – dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya.

    Lain lagi uraian Al-Qur’an tentang laba-laba. Sarangnya adalah tempat yang paling rapuh [ Al ‘Ankabuut; 29:41], ia bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabisi oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.

    Akan halnya lebah, memiliki naluri yang dalam bahasa Al-Qur’an – “atas perintah Tuhan ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal” [ An Nahl; 16:68]. Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar efisen dalam penggunaan ruang. Yang dimakannya adalah serbuk sari bunga. Lebah tidak menumpuk makanan. Lebah menghasilkan lilin dan madu yg sangat manfaat bagi kita. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali jika diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat.

    Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya ‘semut’. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya ‘semut’ adalah budaya ‘aji mumpung’. Pemborosan, foya-foya adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga tipe ‘laba-laba’ yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berpikir: “Siapa yang dapat dijadikan mangsa” Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wasallam mengibaratkan seorang mukmin sebagai ‘lebah’. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan : “Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat  dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya”

    Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah!

    ***

    Dari Lentera Hati – M. Quraish Shihab

     
  • erva kurniawan 1:22 pm on 23 April 2015 Permalink | Balas  

    Mengapa saya memilih Islam: Kristiane Backer 

    Kristiane BackerMengapa saya memilih Islam: Kristiane Backer

    Kristiane Backer

    Presenter Kondang MTV

    “Saya menemukan kenyataan bahwa Islam berpihak kepada perempuan dan laki-laki. Di dalam Islam perempuan telah memiliki hak untuk memilih pada tahun 600 Masehi. Perempuan dan laki-laki di dalam Islam berpakaian dengan cara yang sopan. Mereka pun tidak diperkenankan saling menggoda. Bahkan, kaum perempuannya diperintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka.”

    Kristiane Backer lahir dan tumbuh dewasa ditengah keluarga Protestan di Hamburg, Jerman. Pada usia 21 tahun, ia bergabung dengan Radio Hamburg sebagai wartawati radio. Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai presenter MTV Eropa diantara ribuan pelamar. Sebagai konsekuensi pekerjaannya, ia pun pindah ke London, Inggris.

    “Begitu luar biasa. Pada usia 20-an, aku tinggal di Notting Hill. Sebagai gadis muda di kota yang sama sekali baru, aku diundang ke mana-mana, difoto banyak papparazi, dan bekerja sebagai presenter. Saat itu aku bertemu dengan banyak orang-orang terkenal. Aku merasakan kehidupan yang sangat menyenangkan. Rasa-rasanya hampir semua gaji yang aku terima habis untuk membeli baju dan pernak-pernik yang bagus dan trendy. Aku pun sering melakukan perjalanan ke seluruh tempat-tempat menarik di Eropa”, begitulah Kristiane menceritakan awal kehidupannya sebagai selebritis muda.

    Sekali waktu, Kristiane pergi ke Boston mewawancari Rolling Stone dan mengikuti tur-tur besar para artis terkenal. Kristiane bahkan dinobatkan sebagai presenter perempuan nomor satu di MTV sehingga selalu muncul di layar kaca. Kristiane juga pernah menjadi presenter untuk acara Coca-Cola Report dan Europe Top 20. Boleh dibilang, jika ada kelompok musik baru, maka Kristiane-lah orang pertama yang mewawancarai mereka. Jutaan orang di Eropa pun mengenal gaya Kristiane dengan seksama dan banyak acara besar dengan penonton sebanyak 70.000 penonton sering ia bawakan.

    Di tengah kehidupan glamornya, ia mengalami keguncangan spiritual. Kemudian di tahun 1992, Backer bertemu dengan Imran Khan atau memang ditakdirkan oleh Allah SWT demikian. Imran Khan adalah anggota tim kriket Pakistan. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama kali antara Backer dengan seorang bintang yang beragama Islam. Backer dan Khan yang sama-sama mendalami Islam, selalu berdiskusi tentang Islam. Khan selalu memberikan buku-buku tentang Islam kepada Backer dan dengan penuh semangat pula Backer mengkajinya.

    “Aku menemukan bahwa Al-Quran sarat dengan hal-hal rasional. Dan pandangan lamaku tentang Islam berubah. Karena apa yang kupelajari berbeda dengan anggapan orang-orang di sekitarku. Bahkan ketika aku mengkaji masalah perempuan dalam Islam, aku menemukan bahwa Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita yang sekarang tengah diperjuangkan di seluruh dunia. Akan tetapi Islam telah menjunjung tinggi hak-hak wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Perempuan dan laki-laki berpakaian dan bertingkah dengan cara yang sopan”, jelas Backer.

    Backer menceritakan bahwa sejak mengenal Islam dan membaca terjemahan Al-Quran, ia tak lagi menggunakan rok pendek dan pakaian yang buka-bukaan. Ia mulai mengenakan pakaian longgar dan panjang jika tampil di televisi. Ia dengan tegas mengatakan bahwa wanita yang membeberkan tubuhnya di depan publik adalah melecehkan seluruh wanita di muka bumi ini.

    Akhirnya, Backer menerima Islam dengan lapang dada dan sukacita. Setelah mengucap syahadat, perlahan ia mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa ramadhan. “Dulu aku sering sekali minum campagne di pesta-pesta malam, kini saya tidak lagi menyentuh minuman seperti itu”, kisahnya.

    Pada tahun 2001, Backer pergi menunaikan ibadah haji. Ia begitu terkesan dengan perjalanan ibadah haji. Ia menceritakan bahwa ia sedang di puncak karirnya pada saat itu. Akan tetapi ia memilih mengundurkan diri dari dunia gemerlap selebritis yang merusak jiwa dan batinnya, “Aku sudah tak sanggup lagi meneruskannya”, ujarnya mengenai pekerjaannya sebagai presenter kondang MTV.

    Secara total dunia showbiz ia tinggalkan. Dan Backer pun mencoba untuk menekuni bidang lain. Ia kuliah di Westminter University dan mempelajari pengobatan alami, termasuk herbal, aromatherapy, quigong (obat Cina), sari bunga dan homeopathy.

    “Kuliah-kuliah seperti itu membuka dunia baru bagi saya, yaitu cara baru untuk melihat hubungan antara manusia, alam dan kesehatan dengan penyakit dan juga hubungan dengan alam semesta. Seluruh penyakit ada obatnya, dan alam menyediakan ini semua”, papar Backer.

    Kini Backer memiliki klinik Homeopathis sendiri di Jerman. Ia pun terlibat dalam proyek pengembangan berbagai jenis kosmetika alami dan makanan tambahan (suplemen) yang memanfaatkan obat-obatan tradisional dan berbagai jenis minyak dari tumbuhan eksotik yang ditemukan di negara-negara Arab.

    Tak hanya itu ia juga mengkaji masalah agama, terutama sosial budaya, pengobatan Islami dan sosial politik Islam di Birkbeck University. Dengan begini Backer banyak terlibat dalam kegiatan sosial dan keorganisasian. Bahkan di tahun 1998, ia sukses mengorganisasikan dan mengkoordinasikan Art Exhibition and Concert yang bekerja sama dengan Duta Besar Bosnia untuk PBB, Muhammad Sacirbey. Dimana kegiatan itu dilakukan dalam rangka menyambut kedatangan presiden Bosnia Herzegovina sebagai bagian dari Bridge Project yang dimaksudkan bagi penyatuan tiga fraksi yang berbeda di tengah masyarakat Bosnia.

    Backer pun aktif sebagai anggota eksekutif organisasi sosial Learning for Life. Pada tahun 2001, organisasi itu menyelenggarakan pengumpulan dana bagi penguasa Afghanistan dan ia menjadi pemandu acaranya. Backer beberapa kali mengunjungi Pakistan bersama teman-temannya dan mengamati cara hidup dan sistem nilai yang sangat berbeda dengan Barat. Ia sadar bahwa meskipun hidup miskin, ternyata masyarakat Pakistan sangat hangat dan ramah.

    Kunjungannya beberapa kali ke Pakistan, bersama suaminya Imran Khan, membuat Backer merasa tersentuh dengan gaya Islam Pakistan dalam berpakaian. Seabreg pakaian panjang ala baratnya segera diganti dengan pakaian ala pakistan dan kerudung pakistannya. Bukan hanya karena agama atau suaminya yang membuatnya ia nyaman dengan pakaian yang tertutup. “Aku merasakan kenyamanan dengan pakaian seperti ini”, jelasnya.

    Inilah yang membedakan antara kehidupan Barat dengan Islam. Bahwa dua peradaban ini tidak mungkin bersatu untuk kemudian membentuk peradaban yang normal. Gaya Barat akan mengikis ke-Islaman diri kita. Dan Backer pun membuktikan bahwa Dunia Barat tidak akan mampu memuaskan jiwa kita. Backer yang telah hidup sekian waktu dalam lubang budaya Barat, menjadi sadar dan memberitahukan kepada kita, “Bahwa tak satu pun dari mereka merasakan kebahagiaan. Aku adalah buktinya. Senyum yang mengembang tidak mampu seindah senyum seorang Pakistan yang hidupnya jauh lebih miskin”, jelas Backer.

    Backer kini melanjutkan karirnya sebagai pemandu banyak acara sosial yang disiarkan di televisi di Eropa. Selain berbahasa Jerman, ia mampu berbahasa Inggris, Italia dan Perancis. Di dalam Islamlah Backer menemukan makna hidup yang sebenarnya, “Sungguh ini merupakan karunia terbesar yang pernah saya dapatkan.”

    Semoga Kristiane Backer tetap kukuh mempertahankan aqidah Islam. [NA/ berbagai sumber]

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 26 December 2014 Permalink | Balas  

    Tatapan Penuh Cinta 

    tidurTatapan Penuh Cinta

    Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat ia sedang tidur? Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang. Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya.

    Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inilah rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.

    Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm…kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena tempaan hidup yang keras. Orang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata-mata karena rasa kasih dan sayang, dan sayangnya, itu sering kita salah artikan.

    Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu : Ayah, Ibu, Suami, Istri, Kakak, Adik, Anak, Sahabat, Semuanya. Rasakanlah sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakanlah energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Rasakanlah getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang telah dilakukan orang-orang itu untuk kebahagiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selau saja nampak besar. Secara ajaib Allah Subhanahuwataala mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur.

    Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. Dan ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkap segalanya. Tanpa kata, tanpa suara dia berkata: “betapa lelahnya aku hari ini”. Dan penyebab lelah itu? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah kita.

    Suami yang bekerja keras mencari nafkah, istri yang bekerja keras mengurus dan mendidik anak, juga rumah, ditambah kalo istri kita juga bekerja demi bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.

    Resapilah kenangan-kenangan manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah-wajah mereka. Rasakanlah betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika esok hari mereka “orang-orang terkasih itu” tak lagi membuka matanya, selamanya………………

    ***

    Kiriman Sahabat

     
  • erva kurniawan 2:21 am on 22 December 2014 Permalink | Balas  

    Bunga Untuk Ibu 

    ibu dan  anakBunga Untuk Ibu

    Ibu pernah memintaku membersihkan lantai sesaat setelah aku menumpahkan bubur saat sarapan pagi. Tapi, bukan sapu atau kain lap pel yang kuambil ke belakang, karena aku malah berlari keluar melalaui pintu belakang untuk menyusul teman-teman bermain. Hal yang hampir sama juga kulakukan, saat ibu berharap aku menyapu halaman bekas aku dan teman-teman bermain dan mengotori halaman dengan sobekan kertas. Meski beberapa teman melirikkan matanya agar aku segera menuruti ibu, tapi yang kulakukan justru tak menggubris perintahnya dan selekas mungkin mengajak teman-teman bermain di tempat lain.

    Di waktu lain, ibu berpesan agar aku segera pulang setelah pulang sekolah. Namun seperti biasa, aku selalu mampir ke tempat-tempat biasa aku bermain, dan mengatakan kepada ibu bahwa terlalu banyak aktifitas di sekolah yang harus aku ikuti, demi memperkaya pengalaman dan ketrampilan. Sesekali, aku juga mengelabui ibu dengan tuntutan uang ini-itu dari sekolah yang wajib dibayar selain uang SPP. Kupikir, mungkin ibuku bodoh sehingga selalu mempercayai setiap permintaan uang tersebut yang sesungguhnya selalu kugunakan untuk mentraktir teman-temanku, sekedar untuk menunjukkan kelas sosial dan ‘sogokan’ agar aku bisa diterima oleh teman-teman. Meski setelah itu kuketahui, bahwa tidak jarang ibu berhutang untuk menutupi semua ‘biaya’ itu berharap agar aku bisa menjadi anak yang cerdas, trampil dan bisa diandalkan, aku masih tetap tak menyesal.

    Kemarin, ibu berharap aku mau membantunya melakukan beberapa pekerjaan rumah yang lumayan berat karena ibu saat itu tak sanggup melakukan semuanya. Ibuku tengah sakit. Tapi aku malah tak mempedulikannya, karena kupikir tak semestinya aku melakukan semua tugas rumah tangga itu. Akhirnya, dalam keadaan sakit, dengan nafas yang tersengal, ibu sendiri yang mengerjakannya, sementara aku tetap asik dengan urusan dan mainanku.

    Hari ini, ada sekuntum bunga persembahan dariku yang pasti tak ada harganya dari semua pengorbanan ibu. Tak membalas semua cintanya, tak membayar jerihnya, tak menghilangkan semua luka dan kecewanya, tak meringankan bebannya, tak menghentikan tangisnya, tak membasuh setitikpun peluhnya, bahkan tak menyembuhkan sakitnya, apalagi mengembalikan ibu kepadaku. Karena ibu, yang penuh cinta dan kasih terhadap anaknya ini, kini terbujur lurus dihadapanku. Kupikir, karena aku tak mencintainya dengan segala perilaku burukku terhadap ibu, Allah lebih mencintainya dan mengambilnya dariku.

    Maafkan aku ibu. Kuharap ibu tahu, bunga cintaku tak pernah luruh

    ***

    (Diambil dari artikel kiriman Bayu Gautama, http://www.eramuslim.com)

     
  • erva kurniawan 1:19 am on 12 December 2014 Permalink | Balas  

    Mayat Yang Tidak Dapat Ridho 

    kuburanMayat Yang Tidak Dapat Ridho

    Ini adalah kisah nyata, kisah proses penguburan seorang pejabat di sebuah kota di Jawa Timur. Nama dan alamat sengaja tidak disebutkan untuk menjaga nama baik jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Insya Allah kisah ini menjadi hikmah dan cermin bagi kita semua sebelum ajal menjemput.

    Kisah ini diceritakan langsung oleh seorang Modin (pengurus jenazah). Dengan gaya bertutur, selengkapnya ceritanya begini :

    Saya terlibat dalam pengurus jenazah lebih dari 16 tahun, Berbagai pengalaman telah saya lalui, sebab dalam jangka atau kurun waktu tersebut macam macam jenis mayat sudah saya tangani. Ada yang meninggal dunia akibat kecelakaan, sakit tua, sakit jantung, bunuh diri dan sebagainya.

    Bagaimanapun, pengalaman mengurus satu jenazah seorang pejabat yang kaya serta berpengaruh ini, menyebabkan saya dapat kesempatan ‘istimewa’ sepanjang hidup. Inilah pertama saya bertemu dengan satu jenazah yang cukup aneh, menyedihkan, menakutkan dan sekaligus memberikan banyak hikmah.

    Peristiwa ini terjadi pertengahan bulan Februari 2001 dan kebetulan sebagai Modin tetap di desa, saya diminta oleh anak almarhum mengurus jenazah Bapaknya. Saya terus pergi ke rumahnya. Ketika saya tiba sampai ke rumah almarhum tercium bau jenazah itu sangat busuk. Baunya cukup memualkan perut dan menjijikan. Saya telah mengurus banyak jenazah tetapi tidak pernah saya bertemu dengan mayat yang sebusuk ini.

    Ketika saya lihat wajah almarhum, sekali lagi saya tersentuh. Saya tengok wajahnya seperti dirundung oleh macam macam perasaan takut, cemas, kesal dan macam-macam. Wajahnya seperti tidak mendapat nur dari Allah SWT. Kemudian saya pun ambil kain kafan yang dibeli oleh anak almarhum dan saya potong. Secara kebetulan pula, disitu ada dua orang yang pernah mengikuti kursus “fardu kifayah” atau pengurus jenazah yang pernah saya ajar. Saya ajak mereka membantu saya dan mereka setuju.

    Tetapi selama memandikan mayat itu, kejadian pertama pun terjadi, sekedar untuk pengetahuan pembaca, apabila memandikan jenazah, badan mayat itu perlu dibangunkan sedikit dan perutnya hendaklah diurut-urut untuk mengeluarkan kotoran yang tersisa. Maka saya pun urut urut perut almarhum. Tapi apa Yang terjadi, pada hari itu sangat mengejutkan. Allah SWT berkehendak dan menunjukkan kekuasaannya karena pada hari tersebut, kotoran tidak keluar dari pada dubur akan tetapi melalui mulutnya.

    Hati saya berdebar debar. Apa yang sedang terjadi di depan saya ini ? Telah dua kali mulut mayat ini memuntahkan kotoran, saya harap hal itu tidak terulang lagi karena saya mengurut perutnya untuk kali terakhir.

    Tiba tiba ketentuan Allah SWT berlaku, ketika saya urut perutnya keluarlah dari mulut mayat itu kotoran bersama beberapa ekor ulat yang masih hidup. Ulat itu adalah seperti ulat kotoran (belatung). Padahal almarhum meninggal dunia akibat diserang jantung dan waktu kematiannya dalam tempo yang begitu singkat mayatnya sudah menjadi demikian rupa ? Saya lihat wajah anak almarhum. Mereka seperti terkejut. Mungkin malu, terperanjat dan aib dengan apa yang berlaku pada Bapaknya, kemudian saya tengok dua orang pembantu tadi, mereka juga terkejut dan panik. Saya katakan kepada mereka, “Inilah ujian Allah terhadap kita”.

    Kemudian saya minta salah satu seorang dari pada pembantu tadi pergi memanggil semua anak almarhum. Almarhum pada dasarnya seorang yang beruntung karena mempunyai tujuh orang anak, kesemuanya laki-laki. Seorang berada di luar negeri dan enam lagi berada di rumah. Ketika semua anak almarhum masuk, saya nasehati mereka. Saya mengingatkan mereka bahwasanya tanggung jawab saya hanyalah mambantu menguruskan jenazah Bapak mereka, bukan menguruskan semuanya, tanggung jawab ada pada ahli warisnya. Sepatutnya sebagai anak, mereka yang lebih afdal menguruskan jenazah Bapak mereka itu, bukan hanya iman, hanya bilal, atau guru. Saya kemudian meminta ijin serta bantuan mereka untuk menunggingkan mayat itu.

    Takdir Allah ketika ditunggingkan mayat tersebut, tiba tiba keluarlah ulat-ulat yang masih hidup, hampir sebaskom banyaknya. Baskom itu kira-kira besar sedikit dari pada penutup saji meja makan.

    Suasana menjadi makin panik. Benar benar kejadian yang luar biasa sulit diterima akal fikiran manusia biasa. Saya terus berdoa dan berharap tidak terjadi lagi kejadian yang lebih ganjil. Selepas itu saya memandikan kembali mayat tersebut dan saya ambilkan wudlu. Saya meminta anak anaknya untuk kain kafan.

    Saya bawa mayat ke dalam kamarnya dan tidak diijinkan seorang pun melihat upacara itu terkecuali waris yang terdekat sebab saya takut kejadian yang lebih aib akan terjadi.

    Peristiwa apa pula yang terjadi setelah jenazah diangkat ke kamar dan hendak dikafani, takdir Allah jua yang menentukan, ketika mayat ini diletakkan di atas kain kafan, saya dapati kain kafan itu hanya cukup menutupi ujung kepala dan kaki tidak ada lebih, maka saya tak dapat mengikat kepala dan kaki. Tidak keterlaluan kalau saya katakan ia seperti kain kafan itu tidak mau menerima mayat tadi. Tidak apalah, mungkin saya yang khilaf di kala memotongnya. Lalu saya ambil pula kain, saya potong dan tampung di tempat tempat yang kurang. Memang kain kafan jenazah itu jadi sambung menyambung, tapi apa mau dikata, itulah yang dapat saya lakukan. Dalam waktu yang sama saya berdoa kepada Allah “Ya Allah, jangan kau hinakan jenazah ini ya Allah, cukuplah sekedar peringatan kepada hambaMu ini.”

    Selepas itu saya beri taklimat tentang sholat jenazah tadi, satu lagi masalah timbul, jenazah tidak dapat dihantar ke tanah pekuburan karena tidak ada mobil jenazah/mobil ambulance. Saya hubungi kelurahan, pusat Islam, masjid, dan sebagainya, tapi susah. Semua sedang terpakai, beberapa tempat tersebut juga tidak punya kereta jenazah lebih dari satu karena kereta yang ada sedang digunakan pula. Suatu hal yang saya fikir bukan sekedar kebetulan. Dalam keadaan itu seorang hamba Allah muncul menawarkan bantuan. Lelaki itu meminta saya menunggu sebentar untuk mengeluarkan van/sejenis Mobil pickup dari garasi rumahnya. Kemudian muncullah sebuah van. Tapi ketika dia sedang mencari tempat untuk meletakkan vannya itu di rumah almarhum tiba-tiba istrinya keluar. Dengan suara yang tegas dia berkata di khalayak ramai : “Mas, saya tidak perbolehkan mobil kita ini digunakan untuk angkat jenazah itu, sebab semasa hayatnya dia tidak pernah mengijinkan kita naik mobilnya.”

    Renungkanlah kalau tidak ada apa apanya, tidak mungkin seorang Wanita yang lembut hatinya akan berkata demikian. Jadi saya suruh tuan punya van itu membawa kembali vannya. Selepas itu muncul pula seseorang lelaki menawarkan bantuannya. Lelaki itu mengaku dia anak murid saya. Dia meminta ijin saya dalam 60 menit membersihkan mobilnya itu. Dalam jangka waktu yang ditetapkan itu, muncul mobil tersebut, tapi dalam keadaan basah kuyup. Mobil yang dimaksudkan itu sebenarnya lori. Dan lori itu digunakan oleh lelaki tadi untuk menjual ayam ke pasar, dalam perjalanan menuju kawasan pekuburan, saya berpesan kepada dua pembantu tadi supaya masyarakat tidak usah membantu kami menguburkan jenazah, cukup tinggal di kampung saja akan lebih baik. Saya tidak mau mereka melihat lagi peristiwa ganjil.

    Rupanya apa yang saya takutkan itu berlaku sekali lagi, takdir Allah yang terakhir amat memilukan. Sesampainya jenazah tiba di tanah pekuburan, saya perintahkan tiga orang anaknya turun ke dalam liang dan tiga lagi menurunkan jenazah. Allah berkehendak semua atas makhluk ciptaanNya berlaku, saat jenazah itu menyentuh ke tanah tiba tiba air hitam yang busuk, baunya keluar dari celah tanah yang pada asal mulanya kering.

    Hari itu tidak ada hujan, tapi dari mana datang air itu ? sukar untuk saya menjawabnya. Lalu saya arahkan anak almarhum, supaya jenazah bapak mereka dikemas dalam peti dengan hati hati. Saya takut nanti ia terlentang atau telungkup na’udzubillah. Kalau mayat terlungkup, tak ada harapan untuk mendapat safa’at Nabi. Papan keranda diturunkan dan kami segera timbun kubur tersebut. Selepas itu kami injak injak tanah supaya mampat dan bila hujan ia tidak mendap/ambrol. Tapi sungguh mengherankan, saya perhatikan tanah yang diinjak itu menjadi becek. Saya tahu, jenazah yang ada di dalam telah tenggelam oleh air hitam yang busuk itu. Melihat keadaan tersebut, saya arahkan anak-anak almarhum supaya berhenti menginjakkan tanah itu. Tinggalkan lobang kubur 1/4 meter. Artinya kubur itu tidak ditimbun hingga ke permukaan lubangnya, tapi ia seperti kubur berlobang.

    Tidak cukup dengan itu, apabila saya hendak bacakan talqin, saya lihat tanah yang diinjak itu ada kesan serapan air. Masya Allah, dalam sejarah peristiwa seperti itu belum pernah terjadi. Melihat keadaan itu, saya ambil keputusan untuk selesaikan penguburan secepat mungkin. Sejak lama terlibat dalam penguburan jenazah, inilah mayat yang saya tidak alqimkan. Saya bacakan tahlil dan doa yang paling ringkas. Setalah saya Pulang ke rumah almarhum dan mengumpulkan keluarganya. Saya bertanya kepada istri almarhum, apakah yang telah dilakukan oleh almarhum semasa hayatnya.

    1. Apakah dia pernah menzalimi orang alim?
    2. Mendapat harta secara merampas, menipu dan mengambil yang bukan haknya?
    3. Memakan harta masjid dan anak yatim ?
    4. Menyalahkan jabatan untuk kepentingan sendiri ?
    5. Tidak pernah mengeluarkan zakat, shodaqoh atau infaq ?

    Istri almarhum tidak dapat memberikan jawabannya. Memikirkan mungkin dia malu Untuk memberi tahu, saya tinggalkan nomor telepon rumah. Tapi sedihnya hingga sekarang, tidak seorang pun anak almarhum menghubungi saya. Untuk pengetahuan umum, anak almarhum merupakan orang yang berpendidikan tinggi hingga ada seorang yang beristri orang Amerika, seorang dapat istri orang Australia dan seorang lagi istrinya orang Jepang. Peristiwa ini akan tetap saya ingat. Dan kisah ini benar benar nyata bukan rekaan atau isapan jempol.

    Semua kebenaran saya kembalikan kepada Allah SWT pencipta jagad raya ini. ‘Kepada kita semua pembaca setia renungan Media Informasi ini, tanyalah diri kita akankah kita menginginkan peristiwa itu terjadi pada diri kita sendiri, ibu, bapak kita, anak kita atau kaum keluarga kita ? Renungkanlah…

    Pada akhirnya setelah semalam merenungkan artikel ini dalam hati terbersit do’a: “Ya Allah jauhkanlah Aku dan keluargaku dari peristiwa itu dan peristiwa yang semacam dengan itu.” “Ya Allah jauhkanlah Aku dan keluargaku dari akhlaq yang menjadikan peristiwa itu dan peristiwa yang semacam dengan itu.”

    ***

    Kiriman Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:36 am on 7 December 2014 Permalink | Balas  

    Pribadi Merdeka 

    masjid cikiniPribadi Merdeka

    Suatu Hari Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminitoto seperti dituturkan Alm KH. Dalari Oemar mendatangi walikota Jakarta di jaman penjajahan Belanda.

    “Hentikan niat menggusur masjid Cikini (Jl.Raden Saleh, masjid bersejarah yang dilindungi),” sergahnya.

    “Tapi penduduk sekitarnya banyak kaum Nasrani,”jawab walikota.

    “Siapa yang lebih dulu, masjid atau penduduk Nasrani?” lanjutnya.

    “Ya, masjid,”jawab walikota.

    “Nah, kalau begitu mereka yang harus pergi atau biarkan masjid itu berdiri, masih ada jamaah yang memerlukannya,” tangkis HOS.

    “Tapi para ulama semua sudah tanda tangani persetujuan,” jawab walikota.

    “Masih ada yang belum tanda tangan,” jawabnya lagi.

    “Siapa itu,” walikota heran.

    “Aku, aku yang belum dan tak akan tanda tangan. Langkahi mayatku, sebelum bongkar masjid itu.”

    Ketika walikota tak berdaya dan mengangkatnya ke Gubernur Jenderal, hal sama diungkapkan.

    Pendiriannya tak berubah dan masjid itu tetap tegak sampai hari ini.

    Orang kini merindukan pribadi merdeka seperti HOS ini, totalitas dari seorang penutur kebenaran.

    Bukan pribadi yang mudah ditekan oleh lingkungan, trend dan mode. Beliau merdeka dengan mengambil pilihan sadar di saat orang gemar dengan pilihan ganda.

    ***

    (Sumber : KH. Rahmat Abdullah)

     
  • erva kurniawan 7:51 am on 22 October 2014 Permalink | Balas  

    Lihat Diri Sebelum Berbicara 

    pidatoLihat Diri Sebelum Berbicara

    Undzur ma qoola walaa tandzur man qoola – Dengar apa yang dikatakannya dan jangan lihat siapa yang mengatakannya– satu ungkapan lama dari ulama yang sejatinya dimaknai agar kita bersikap kritis terhadap setiap perkataan orang, disisi lain tidak mengambil kebenaran hanya karena memandang kedudukan, status orang yang mengatakannya. Namun, sejalan dengan beragam pemikiran manusia, beragam pula interpretasi terhadap ungkapan tersebut hingga satu titik interpretasi sederhana bahwa tidak perlu melihat siapa yang mengatakannya, karena yang penting adalah apa yang dikatakan orang tersebut. Satu interpretasi yang salah yang terus bergulir yang kemudian tidak jarang dijadikan alasan pembenaran bagi seorang juru dakwah (da’i) untuk tidak tampil dengan penampilan terbaiknya, karena baginya yang penting apa yang akan disampaikannya penuh nilai dan berbobot.

    Anda tentu pernah melihat tukang-tukang obat yang beraksi di tengah keramaian, meski tak pernah belajar teori komunikasi -apalagi kuliah strata satu di fakultas ilmu komunikasi- tapi memiliki kemampuan untuk menyedot perhatian orang banyak hingga rela berdiri untuk sekian lama memperhatikan cuap-cuap si tukang obat. Jual obat belakangan, yang penting orang senang dulu dan betah untuk berlama-lama bersamanya. Bisa jadi kita juga semua tahu bahwa obat yang dijual masih perlu dipertanyakan kualitasnya, juga kemanjurannya, tapi pernahkah Anda mempertanyakan pada diri sendiri, kenapa Anda mau berhenti sejenak untuk memperhatikan tukang obat itu sendiri. Dan tidak jarang, pada akhirnya, ada yang membeli obat tersebut.

    Setiap marketing yang handal dan pengalaman, tentu sangat mengerti jawabannya. Prinsip dasar yang dipegang selama ini dalam menentukan keberhasilan marketing adalah “The singer not the song”. Pada umumnya, keputusan untuk membeli suatu barang sangat ditentukan oleh emosi si pembeli. Termasuk misalnya, pembeli merasa senang, suka ataupun sebaliknya terhadap penjual. Setiap penjual yang baik, biasanya memulai dengan dan mampu untuk “menjual” dirinya terlebih dulu sebelum menjual produk. Syukurnya, dalam kerangkan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya masih lebih berorientasi pada “siapa yang berbicara”. Sebagai contoh lagu dan penyanyi misalnya, orang kita masih memandang penyanyinya, bukan lagunya. Coba Anda perhatikan di kampung-kampung misalnya, tertulis besar-besar pengumuman, “Hadirilah pagelaran musik, menghadirkan Cucum Cumenah, Artis Top Ibukota”. Anda tidak akan pernah mendapati, judul lagu yang ditulis dalam pengumuman tersebut. Apapun lagunya, kalau yang membawakannya adalah artis top yang sudah kondang dan kesohor bahkan menjadi pujaan, tidak penting lagi apakah lagu tersebut jelek atau bagus.

    Jadi, sekedar untuk mengembalikan pemahaman sebenarnya dari ungkapan ulama (bukan hadits) diatas, bahwa setiap kita semestinya kritis terhadap apa yang dikatakan orang. Namun jika masih tetap ada yang “keukeuh” menginterpretasikan hal itu sebagai tidak perlu melihat siapa yang mengatakannya, kali ini, seharusnya dipahami bahwa sesungguhnya masyarakat kita sangat betul memperhatikan siapa yang berbicara. Sebagus apapun, sebaik apapun nasihat yang akan anda sampaikan kepada orang lain, luangkan waktu sejenak untuk sekedar memperhatikan penampilan Anda, dan memperbaiki bagian yang kurang sedap dipandang. Dalam pemahaman yang lebih luas, seperti dijelaskan dalam Surat Ash Shaft ayat 2 dan 3, bahwa sebelum mengatakan sesuatu, semestinya kita sudah melakukannya. Sehingga orang lain akan melihat kita sebagai tauladan, bukan sebagai pembual yang hanya pandai mengajak orang, tapi ianya tetap pada keburukan. Wallahu ‘a’lam bishshowaab

    ***

    eramuslim – Bayu Gautama.

     
  • erva kurniawan 7:18 am on 18 October 2014 Permalink | Balas  

    Sebuah Rasa 

    cintaSebuah Rasa

    Suara hati diantara 2 orang manusia yang saling mengerti itu kini sudah meninggalkan tempatnya.Yang tersisa disana hanyalah puing-puing kenangan yang akan tetap meninggalkan bekasnya didasar sebuah hati sang jiwa.

    Semakin sang jiwa berlari akankah ia jauh dari sang pecinta?? tidak…justru ia akan semakin mendekati bayangan sang pecinta.Lalu sang jiwapun terdiam dan membiarkan rasa yang selalu mengguncangkan dunia itu tetap disana…ditempat yang semestinya,sang jiwapun termenung, berfikir dan mencari-cari jawaban atas semua pertanyaannya…apakah ada bedanya?! hanya sang jiwalah yang benar-benar bisa merasakannya.

    Tuhan yang maha membolak-balikan hati, mengapa rasa itu masih ada? tidak bisakah ia tergantikan dengan yang lain? mengapa sang jiwa mencintai seseorang yang seharusnya hanya bisa ia sayangi? dan mengapa pula ia hanya memiliki rasa sayang pada seseorang yang sebenarnya bisa ia cintai? lalu apa itu cinta dan apa itu sayang, wahai yang maha tahu?

    Sang jiwa terus termenung dan ditengah-tengah keterdiamannya ia masih mempertanyakan mengapa kebahagiaan hatinya di suatu kumpulan waktu menjadi deritanya saat ini.. terikat dan terbelenggu karenanya. Benarkah tubuh hanya suatu kumpulan Zat kimia, jaringan dan impuls saraf, pikiran tak lebih dari gelombang listrik dalam otak, hasratpun tak lebih dari asam yang menusuk otak kecil, benarkah? Jika begitu tubuhpun tak lebih dari sekedar mesin tanpa jiwa.

    Wahai Tuhan yang maha tinggi , apakah ini berarti sang jiwa telah melalaikan-Mu meski dalam hatinya masih ada sebuah keinginan yang tak pernah berkurang karena kekeringan dan tidak bertambah karena basah! tidak…tidak Tuhan…dia tidak ingin lalai pada-Mu meski ingatanya tetap terpatri pada sang pecinta.

    Sang jiwa masih teringat akan perkataan Rosul-Mu “KECINTAANMU KEPADA SESUATU BISA MEMBUAT BUTA DAN TULI”. Karenanya sang jiwa masih mencari-cari dimanakah kunci semuanya, dia tidak ingin buta dan tuli, dia hanya ingin sebuah kebahagiaan dan kedamaian.

    Waktupun terus berlalu, terlihat di semua tempat dan membagi tahun menjadi bulan, bulan kedalam hari, hari kedalam jam, jam kedalam detik, pertambahan waktupun berbaris rapi setelah yang satu menghilang dan tergantikan dengan yang lain. Detikpun mulai bergulir dan tibalah waktunya sang jiwa memahami apa yang telah dipertanyakannya, lewat semua Hidayah-Nya ia pun menemukan sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya resah

    “DAN SEGALA SESUATU KAMI JADIKAN BERJODOH-JODOHAN AGAR SEKALIAN KAMU BERFIKIR”(QS. 51:49)

    Sang jiwa pun mulai merasakan suatu aliran yang mengalir mendesak-desak dalam nadinya, resah itu mulai meninggalkan hati sang jiwa sedikit demi sedikit setelah ia belajar bahwa semuanya bukan milikinya,semuanya sudah diluar kendali seorang anak manusia…Yah sang jiwa tidak mempunyai kuasa apa-apa terhadap takdir dimuka bumi

    “DAN DIA TELAH MENCIPTAKAN SEGALA SESUATU DAN DIA MENETAPKAN UKURAN-UKURANNYA DENGAN SERAPI-RAPINYA”(QS.25:3)

    Sang jiwa masih bisa memberikan senyumnya untuk orang-orang yang memiliki rasa dalam hatinya mungkin masih ada sisa sebuah rasa yang pernah mengguncangkan jiwanya, tapi telah sedikit tertolong .Dia tetap bahagia bahwa rasa itu pernah menetap dalam jiwanya

    “DAN BISA JADI KAMU MEMBENCI SESUATU PADAHAL ITU BAIK UNTUKMU DAN BISA JADI KAMU MENYUKAI SESUATU SEMENTARA ITU BURUK BAGIMU, DAN ALLAH LEBIH MENGETAHUI PADA SAAT KAMU TIDAK MENGETAHUI (QS. 2:126).

    Pada akhirnya sang jiwapun harus pasrah terhadap semua Takdir-Nya dan belajar untuk menerima bahwa hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.Dan semuanya pasti ada Hikmah dan kebaikan yang terdapat didalamnya……..

    ***

    Dari Sahabat Lina Karlina

     
  • erva kurniawan 1:49 am on 16 October 2014 Permalink | Balas  

    Mutiara Hikmah 

    doaMutiara Hikmah

    (Ali bin Abi Thalib)

    1. Dosa terbesar adalah kekufuran.
    2. Rekreasi terbaik adalah bekerja
    3. Musibah terbesar adalah keputusasaan.
    4. Keberanian terbesar adalah kesabaran
    5. Guru terbaik adalah pegalaman.
    6. Misteri terbesar adalah kematian.
    7. Kehormatan terbesar adalah kesetiaan
    8. Karunia terbesar adalah anak yang sholeh
    9. Sumbangan terbesar adalah berpartisipasi
    10. Modal terbesar adalah kemandirian
     
  • erva kurniawan 3:47 am on 5 October 2014 Permalink | Balas  

    Rasa Berqurban 

    kurban-terbaik-1Rasa Berqurban

    Ibrahim tak mau menoleh , ia tak kuasa menahan perasaannya , tatkala harus berpamitan kepada istrinya dan anaknya yang masih bayi. Bagaimana hati Sang Bapak itu tidak hancur, menyaksikan orang orang yang dikasihinya harus dia tinggalkan di lembah Paran yang tandus, tanpa penghuni, tanpa kehidupan, sepi, hanya semata-mata netepi jejeging Nabi memenuhi perintah IIIahi.

    Pertarungan rasa dan gejolak emosi senantiasa mewarnai kehidupan kita. Karena hidup senantiasa dihadapkan pada pilihan berbagai rasa.

    Baik rasa yang ngejawantah menyapa relung sisi kehidupan kita maupun rasa yang menelusup dalam sukma materi konsumsi kita.

    Sebagai makhluk yang tinitah lebih tinggi dari homo sensitivitas hewan, rasa hidup yang kadang membuat kita nelongso ataupun bungah, haruslah disikapi secara wicaksana sebagai garis fitrah yang sengaja dijatah untuk menguji kita sehingga terlihat endi sing kencana endi sing wingko (ayukum ahsanu amala).

    Pak Anu, punya sawah berhektar hektar, truk juga punya, ingon-ingon apalagi, tapi sesambat-e ora karu karuan. Sedang pak Polan, hanya punya sapi empat, kambing dua, dan sedikit tanah yang bisa ditanami polowijo, tapi sesambat-e hampir hampir tidak pernah kedengaran.

    Bleger materi bisa berbeda beda, tetapi rasa yang disandang cenderung sama.

    Sedih dan gembira adalah dua warna yang sejalan pada sisi kehidupan manusia. Dua keadaan itu saling susul menyusul mewarnai setiap langkah kehidupan insan.

    Kadang ujian rasa yang sangat getir, bertiup bagai badai di gurun pasir. Menerpa sanubari yang dalam layaknya Ibrahim ketika ujian rasa dari Illahi datang menyapa lewat mimpinya. “….wahai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku hendak menyembelihmu, bagaimana pendapatmu…..?”

    “Wahai Bapakku, laksanakanlah perintah Illahi, insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar…….”

    Peristiwa Qurban telah datang mengusik nurani setiap aghniya. Rasa berat melepas sebagian harta untuk taqorub pada Sang Pencipta dalam prosesi ritual Qurban, menyadarkan kita bahwa cinta dalam hidup memerlukan perjuangan dan pengorbanan.

    Ketika seorang ayah harus bekerja memunguti sampah di sepanjang jalan, ketika harus berjuang menantang beratnya kehidupan, ketika itu yang terpikir olehnya, bagaimana agar orang orang yang dia kasihi tidak tidur dalam kedinginan dan tidak terjaga dalam kelaparan.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:35 am on 18 September 2014 Permalink | Balas  

    Wadah Hati 

    kaya hatiWadah Hati

    Suatu ketika hiduplah seorang tua bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang pemuda sedang dirudung banyak masalah. langkahnya gontai dan air mukanya ruwet. Tamu itu memang tampak seperti orang yg tak bahagia. Tanpa membuang waktu orang itu langsung menceritakan semua masalahnya.

    Pak tua bijak hanya mendengarkan dengan seksama, lalu ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya “, ujar pak tua.

    “Pahit, pahit sekali “, jawab tamu sambil meludah ke samping.

    Pak tua itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu. Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya. “Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah.”

    Saat tamu itu mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana rasanya ?”.

    “Segar “, sahut tamu.

    “Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?” tanya pak tua.

    “tidak,” sahut tamu itu.

    Dengan bijak pak tua itu menepuk punggung si anak muda, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.

    “anak muda, dengarlah : pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. itu semua akan tergantung dari hati kita sendiri. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada 1 yg kamu dapat lakukan, lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

    Pak tua itu lalu kembali menasehatkan : “Hatimu adalah wadah itu. perasaanmu adalah tempat itu. kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

    Keduanya lalu beranjak pulang, dan sama-sama belajar pada hari itu. Dan pak tua, si orang bijak itu kembali menyimpan serbuk pahit, untuk anak muda lain yang sering datang kepadanya membawa keresahan jiwa.

    ***

    (Diambil dari artikel kiriman sdr. Oki)

     
  • erva kurniawan 1:43 am on 15 September 2014 Permalink | Balas  

    Berhenti Meragukan Diri Sendiri 

    semangat2Berhenti Meragukan Diri Sendiri

    Apakah anda seringkali mempertanyakan kemampuan dan/atau menilai diri sebagai seseorang? Jika ya, anda mungkin tengah mengalami rendah self esteem dan kepercayaan diri.

    Ada banyak orang yang tidak menyadari potensi dirinya dan mungkin anda salah satunya. Alih-alih memfungsikan dengan cara yang produktif, anda sibuk memperingatkan diri sendiri betapa sia-sianya dan tertekan hidup seperti ini.

    Self esteem menunjukkan berapa banyak orang mencintai, percaya dan bangga pada diri sendiri. Untuk beberapa alasan, beberapa orang melihat kehidupan dalam dua dimensi cara dan memiliki kesulitan menemukan kembali kualitas dalam diri mereka, dan dalam beberapa kasus lain, kehidupan menjadi tidak berarti.

    Sebagian besar orang meragukan diri sendiri dalam aspek tertentu dari kehidupan mereka. Misalnya mereka yang kurang percaya diri dalam penampilan mereka mungkin akan menemukannya sangat sulit bertahan dalam kehidupan sosial.

    Rendahnya self esteem dapat diakibatkan dari berbagai keadaan. Dalam konteks sosial, anda mungkin berhubungan dengan sekelompok orang yang terus-menerus merendahkan anda. Karena ada banyak faktor yang memicu self esteem yang rendah, sebenarnya setiap orang cenderung merasa ragu terhadap diri sendiri meskipun beberapa situasi lebih bahaya dibanding yang lain.

    Berikut lima cara meningkatkan self esteem:

    • Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain

    Ingat bahwa semua kita berbeda. Kita tidak semua melihat dan bertindak sama dan kita tidak dianugrahi kekayaan yang sama. Jika anda mulai membuat perbandingan dengan setiap orang, anda akan menyiksa diri sendiri dan tidak ingin melakukan sesuatu dalam proses.

    • Berhenti merendahkan diri sendiri

    Cobalah mengenal nilai-nilai diri sendiri sebagai seorang individu. Anda sangat istimewa dan anda perlu menyadari hal itu. Jika orang tidak menemukan dalam diri anda sesuatu yang menarik, itu masalah mereka. Ada banyak orang diluar sana yang akan menyukai anda seperti diri anda.

    • Buat daftar kelebihan kemampuan anda dan mencoba merealisasikannya

    Fokuskan pada sesuatu yang membuat anda istimewa atau sesuatu yang membuat seseorang nyaman dengan anda. Anda memiliki senyum atau kemampuan membuat orang tertawa. Atau mungkin anda memiliki bakat terpendam yang tidak pernah anda sadari.

    • Lebih banyak melibatkan diri

    Cobalah untuk mencari hobi yang anda sukai, bergabung dengan klub olahraga atau ikut kerja sebagai sukarelawan. Lebih banyak waktu yang anda habiskan pada sesuatu yang menstimulus anda, semakin sedikit waktu untuk merendahkan diri sendiri.

    • Bergabung dengan orang positif

    Seringkali lingkungan yang penuh ketegangan dikelilingi oleh orang yang sinis dan depresi yang hanya sedikit mendorong semangat anda. Alih-alih, bergabunglah dengan mereka yang bisa membuat anda bahagia yang benar-benar ingin membantu anda memnghormati diri sendiri.

    ***

    Kiriman Sahabat Bambang Suhartono

    source :VisionNet –

     
    • makhluklemah 11:43 am on 15 September 2014 Permalink

      Rasanya emang berat, diri ini selalu saja membandingkan dengan orang lain.

  • erva kurniawan 1:19 am on 22 July 2014 Permalink | Balas  

    Kisah Sesendok Madu 

    madu (1)Kisah Sesendok Madu (Mulailah Dari Diri Sendiri)

    Diceritakan, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji kesadaran warga kotanya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah ditetapkan membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga kota memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam pikiran seorang warga kota ( katakanlah namanya Fulan); terlintas cara untuk mengelak perintah tersebut. “Aku akan membawa sesendok penuh, tapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungiku dari pandangan mata orang lain. Sesendok air tidak akan mempengaruhi isi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota.”

    Tibalah waktu yang ditetapkan. Apa kemudian yang terjadi? Bejana itu ternyata seluruhnya berisi penuh dengan air! Rupanya seluruh warga kota berpikiran sama dengan si Fulan. Mereka mengharapkan warga kota yang lain membawa madu sambil membebaskan diri dari tanggung jawab.

    Kisah simbolik ini sering terjadi dalam berbagai kehidupan masyarakat. Idealnya memang bahwa seseorang harus memulai dari dirinya sendiri disertai dengan pembuktian yang nyata, baru kemudian melibatkan pengikut-pengikutnya.

    Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku. Aku mengajak ke jalan Allah disertai dengan pembuktian yang nyata. Aku bersama orang-orang yang mengikutiku (QS 12:108)

    Berperang atau berjuang di jalan Allah tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri, dan bangkitkanlah semangat orang-orang mukmin (pengikut-pengikutmu) (QS 4:84)

    Perhatikanlah kata-kata : “tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri”. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian susulkanlah keluargamu” Setiap orang menurut beliau adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Berarti setiap orang harus harus tampil terlebih dulu. SIkap mental yang seperti ini akan menyebabkan bejana sang raja akan penuh dengan madu, bukan air, apalagi racun.

    (Dari : Lentera Hati, M Quraish Shihab)

     
  • erva kurniawan 1:03 am on 13 July 2014 Permalink | Balas  

    Kematian Hati 

    nasehat-quran1Kematian Hati

    Banyak orang tertawa tanpa mau menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

    Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu: 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

    Kemana getarannya yang gelisah dan terluka saat televisi menyiarkan segala ‘kesombongan jahiliyah dan maksiat’? Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada Allah, dimana kau kubur dia?

    Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada izin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang Allah berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan Allah atasmu.

    ***

    Diambil dari artikel KH. Rahmat Abdullah, kiriman sdr. Oki

     
    • cheepan04 10:19 am on 15 Juli 2014 Permalink

      Jleeebb banget artikel ini.. syukron sudah mengingatkan…

  • erva kurniawan 8:36 am on 7 July 2014 Permalink | Balas  

    Kisah Seekor Burung Pipit 

    siluet burungKisah Seekor Burung Pipit

    Ketika musim kemarau baru mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengeluh pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat. Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon khabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.

    Benar, lama kelamaan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi.

    Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai terkena salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya diselaputi salju. Sampai ke tanah, salju yang menyelaputi sayapnya justru semakin bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat. Dia merintih menyesali nasibnya.

    Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lalu datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya. Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki-maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bersuara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung. Seketika itu si Burung tidak dapat bersuara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung menjadi pasrah dan berfikir bahwa dia pasti akan mati karena tak dapat bernafas.

    Namun perlahan-lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya meleleh sedikit demi sedikit oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernafas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi sepuas- puasnya.

    Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, menghulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang-nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih melekat pada bulu si burung. Setelah bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia berfikir telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.

    Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gelita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

    Dari kisah ini, banyak pesanan moral yang dapat dimanfaatkan sebagai pelajaran:

    Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu sesuai buat kita. Baik dan buruknya penampilan, jangan dijadikan sebagai satu- satunya ukuran. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang boleh berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya. Ketika kita baru mendapat kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak menyesal kelak. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 8:23 am on 7 June 2014 Permalink | Balas  

    Mandikan Aku, BUnda 

    ibu dan  anakMandikan Aku, Bunda

    Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di University Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang “setara ” dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

    Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai Staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah “alif” dan huruf terakhir “ya”, jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.

    Saya pernah bertanya , ” Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?”

    Dengan sigap Rani menjawab: ” Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok.”

    Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya.

    “Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini “dapat memahami” orang tuanya.

    Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.

    Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. ” Alif ingin bunda mandikan.” Ujarnya.

    Karuan saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan,” Bunda, mandikan Alif?” begitu setiap pagi.

    Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.

    Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ” Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency”.

    Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Alloh SWT sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.

    Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ” Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif.” Ucapnya lirih, namun teramat pedih.

    Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, “Ini sudah takdir, iya kan ? Aku disebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ? “. Saya diam saja mendengarkan. “Ini konsekuensi dari sebuah pilihan.” lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani tertunduk. ” Aku ibunya !” serunya kemudian, ” Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif”. Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah ?..

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 8:00 am on 27 May 2014 Permalink | Balas  

    Lelaki dan Air Mata 

    muslimat-air-mata1Lelaki dan Air Mata

    Rasanya mungkin aneh sewaktu saya mengatakan pada seseorang “Ayolah kawan, menangislah, Jangan simpan tangismu kalau memang ada yang ingin kamu tangisi”. Mungkin (lagi !) hal tersebut tidak akan menjadi aneh kalau saya mengatakan hal tersebut pada seorang teman wanita, tapi masalahnya saya mengatakannya pada seorang teman lelaki. Namun, apakah pendapat seperti itu memang benar ataukah salah ? Tapi satu hal yang pasti, saya mengatakan hal tersebut bukan lantaran ingin menunjukkan saya lebih tegar dibanding dia dan ingin menunjukkan kelemahannya, atau biar saya bisa berbicara “ternyata dia seorang yang cengeng” atau pendapat-pendapat yang bertendensi melemahkan kaum lelaki lainnya. Tentu saya tidak berani, sebab dia ataupun kaum lelaki lainnya pasti tidak menyukai hal tersebut dan saya pasti akan mendapatkan kritik yang begitu banyak.

    Ya, saya berbicara seperti itu pada teman saya karena saya merasa bahwa airmata itu bukan hanya milik kaum hawa saja, dan ini diperkuat oleh tazkiah dari sesorang yang dimuat disalah satu majalah ibukota.

    Airmata hanya bisa keluar dari kehalusan perasaan ketika bersentuhan dengan hal-hal yang mengusik hati nurani kita. Tangis dan airmata tidak lantas identik dengan wanita. Namun demikian, bukan berarti lelaki itu makhluk yang tidak punya perasaan, cuma kadarnya saja yang berbeda. Yang jelas, secara umum laki-laki itu lebih “miskin” perasaannya dari pada wanita.

    Lelaki yang gampang menangis juga bukan lelaki banci, dan tentu saja predikat ini sungguh sangat merendahkan derajat dan martabatnya serta sangat menyinggung harga dirinya sebagai makhluk yang (maaf) superior, sehingga menangis adalah hal yang tabu dan pantangan bagi laki-laki. Maka, sebagai laki-laki harus tahan dalam situasi apapun, jangan sampai ada butir-butir bening yang menetes dikedua pipinya, apalagi sampai dilihat orang lain.

    Kurang proporsionalnya laki-laki dalam memandang tangis dan airmata ini pada akhirnya akan menjadikan kaum lelaki bertambah “miskin” kehidupan emosionalnya. Sehingga sosok yang tampak adalah sosok yang kaku, penuh dengan perhitungan-perhitungan, matematis dan jauh dari sosok yang lembut hati.

    Lelaki boleh menangis dan tetesan air matanya bukan sesuatu hal yang tabu untuk disaksikan, selama tangisannya bukan karena kecengengan, tapi menunjukkan betapa halus dan lembutnya persaan yang ia miliki. Kehalusan dan kelembutan perasaan ini, sama sekali tidak akan mengurangi sosok pribadi yang tegar dan tegas, tapi justru akan menjadian ia sebagai sosok pribadi yang ideal untuk dijadikan teladan bagi orang lain. Sebab kehalusan dan kelembutan perasaan akan menghasilkan sikap sabar, sedangkan ketegaran dan ketegasan akan menghasilkan sifat benar, sementara sabar dan benar adalah dua pilar yang harus dimiliki oleh laki-laki yang ingin sukses menjalankan fungsi ke-qowam-annya.

    Memupuk sikap benar dengan mengenyampingkan sifat sabar, menyebabkan sayap’ ke-qowam-an menjadi tidak seimbang. Mengasuh kehalusan, kelembutan, dan kepekaan rasa, sebenarnya bukan hanya untuk kaum wanita, sebab dalam batas yang proposional menjadi hal yang harus dimiliki juga oleh laki-laki.

    Misalnya dalam hal kewajibannya mendidik wanita yang menjadi istrinya, maka mau tidak mau dia harus menyelami kehidupan emosional dan karekteristik perasaan istrinya, sehingga dia akan mampu ‘mengendalikan’ istrinya itu. apalagi bila istrinya itu memiliki karekteristik yang khas dan sedikit ‘rumit’, tentu saja ini semua membutuhkan kepekaan rasa.

    Demikian juga tangis dan air mata, bukan hanya milik wanita, tapi juga milik laki-laki. Maka, jangan simpan tangismu wahai lelaki, bila ada sesuatu yang membuat kau ingin menangis, sebab tangis tidak selamanya identik dengan kecengengan kalau itu benar keluar dari kehalusan dan kelembutan rasa. sementara kehalusan dan kelembutan rasa bukan hanya milik kaum wanita, tapi juga milik lelaki, sebab adalah sesuatu yang universal, setiap orang pasti punya meski dengan kadar yang bebeda.

    Wallahu A’lam bisshawab. Semoga bermanfaat, amin.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 7:25 am on 13 May 2014 Permalink | Balas  

    Orang Bodoh yang Pegang Peranan 

    kerja keras 2Orang Bodoh yang Pegang Peranan

    1. Orang bodoh sulit dapat kerja, akhirnya di bisnis. Agar bisnisnya berhasil, tentu dia harus rekrut orang Pintar. Walhasil Bosnya orang pintar adalah orang bodoh.
    2. Orang bodoh sering melakukan kesalahan, maka dia rekrut orang pintar yang tidak pernah salah untuk memperbaiki yang salah. Walhasil orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk keperluan orang bodoh.
    3. Orang pintar belajar untuk mendapatkan ijazah untuk selanjutnya mendapatkan kerja. Orang bodoh berpikir secepatnya mendapatkan uang untuk membayari proposal yang diajukan orang pintar.
    4. Orang bodoh tidak bisa membuat teks pidato, maka disuruh orang pintar untuk membuatnya.
    5. Orang bodoh kayaknya susah untuk lulus sekolah hukum (SH). Oleh karena itu orang bodoh memerintahkan orang pintar untuk membuat undang-undangnya orang bodoh.
    6. Orang bodoh biasanya jago cuap-cuap jual omongan, sementara itu orang pintar percaya. Tapi selanjutnya orang pintar menyesal karena telah mempercayai orang bodoh. Tapi toh saat itu orang bodoh sudah ada diatas.
    7. Orang bodoh berpikir pendek untuk memutuskan sesuatu di dipikirkan panjang-panjang oleh orang pintar, walhasil orang orang pintar menjadi staffnya orang bodoh.
    8. Saat bisnis orang bodoh mengalami kelesuan, dia PHK orang-orang pintar yang berkerja. Tapi orang-orang pintar DEMO, Walhasil orang-orang pintar “meratap-ratap” kepada orang bodoh agar tetap diberikan pekerjaan.
    9. Tapi saat bisnis orang bodoh maju, orang pinter akan menghabiskan waktu untuk bekerja keras dengan hati senang, sementara orang bodoh menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan keluarganya.
    10. Mata orang bodoh selalu mencari apa yang bisa dijadikan duit. Mata orang pintar selalu mencari kolom lowongan perkerjaan.
    11. Bill Gates (Microsoft), Dell, Hendri (Ford), Thomas Alfa Edison, Tommy Suharto, Liem Siu Liong (BCA group). Adalah orang-orang bodoh (tidak pernah dapat S1) yang kaya. Ribuan orang-orang pintar bekerja untuk mereka. Dan puluhan ribu jiwa keluarga orang pintar bergantung pada orang bodoh.

    PERTANYAAN:

    1. Jadi mending jadi orang pinter atau orang bodoh??
    2. Pinteran mana antara orang pinter atau orang bodoh??
    3. Mulia mana antara orang pinter atau orang bodoh??
    4. Susah mana antara orang pinter atau orang bodoh??

    Kesimpulan:

    1. Jangan lama-lama jadi orang pinter, lama-lama tidak sadar bahwa dirinya telah dibodohi oleh orang bodoh.
    2. Jadilah Orang bodoh yang pinter dari pada jadi orang pinter yang bodoh.
    3. Kata kunci nya adalah “resiko” dan “berusaha”, karena orang bodoh perpikir pendek maka dia bilang resikonya kecil, selanjutnya dia berusaha agar resiko betul-betul kecil. Orang pinter perpikir panjang maka dia bilang resikonya besar untuk selanjutnya dia tidak akan berusaha mengambil resiko tersebut. Dan mengabdi pada orang bodoh.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 12 May 2014 Permalink | Balas  

    Kakek Tua Pedagang Tali Sepatu dan Koran 

    pedagang tuaKakek Tua Pedagang Tali Sepatu dan Koran

    Jatinangor, tepatnya Universitas Padjadjaran adalah almamaterku, tempatku menimpa ilmu dan sebagai langkah awal mencapai asaku. Tak jauh berbeda memang dengan aktivitas di kampus lain dengan segala hiruk-pikuk lalu lalang para mahasiswanya. Jatinangor pun kini menjadi daerah pendidikan yang semakin mengalami perkembangan mengikuti zaman. Kultur dan pola pikir masyarakatnya pun kini mulai mengalami perubahan ke arah yang lebih dinamis, tidak hanya terpaku kepada pemikiran yang kolot semata. Namun, apakah daerah ini masih menjadi surga bagi warganya. Tidak ada yang dapat memastikan akan hal itu.

    Diperjalan menuju kampus, mataku kini terpaku pada satu sudut kampus yang mulai ramai oleh tukang ojeg yang menawarkan jasanya. Disisi lain aku melihat seorang kakek tua yang terlihat begitu sayup, namun semangatnya terus saja melekat pada diri kakek itu. Perlahan ku dekati kakek tua itu dan ternyata kakek tua itu sedang berdagang tali sepatu yang menurutku memiliki peluang yang sangat kecil untuk mendapatkan keuntungan. Namun, kakek tu yang selalu memakai topi ini selalu saja berusaha dan baginya dia rela melakukan apapun demi keluarganya.

    Setelah ditelusuri, kakek tua ini menghabiskan waktunya di Jatinangor menjajakan dagangannya hanya untuk bekal keluarganya. Dia tidak akan pulang kampong sampai dia mendapatkan penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Aku pun memutuskan untuk membeli sepasang tali sepatu itu walaupun tali sepatuku masih terlihat bagus. Namun, apa salahnya membeli sebagai cadangan nantinya.

    Tadinya aku mau berbincang banyak dengan si kakek itu, namun waktu telah memaksaku untuk berpisah karena harus mengikuti perkuliahan yang lumayan padat. Rencananya aku mau mewawancarai kakek itu dilain waktu yang luang. Semoga pengalaman beliau bisa menjadi hikmah tersendiri bagi diriku pada khususnya dan teman-temanku pada umumnya. Sesampainya di kelas, aku menceritakan kejadian yang telah menimpaku kepada teman-temanku. Mereka pun merasa iba dan terharu mendengar cerita tentang si kakek itu.

    Waktu istirahat pun tiba, aku pun memutuskan untuk makan di kantin bersama teman-temanku. Setelah tiba di kantin ada hal aneh yang terjadi, aku melihat kakek tua yang tadi ada di gerbang lama Unpad. Aku heran dan memastikan apakah beliau kakek yang tadi pagi digerbang. Setelah aku bertanya, ternyata memang benar kakek itu adalah pedagang tali sepatu yang tadi pagi. Namun, kali ini kakek tua itu beralih profesi menjadi pedagang Koran. Seperti biasanya, dengan semangat yang pantang menyerah kakek itu menjajakan dagangannya dengan yakin dan kalimat persuasi para pelanggannya. Teman-temanku pun terbengong dan kagum kepada kakek tua itu, di usianya yang sudah renta yang seharunya menikmati masa tuanya masih saja bekerja demi kepentingan keluarganya.

    Salah satu temanku bertanya pada kakek itu tentang anaknya dan seharusnya anaknya yang menggantikan posisi si kakek. Namun, dengan legowo dan bijak kakek tua itu menjawab “selama masih bisa berjalan dan memiliki nikmat kesehatan, kakek masih mau membantu keluarga”. Lagi pula, anak-anaknya juga memiliki bebannya masing-masing karena semuanya sudah berumah tangga. Kondisi ekonomi juga mendesak si kakek untuk berusaha lebih di usianya kini yang tidak muda lagi. Akhirnya, percakapan kami dengan si kakek pun berakhir karena aku dan teman-temanku harus kembali kuliah. Salah satu temanku memborong Koran yang dijajakan kakek tua itu. Katanya sih untuk dibagikan juga untuk teman-temannya yang lain. Sang kakek pun tersenyum tanda terima kasih dengan bibir yang merekah.

    Semoga kita dapat mengambil hikmah kehidupan yang lebih baik. Aaamiin.

    ***

    Sumber: sahabat kaskus

     
  • erva kurniawan 5:30 am on 7 May 2014 Permalink | Balas  

    Kata Bijak Orang Besar 

    itikafKata Bijak Orang Besar

    RASULULLOH SAW :

    “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan kerjakanlah apa yang tidak meragukanmu.”

    ALI BIN ABI THALIB RA :

    “Senangkanlah hati dari waktu ke waktu sebab apabila hati itu dibuat benci, maka dia akan menjadi buta.”

    ALI SHARIATI mengutip SHANDEL :

    “Bahaya yang paling besar yang dihadapi umat manusia pada zaman sekarang bukanlah ledakan bom atom, tapi perubahan fitrah.”

    JALALUDIN RUMI :

    “Mata hati punya kemampuan tujuh puluh kali lebih besar untuk melihat kebenaran daripada dua indera penglihatan.”

    AL HIMAONE :

    “Cinta sejati hanya terlahir dari kesucian hati.”

    UMAR BIN KHATTAB RA :

    “Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.”

    UTSMAN BIN AFFAN RA :

    “Antara tanda-tanda orang bijaksana itu ialah kedua matanya menangis karena penyesalan (terhadap dosa).”

    HAMID AL LAQQAF :

    “Kucari kaya pada gelimang benda, namun kutemukan pada sikap menerima apa adanya.”

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 2:24 am on 27 April 2014 Permalink | Balas  

    Jagung 

    jagungJagung

    Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunannya.

    “Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?” tanya sang wartawan.

    “Tak tahukah anda?,” jawab petani itu. “Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”

    Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 5:55 am on 25 April 2014 Permalink | Balas  

    Kuberikan Saat Masih Hidup 

    restianti-siluetKuberikan Saat Masih Hidup

    Suatu ketika seorang yang sangat kaya bertanya kepada temannya.

    “Mengapa aku dicela sebagai orang yang kikir? Padahal semua orang tahu bahwa aku telah membuat surat wasiat untuk mendermakan seluruh harta kekayaanku bila kelak aku mati.”

    “Begini,” kata temannya, akan kuceritakan kepadamu tentang kisah babi dan sapi.

    Suatu hari babi mengeluh kepada sapi mengenai dirinya yang tidak disenangi manusia.

    “Mengapa orang selalu membicarakan kelembutanmu dan keindahan matamu yang sayu itu, tanya babi. Memang kau memberikan susu, mentega dan keju. Tapi yang kuberikan jauh lebih banyak. Aku memberikan lemak, daging, paha, bulu, kulit. Bahkan kakiku pun dibuat asinan! Tetapi tetap saja manusia tak menyenangiku. Mengapa?”

    Sapi berpikir sejenak dan kemudian menjawab, “Ya, mungkin karena aku telah memberi kepada manusia ketika aku masih hidup.”

    ***

    “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dan dengarlah dan taatilah, serta dan nafkahkanlah (hartamu) Itulah yang lebih baik untuk dirimu. Dan barang siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung” – (At Taghaabun – QS 64:16)

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:31 am on 18 April 2014 Permalink | Balas  

    Mengangkasa Sendiri 

    malamMengangkasa Sendiri

    Malam belum larut saat sebuah cahaya lemah bergerak. Sebuah bintang kecil melaju tenang membelah langit malam. Melewati deretan bintang lain yang terpaku. Pelan tapi pasti ia bergerak. Gerakan yang terlihat pelan dalam keanggunannya, meski dalam perhitungan matematik bisa jadi lebih cepat dari Titanic sekalipun.

    Sungguh kekuatan yang luar biasa yang mampu mengerek bintang “kecil” di angkasa yang luas. Sumber energi yang tiada pernah habis. Tenaga yang tak akan lekang dan berkurang. Allah-lah pemilik energi itu. Bintang yang terlihat sebagai berkas cahaya kecil dianugerahi Allah energi untuk berpindah. Dan tanpa membantah ia pun patuh. Ia hijrah dari tempatnya semula menuju tempat lain yang asing. Meski ia tak tahu harus berhenti dimana, tapi itu tak menyurutkan langkahnya. Dengan ketaatan penuh ia melaju hingga berkas cahayanya menghilang di kerimbunan dedaunan. Ketaatan penuh sebagai seorang hamba.

    Hamba Allah lainnya tercatat pernah melakukan perjalanan yang sama. Ibrahim alaihi salam pernah melakukan perjalanan amat panjang bersama Luth alaihi salam dan Sarah, istrinya. Mereka menyusuri gurun tandus yang membentang luas di tepi Asia hingga Afrika. Melintasi perbatasan Yerusalem, Syiria, Mekah, hingga ke Mesir. Terselimuti debu padang pasir dan terjangan terik mentari yang menyengat. Namun dengan teguh mereka patuh. Berbagi suka dan duka bersama tiupan angin gurun.

    Semangat yang luar biasa. Tercelup keimanan kental menghapus segala rintangan menjadi jalan meraih cinta Illahi. Banyak sudah peristiwa yang terjadi. Bentuk-bentuk ketaatan yang tercermin pada pribadi mempesona. Penuh pelajaran. Bagai cermin tempat memandang dan menilai diri sendiri. Hijrahnya Ibrahim as diteruskan hingga Utsman bin Affan ra contoh nyata akan jiwa-jiwa yang tersibghoh keimanan kepada Allah. Allah pemilik segala kuasa. Maha Penyantun. Sebaik-baik pemberi rizki. Kepada-Nyalah segala bentuk ketaatan dipersembahkan. Apapun yang kita alami adalah skenario dari Nya. Baik itu sesuatu yang baik ataupun yang buruk dalam pandangan kita. Yakinlah selalu tak ada yang sia-sia. Ada hikmah di setiap peristiwa. Tak ada satupun yang terlewati. Karena tak ada pemberi balasan yang paling baik selain Allah. Dia-lah yang memiliki alam ini sendirian. Dan sesungguhnya karena Dia pulalah yang mengangkasa sendiri.

    Yupik Astuti – eramuslim

     
  • erva kurniawan 4:15 am on 7 April 2014 Permalink | Balas  

    Bicaralah dengan Bahasa Hati 

    kaya hatiBicaralah dengan Bahasa Hati

    Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal dari hati anda.

    Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula. Kesuksesan bukan semata-mata betapa keras otot dan betapa tajam otak anda, namun juga betapa lembut hati anda dalam menjalani segala sesuatunya.

    Anda tak kan dapat menghentikan tangis seorang bayi hanya dengan merengkuhnya dalam lengan yang kuat. Atau, membujuknya dengan berbagai gula-gula dan kata-kata manis. Anda harus mendekapnya hingga ia merasakan detak jantung yang tenang jauh di dalam dada anda.

    Mulailah dengan melembutkan hati sebelum memberikannya pada keberhasilan anda.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 16 March 2014 Permalink | Balas  

    Bukti Nyata Azab Allah 

    tugu LegetangBukti Nyata Azab Allah

    Ini merupakan kisah nyata, semoga bisa diambil hikmahnya. Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum mengetahuinya. Kisah ini hendaknya menjadi ibroh, bahwa apabila suatu daerah bermaksiat semua, bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.

    “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16).

    Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara.

    Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan “istidraj” (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan). Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian di sana merajalela, begitu pula minum-minuman keras (yang sangat cocok untuk daerah dingin). Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan). Anak yang kawin sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh Legetang.

    Alkisah pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara “buum”, seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang.

    Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati.

    Gegerlah kawasan dieng. Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah?

    Kini diatas bukit bekas dukuh Legetang dibuat tugu peringatan. Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam: “TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955”

    Allah Maha Besar. Jika Anda dari daerah Dieng menuju ke arah (bekas) dukuh Legatang maka akan melewati sebuah desa bernama Pakisan. Sepanjang jalan itu Anda mungkin akan heran melihat wanita-wanitanya banyak yang memakai jilbab panjang dan atau cadar. Memang sejak dulu masyarakat Pakisan itu masyarakat yang agamis, bertolak belakang dengan dukuh Legetang, tetangga desanya yang penuh dengan kemaksiatan.

    QS 6: 44. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. “Jika kamu mendapatkan banyak kesenangan dan kenikmatan,padahal kamu banyak bermaksiat, maka berhati hatilah, sesungguhnya Allah hendak menghinakan kamu setelahnya ” ( Hadits)

     
  • erva kurniawan 2:02 am on 21 February 2014 Permalink | Balas  

    Optimisme 

    kerja kerasOptimisme

    Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.

    Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.

    Di samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme merupakan pemicu agar kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada kekosongan setelah satu bidang terpenuhi (QS Asy-Syarh: 7).

    Rasulullah Saw mengajak umatnya agar terus-menerus bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau, “Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali, kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual, sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak.” (HR Bukhari).

    Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam. Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita lakukan, Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal nyata. Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep belum berwujud aksi.

    Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian. Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. “Sesungguhnya kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia,” demikian kata Muhammad Abduh.

    ***

    Diambil dari Refleksi Republika

     
  • erva kurniawan 8:21 am on 8 February 2014 Permalink | Balas  

    Mulailah Memberi 

    pengemisMulailah Memberi

    Bila tak seorang pun berbelas kasih pada kesulitan anda. Atau, tak ada yang mau merayakan keberhasilan anda. Atau tak seorang pun bersedia mendengarkan, memandang, memperhatikan apa pun pada diri anda. Jangan masukkan ke dalam hati.

    Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri. Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri. Anda tak perlu memasukkan itu ke dalam hati. Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah anda.

    Ringankan hidup anda dengan memberi pada orang lain. Semakin banyak anda memberi semakin mudah anda memikul hidup ini. Berdirilah di depan jendela, pandanglah keluar. Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa anda berikan pada dunia ini. Pasti ada alasan kuat mengapa anda hadir di sini. Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung anda.

    Keberadaan anda bukan untuk kesia-siaan.

    Bahkan seekor cacing pun dihidupkan untuk menggemburkan tanah. Dan, sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung. Alangkah hebatnya anda dengan segala kekuatan yang tak dimiliki siapapun untuk mengubah dunia. Itu hanya terwujud bila anda mau memberikannya.

    ***

    Diambil dari artikel IA-WIKUSUMA, kiriman sdr. Pitoyo

     
  • erva kurniawan 7:21 am on 5 February 2014 Permalink | Balas  

    Kesombongan Macam Apa? 

    sombongKesombongan Macam Apa?

    Sebuah kapal karam diterjang badai hebat. Hanya dua lelaki yang bisa menyelamatkan diri dan berenang ke pulau kecil yang gersang. Dua orang yang selamat itu tak tahu apa yang harus dilakukan kecuali berdoa. Untuk mengetahui doa siapakah yang paling dikabulkan, mereka sepakat membagi pulau kecil itu menjadi dua dan mereka tinggal berseberangan di sisi-sisi pulau tsb.

    Doa pertama, mereka memohon diturunkan makanan. Esok harinya, lelaki ke satu melihat sebuah pohon penuh buah-buahan tumbuh di sisi tempat tinggalnya. Sedangkan di daerah tempat tinggal lelaki yang lainnya tetap kosong.

    Seminggu kemudian, lelaki ke satu merasa kesepian dan memutuskan berdoa agar diberikan istri. Keesokan harinya, ada kapal karam dan satu-satunya penumpang yang selamat adalah seorang wanita yang terdampar di sisi pulau tempat lelaki ke satu tinggal. Sedangkan di sisi tempat tinggal lelaki ke dua tetap saja tidak ada apa-apanya.

    Segera saja, lelaki ke satu ini berdoa memohon rumah, pakaian, dan makanan. Keesokan harinya, seperti keajaiban, semua yang diminta hadir untuknya. Sedangkan lelaki yang kedua tetap saja tidak mendapatkan apa-apa. Akhirnya, lelaki ke satu ini berdoa meminta kapal agar ia dan istrinya dapat meninggalkan pulau itu. Pagi hari mereka menemukan kapal tertambat di sisi pantainya. Segera saja lelaki ke satu dan istrinya naik ke atas kapal dan siap-siap berlayar meninggalkan pulau itu. Ia pun memutuskan meninggalkan lelaki ke dua yang tinggal di sisi lain pulau. Menurutnya, lelaki kedua itu tidak pantas menerima berkat tersebut karena doa-doanya tak pernah terkabulkan.

    Begitu kapal siap berangkat, lelaki ke satu mendengar suara dari langit,”Hai, mengapa engkau meninggalkan rekanmu yang ada di sisi lain pulau ini?”.

    “Berkatku hanyalah milikku sendiri, karena hanya doakulah yang dikabulkan,” jawab lelaki ke satu.

    “Doa temanku itu tak satupun dikabulkan. Maka,ia tak pantas mendapatkan apa-apa.”

    “Kau salah!” suara itu membahana. “Tahukah kau bahwa rekanmu itu hanya memiliki satu doa. Dan, semua doanya terkabulkan. Bila tidak, maka kau takkan mendapatkan apa-apa.”

    Lelaki ke satu itu bertanya, “Doa macam apa yang ia panjatkan sehingga aku harus berhutang atas semua ini padanya?”

    “Ia berdoa agar semua doamu dikabulkan!”

    ***

    Kesombongan macam apakah yang membuat kita merasa lebih baik dari yang lain? Banyak orang yang telah mengorbankan segala sesuatu demi keberhasilan kita. Tak selayaknya kita mengabaikan peran orang lain, dan janganlah menilai sesuatu hanya dari “yang terlihat” saja.

    Haris Satriawan

     
  • erva kurniawan 6:25 am on 31 January 2014 Permalink | Balas  

    Sepotong Maaf Untuk Mama 

    ibu dan  anakSepotong Maaf Untuk Mama

    “Ki… Tolongin mama sebentar dong.”

    Aku merungut sambil beringsut setengah malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo kuliah di Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Memang begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.

    Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke mana-mana. Mungkin mama kesepian. Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani anak-anaknya.

    “Ki, mama minta tolong dong…”

    Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh, mama….

    “Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong.”

    “Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?”

    “Iya, tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak ada. Bisa nggak kamu ambilin ?”

    Aku melongo, sering sekali mama minta tolong saat aku benar-benar sibuk. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk ! Besok ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya ada ujian akhir. Mana sempat mampir-mampir ke rumah orang? Mana sudah malam begini…

    “Aduh, Mama…. Kiki bener-bener sibuk… Besok ada ujian dan tugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi…”

    “Ya, udah kalo kamu nggak mau.”, balas mama dengan ketus. Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.

    “…Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama…”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak.

    Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu. Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama. “Iya deh Ma… Biar Kiki yang pergi…”

    Gelap. Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati. Capek rasanya harus berusaha melihat. Rumah bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam, palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada penjaganya. Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh. Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam adalah… Ah, dari sini belok kiri. Astaghfirulllah… Ternyata ditutup juga… Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya penat sekali.

    Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana. Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan masuknya. Rasanya lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekan belnya sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban. Tiga kali, empat kali, hasilnya tetap sama. Akhirnya dengan menelan setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan salam keras-keras. Dari belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Aku menangguk basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja !

    “Oh, kertas apa ya ?”, tanya bu Joko dengan mata setengah mengantuk.

    Aku jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini. Menit-menit selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang makan dan dapur. Lalu aku menelepon ke rumah. “Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?”

    “He..he…he…Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan.”

    “Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !”

    “Wah, maaf Ki… Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira…”

    “Ah, udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !” Aku lantas membanting gagang telepon dengan sedikit kejam.

    Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku dengan tatapan ngeri. Aku memaksakan sebuah senyum, minta maaf lalu pamit secepatnya. Setengah ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang percuma. Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai… Dasar mama …

    Brakkk!!! Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng yang robek. Sesaat aku semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa Lagi membedakan mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.

    Penduduk-penduduk sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika  kusentuh, rasanya lengket. Ya Allah, darah… Tubuhku lebih gemetar karena takut daripada karena sakit. “Neng, nggak apa-apa neng ?”, tanya seseorang.

    Aku berusaha berdiri walau sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan,kaki,  serta mencek apakah semuanya masih ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah. Aku menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku tidak melihatnya sama sekali tadi !

    “Neng, nggak apa-apa ?”, ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku lalu mengucap istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku…Aku langsung tak sadarkan diri.

    Ketika tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku… Ya Allah, sakit sekali….

    “Udah, Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyak istirahat.” Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah katapun. Mama ikut menangis mendengar rintihanku. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada tulang yang patah,tidak ada luka dalam. Hanya satu, lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi. Akibatnya lidahku harus dijahit. Sayangnya tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber lagi. Yang langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Allah…

    Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat. Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik, sepertinya nyawaku dirobek. Dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong tanpa bisa melawan. Kata dokter kalau lukanya di tempat lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika lukanya di lidah. Hari-hari selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah, tugas atau ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerit tiap ada benda yang harus melewati mulutku.

    Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku. Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang aku perlukan. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku tuliskan, “Mama, maafkan Kiki…”

    Mama juga sudah berkali-kali mengatakan telah memaafkan aku. Tapi tetap  saja rasa bersalah itu tak kunjung hilang. Ini benar-benar peringatan keras dari Allah. Aku benar-benar malu. Walau aktif di kegiatan keagamaan, ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat bagaimana cara aku memperlakukan mama.

    Bagaimana mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah menyusahkannya seumur hidup ? Allah, ampuni aku… Aku benar-benar telah menzhalimi diriku sendiri…. Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka…. Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah.

    Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil. Himpitan penyesalan itu baru hilang ketika kata-kata itu berhasil kuucapkan walau patah-patah. “Mama… Maafkan Kiki…”

    ***

    Diambil dari tulisan Ariyanti Pratiwi, Matematika ’99 ITB, kiriman sdr. Andry Irawan,

     
  • erva kurniawan 2:26 am on 22 January 2014 Permalink | Balas  

    Rumah Seribu Cermin 

    rumah21Rumah Seribu Cermin

    Dahulu, di sebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah rumah yang dikenal dengan nama “Rumah Seribu Cermin.”

    Suatu hari seekor anjing kecil sedang berjalan-jalan di desa itu dan melintasi “Rumah Seribu Cermin”. Ia tertarik pada rumah itu dan memutuskan untuk masuk melihat-lihat apa yang ada di dalamnya. Sambil melompat-lompat ceria ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu depan. Telinga terangkat tinggi-tinggi. Ekornya bergerak-gerak secepat mungkin. Betapa terkejutnya ia ketika masuk ke dalam rumah, ia melihat ada seribu wajah ceria anjing-anjing kecil dengan ekor yang bergerak-gerak cepat. Ia tersenyum lebar, dan seribu wajah anjing kecil itu juga membalas dengan senyum lebar, hangat dan bersahabat. Ketika ia meninggalkan rumah itu, ia berkata pada dirinya sendiri, “Tempat ini sangat menyenangkan. Suatu saat aku akan kembali mengunjunginya sesering mungkin.”

    Sesaat setelah anjing itu pergi, datanglah anjing kecil yang lain. Namun, anjing yang satu ini tidak seceria anjing yang sebelumnya. Ia juga memasuki rumah itu. Dengan perlahan ia menaiki tangga rumah dan masuk melalui pintu. Ketika berada di dalam, ia terkejut melihat ada seribu wajah anjing kecil yang muram dan tidak bersahabat. Segera saja ia menyalak keras-keras, dan dibalas juga dengan seribu gonggongan yang menyeramkan. Ia merasa ketakutan dan keluar dari rumah sambil berkata pada dirinya sendiri, “Tempat ini sungguh menakutkan, aku takkan pernah mau kembali ke sini lagi.”

    Semua wajah yang ada di dunia ini adalah cermin wajah kita sendiri. Wajah bagaimanakah yang tampak pada orang-orang yang anda jumpai?

    (Japanese Folktale)

    Hikmah:

    1. Bukan dengan siapa Anda bergaul, tetapi bagaimana Anda bergaul.

    Jika Anda tidak pernah ngobrol dengan preman di dekat rumah Anda, ketahuilah bahwa Nabi saw mengajak preman Makkah (mis: Umar bin Khattab, Rukanah sang pegulat) masuk Islam. Ketika Anda mengaplikasikan Islam dengan baik, insya Allah akan Anda temukan sekitar Anda menjadi baik. Kata ust. Al Hudaibi (kira-kira): Dirikan Islam dalam hatimu, maka ia akan berdiri di negaramu.

    2. Jangan lupa: rumah kaca kita ada dua: Dunia dan akhirat. Buat apa termasyhur di kalangan penduduk dunia, jika dipandang hina oleh penduduk langit? Kita harus bergaul dengan penduduk dunia dan beribadah kepada Allah secara baik, dan pada keduanya ada cara-caranya sendiri.

    3. Bagi yang belum menikah: pernahkah Anda berdoa meminta istri/suami yang rajin tahajjud, rajin tilawah, dsb? Lihatlah cermin Anda! Jika Anda temukan bayangan yang rajin, kira-kira begitulah nanti pasangan hidup Anda. Sebaliknya jika Anda temukan bayangan seorang pemalas, banyak tidur, banyak menghamburkan waktu dsb, kira-kira begitu jugalah pasangan Anda. Allah tidak akan berlaku dzalim kepada Anda dan pasangan Anda. Tetapi jangan pesimis. Kita masih bisa memperbaiki diri asal memulainya sekarang juga

    4. Sabda nabi saw: Senyummu pada wajah saudaramu adalah shadaqah….. Jadi jangan pelit ya :)))

    Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu ‘alam bi Showab Wal Hamdulillah Awalan wa Akhiron

    ***

    Dari Sahabat: Annisa Riyanti

     
  • erva kurniawan 2:24 am on 20 January 2014 Permalink | Balas  

    Dilema Pengambilan Keputusan 

    pengadilanDilema Pengambilan Keputusan

    Cerita dibawah cukup menarik dan benar-benar memberikan kita sebuah gambaran tentang PENGAMBILAN KEPUTUSAN. Manakah yang akan Anda pilih?

    Sekelompok anak kecil sedang bermain di dekat dua jalur kereta api. Jalur yang pertama adalah jalur aktif (masih sering dilewati KA), sementara jalur kedua sudah tidak aktif. Hanya seorang anak yang bermain di jalur yang tidak aktif (tidak pernah lagi dilewati KA), sementara lainnya bermain di jalur KA yang masih aktif.

    Tiba-tiba terlihat ada kereta api yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Kebetulan Anda berada di depan panel persimpangan yang mengatur arah KA tersebut. Apakah Anda akan memindahkan arah KA tersebut ke jalur yang sudah tidak aktif dan menyelamatkan sebagian besar anak kecil yang sedang bermain??? Namun hal ini berarti Anda mengorbankan seorang anak yang sedang bermain di jalur KA yang tidak aktif. Atau Anda akan membiarkan kereta tersebut tetap berada di jalur yang seharusnya?

    Mari berhenti sejenak dan berpikir keputusan apa yang sebaiknya kita ambil???

    Sebagian besar orang akan memilih untuk memindahkan arah kereta dan hanya mengorbankan jiwa seorang anak. Anda mungkin memiliki pilihan yang sama.

    Saya-pun mempunyai pilihan demikian karena dengan menyelamatkan sebagian besar anak dan hanya kehilangan seorang anak adalah sebuah keputusan yang rasional dan dapat disyahkan baik secara moral maupun emosional.

    Namun sadarkah Anda bahwa anak yang memilih untuk bermain di jalur KA yang sudah tidak aktif, berada di pihak yang benar karena telah memilih untuk bermain di tempat yang aman? Disamping itu, dia harus dikorbankan justru karena kecerobohan teman-temannya yang bermain di tempat berbahaya.

    Dilema semacam ini terjadi di sekitar kita setiap hari. Di kantor, di masyarakat, di dunia politik dan terutama dalam kehidupan demokrasi, pihak minoritas harus dikorbankan demi kepentingan mayoritas. Tidak peduli betapa bodoh dan cerobohnya pihak mayoritas tersebut.

    Nyawa seorang anak yang memilih untuk tidak bermain bersama teman-temannya di jalur KA yang berbahaya telah dikesampingkan. Dan bahkan mungkin tidak kita tidak akan menyesalkan kejadian tersebut.

    Seorang teman yang men-forward cerita ini berpendapat bahwa dia tidak akan mengubah arah laju kereta karena dia percaya anak-anak yang bermain di jalur KA yang masih aktif sangat sadar bahwa jalur tersebut masih aktif. Akibatnya mereka akan segera lari ketika mendengar suara kereta mendekat.

    Jika arah laju kereta diubah ke jalur yang tidak aktif maka seorang anak yang sedang bermain di jalur tersebut pasti akan tewas karena dia tidak pernah berpikir bahwa kereta akan menuju jalur tersebut.

    Disamping itu, alasan sebuah jalur KA dinonaktifkan kemungkinan karena jalur tersebut sudah tidak aman. Bila arah laju kereta diubah ke jalur yang tidak aktif maka kita telah membahayakan nyawa seluruh penumpang di dalam kereta. Dan mungkin langkah yang telah ditempuh untuk menyelamatkan sekumpulan anak dengan mengorbankan seorang anak, akan mengorbankan lagi ratusan nyawa penumpang di kereta tersebut.

    Kita harus sadar bahwa HIDUP penuh dengan keputusan sulit yang harus dibuat. Dan mungkin kita tidak akan menyadari bahwa sebuah keputusan yang cepat tidak selalu menjadi keputusan yang benar.

    “Ingatlah bahwa sesuatu yang benar tidak selalu populer dan sesuatu yang populer tidak selalu benar”.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:05 am on 19 January 2014 Permalink | Balas  

    Persimpangan Hidup 

    berjalan menapakiPersimpangan Hidup

    Bagi mukmin sejati, hidup adalah jalan menuju keabadian akhirat. Maka, berjuang dan bekerja keras adalah harga yang harus dibayarkan guna mencapainya. Namun, ketahuilah, sesungguhnya di setiap tempat dan waktu akan selalu ada persimpangan-persimpangan hidup yang memaksa kita untuk menentukan pilihan: terus berada pada jalan menuju keabadian itu atau berbelok mencari jalan pintas. Ya, jalan pintas yang mungkin lebih mulus, lebih cepat, lebih nikmat dan lebih menggiurkan namun sebenarnya cuma fatamorgana. Haruskah kita korbankan hidup yang begitu berharga guna mengejar fatamorgana?

    Seorang pegawai rendahan mungkin dihadapkan pada persimpangan: bergegas datang di pagi hari karena berpikir bekerja adalah amanah atau bermalas-malas saja toh gaji tidak seberapa. Seorang pedagang mungkin dihadapkan pada persimpangan: berlaku jujur dalam takaran atau mencurangi sedikit untuk memperbesar keuntungan. Seorang istri mungkin dihadapkan pada persimpangan: berterusterang dalam menyisihkan uang belanja untuk ibunya atau diam-diam saja. Seorang politikus mungkin dihadapkan pada pilihan: menerima uang sogokan yang akan memperkaya diri dan kelompoknya atau menolaknya meski membawa konsekuensi diasingkan dan dilecehkan.

    Bagi mukmin sejati, persimpangan hidup hanyalah seonggok batu ujian keimanan. Jika kita terpuruk, kita akan berada pada posisi stagnant sampai ada kesempatan persimpangan lain yang membuat kita makin terpuruk atau kembali pada derajat mulia. Wallohu’alam, kita tidak tahu persis berapa kali Allah swt memberi kesempatan ujian yang sama pada hambaNya; apakah setelah gagal di kali pertama, akan segera ada kali kedua, ketiga atau bahkan tak ada sama sekali? Yang jelas, jika kita melakukan dosa yang sama berkali-kali, maka setelah itu kita tidak lagi merasa berdosa saat melakukannya.

    Jika kita berhasil melewatinya, maka akan makin menaiklah derajat. Tapi, bisa jadi makin banyak persimpangan lain yang lebih menikung yang harus kita hadapi. Sebab, sesuai dengan janji-Nya, Allah swt akan menguji seseorang sesuai dengan tingkatannya; makin tinggi tingkat keimanannya, makin berat dan makin beragam ujiannya.

    Bagi mukmin sejati, ujian bukanlah momok yang menakutkan. Sebab, ia telah memiliki kelengkapan menghadapinya. (Yaitu) kemampuan bersabar dan bersyukur sebagai buah dari keberhasilannya melewati ujian-ujian sebelumnya. Ya, bersabar dan bersyukur adalah perangkat penting dalam menghadapi ujian dengan beragam bentuknya. Jika ujian itu berwujud sesuatu yang merujuk pada arti kesusahan, penderitaan, kesedihan, ketakutan dan sebagainya maka kunci sabar menjadi pelindung. Jika kunci ini dipakai saat menghadapi anak keras kepala, misalnya, kita akan memilih jalan tinggi. Dan jika ujian itu berwujud sesuatu yang identik dengan kesenangan, kepuasan, kenyamanan dan sebagainya, maka kunci syukur yang harus dipakai. Jika kunci ini dipakai saat menghadapi money politic, misalnya, maka kita pun akan memilih jalan tinggi.

    Sabar dan syukur memang amat diperlukan. Namun sayangnya, keduanya bukanlah anugerah yang datang begitu saja dari arsy Allah swt ke dalam dada kita. Kita perlu menatanya, sebata demi sebata, sampai ia tegak berdiri sebagai benteng yang kokoh. Kita perlu mengejanya, sekata demi sekata hingga ia terrangkai menjadi prosa nan indah. Ketahuilah, bata dan kata itu kita ambil dari ujian kecil demi ujian kecil yang kita temui dalam beragam persimpangan kecil hidup kita. Jika kita tak pernah berhasil menyimpan satu batu bata, jangan pernah berharap mampu membangun benteng nan kokoh; jika kita tak pernah memungut kata demi kata, jangan bermimpi mampu merangkai prosa nan indah. Itulah benteng atau prosa tentang kesabaran dan kesyukuran

    ***

    Diambil dari tulisan Dwi Septiawati Djafar

     
  • erva kurniawan 4:22 am on 16 January 2014 Permalink | Balas  

    Tenggelam Dalam Lautan Cinta 

    cintaTENGGELAM DALAM LAUTAN CINTA

    Yuni Mardiyanto

    **

    ABSTRACT: Cinta itu ibarat taman yang penuh bunga warna-warni. Ada yang datang menikmati keindahannya, mencium bau harumnya, dan kemudian datang lagi. Namun ada juga yang tidak ingin pulang, ia menikmati taman tersebut bahkan ingin menguasainya, padahal banyak orang lain yang juga ingin menikmatinya. Cinta itu juga bagai lautan, di sana ada gugusan karang terbentuk alamiah, warna-warni ikan hias yang luar biasa indahnya, ombak, bening, hangat dan dinginnya air laut, subhanallah…semuanya indah. Namun, ada bedanya antara orang yang berenang dengan mereka yang tenggelam di dalamnya. Karena orang yang berenang, ia sedang dalam perjalanan menuju Allah SWT, tetapi orang yang tenggelam merasa dirinya sudah sampai kepada Allah, karena itu tak perlu lagi berenang. Nah, bagaimana mungkin orang yang tenggelam dapat menikmati indahnya lautan? Nikmatilah keindahan lautan cinta itu dengan berenang, karena dengan itu cinta akan selalu memberikan potensi, energi dan semangat pada diri kita. Selamat berenang di lautan cinta-Nya ya akhi wa ukhti.

    **

    Syaikh Ali Ath-Thanthawi dalam bukunya “Rijalun min al-Tarikh” mengajak pembacanya untuk merenungi sejenak tentang kisah seorang pemuda kaya-raya yang karena tenggelam dalam lautan cinta akhirnya justru menjadi sengsara.

    Pemuda sukses yang saudagar itu pada mulanya seluruh hidupnya hanya diabdikan untuk berdagang. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, bahkan mimpinya sendiri hanyalah soal dagang. Di luar dunia dagang, ia nyaris tidak memperhatikannya. Orang tuanya mulai gundah, sebab sang putera sudah cukup umur untuk menikah, sementara ketertarikannya kepada wanita nyaris tidak ada. Berkali-kali ditawari menikah, ia menolaknya.

    Kedua orangtua pemuda itu tak putus asa. Hampir setiap hari keduanya mendatangkan wanita-wanita cantik nan terhormat di rumahnya, dengan harapan agar anaknya tertarik dan memilih salah satunya untuk dijadikan istri. Bujuk rayu orangtuanya tidak berhasil mencuri perhatian sang putera. Tak satu pun wanita-wanita cantik itu yang menarik perhatiannya.

    Namun yang mengejutkan, tiba-tiba pada di suatu hari, sang pemuda pergi ke pasar budak. Di pasar itu ia menjumpai seorang budak wanita, lalu jatuh cinta ia jatuh cinta kepada budak wanita tersebut. Setelah dibelinya budak itu lalu dibawanya pulang dan diperistrinya.

    Sejak saat itu berubahlah seluruh dimensi kehidupannya. Sang pemuda yang biasanya setiap pagi sudah pergi ke pasar dan baru larut malam ia kembali pulang, kini tidak seperti itu lagi. Ia tidak lagi mau pergi ke pasar, mengurus perdagangan dan meraup keuntungan. Ia kini hanya menyibukkan diri untuk mencintai sang isteri. Siang malam ia hanya bercumbu dengan isterinya, sampai akhirnya ia lupa segala-galanya.

    Kejadian ini tidak hanya berlangsung dalam hitungan hari dan pekan. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun terus bergerak, tapi pola kehidupan pasangan itu tidak berubah. Hingga sampai pada saatnya seluruh kekayaannya habis, bahkan perabot rumahtangga pun sudah mulai digadai.

    Ketika orang-orang sekitarnya mengingatkan agar ia kembali berdagang, ia berkomentar sederhana, “Tujuan dagang itu untuk apa? Mengejar keuntungan. Lalu jika keuntungan itu sudah diperoleh, digunakan untuk apa? Untuk memperoleh ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan. Ketahuilah, ketiganya kini telah kudapatkan pada isteriku, lalu untuk apa aku berdagang lagi?”

    Sampai akhirnya ketika sudah tidak ada lagi miliknya yang bisa dijual, kecuali rumahnya yang tinggal tiang, dinding, dan atapnya saja, ia mulai menyadari. Kesadaran yang terlambat itupun datangnya bersamaan dengan saat-saat kritis menjelang kelahiran bayi pertamanya. Ketika sang istri akan melakukan persalinan, ia sudah tidak punya apa-apa lagi, hatta ke dukun bayi sekalipun ia tak mampu membayarnya.

    Saat itulah sang isteri meminta dengan iba agar suaminya pergi mencari minyak dan peralatan persalinan. Atas permintaa itu sang suami keluar rumah, tapi sayangnya sudah tidak ada lagi orang yang dikenali.

    Demi keselamatan sang isteri dan bayi yang akan lahir, ia terus berjalan, namun ia sudah lupa bagaimana cara mendapatkan setetes minyak dan peralatan persalinan lainnya. Lelaki itu hampir saja putus asa. Sekiranya ia tak segera sadar bahwa agama melarangnya untuk bunuh diri, tentu ia sudah mencebur ke sungai atau melemparkan badannya di tengah jalan ramai.

    Lelaki itu terus berjalan dan semakin menjauhi rumah dan tempat sang isteri akan melakukan persalinan. Meskipun demikian, bayangan isterinya yang menangis dengan mengiba-iba agar sang suami pergi mencari minyak dan peralatan persalinan tak bisa hilang dari pikiran dan perasaannya. Justru bayangan itu mendorongnya untuk semakin jauh berjalan menyusuri jalan-jalan yang tak berujung.

    Kisah pasangan ini sengaja diputus hanya sampai di sini,sebab yang menjadi fokus perhatian kita adalah sebuah pertanyaan, kenapa cinta berakhir dengan sengsara? Bukankah CINTA ITU SEBUAH ENERGI YANG DAPAT MENDORONG SESEORANG UNTUK BERBUAT DAN BERPERILAKU YANG JAUH LEBIH DAHSYAT DARIPADA SEBELUMNYA? Mengapa justru cinta mematikan potensi, energi, dan semangat yang ada dalam diri?

    Cinta itu memang indah, ibarat taman yang dipenuhi bunga yang berwarna-warni. Ada orang yang datang menikmati keindahannya, mencium bau harumnya, menghirup udara segarnya, dan kemudian pulang untuk suatu saat kembali lagi. Akan tetapi ada juga orang sekali datang ke tempat itu, menikmati keindahannya, kemudian tak mau pergi lagi. Ia ingin menguasai taman itu, sekalipun banyak orang yang juga ingin menikmatinya.

    Cinta itu kadang berubah menjadi semacam alkohol yang memabukkan. Sekali mencoba ingin terus mengulangi, hingga sampai pada titik tertentu ia kemudian mencandu. Jika sudah pada tingkatan ini, maka dari hari ke hari kadar alkoholnya semakin dinaikkan, dosisnya semakin tinggi, sampai pada saatnya orang tersebut sakit dan mati justru oleh sesuatu “yang dicintai”.

    Jika cinta kepada manusia bisa seperti itu akibatnya, bagaimana dengan cinta kepada Allah? Dalam kaitan ini, banyak kaum sufi berpendapat bahwa cinta itu bahasa universal, berlaku pada siapa saja dan untuk apa saja. Berlaku universal untuk semua subyek dan obyek.

    CINTA KEPADA ALLAH YANG DILAKUKAN DENGAN CARA YANG SALAH BISA JUGA MENYENGSARAKAN, BAHKAN MEMATIKAN, sebagaimana kisah di atas. Untuk itu, para sufi berpesan terutama kepada para pemula agar lebih hati-hati. JIKA CINTA KEPADA ILAHI ITU DIIBARATKAN SAMUDERA, MAKA ORANG YANG SELAMAT ADALAH MEREKA YANG BERENANG. ADAPUN ORANG YANG TENGGELAM DALAM “LAUTAN CINTA” ITU JUSTRU TAK AKAN PERNAH SAMPAI KE TEPI.

    Di masyarakat kita banyak dijumpai para pecinta Allah yang menenggelamkan diri. Mereka asyik masyuk berdzikir kepada Allah berjam-jam lamanya di masjid, kemudian ia lakukan da’wah dari rumah ke rumah berhari hari, berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai hitungan tahun dengan meninggalkan keluarganya, bahkan kadang tanpa bekal apapun. Mereka tenggelam dalam lautan cinta.

    Tenggelam di lautan itu memang mengasyikkan, terutama bagi mereka yang bisa menikmati keindahan taman laut. Di sana ada gugusan karang yang tertata alamiah dengan sangat indahnya. Di sana pula dijumpai warna-warni ikan hias yang luar biasa indahnya. Belum lagi ombak, bening, hangat dan dinginnya air laut. Semuanya indah, tapi BUAT APA KEINDAHAN ITU BAGI ORANG-ORANG YANG TENGGELAM?

    Untuk itu Allah menurunkan syari’at. DALAM SYARI’AT ITU ALLAH MENGENALKAN BATASAN-BATASANNYA, HINGGA KAUM BERIMAN SELAMAT DALAM MENGARUNGI BAHTERA KEHIDUPANNYA SAMPAI KE TEMPAT TUJUANNYA, BUKAN TENGGELAM LALU TIDAK DIKETAHUI DI MANA KEBERADAANNYA.

    Boleh saja orang menikmati khusyu’nya shalat sebagai sarana komunikasi dialogis dengan Allah swt. Akan tetapi shalat itu dibatasi dengan bacaan dan gerakan-gerakan. Orang yang shalat tidak boleh hanya menikmati ruku’nya saja, atau sujudnya saja, atau duduk tahiyyatnya saja. Semua gerakan, mulai dari takbiratul ihram hingga salam harus dinikmati semuanya secara proporsional. Inilah yang membedakan meditasi, baik meditasi agama-agama bumi maupun meditasi hasil karya cipta para spritualis yang kini berkembang bak jamur di musim hujan itu.

    Boleh saja shalat itu dilakukan berlama-lama di masjid, akan tetapi syari’at Allah tetap memberi batasan. Sehabis shalat kaum Muslimin harus segera pergi untuk menyebar di permukaan bumi, mencari karunia Allah berupa rizki. Dalam kaitan ini secara khusus Allah menyorotinya dalam firman-Nya:

    Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung. (Surat Al-Jumu’ah: 10)

    Apa bedanya orang yang berenang di lautan cinta Ilahi dengan mereka yang tenggelam di dalamnya? Orang yang berenang sadar bahwa ia sedang kepada Allah. Ia menikmati segala karunia yang disediakan Allah sambil terus berenang agar bisa sampai ke tujuan (Allah Swt). Adapun orang-orang yang tenggelam itu merasa dirinya sudah sampai kepada Allah. Ia tidak perlu lagi berenang, sebab tujuannya telah sampai. Ia tidak perlu lagi bersusah payah, karenanya ia menenggelamkan diri.

    Kini, apakah kita termasuk kelompok perenang atau orang yang tenggelam?

    *IKATLAH ILMU DENGAN MENULISKANNYA* Al-Hubb Fillah wa Lillah,

    ***

    Author: Abu Zifora

    Editor: Abu Aufa

    Maraji’: Suara Hidayatullah

     
  • erva kurniawan 2:42 am on 11 January 2014 Permalink | Balas  

    E-mail Dari Rasul 

    nabi-muhammad-saw1E-mail Dari Rasul

    Malam sudah cukup larut, namun mata ini masih tak bisa terpejam. Semua tugas-tugas kantor yang kubawa pulang sudah selesai, tak lupa kusediakan setengah jam sebelum pukul 23.00 untuk membalas beberapa email yang baru sempat terbaca malam ini. Nyaris saja kupilih menu “shut down” setelah sebelumnya menutup semua jendela di layar komputer, tiba-tiba muncul alert yahoo masuknya email baru. “You have 1 new message(s)…”. Seperti biasanya, aku selalu tersenyum setiap kali alert itu muncul, karena sudah bisa diduga, email itu datang dari orang-orang, sahabat, saudara, kerabat, intinya, aku selalu senang menunggu kabar melalui email dari mereka. Tapi yang ini … Ooopss … ini pasti main-main … disitu tertulis “From: Muhammad Rasul Allah”

    Walaupun sudah seringkali menerima junkmail atau beraneka spam, namun kali ini aku tidak menganggapnya sebagai email sampah atau orang sedang main-main denganku. Maklum, meski selama ini sering sekali teman-teman yang “ngerjain”, tapi kali ini, sekonyol-konyolnya teman-teman sudah pasti tidak ada yang berani mengatasnamakan Rasulullah Saw. Maka dengan hati-hati, kuraih mouse-ku dan … klik …

    “Salam sejahtera saudaraku, bagaimana khabar imanmu hari ini … Kebaikan apa yang sudah kau perbuat hari ini, sebanyak apa perbuatan dosamu hari ini …”

    Aku tersentak … degub didada semakin keras, sedetik kemudian, ritmenya terus meningkat cepat. Kuhela nafas dalam-dalam untuk melegakan rongga dada yang serasa ditohok teramat keras hingga menyesakkan. Tiga pertanyaan awal dari “Rasulullah” itu membuatku menahan nafas sementara otakku berputar mencari dan memilih kata untuk siap-siap me-reply email tersebut. Barisan kalimat “Rasulullah” belum selesai, tapi rasanya terlalu berat untuk melanjutkannya. Antara takut dan penasaran bergelut hingga akhirnya kuputuskan untuk membacanya lagi.

    “Cinta seorang ummat kepada Rasulnya, harus tercermin dalam setiap perilakunya. Tidak memilih tempat, waktu dan keadaan. Karena aku, akan selalu mencintai ummatku, tak kenal lelah. Masihkah kau mencintaiku hari ini?”

    Air menetes membasahi pipiku, semakin kuteruskan membaca kalimat-kalimatnya, semakin deras air yang keluar dari sudut mataku.

    “Pengorbanan seorang ummat terhadap agamanya, jangan pernah berhenti sebelum Allah menghendaki untuk berhenti. Dan kau tahu, kehendak untuk berhenti memberikan pengorbanan itu, biasanya seiring dengan perintah yang diberikan-Nya kepada Izrail untuk menghentikan semua aktifitas manusia. Sampai detik ini, pernahkah kau berkorban untuk Allah?”.

    Kusorot ketengah halaman ….

    “Sebagai Ayah, aku contohkan kepada ummatku untuk menyayangi anak-anak mereka dengan penuh kasih. Kuajari juga bagaimana mencintai istri-istri tanpa sedikit melukai perasaannya, sehingga kudapati istri-istriku teramat mencintaiku atas nama Allah. Aku tidak pernah merasakan memiliki orangtua seperti kebanyakan ummatku, tapi kepada orang-orang yang lebih tua, aku sangat menghormati, kepada yang muda, aku mencintai mereka. Sudahkah hari ini kau mencium mesra dan membelai lembut anak-anakmu seperti yang kulakukan terhadap Fatimah? Masihkah panggilan sayang dan hangat menghiasi hari-harimu bersama istrimu? Sudahkah juga kau menjadi pemimpin yang baik untuk keluargamu, seperti aku mencontohkannya langsung terhadap keluargaku?.

    Satu hentakkan pagedown lagi …

    “Aku telah memberi contoh bagaimana berkasih sayang kepada sesama mukmin, bersikap arif dan bijak namun tegas kepada manusia dari golongan lainnya, termasuk menghormati keberadaan makhluk lain dimuka bumi. Saudaraku …”

    Cukup sudah. Aku tak lagi sanggup meneruskan rentetan kalimatnya hingga habis. Masih tersisa panjang isi email dari Rasulullah, namun baru yang sedikit ini saja, aku merasa tidak kuat. Aku tidak sanggup meneruskan semuanya karena sepertinya Rasulullah sangat tahu semua kesalahan dan kekuranganku, dan jika kulanjutkan hingga habis, yang pasti semuanya tentang aku, tentang semua kesalahan dan dosa-dosaku.

    Kuhela nafas panjang berkali-kali, tapi justru semain sesak. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, entah apa yang terjadi. Sudah tibakah waktuku? Padahal aku belum sempat me-reply email Rasulullah itu untuk memberitahukan kepada beliau bahwa aku tidak akan menjawab semua emailku dengan kata-kata. Karena aku yakin, Rasul lebih senang aku memperbaiki semua kesalahanku hari ini dan hari-hari sebelumnya, dari pada harus bermanis-manis mengumbar kata memikat hati, yang biasanya tak berketerusan dengan amal yang nyata.

    Pandanganku kini benar-benar gelap, pekat sampai tak ada lagi yang bisa terlihat. Hingga … nit… nit… alarm jam tanganku berbunyi. 00.00 WIB. Ah, kulirik komputerku, kosong, kucari-cari email dari Rasulullah di inbox-ku. Tidak ada. Astaghfirullaah, mungkinkah Rasulullah manusia mulia itu mau mengirimi ummatnya yang belum benar-benar mencintainya ini sebuah email? Ternyata aku hanya bermimpi, mungkin mimpi yang berangkat dari kerinduanku akan bertemu Rasul Allah. Tapi aku merasa berdosa telah bermimpi seperti ini. Tinggal kini, kumohon ampunan kepada Allah atas kelancangan mimpiku.

    Wallahu “a”lam bishshowaab

    ***

    Eramuslim – Bayu Gautama

     
  • erva kurniawan 7:01 am on 31 December 2013 Permalink | Balas  

    Seperti Air 

    air gelasSeperti Air

    Tuangkan air ke dalam gelas, maka ia akan berbentuk menyerupai gelas. Jika air itu dimasukkan ke dalam bak, iapun akan mengikuti bentuk bak tersebut, entah bundar ataupun persegi. Segala bentuk, semua sudut yang ditawarkan, air selalu bisa mengisi, memenuhi dan tak pernah membiarkan sisi-sisi wadah tak tersentuh olehnya. Namun air tetap air, meski harus berbentuk persegi atau bundar, tempat kecil atau besar, ia tetap berbentuk cair. Seperti air, dimanapun berada hendaknya kita bisa beradaptasi dengan lingkungan dan ketentuan yang berlaku. Tapi tidak berarti harus tenggelam dalam kungkungan dan batas-batas ketentuan yang tak normal, bukan juga larut bersama putaran kehidupan yang tak semestinya, apalagi hanyut terbawa arus gelombang realita yang seringkali menggiurkan namun menyesatkan. Seperti air, keberadaan manusia di muka bumi hendaknya bisa menyentuh setiap waktu, setiap tempat yang disinggahinya, bukan tanpa makna.

    Air senantiasa bergerak, dimanapun ada celah dan ruang, sudut dan sisi ia pasti menemukan jalan. Air cenderung bergerak kebawah, dua hal yang menjadikannya keatas, oleh ajakan awan yang kemudian menjadikannya hujan dan akhirnya kembali jatuh ke bawah (bumi), dan satu lagi, oleh mesin buatan manusia untuk pelbagai keperluan, namun yang pasti ujungnya selalu ke bawah. Air yang berdiam diri, terjebak dalam kubangan tak berpembuangan, akan mengering, berwarna yang tak lagi bening dan akhirnya tak berguna sama sekali, bahkan bisa menjadi sumber penyakit akibat dihinggapi bermacam bakteri. Yang demikian, tak lagi bersih dan suci, hingga tak layak untuk segala keperluan manusia. Seperti air, tak pernah diam, selalu beranjak setiap saat, begitulah semestinya manusia. Ada dua manusia yang tak bergerak, malas atau mati. Mereka yang tak bergerak, berdiam diri dan tak melakukan aktifitas yang bermanfaat, maka tak ubahnya ia seperti makhluk tak bernyawa. Keberadaannya tak bedanya dengan ketiadaannya. Keberadaannya tak dirasa manfaatnya, ketiadaannya tak dirisaukan. Manusia yang tak memiliki aktifitas, tak bekerja dan menggunakan potensi dan kelebihannya, adalah manusia yang tak berguna. Seperti air, jikapun harus terus bergerak, hendaknya manusia tak pernah lupa bahwa ia punya tempat kembali. Manusia bermula dari bawah akan kembali jatuh ke bawah. Mengawali hidup tanpa apapun, juga tanpa apapun saat mengakhirinya. Kita berasal dari tanah akan kembali ke tanah.

    Air tak pernah bisa dibendung, dan terbendung. Tertutup satu jalan di depan, ia akan berusaha mencari jalan lain dan terus mencari sampai jalan itu benar-benar didapatinya. Coba perhatikan, air tak pernah menyia-nyiakan lubang bocor di ember atau bak, ia akan mengalir dengan deras menuju kebebasan bergerak dan keberhasilan. Seperti air, tidak seharusnya manusia menyerah pasrah dan putus asa setiap kali membentur halangan dalam berupaya meraih cita-cita. Berpikir cepat, inovatif, kreatif mencari celah menuju cita-cita, harus menjadi bagian dari sifat diri. Dan satu hal lagi, jangan pernah mengabaikan sekecil apapun kesempatan yang terbuka untuk secepat kilat menerobosnya, karena bisa jadi, itu jalan satu-satunya meraih kesuksesan.

    Saat panas menyengat, membuat tenggorokan terasa kering, airlah tumpuan kita untuk melepaskan dahaga. Tubuh yang kotor, oleh peluh dan debu, air menjadi satu harapan untuk bisa membersihkannya. Bahkan untuk menyegarkan diri, tentu air pula yang dicari, baik sekedar cuci muka, mandi ataupun berenang. Manusia tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa air, seperti halnya manusia tak juga bisa membayangkan hidup tanpa bumi tempat berpijak. Seperti air, sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk yang lebih sempurna ketimbang makhluk lainnya, seharusnya setiap kita memiliki sifat asertif, senantiasa hadir saat manusia lain membutuhkannya, selalu memberikan yang terbaik tanpa terlebih dulu diminta. Sehingga pada masanya, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi seperti apapun, kita selalu dicari, dibutuhkan dan dipentingkan. Sungguh merugi manusia yang kehadirannya tak pernah diperhitungkan.

    Air bisa dibuat panas mendidih hingga 100 derajat, bisa juga dibuat dingin dan membeku hingga titik dibawah nol. Namun air tetap bening tak berwarna, dalam keadaan panas atau beku. Ia tetap bernama air jika tetap bening tak berwarna, jika sudah berubah warna menjadi kuning atau merah, mungkin saja namanya sirup, jika ia hitam, hampir pasti orang menyebutkan kopi. Atau ketika berwarna kecoklatan, mungkin kehitaman, meski masih bernama air, tapi terdapat embel-embel, air kotor, air kali atau juga air got. Seperti air, panas atau dingin tetap melegakan, sebaiknya manusia, dalam keadaan apapun tetap bisa menyenangkan manusia lainnya. Sehingga manusia lain tetap betah bertetangga, hidup bersama dan berdekatan. Seperti air, untuk menjadi diri sendiri, setiap manusia harus mempertahankan warna fitrahnya. Fitrah manusia pada kesucian dan kebenaran, dan sudah barang tentu, manusia yang tak lagi pada fitrahnya itu mungkin saja tak layak lagi menyandang predikat manusia. Atau sekiranya masih berwujud manusia, namun hakikatnya tak lagi manusia. Misalnya, manusia yang mengambil barang orang lain, biasanya digelari maling, pencuri, copet, jambret atau lainnya. Manusia yang menggunakan harta perusahaan untuk kepentingan pribadi, orang mengenalnya sebagai koruptor. Manusia yang gila kekuasaan, sering dicap diktator. Bahkan ada manusia yang perilakunya seperti hewan, entah sebutan apa yang pantas untuk yang semacam ini. Dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang dilatar belakangi oleh perilaku manusia itu sendiri.

    Air tak pernah menyatu dengan minyak. Kita semua tahu itu. Air dan minyak, bisa dijadikan simbol ketidakmungkinan dua zat berbeda untuk bersatu. Bisa juga sebagai simbol penolakan kebathilan oleh kebenaran. Seperi hitam dan putih yang tak pernah sama, jika dipadukan ia akan menjadi abu-abu. Seperti air, wajib menolak setiap hal yang bertentangan dengan kebenaran. Untuk diketahui, kita memiliki daya resistensi untuk menentang kebathilan yang sungguh-sungguh bukan fitrah manusia. Namun jika resistensi itu tak digunakan, bukan tidak mungkin banyak manusia yang menjadi abu-abu, alias munafik, terkadang terlihat seperti putih padahal ia hitam.

    Maka, mengalirlah seperti air …. Wallahu a’lam bishshowaab

    ***

    eramuslim – Bayu Gautama

     
    • lazione budy 8:48 pm on 31 Desember 2013 Permalink

      air ada banyak, ada air hujan ada air minum, ada air kolam.
      Josua banget.
      mari mengalir seperti air.
      :D

  • erva kurniawan 8:28 am on 25 December 2013 Permalink | Balas  

    Dan Kita Pun Akan Menjadi Tua 

    cinta di hari tuaDan Kita Pun Akan Menjadi Tua

    Hidup bagaikan garis lurus

    Tak pernah kembali ke masa yang lalu

    Hidup bukan bulatan bola

    Yang tiada ujung dan tiada pangkal… .

    Syair lagu diatas, sering kita dengar dari lantunannya Bimbo, liriknya mengingatkan kita akan sebuah akhir. Kehidupan ini tidak akan berlangsung abadi, hingga suatu saat kita akan menaiki tangga usia, semakin lama usia kita bertambah, semakin berkuranglah sisa umur kita dan andai Tuhan belum memanggil kita di usia muda maka kitapun akan menjadi tua.

    Melihat garis-garis di wajah sosok yang kita cintai ibu dan ayah kita, ketika kulitnya mulai keriput, rambut hitamnya mulai memutih dan kesehatannya kian menyusut, kita diingatkan oleh-Nya bahwa kitapun sama, suatu saat nanti akan menjadi tua, renta dan butuh begitu banyak pertolongan, kasih sayang serta perhatian dari anak-anak kita.

    Dan sekaranglah saatnya bagi kita untuk memainkan peran sebagai seorang anak, memelihara dan menyayangi ayah dan ibu kita. Dahulu sembilan bulan kita dalam rahim ibu, kita menyusahkannya, duduk ia tak enak, berbaring tak nyaman. Tapi ibu sabar menanti hari-hari kelahiran kita. Tiba kita di dunia, ibu tersenyum bahagia mendapatkan kita sebagai anugerah dari Tuhan, disusuinya, dimanjakannya dan dibesarkannya kita dengan penuh kasih sayang. Diajarkannya kita berbagai ilmu dan sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi kita diajarkan untuk mengenal Allah sebagai Tuhan kita.

    Menginjak remaja, kita semakin menyusahkannya, biaya sekolah yang kian besar serta kenakalan-kenakalan yang sering kita lakukan tak jarang membuat hati ibu terluka. Sikap kita yang kasar, egois dan selalu merasa benar terkadang membuatnya menangis, tapi ibu tetap sabar. Dibimbingnya kita untuk memperbaiki sikap dan tingkah laku kita, ibu selalu menanamkan cinta kepada kita anak-anaknya.

    Berbahagialah bagi yang masih mempunyai ibu juga ayah, karena masih mempunyai kesempatan untuk memelihara dan menyayangi mereka. Dan saat kita menginjak dewasa, ketika ayah yang dulu kekar sekarang sering terbaring sakit, dan ketika ibu yang dulu selalu melayani kita makan sekarang sering terbaring lemah, inilah saat-saat yang baik bagi kita untuk memuliakan mereka, melayani, memelihara dan memberikan perhatian kepada mereka. Inilah kesempatan kita untuk menjadi anak yang shaleh buat mereka bahagia di ujung usianya, dan buat mereka bangga dengan kita.

    Ingatkah, dahulu ketika kebetulan kita terbangun dari tidur, terlihat ibu sedang berdoa untuk kita, agar menjadi anak yang baik dan tercapai semua cita.

    Jenguklah ibu dan ayah kita selagi bisa, sebelum semuanya berakhir menjadi kenangan, bawakan oleh-oleh yang disukainya. Sebab jika mereka telah tiada maka tak akan ada lagi yang menunggu kita pulang, tak ada lagi menyiapkan kita sarapan, yang ada hanyalah rumah yang akan menjadi kenangan.

    Kehilangan mereka akan sangat menyakitkan, waktu berabad-abad tak akan dapat menghapus kerinduan dan keinginan untuk bertemu dengan mereka.  Walau hati telah ikhlas atas kepergian mereka tidak berarti rasa kehilangan telah sirna dari lubuk hati paling dalam … bertemu  dalam mimpi kemudian menjadi keinginan yang selalu timbul …

    “Muliakanlah orang tua kita karena Allah meminta kita melakukannya dan .. kitapun akan menjadi tua”

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 4:19 am on 22 December 2013 Permalink | Balas  

    Menjadi Ibu 

    kasih-sayang-ibuMenjadi Ibu

    “Menjadi Ibu”. Ketika SMP dan SMA dulu, selalu itu yang saya tulis pada saat saya mengisi lembar biodata. Untuk teman, untuk guru sekolah, untuk lembaran Osis, Rohis dan lain-lain. Semuanya. Dimana saja, yang menyediakan isian kolom cita-cita.

    Tentu saja banyak yang heran. Teman-teman berkomentar “Cita-cita, kok menjadi Ibu. Kamu kan perempuan! Sudah pasti, tanpa dicita-citakan, suatu saat kamu akan menjadi seorang ibu!”. Ada juga yang bertanya “Apa maksudnya cita-cita menjadi Ibu?”. Bahkan ada yang meledek “Cita-cita kok menjadi Ibu. Cita-cita tuh menjadi dokter, insinyur, guru, dll”. Ada lagi yang menyindir “Udah pengin kawin ya? Kok, pengin jadi ibu rumah tangga?”.

    Dan kemudian, dengan senang hati dan panjang lebar saya menerangkan apa maksud cita-cita Menjadi Ibu. Menjadi (seperti) Ibu (saya). Itulah maksudnya. Itulah cita-cita saya.

    Kenapa? Pasti, pertanyaan seperti itu pun kembali meruyak. Apa istimewanya Ibumu sehingga kau ingin menjadi sepertinya? Mengidolakannya di saat para remaja lainnya mengidolakan para selebritis dan sejenisnya? Apakah Ibumu seorang wanita karier yang sukses? Bukan, bukan! Ibu saya bukan siapa-siapa.

    Ibu saya bukan wanita karier, bukan pula -apalagi- selebrities. Tapi kesibukannya melebihi wanita karier. Ibu saya bisa mengerjakan apa saja. Dari pekerjaan rumah tangga (termasuk yang biasanya dikerjakan kaum laki-laki seperti membenahi genteng), mengurus warung kecil di rumah, mengurus sawah, mengurus ayam, bebek, angsa, dan kambing peliharaan kami, bahkan membuat batu-bata. Dulu Ibu saya juga sempat bekerja di konveksi dan mengambil jahitan. Semua itu dilakukannya, utama sekali untuk membantu ekonomi keluarga, karena Bapak yang cuma guru SD di kampung. Selain itu juga untuk membantu keluarga besar Ibu dan sebagai bentuk kemandirian ibu. Beliau memang tidak suka berdiam diri.

    Ibu saya bukan aktivis, tapi aktivitasnya juga luar biasa. Ia rajin `rewang’ jika ada tetangga yang punya hajat. Ia juga rajin membantu jika ada tetangga yang meninggal, sakit, maupun lahiran. Ibu rajin hadir ke pengajian Yasinan, juga pengajian aisiyah yang diselenggarakan di tingkat kecamatan. Namun, meski aktif di masyarakat, ibu saya tak pernah bergosip, padahal di kampung kami gossip hampir merupakan ‘keniscayaan’ seorang perempuan. Termasuk di warung sayur kecil kami, yang tetangga sering mampir namun lebih banyak bergosipnya daripada berbelanja. Karenanya, ibu dicintai oleh semua orang, saudara maupun tetangga.

    Ibu saya tidak pandai memasak resep-resep umum apatah lagi resep modern. Tak ada kue, cake dan makanan-makanan enak lainnya. Tapi semua yang dimasak ibu lezat. Sering dulu saya bertanya nama masakan yang dibuat ibu. Tapi ibu menjawab tidak tahu, karena memang tidak ada namanya. Masakan itu beliau buat dari bahan yang apa adanya, yang kami miliki di dapur kami.

    Ya, ibu memang kreatif. Kondisi kami yang berkekurangan tak pernah membuat kami ingin masakan dan kue-kue modern, karena ibu bisa membuat makanan-makanan lezat, meskipun tanpa alat dan bahan memadai. Hingga kami tidak tumbuh menjadi anak yang suka jajan, makanan yang dibuat ibu sudah cukup bagi kami.

    Ibu bukan pula wanita berpendidikan tinggi. Bahkan SD pun beliau tidak lulus. Tapi ibu pintar dan dulu sering membantu saya belajar. Ibu juga bercita-cita tinggi untuk anak-anaknya. Sekolah anak-anak adalah nomor satu baginya. Ketika orang tua-orang tua lain membelikan anak-anaknya baju yang bagus-bagus, saya dan adik saya hanya mendapat baju-baju sederhana (namun tetap terawat rapi dengan seterika arang). Ketika anak-anak lain mendapat uang saku 100 rupiah sehari, kami hanya mendapat 50 rupiah. Tapi di lain pihak, saya tak pernah menunggak bayaran sekolah seperti teman-teman lainnya. Dan buku pelajaran dan perlengkapan sekolah saya cukup lengkap.

    Ibu juga bukan wong agung keturunan ningrat, melainkan hanya wanita desa yang sederhana. Yang dibesarkan tanpa pendidikan etika dan unggah-ungguh jawa yang tinggi. Tapi beliau cukup mengerti bagaimana bersikap sesuai situasi dan kondisi. Make-upnya hanya bedak tipis dan lipstik murahan. Bajunya pun tak pernah dari bahan sutera atau bordir. Tapi beliau selalu rapi dalam kesederhanaannya.

    Tentu saja, ibu saya juga memiliki banyak kekurangan, tapi rasanya kekurangan yang dimiliki ibu tak ada artinya dibanding segala `keluarbiasaannya’ di mata saya.

    Kekaguman-kekaguman saya terhadap ibu sempat hilang. Bukan, bukan karena ibu tidak lagi seperti ibu yang dulu. Tapi lebih karena saya kemudian hidup jauh dari ibu, dan menjalani dunia kampus dengan berbagai aktivitas keislaman yang menyita seluruh kekaguman saya.

    Namun kini, ketika saya kembali banyak berpaling kepada ibu. Ketika saya banyak memiliki waktu berinteraksi dengan ibu lagi, ibu saya masih tetap sehebat yang dulu. Bahkan makin hebat.

    Beliau tetap pekerja keras, wanita karier yang kuat. Saat ini, ketika dua anaknya sudah tak lagi membutuhkan biaya, beliau tetap ke sawah, menjalankan warung, dan membuat batu-bata serta memelihara banyak ternak. Beliau tetap aktivis sosial yang baik, yang penolong, yang ringan tangan, tapi tak ringan mulut.

    Ibu saya bahkan tetap tegar ketika beberapa waktu lalu badai menggoncang keluarga kami. Gosip dan goncangan yang menerpa tak membuatnya berubah. Bahkan, beliau tak pernah menunjukkan kesedihan di hadapan kami anak-anaknya, saat permasalahan itu merundung.

    Dan yang paling berkesan, meski pengetahuan agama Ibu minim, namun keyakinannya kepada Allah sedemikian kuat. Suatu hari, ibu saya berkata,” Nduk, ibu selalu berdo’a dan meminta pada Allah tiap habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh yang sholeh dan sepadan denganmu. Dan ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar kalau ibu pengin menengok kalian, ibu tak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup dibonceng bapak, karena ibu pasti mabok kalau naik bis atau mobil”.

    “Ah, ibu yang realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana jalannya saya mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.

    Ibu saya menjawab kalem, “Lho, jodoh itu khan urusan Allah. Kita hamba-Nya boleh minta apa saja. Kalau Allah menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang sebab)”.

    Duh, Ibu. Betapa kesederhanaanmu ternyata menyimpan samudera makna kehidupan yang dalam. Kini, jika saya mengisi lembar biodata lagi yang ada isian cita-cita, saya kembali mengisinya dengan mantap: Menjadi Ibu. (@az, kado hari Ibu untuk para wanita nan tegar penuh cinta)

     

    Oleh: Azimah Rahayu – eramuslim

     
  • erva kurniawan 7:24 am on 15 December 2013 Permalink | Balas  

    Indahnya Cinta 

    cintaIndahnya Cinta

    Cinta adalah bagian dari fitrah, orang yang kehilangan cinta dia tidak normal tetapi banyak juga orang yang menderita karena cinta. Bersyukurlah orang-orang yang diberi cinta dan bisa menyikapi rasa cinta dengan tepat.

    Hikam: “Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup didunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik.” (Al-Qur`an: Al-Imron ayat 14)

    Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

    Cinta memang sudah ada didalam diri kita, diantaranya terhadap lawan jenis. Tapi kalau tidak hati-hati cinta bisa menulikan dan membutakan kita.

    Cinta yang paling tinggi adalah cinta karena Allah cirinya adalah orang yang tidak memaksakan kehendaknya. Tapi ada juga cinta yang menjadi cobaan buat kita yaitu cinta yang lebih cenderung kepada maksiat. Cinta yang semakin bergelora hawa nafsu, makin berkurang rasa malu. Dan, inilah yang paling berbahaya dari cinta yang tidak terkendali.

    Islam tidak melarang atau mengekang manusia dari rasa cinta tapi mengarahkan cinta tetap pada rel yang menjaga martabat kehormatan, baik wanita maupun laki-laki. Kalau kita jatuh cinta harus hati-hati karena seperti minum air laut semakin diminum semakin haus. Cinta yang sejati adalah cinta yang setelah akad nikah, selebihnya adalah cobaan dan fitnah saja.

    Cara untuk bisa mengendalikan rasa cinta adalah jaga pandangan, jangan berkhalwat berdua-duaan, jangan dekati zina dalam bentuk apapun dan jangan saling bersentuhan.

    Bagi orang tua yang membolehkan anaknya berpacaran, harus siap-siap menanggung resiko. Marilah kita mengalihkan rasa cinta kita kepada Allah dengan memperbanyak sholawat, dzikir, istighfar dan sholat sehingga kita tidak diperdaya oleh nafsu, karena nafsu yang akan memperdayakan kita. Sepertinya cinta padahal nafsu belaka.

     
  • erva kurniawan 1:50 am on 7 December 2013 Permalink | Balas  

    Mari Menebar Kasih Sayang 

    siluet burungMari Menebar Kasih Sayang

    Siapa yang tak mengakui kebaikan hati seorang Bunda Theresia? Meski ia tak pernah menganut ajaran Islam yang penuh kedamaian, cinta dan kasih sayang, namun kebaikan hatinya tak diragukan bahkan dirasakan juga oleh yang bukan ummat nasrani. Sama halnya dengan Mahatma Gandhi, siapa yang berani membantah jika dikatakan bahwa Gandhi adalah manusia berhati mulia. Kebaikan yang dilakukannya, cinta dan pengabdiannya yang besar kepada ummatnya, menjadikan Gandhi sebagai sosok yang boleh diteladani dalam hal berbuat baik terhadap sesama.

    Kita pernah mempelajari bagaimana kebaikan hati Yusuf alaihi salam yang tidak menaruh dendam sedikitpun kepada saudara-saudaranya yang telah mencoba mencelakainya. Juga ketika seorang dipenjara yang melupakan kebaikan dirinya, tak sedikitpun ia marah. Kebersihan hati Yusuf itulah yang akhirnya secara tidak langsung menghantarkannya kepada kejayaan diri. Seorang Sulaiman yang dengan segala kebesarannya, masih menghormati makhluk kecil, semut, dan memerintahkan derap dan langkah para pasukannya untuk tidak mengganggu atau bahkan menginjak sekelompok semut yang mereka lewati.

    Rasulullah Muhammad saw tidak pernah sedikitpun mengajarkan kepada ummatnya untuk melakukan kejahatan, ketidakadilan, tindak kesemena-menaan bahkan kezhaliman. Islam dengan segala ajaran kasih sayang dan kedamaiannya, justru mengutamakan perbuatan baik terhadap manusia itu sebagai perwujudan dari rahmantan lil ‘aalamiin-nya ajaran yang disempurnakan Muhammad saw. Setelah para Nabi Allah sebelumnya juga mengajarkan hakikat Islam.

    Sebelum menjadi Rasul, Muhammad dikenal sebagai orang yang berhati mulia, jujur, sopan, bersikap lembut dan menghargai sesama. Itulah kemudian ia mendapatkan gelar al amiin, juga menarik hati seorang saudagar kaya Khadijah binti Khuwailid yang kemudian menjadi istrinya. Setelah menjadi Rasul Allah, kemuliaan hatinya tidak hanya diakui oleh kaum mukminin melainkan juga oleh kaum kafir Quraisy. Sebenci apapun para pembesar suku Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka tak pernah membenci Muhammad karena perilakunya yang buruk. Justru yang mereka khawatirkan adalah ajaran kebaikan, kedamaian, dan kemuliaan hati dari Islam yang langsung dicontohkan Muhammad-lah yang akan menggusur kekuasaan, kedudukan mereka. Bagaimana tidak, ketika orang-orang memperjualbelikan budak dengan harga yang tidak manusiawi, Rasulullah (Islam) memuliakannya. Ketika para wanita dianggap masyarakat kelas sekian dan menjadi suatu kehinaan diri jika mempunyai keturunan seorang wanita, Muhammad justu mengangkat derajatnya.

    Tidak hanya itu, ketika ketidakadilan semakin mempertegas jarak dan perbedaan antara orang-orang kaya dengan fakir miskin, antara yang kuat dan yang lemah, Rasulullah datang dengan mengajarkan zakat dan infaq shodaqoh, mencontohkan bagaimana seharusnya kasih sayang dan cinta sesama saudara bagaikan mencintai diri sendiri.

    Islam adalah agama kebaikan, agama kasih sayang. Maka tidak sewajarnya ketika mereka yang mengaku mukmin melakukan kejahatan dan tindak kezhaliman. Kecuali dalam kondisi yang memang mengharuskan setiap mukmin mempertahankan harga diri dan melakukan pembelaan, Rasulullah tak pernah mengajarkannya. Bayangkan, saat para sahabat mulai marah dan tidak mampu menahan diri untuk melakukan balasan terhadap intimidasi dan penganiayaan terhadap kaum muslimin, Rasulullah baru mengabulkannya setelah ada izin dari Allah yang membolehkan berperang.

    Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima yang masih utuh belum dikemas. Alasannya, mungkin bagi kita sangat sepele, hanya karena ia mendapati seekor burung yang bertengger di atas tendanya tengah mengerami telurnya dan terpaksa menunda keberangkatan pasukannya. Kejadian itu sungguh mengherankan dua orang penyusup dari pasukan musuh yang menyamar bergabung dalam pasukan Amru bin Ash. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu sebelumnya karena para pembesar dan masyarakatnya mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya yang dikatakan gemar membunuh, menyiksa dan menganiaya orang. Rupanya, dari kejadian itu mereka tak menemukan anggapan itu. Pikir mereka, bagaimana mungkin dikatakan kejam jika terhadap seekor burung pun sang Panglima sangat mengasihi.

    Menjadi seorang muslim, berarti didirinya tertanam sifat-sifat kebaikan, cinta dan kasih sayang. Jika seorang muslim tak memiliki sifat diatas, tentulah karena ia tidak sepenuhnya mengamalkan ajaran Rasulullah. Sebaliknya, mereka yang meski berbuat baik, dan penuh kasih seperti Bunda Theresia dan Mahatma Gandhi, amalnya akan terputus dan tak diperhitungkan dihadapan Allah kelak karena mereka bukan muslim dan tak mengimani Allah. Oleh karenanya, perbaikilah segala sifat yang tak mencerminkan kebaikan dan kasih sayang itu, karena Rasulullah pun menegaskan, jika kita berbuat baik dan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk di bumi, maka yang ada di langit akan mengasihi dan menyayangi kita. Amiin Allaahumma Amiin. Wallahu a’lam bishshowaab.

    ***

    Bayu Gautama – eramuslim

     
  • erva kurniawan 4:44 am on 6 December 2013 Permalink | Balas  

    Mengubah Dunia Dengan Senyuman 

    anak-tertawaMengubah Dunia Dengan Senyuman

    Oleh: Azimah Rahayu.

    Mengeja baris demi baris yang tertulis di rubrik muda Majalah Annida Akhir Oktober 2002 (Gatot Wahyudi: Pemenang I Remaja Berprestasi Annida 2002), airmata meleleh di pipi. Haru dan kagum padanya sekaligus juga malu pada diri sendiri. Haru dan kagum atas ketegarannya, malu karena sering merasa menjadi orang paling merana di dunia. Saat yang sama, semangat pun terbangun, untuk meneladaninya.

    Laki-laki muda dengan segudang prestasi di tingkat lokal maupun nasional itu ternyata hidup serba berkekurangan. Terlahir dari keluarga sangat sederhana. Bahkan sempat menggelandang bersama sang bapak ketika usianya masih sangat belia: 3 tahun. Sewaktu SMU, ia dua tahun tidur di sekolah demi mengirit ongkos perjalanan, karena jarak rumah dan sekolah lebih dari 20 km sedang alat transportasi tiada. Terbiasa puasa senin kamis, saat kuliah memilih puasa daud demi menghemat biaya makan namun tetap bisa makan teratur. Pernah 21 hari tak makan nasi, karena duit di kantong sudah sangat menipis.

    Namun dia menjalani semuanya dengan ringan. Senyum ceria selalu menghiasi bibirnya -seperti yang tampak di semua photo yang menghiasi halaman itu- hingga hampir tak ada dari teman-temannya yang tahu akan kehidupan kesehariannya. Senyum itu juga tetap merekah, ketika tak sengaja saya berkesempatan beberapa jam bersamanya dalam sebuah acara. Riang, penuh canda, tanpa beban.

    “Senyum”. Satu kata ini sederhana dalam segala hal, namun memberikan kekuatan yang tak terkira.

    Dalam hal pelaksanaan, senyum adalah aktifitas sederhana untuk dilakukan. Hayo, siapa sih orang hidup di dunia ini yang tak bisa tersenyum? Orang miskin maupun kaya pun bisa tersenyum, karena senyum tak membutuhkan modal, kecuali niat dan ketulusan hati. Manusia pinter dan tidak pinter sama-sama bisa tersenyum karena untuk bisa tersenyum tak perlu sekolah. Sejak kita lahir, orang-orang di sekeliling kita telah menyambut kita dnegan senyum lebar, sekaligus mengajarkannya pada kita. Sakit atau sehat, cacat ataupun normal, semua orang masih bisa tersenyum, karena ia tak membutuhkan usaha luar biasa. Cukup menarik kedua ujung bibir ke atas sedikit. Kecuali jika sakit dan cacatnya seputar mulut.

    Secara fisik, tersenyum dapat membuat kita selalu dalam kondisi riang. Bobby De Porter dalam bukunya Quantum Learning mengatakan bahwa sikap tubuh seseorang dapat mempengaruhi perasaan atau mood seseorang sebagaimana perasaan juga mempengaruhi sikap tubuh seseorang. Ayo kita coba. Anda sedang sedih atau marah. Kemudian usahakan menarik ujung kedua bibir anda keatas, membentuk sebuah senyuman. Dan tanyakan pada hati anda dengan jujur: Apakah anda masih tetap merasa sedih seperti semula?. Saya percaya, setidaknya perasaan anda tidak seblue sebelumnya. Kemudian cobalah sebaliknya. Anda sedang berperasaan biasa saja atau bahkan tengah riang dan gembira. Kemudian duduklah dengan bahu merunduk. Bungkam mulut anda dan kerucutkan. Maka tiba-tiba anda akan merasa sedih. Nah, kenapa kita tidak gunakan sikap tubuh untuk mempengaruhi kondisi mental dan jiwa kita? Menyikapi segala sesuatu dengan senyum, insya Allah segalanya akan ringan.

    Kata Emha Ainun Najib dalam buku ‘Mati Ketawa ala” orang yang selalu riang dan suka tertawa sulit dimasukin jin dan setan, karena aura tubuh mereka yang rileks tidak menyenangkan bagi jin. Makhluk ini lebih suka memasuki tubuh orang yang suka melamun, berdiam diri dan menyendiri dan selalu bersedih hati.

    Dalam hal makna, senyum juga bermakna sederhana. Mendengar kata “senyum”, pasti yang terbayang pertama kali adalah wajah manis penuh keramahan dan cinta (Kecuali kalau dibelakang kata itu diberi embel-embel ‘sinis’, ‘sarkastis’ dan lain-lain).

    Senyum bisa menjadi pembuka komunikasi. Pun senjata jika kita sedang grogi. Senyum adalah bahasa dunia. Jika kita tak saling mengerti bahasa lawan bicara, meski tak saling sapa, senyum sudah cukup menjadi isyarat persahabatan. Senyum akan mencairkan kekakuan. Hingga ketegangan di antara dua sahabat pun terlelehkan. Hingga kemarahan pun padam, dan cinta serta aura kedamaian tersebar dalam sebuah kelompok, lingkungan dan komunitas.

    Bahkan Rasulullah pernah bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah”. Ah, alangkah indahnya. Betapa damainya, betapa menyenangkan. Karena kita bisa beramal dan bersedekah, tanpa harus memiliki sesuatu yang besar. Cukup satu hal sederhana. Senyum penuh cinta, penuh ketulusan.

    Senyum adalah solusi sederhana. Terhadap kepedihan pribadi, kesedihan keluarga, luka masyarakat dan juga nestapa dunia. Lalu, mengapa kita tidak tersenyum saja? Agar perjalanan lebih ringan. Agar persahabatan lebih menyenangkan. Agar dunia lebih damai. Agar hidup lebih nyaman. Dan tanpa kita sengaja, kita telah berkontribusi terhadap perdamaian dunia. Alangkah indahnya!

    ***

    eramuslim

     
  • erva kurniawan 3:58 am on 30 November 2013 Permalink | Balas  

    Menjadi Manusia Kreatif 

    siluet-pemudaMenjadi Manusia Kreatif

    Pernah nonton film Mission Impossible? Film layar lebar yang dibintangi oleh Tom Cruise itu sebenarnya pernah menjadi film seri yang diputar setiap minggu di sebuah TV swasta di tahun 1990-an. Satu hal yang menarik dari film tersebut, se-impossible apapun misi yang diemban oleh Ethan Hawk (diperankan oleh Tom) namun endingnya selalu saja mengisahkan keberhasilan. Satu hal yang tergambarkan dengan jelas dalam film tersebut (baik layar lebar maupun seri-nya) adalah kebiasaan para tokoh yang tergabung dalam tim pengemban ‘misi yang tidak mungkin’ alias ‘mustahil’ dicapai itu untuk senantiasa memiliki plan A, plan B, bahkan plan C, sehingga hampir setiap film itu diakhiri dengan keberhasilan menjalankan misi.

    Norman Vincent Peal, menuliskan buku best seller, You Can If You Think You Can (Anda bisa jika Anda berpikir bahwa Anda bisa), sebuah buku yang memberikan motivasi besar kepada para pembacanya untuk optimis meraih hal-hal yang sesungguhnya ‘bisa’ diraih.

    Antara Norman (dan bukunya) dengan film Mission Impossible memang tidak ada kaitannya, hanya saja jika kita mau melihat sisi pelajaran yang mau diambil, tentu ada kaitannya. Roger Von Oech, lewat bukunya A Whack on Side of the Head, bisa menjelaskan keterkaitan antara keduanya. Karena lewat buku tersebut, Von Oech mengetengahkan sepuluh kebiasaan manusia kreatif, dimana tertulis “suka mencari jawaban kedua” sebagai kebiasaan pertama seorang yang kreatif. Menurut Oech, Anda jangan hanya punya satu solusi yang berati hanya punya satu pilihan. Kreativitas meminta Anda menemukan jawaban kedua yang mungkin lebih tepat. Nah, kesuksesan Ethan Hawk mengemban misi yang dianggap tidak mungkin dicapai itu adalah karena kebiasaan timnya untuk menyiapkan lebih dari satu solusi. Dan Norman menguatkannya dengan satu motivasi, bahwa tidak satupun yang ada dihadapan manusia itu tidak bisa diraih.

    Dan yang perlu diketahui, Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat terakhir telah jauh terlebih dulu memberikan motivasi kepada setiap mukmin, bahwa Dia tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Masalahnya adalah sifat manusia yang sering kali memperturutkan hawa nafsunya, yang dalam hal ini salah satunya adalah sifat malas, dan enggan berusaha keras. Sehingga kemudian yang tampak didepannya adalah sebuah gunung batu menjulang tinggi yang tak mungkin dilewati, sebuah tembok raksasa yang mustahil ditembus.

    Padahal sejarah pun mencatat, Rasulullah dengan 300 pasukan mukmin mampu memukul mundur pasukan kafir Quraisy yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dalam perang Badar. Orang dulu berpikir ruang angkasa adalah sesuatu yang invisible, namun para ahli Rusia membuktikan dengan mengirimkan Yuri Gagarin ke luar angkasa menggunakan Sputnik. Bahkan sekarang, orang sudah menjajaki pariwisata luar angkasa meski harus merogoh kocek yang tak sedikit. Sejarah lain juga ditorehkan oleh George Leigh Mallory dan Andrew Irvine yang disebut-sebut sebagai orang pertama menapakkan kakinya di puncak tertinggi dunia, Mount Everest pada 1924. Kini ribuan pendaki sudah membuktikan bahwa puncak tertinggi itu bisa ditapaki.

    Menjadi manusia kreatif, tambah Oech, tidak cukup hanya dengan memiliki satu kebiasaan diatas. Oech juga memaparkan tentang kebiasaan lainnya, yakni suka berpikir lunak. “Kreativitas adalah pengembangan hasil otak kiri yang bersikap keras terhadap ide oleh otak kanan yang lunak yang mengabaikan batasan dan lunak terhadap berbagai ide,” kata Oech.

    Kebiasaan ketiga adalah Suka menggugat aturan. Jika aturan telah membatasi pilihan maka Anda harus mencari tahu mengapa suatu aturan dibuat. Mungkin alasan itu tidak relevan lagi. Mungkin sekarang ada pemecahannya yang lebih efektif. Suka mencoba kemustahilan, adalah yang selanjutnya. Oleh karena itu, jangan sekali pun pernah membuang ide sepintas yang kelihatan mustahil. Merenungkan lagi ide yang muncul dapat memicu berbagai kemungkinan baru.

    Toleran terhadap hal dilematis, disebut sebagai kebiasaan kelima. Dalam kenyataan, sering ide kretif lahir dari situasi dilematis atau kepepet. Adalah jarang inovasi muncul dari pola pikir yang tunggal, linier dan pasti. Kemudian yang keenam adalah, Melihat kesalahan sebagai peluang. Ada orang yang suka mencari aman dan menghindari dari kemungkinan salah atau gagal. Sesungguhnya kesalahan justru menempatkan kita memperoleh hal yang tak didapat bila melakukan dengan benar.

    Gede Prama, pernah menyebut Dedi ‘Miing’ Gumelar sebagai satu dari sekian orang yang dijadikan sahabatnya. Alasannya, tidak banyak orang yang bisa membuat orang lain tertawa, meski tidak meninggalkan aspek kecerdasannya. Nampaknya, untuk yang satu ini, Oech juga sepakat, karena ia menempatkan Suka humor dan santai sebagai kebiasaan orang kreatif pada urutan selanjutnya. Memang ide kreatif muncul ketika terdesak situasi, tapi lebih banyak ide brilian dan segar lahir dari suasana santai dan gembira. Saat kita santai dan gembira pertahanan mental jadi longgar sehingga tidak pusing terhadap aturan, hal mustahil maupun yang keliru.

    Orang yang sibuk melihat dunia dalamnya sendiri akan kehilangan banyak ide. Meninjau dunia luar adalah wahana meraih ide baru untuk dunia dalam kita. Maka dari itu, Suka meninjau dunia luar sebaiknya menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi orang-orang kreatif. Selain itu, Berani berpikir beda seolah menjadi ciri yang paling khas dari orang kreatif. Umumnya orang berusaha menyesuaikan dengan budaya organisasinya. Padahal tekanan organisasi bisa memasung kretaivitas. Jadi, beranilah pro terhadap hal yang tidak disetujui mayoritas walau tidak harus terlalu terbuka. Dalam hal ini, bukan berarti mengesampingkan kebenaran, karena disini akan lebih bernilai jika sikap satu ini untuk berbeda terhadap mayoritas ketidakbenaran. Dan yang terakhir disebutkan Oech, adalah senantiasa Terbuka terhadap gagasan baru. Orang yang mengaku bukan orang yang kreatif berarti telah memasung diri sendiri. Ingatlah, bahwa ide akan berkembang bila kita memberinya ruang. Baik dengan tambahan dari luar diri Anda atau tidak menekan ide yang telah dipunyai.

    Sudahkah menjadi orang kreatif? Mulailah hari ini juga! Wallaahu a’lam bishshowaab

    ***

    Oleh: Bayu Gautama-Eramuslim

     
  • erva kurniawan 4:21 am on 24 November 2013 Permalink | Balas  

    Keuletan 

    kerja keras 2Keuletan

    Allah berfirman dalam alqur’an: “didalam setiap kesulitan ada kemudahan” Alam nashroh… Eh Seorang genius bernama Albert Einstein pernah berkata yang mirip-mirip: In the Middle of Difficulty Lies Opportunity. Terjemahannya secara bebas bisa diartikan sebagai berikut : Di dalam setiap kesulitan terdapat kesempatan. Bila direnungkan kata-kata mutiara tersebut di atas dengan lebih seksama, sungguh merupakan sebuah kata-kata yang mengandung pengertian dan mempunyai bobot motivasi yang dalam.

    Ya, memang benar !.. Disetiap kesulitan yang mampu kita atasi, maka bersamaan itu pula akan muncul kesempatan-kesempatan yang memungkinkan kita untuk melanjutkan usaha dan perjuangan sehingga tercapai kemajuan dan kesuksesan.

    Tetapi, yang sering terjadi pada saat kita dihadapkan dengan Rintangan, Cobaan, Kesulitan, Problem yang bermunculan, semangat perjuangan menjadi turun dan mudah menyerah. Terkadang di saat-saat tertentu, kesulitan-kesulitan itu terasa begitu berat dan sangat membebani mental, bahkan tidak jarang sampai membuat kita merasa gagal, frustasi, depresi, putus asa menganggap ini semua merupakan suratan nasib kita.

    Mengapa kita mudah menyerah?. Mengapa kita cepat merasa gagal? Sebenarnya perasaan di atas ini adalah akibat dari hasil pikiran atau kesadaran tentang proses hidup ini yang belum matang. Kita perlu menyadari bahwa kesulitan adalah bagian dari kehidupan kita. Setiap kesulitan pasti akan membawa hikmahnya yang setimpal. Kesuksesan sejati adalah kristalisasi dari berbagai macam kesulitan-kesulitan yang mampu kita atasi. Untuk itu tidak terkecuali bagi kita yang bergerak di Ahadnet, pasti akan menemui berbagai macam kesulitan sebagai Tantangan yang harus kita hadapi.

    Maka jelas sekali, kita dituntut mempunyai Keuletan Extra. Keuletan yang berarti: tidak sekedar Sabar Bertahan, Apatis, Pasif, Pasrah, tetapi Keuletan yang didalamnya mengandung sikap Pantang putus asa, Tetap bersemangat, Kegigihan, Ketegaran, Keberanian untuk Bereaksi terus menerus dan Pantang menyerah.

    Jika sikap mental KEULETAN diatas dapat dipraktekkan disetiap tantangan yang muncul, sampai menjadi kebiasaan dikehidupan kita, maka kita akan sadar bahwa hanya melalui, Kelemahan, Kesulitan, Kesalahan, bahkan Kegagalan, barulah kita mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan ini melalui BELAJAR DALAM ARTI YANG SEBENARNYA.

    Istilah Zainuddin: Mundur hancur, berhenti diinjak orang..! so what? Maju terus…!

    ***

    Oleh: Zamah Saari

     
    • assa 1:14 pm on 25 November 2013 Permalink

      Maka ciptakanlah “kesulitan” dan engkau akan temukan “kemudahan” didalamnya. :)

  • erva kurniawan 5:02 am on 17 November 2013 Permalink | Balas  

    Toko dalam Toko Kelontong 

    bekerjaToko dalam Toko Kelontong

    Dalam forum Maiyahan, tempat pemeluk berbagai agama berkumpul melingkar, sering saya bertanya kepada forum:

    “Apakah anda punya tetangga?”.

    Biasanya dijawab: “Tentu punya”

    “Punya istri enggak tetangga Anda?”

    “Ya,punya dong”

    “Pernah lihat kaki istri tetangga Anda itu?”

    “Secara khusus, tak pernah melihat ”

    ” Jari-jari kakinya lima atau tujuh? ”

    “Tidak pernah memperhatikan”

    “Body-nya sexy enggak?”

    Hadirin biasanya tertawa.

    Dan saya lanjutkan tanpa menunggu jawaban mereka: “Sexy atau tidak bukan urusan kita, kan? Tidak usah kita perhatikan, tak usah kita amati, tak usah kita dialogkan, diskusikan atau perdebatkan. Biarin saja”.

    Keyakinan keagamaan orang lain itu ya ibarat istri orang lain. Ndak usah diomong-omongkan, ndak usah dipersoalkan benar salahnya, mana yang lebih unggul atau apapun. Tentu, masing-masing suami punya penilaian bahwa istrinya begini begitu dibanding istri tetangganya, tapi cukuplah disimpan didalam hati.

    Bagi orang non-Islam, agama Islam itu salah. Dan itulah sebabnya ia menjadi orang non-Islam. Kalau dia beranggapan atau meyakini bahwa Islam itu benar, ngapain dia jadi non-Islam? Demikian juga, bagi orang Islam, agama lain itu salah. Justru berdasar itulah maka ia menjadi orang Islam.

    Tapi, sebagaimana istri tetangga, itu disimpan saja didalam hati, jangan diungkapkan, diperbandingkan, atau dijadikan bahan seminar atau pertengkaran. Biarlah setiap orang memilih istri sendiri-sendiri, dan jagalah kemerdekaan masing-masing orang untuk menghormati dan mencintai istrinya masing-masing, tak usah rewel bahwa istri kita lebih mancung hidungnya karena Bapaknya dulu sunatnya pakai calak dan tidak pakai dokter,umpamanya.

    Dengan kata yang lebih jelas, teologi agama-agama tak usah dipertengkarkan, biarkan masing-masing pada keyakinannya. Sementara itu orang muslim yang mau melahirkan padahal motornya gembos, silakan pinjam motor tetangganya yang beragama Katolik untuk mengantar istrinya ke rumah sakit. Atau, Pak Pastor yang sebelah sana karena baju misanya kehujanan, padahal waktunya mendesak, ia boleh pinjam baju koko tetangganya yang NU maupun yang Muhamadiyah.

    Atau ada orang Hindu kerjasama bikin warung soto dengan tetangga Budha, kemudian bareng-bareng bawa colt bak ke pasar dengan tetangga Protestan untuk kulakan bahan-bahan jualannya. Tetangga-tetangga berbagai pemeluk agama, warga Berbagai parpol, golongan, aliran, kelompok, atau apapun, silakan bekerja sama di bidang usaha perekonomian, sosial, kebudayaan, sambil saling melindungi koridor teologi masing-masing. Bisa memperbaiki pagar bersama-sama, bisa gugur gunung membersihi kampung, bisa pergi mancing bareng bisa main gaple dan remi bersama. Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kebayannya Gatholoco, atau apapun.

    Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah. Itulah lingkaran tulus hati dengan hati. Itulah Maiyah. Wasallam. (Emha Ainun Nadjib)

     
  • erva kurniawan 4:38 am on 14 November 2013 Permalink | Balas  

    Tulang Rusuk 

    pasangan_serasiTulang Rusuk (Renungan)

    Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita. Tanpa mereka, hati, fikiran, perasaan lelaki akan resah. Masih mencari walaupun sudah ada segala-galanya. Apalagi yang tidak ada di syurga, namun Nabi Adam a.s. tetap merindukan siti hawa.

    Kepada wanitalah lelaki memanggil ibu, istri atau puteri. Dijadikan mereka dari tulang rusuk yang bengkok untuk diluruskan oleh lelaki, tetapi kalau lelaki sendiri yang tidak lurus, tidak mungkin mampu hendak meluruskan mereka.

    Tak logis kayu yang bengkok menghasilkan bayang-bayang yang lurus. Luruskanlah wanita dengan cara petunjuk Allah, karena mereka diciptakan begitu rupa oleh mereka. Didiklah mereka dengan panduan dariNya:

    Jangan coba jinakkan mereka dengan harta, nanti mereka semakin liar, jangan hiburkan mereka dengan kecantikan, nanti mereka semakin menderita.

    Yang sementara itu tidak akan menyelesaikan masalah, Kenalkan mereka kepada Allah, zat yang kekal, disitulah kuncinya.

    Akal setipis rambutnya, tebalkan dengan ilmu, hati serapuh kaca, kuatkan dengan iman, perasaan selembut sutera, hiasilah dengan akhlak .

    Suburkanlah karena dari situlah nanti merka akan nampak penilaian dan keadilan Tuhan. Akan terhibur dan berbahagialah mereka, walaupun tidak jadi ratu cantik dunia, presiden ataupun perdana mentri negara atau women gladiator. Bisikkan ke telinga mereka bahwa kelembutan bukan suatu kelemahan. Itu bukan diskriminasi Tuhan. Sebaliknya disitulah kasih sayang Tuhan, karena rahim wanita yang lembut itulah yang mengandungkan lelaki2 wajah: negarawan, karyawan, jutawan dan wan-wan lain.

    Tidak akan lahir superman tanpa superwoman. Wanita yang lupa hakikat kejadiannya, pasti tidak terhibur dan tidak menghiburkan.

    Tanpa ilmu, iman dan akhlak, mereka bukan saja tidak bisa diluruskan, bahkan mereka pula membengkokkan.

    Lebih banyak lelaki yang dirusakkan oleh perempuan daripada perempuan yang dirusakkan oleh lelaki. Sebodoh-bodoh perempuan pun bisa menundukkan sepandai-pandai lelaki.

    Itulah akibatnya apabila wanita tidak kenal Tuhan. Mereka tidak akan kenal diri mereka sendiri, apalagi mengenal lelaki. Kini bukan saja banyak boss telah kehilangan secretary, bahkan anakpun akan kehilangan ibu, suami kehilangan istri dan bapa akan kehilangan puteri.

    Bila wanita durhaka dunia akan huru-hara. Bila tulang rusuk patah, rusaklah jantung, hati dan limpa. Para lelaki pula jangan hanya mengharap ketaatan tetapi binalah kepemimpinan.

    Pastikan sebelum memimpin wanita menuju Allah PIMPINLAH DIRI SENDIRI DAHULU KEPADA-NYA. jinakan diri dengan Allah, niscaya jinaklah segala-galanya dibawah pimpinan kita.

    Jangan mengharap istri seperti siti fatimah, kalau pribadi belum lagi seperti sayidina ali

    Wallahu a’lam bisshawwab

    ***

    Dari Sahabat

     
    • lazione budy 5:07 am on 14 November 2013 Permalink

      Orang baik hanya untuk orang baik, orang beriman hanya untuk orang beriman. Begitu juga sebaiknya…

  • erva kurniawan 3:55 am on 13 November 2013 Permalink | Balas  

    Mahardika 

    siluet-pemudaMahardika

    Musa termangu mendengarkan jlentrehan Nabi Khaidir, ketika waktu tlah mendekati ujung perpisahan keduanya.”…..inilah hikmah kenapa saya berbuat demikian, sehingga kamu tidak bisa sabar bersamaku…..” kata Khaidir.

    Dalam gerbong kereta api Senja Utama – Jogja Jakarta, aku sengaja menyediakan berpuluh puluh pecahan uang ratusan perak, karena kata mbakyu nanti banyak pengamen dan pengemis di sepanjang perjalanan .Satu persatu dhuwit recehan kukeluarkan seiring naik turunnya para pengamen dan pengemis.Ada rasa gembira ketika kita bisa memberinya.Dan aku ingin mengajarkan kepada anak istri yang ada disampingku bahwa mereka punya hak juga yang semestinya harus kita penuhi, meskipun hanya sedikit yang bisa kita berikan.

    Mungkin sekali sekali kita coba rihlah- robbaniyah/ spiritual, untuk menyelami dinamika kehidupan manusia sembari melihat lihat kebesaran Allah lewat karya karyaNya.

    Begitulah kira kira pentas dunia ini, hanya sebentar persis seperti anak kecil yang bermain ..Cilub…Baa…… Sebentar…..bahkan sebentar sekali.

    “Berapa kamu hidup di dunia??” Pertanyaan itu diajukan kepada seorang yang telah sampai di akhirat. ” Aku hanya hidup sekejap mata…” begitu jawabannya.

    Sunan Kalijogo pernah membuat syair, hidup di dunia ini seperti: “Sluku sluku bathok, Bathoke ela elo” (anak kecil yang bermain tempurung–ke sana kemari kesana kemari) “Si Rama menyang Solo- Leh olehe payung motha” ( Seberapapun jauh perjalanan manusia, ujung ujungnya hanya kematianlah akhirnya) “Mak jenthit lo lo lobah” (Orang hidup di dunia ini seperti anak kecil bermain cilub ba) “wong mati ora obah” (Kematian memutus kesempatan beramal). Dan lain lain.

    Ketika orang mampu membaca bahwa hidupnya tidak seberapa lama dibandingkan abadanya akhirat, atau sedikitnya ilmu pengetahuan dibandingkan kemaha luasan IlmuNya, saat itulah dia sedang menjadi insan mahardika. Yakni insan yang mampu memberdayan fasilitas fasilitas kudianiawiaannya, pangkat drajat, bondho dunyo, untuk meraih suatu keperluan yang jauh lebih penting yakni meraih ridhoNya baik lewat amaliyah ritual maupun amaliyah sosial kemanusiaan.

    Inna sholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati, lillahi robbil ‘alamiin. La syarikalahu wabidzalikal umirtu wa anna minal muslimiin.

    Setiap orang, mau tidak mau, suka tidak suka sedang digiring oleh perjalanan waktu pada perjumpaan pada Allah Swt. Nggak percaya?

    Ambillah cermin, lihatlah kerut kerut di wajah kita. Bandingkan dengan wajah kita waktu kita berumur sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, dan bayangkan wajah apalagi setelah dua puluh tiga puluh tahun ke depan pada wajah kita.

    Barang siapa yang senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan barang siapa yang tidak suka berjumpa dengan Allah, maka Allah pun tidak suka berjumpa dengannya.

    ***

    Dari: Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:25 am on 3 November 2013 Permalink | Balas  

    Dengarlah Bunga Sedang Bicara 

    Taman-bungaDengarlah Bunga Sedang Bicara

    Oleh: Gede Prama

    Kesenangan dan hobi untuk memelihara taman, bagi saya adalah salah satu obat kehidupan yang amat membantu. Hampir setiap pagi sebelum memulai kegiatan setiap hari, saya menyempatkan diri untuk melihat dan memegang-megang pohon dan bunga-bunga yang mekar di taman.

    Demikian juga di hampir setiap sore yang melelahkan. Ada sejenis dahaga tertentu yang terobati setelah memandangi dan memegang bunga atau pepohonan. Dalam kedalaman renungan tertentu, kadang terasa ada bunga yang sedang mau ‘berbicara’ ke arah manusia.

    Cobalah Anda perhatikan, setiap bunga mengenal siklus tumbuh, mekar, layu dan kemudian mati. Mirip dengan api, setelah menyala, beberapa lama kemudian ia mati.

    Semua ini menimbulkan pertanyaan, kemanakah perginya bunga dan api setelah ia mati ? Bunga memang lebih jelas, karena setelah layu ia jatuh ke tanah, untuk memenuhi panggilan tugas dari sang Ibu untuk menjadi pupuk.Namun api, ia amat misterius. Begitu mati, menghilang tidak ketahuan jejaknya.

    Anda bebas menafsirkan semua ini. Dan bagi saya, bunga dan api sedang ‘membisikkan’ kebijakan yang amat berguna bagi kita manusia.

    Bunga sebagaimana juga kita mengenal siklus lahir, tumbuh, layu dan kemudian mati. Ini hukum besi yang berlaku bagi bunga maupun manusia yang manapun. Bedanya, kalau bunga setelah mati selalu menunaikan tugas sebagai pupuk buat sang ‘Ibu’, adakah kita manusia juga mewariskan ‘pupuk-pupuk’ yang menyuburkan ?

    Api juga ‘membisikkan’ sesuatu ke kita. Sebelum mati dan menghilang, ia senantiasa memberikan sinar yang menerangi.

    Namun manusia, sudahkah kita hidup dengan konsep-konsep menerangi ? Inilah rangkaian renungan yang perlu kita endapkan dari bunga dan api.

    Di titik ini, kerap saya merasa demikian bodoh dan tulinya. Baik bunga dan api, sudah kita temukan sejak pertama kali mengenal dunia. Tetapi, kenapa butuh waktu demikian lama untuk bisa ‘mendengarkan’ bisikan-bisikan bunga dan api ?

    Mungkin benar keyakinan banyak orang tua, lebih baik terlambat dibandingkan tuli sama sekali. Untuk itulah, saya sedang mengajak Anda untuk mempertajam kepekaan pendengaran akan bisikan-bisikan bunga dan api.

    Bukan untuk menjadi manusia aneh dan kemudian dicurigai gila. Melainkan, memetik indahnya bunga melalui kebijakan yang dicoba untuk dikatakan ke kita manusia. Atau menikmati terangnya api, lewat kearifan penerangan yang telah dihadirkan.

    Sebagaimana bau harumnya bunga, serta terangnya sinar api, demikianlah wajah kehidupan orang yang telinganya peka pada bisikan-bisikan bunga dan api.

    Mari kita mulai dengan pesan bunga yang senantiasa mengakhiri hidupnya sebagai pupuk. Lama saya sempat merenung tentang kearifan bunga. Tubuh kita memang akan membusuk jadi pupuk setelah melewati kematian. Bedanya dengan bunga yang hanya memiliki badan kasar, kita manusia memiliki jauh lebih banyak dari badan kasar. Keteladanan, cinta, kasih sayang, doa, pengabdian hanyalah sebagian dari pupuk-pupuk lain yang bernilai jauh lebih berguna dari sekadar badan kasar yang membusuk. Kalau pembusukan badan kasar, dibatasi ruang dan waktu, pupuk-pupuk manusia tadi bisa menembus ruang dan waktu.

    Sebutlah nama-nama manusia yang telah tiada dan meninggalkan pupuk kehidupan yang jauh lebih besar dari sekadar badan kasar yang membusuk. Dari Baharudin Lopa, Mohammad Hatta, John Lennon sampai dengan Kahlil Gibran. Saya tidak tahu, apakah mereka dulu mendengarkan bisikan bunga dan api. Yang jelas, rangkaian pupuk kehidupan yang diwariskan mereka ke kita, memberi inspirasi dalam kurun waktu dan bentangan ruang yang tidak terbatas.

    Mirip dengan bunga yang mengharumi ketika mekar, api yang menyinari ketika masih hidup, demikianlah inti-inti kebijakan yang mereka wariskan ke kita. Lebih dari itu, setelah matipun mereka masih ‘mendengarkan’ bisikan bunga dan api. Pupuk-pupuknya demikian menyuburkan. Dan berbeda dengan api yang sinarnya lenyap ketika mati, mereka masih bersinar tatkala badan kasarnya sudah ditelan bumi.

    Putera bungsu saya yang masih balita pernah bertanya, kemanakah bunga dan api pergi ketika mereka sudah mati ? Pertanyaan ini memang kedengaran innocent, namun relevan untuk ditanyakan pada diri kita manusia.

    Anda bebas untuk percaya atau tidak percaya, seorang hypnotherapist bernama Michael Newton pernah melakukan eksperimen yang menarik. Sejumlah pasien yang dihipnotis dibawa oleh Newton ke dalam rangkaian pengalaman jauh ke belakang.

    Dari pengalamannya pernah meninggal di kehidupan sebelumnya, sampai dengan perjalanan-perjalanan jiwa yang lain. Sebagaimana yang dia tulis dalam buku karyanya yang berjudul Journey of Souls : Case Studies of Life Between Lives, diperlihatkan dengan metode wawancara, bagaimana orang-orang dalam keadaan terhipnotis bisa bertutur tentang perjalanan jiwa mereka yang amat unik dan berbeda.

    Newton memang bukan seorang pakar agama dan hanya seorang terapis. Dia juga mengakui menjaga jarak terhadap konsep reinkarnasi. Tetapi apa yang dia temukan, memberikan sebuah pandangan, bahwa kita ini lebih dari sekadar gumpalan-gumpalan daging yang riwayatnya tamat ketika kematian telah menjemput.

    Saya tidak tahu, apakah bunga dan api riwayatnya tamat setelah mati. Namun manusia sebagaimana dituturkan Newton, masih memiliki riwayat panjang setelah beberapa kali dijemput kematian. Sekaligus memberikan bahan perenungan, kemanakah kita sedang dan telah mengarahkan perjalanan jiwa ini?.

    Bunga dan api memang diam selamanya kalau kita menggunakan konsep berbicara ala manusia. Namun, rangkaian renungan di atas, membuat saya terdiam sejenak setiap kali melihat bunga dan api. Untuk kemudian, melalui kepekaan-kepekaan mencoba membuka telinga hati yang kadang dibuat bersembunyi oleh kehidupan masa kini.

    Wasalam, Saudara Muslim

     
  • erva kurniawan 3:33 am on 1 November 2013 Permalink | Balas  

    Kritik dan Komentar 

    akalKritik dan Komentar

    Entah mengapa rasanya mulut ini mudah sekali berkomentar. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, rasa-rasanya amat menggelitik, sehingga dengan disadari atau tidak, terlontar kata kata yang begitu mungil dan ringan diucapkan tapi begitu besar dan berat dampak dunia akheratnya. Bahkan celetukan spontan selain bisa memperlihatkan kualitas kepribadian kita juga bisa menentukan nasib baik kita atau sebaliknya.

    Kalau tak berhati-hati, komentar kita bisa melukai hati orang lain, karena yang bersangkutan bisa merasa dihina atau dipermalukan atau merasa diejek, (walau kita tak bermaksud buruk) namun begitulah, celoteh iseng kadang bagai pisau yang mengiris, menyakiti dan membuat luka, tentu seperti yang kita tahu sakit hati akan menimbulkan benih kebencian, benci menggiring kepada dengki dan permusuhan, memiliki musuh berarti mempersempit kehidupan kita serta memersiapkan ranjau yang akan mencelakakan diri.

    Komentar juga bisa menandakan kufur nikmat, yang bisa menghapus nikmat yang ada dan menutup pintu pemberian Alloh lainnya yaitu ketika lontaran kata spontan hanya berupa keluh kesah, kekecewaan, cemoohan terhadap keadaan, atau menggerutu penuh kekesalan, padahal semua nikmat dari Alloh tak ada yang mengecewakan, jikalau disyukuri niscaya akan sangat terasa kenikmatannya dan tentu akan mengundang pelbagai karunia lainya sesuai dengan janjiNya.

    Komentar juga akan memperlihatkan kebodohan kita, yaitu ketika kita gemar mengomentari segala hal agar kita nampak serba tahu dan dianggap pintar, padahal jelas sekali orang yang pandai akan sangat berhati-hati dalam ucapannya, lebih banyak diamnya dan tak sungkan untuk mengakui ketidak-tahuannya, serta tak malu dianggap bodoh, sebetulnya hanya orang yang bodoh sungguhan yang sok pintar dan sok tahu.

    Dan berkomentar spontan yang mengerikan adalah ketika, ucapannya penuh dengan riya, takabur, ujub, penyakit hati yang membinasakan, komentar yang sering menceritakan amalnya sendiri dengan tujuan dipuji, pamer jasa dan kebaikan, berarti efektif akan menghanguskan pahala yang dikumpulkannya.

    Komentar yang selalu merendahkan orang lain, plus mencemooh orang yang menasehati serta menolak orang yang mengkritik akan termasuk ke dalam komentar ciri orang yang sombong alias takabbur, seperti fir’aun, abu jahal, abu lahab, yaitu kelompok orang yang terhina dan terkutuk justru karena kesombongannya. Juga ujub yaitu komentar takjub kepada diri sendiri yang membuat diri ingin tampak paling super dalam segala hal, akan menunjukan dengan meyakinkan bahwa memang dirinya paling kurang dalam hal apapun,

    Oleh karena itu, menahan diri untuk tidak mudah berkomentar adalah pintu keselamatan. Komentar dari hasil perenungan yang dalam, pengamatan yang seksama, berpikir yang jernih, kehati-hatian serta ketulusan niat yang mengiringi kesungguhan untuk membawa manfaat dari setiap kata yang terucap, ditambah rasa takut kepada Alloh yang maha mendengar dan yang akan menuntut pertanggungjawaban dari setiap kalimat, akan menjadikan komentar kita menjadi mutiara yang indah dan berharga, tidak hanya bagi yang berucap namun juga bagi yang menyimak, tak pula hanya untuk dunia namun bisa pula menjadi bekal pulang di akherat kelak. InsyaAlloh.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:31 am on 31 October 2013 Permalink | Balas  

    Cinta dan Perkawinan Menurut Plato 

    cincin-kawinCinta dan Perkawinan Menurut Plato

    Satu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?

    Gurunya menjawab, Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”

    Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”

    Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”

    Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan,tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana,jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwasanya ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”

    Gurunya kemudian menjawab “Jadi ya itulah cinta”

    Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”

    Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

    Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/ subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

    Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan,ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat,jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”

    Gurunyapun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”

    Catatan kecil:

    Cinta itu semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih. Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan… tiada sesuatupun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya.

    Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, Ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu, Karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.

    Wassalam

     
  • erva kurniawan 2:24 am on 30 October 2013 Permalink | Balas  

    Gajian 

    sampah bagimu rejeki bagikuGajian

    Gaji standard rejeki……???

    Musa merasa was was , memikirkan siapa yang akan memberi makan kambing kambingnya di Madyan ,ketika perintah Allah datang  untuk memanggul tugas memerangi kezhalman di bumi Mesir.

    Adalah hal yang fitrah jika timbul kegamangan dalam batinnya, mengingat selama ini dialah yang ngupokoro dan nggulowenthah ternak ternak tersebut.

    Sebagai manusia biasa, kita sering gamang ketika tangan yang kita gunakan untuk menebang pohon , tidak menghasilkan perolehan kayu seperti yang kita bayangkan. Padahal  anak istri di rumah telah menunggu kedatangan kita, agar mereka bisa mencicipi kenyangnya nasi dan enaknya bersendawa.

    Hal yang lumrah ketika kita bertanya  dalam hati “cukupkah rejeki hari ini?”

    Di era industri seperti sekarang ini, tuntutan emosi akan barang barang yang bisa memanjakan tubuh kita, telah memicu sebagian besar kita dalam arena perlombaan yang seharusnya tidak sampai menyempitkan makna rejeki.

    Ketika dia  tidak bisa memanjakan kakinya dengan kendaraan yang dikredit lewat perjuangan OT-nya, sebetulnya dia sedang menikmati rejeki kaki yang masih bisa digerakkan, keringat yang bisa menetes, mata yang mampu memandang sawangan alam yang dipentaskan oleh sang Pencipta.

    Ketika kegundahan nuraninya harus menerima prosentase kenaikan gaji yang tidak sesuai dengan harapannya, sebetulnya dia sedang menikmati rejeki rasa sungkowo yang bisa dimanfaatkan untuk kekhusyukan sujud yang panjang dan kemanisan membaca Al qur’an.

    Ketika pembatasan OT diberlakukan, sebetulnya dia sedang menikmati indahnya bercanda tawa dan bercengkrama dengan anak dan istri di rumah.

    Ketika terpaksa HP yang dia punyai harus dijual, sebetulnya dia sedang menikmati mesranya  bertemu dengan kawan-kawan lewat obrolan gratis tanpa pulsa .

    Ketika budaya materi menggejala dan meminggirkan nilai nilai rasa yang dipergilirkan olehNya kepada hamba hambanya, ketika itu kita harus waspada bahwa Allah tidak pernah membatasi pemberianNya , bahkan terkesan “Royal” atau “Nyah-Nyoh” terhadap makhluk-makhluknya. Hanya kita yang sering menyempitkannya.

    Ketika Hanifa, seorang bocah  berumur 2,5 tahun itu melantunkan do’a ….Allohumma barik lana fiimaa rozaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar……..

    Ketika  keberkahan rejeki menjadi harapannya, ketika rejeki yang kita punya bisa kita maximalkan nilai kemanfaatannya, ketika kita bisa mengeffisienkan nilai barang barang kita, ketika itu hanya ada satu harapan mudah mudahan rejeki yang terlimpah pada kita menyelamatkan  diri kita dari sambaran api neraka, dan mengantarkan si empunya pada maqom yang mulia di dunia fana dan negeri yang baka.

     
    • lazione budy 2:50 am on 30 Oktober 2013 Permalink

      merasa kaya lebih baik dari pada merasa miskin, karena kaya miskin itu relative.

  • erva kurniawan 3:19 am on 29 October 2013 Permalink | Balas  

    Heran 

    itikafHeran

    Aku heran melihat orang berbangga dengan baju mewahnya, bukankah itu menunjukkan kekurangannya bahwa ternyata ia mempunyai tubuh yang tidak sempurna….dan aku berpikir apakah ia kelak akan dapat berbangga dengan penampilannya itu di padang Masyhar.?

    Aku pun heran melihat orang bangga dengan kata-kata kasarnya serta perkataan manisnya(sindiran kecil & janjinya) yang dapat membuat orang sakit hati, bukankah itu menunjukkan kekurangannya dalam ilmu Bahasa dan aku berpikir apakah ia kelak akan dapat berbangga dengan pertanyaan di Alam Kuburnya.?

    Aku heran melihat orang bebangga dengan make-up dan aksesoris ditubuhnya, bukankah itu menunjukkan bahwa wajahnya tidak sebagus aslinya, dan aku berpikir apakah ia masih dapat berbangga kelak ketika berhadapan dengan Rabbinya.?

    Aku heran melihat orang bangga dengan rumahnya yang megah,bukankah itu menunjukkan bahwa ia masih memerlukan tempat berteduh di bumi Allah yang sudah ditundukkan untuknya ini, dan aku berpikir apakah ia masih dapat berteduh kelak di Masyhar ketika jarak matahari hanya beberapa jengkal darinya.

    Aku heran melihat orang bangga dengan kendaraannya, bukankah itu menunukkan kelemahannya bahwa ia masih memerlukan sarana untuk bergerak dibumi Allah yang kecil ini, dan aku berpikir apakah ia kelak masih dapat berbangga dengan kendaraannya ketika harus melewati titian shirot yang melintang di atas neraka.

    Aku heran melihat orang bebangga dengan tanah luas dan kebun-kebun yang dimilikinya, bukankah itu menunjukkan bahwa ia masih memerlukan tempat pijakan di bumi Allah ini, dan aku berpikir apakah ia kelak akan mampu mendapatkan tanah di surga meskipun hanya beberapa sentimeter.

    Aku heran melihat orang berlomba-lomba mencari makanan mewah hanya untuk mengisi perutnya, bukankah itu menunjukkan dia masih memerlukan benda lain untuk bertahan hidup, dan aku berpikir apa makanannya kelak di akhirat nanti.

    Wassalam

    ***

    Dari: Saudara Muslim

     
    • lazione budy 3:23 am on 29 Oktober 2013 Permalink

      Aku akan lebih heran ketika ada manusia yang tanpa ambisi sehingga tak memerlukan semuanya. Noted it too!

  • erva kurniawan 4:48 am on 25 October 2013 Permalink | Balas  

    Separuh Perjalanan 

    perjalananSeparuh Perjalanan

    Aku sudah menempuh kira-kira separuh perjalanan, kamu seperberapa……???

    Musa menyusuri tepian lautan, dengan satu harapan bisa menemukan orang yang disebut sebut oleh Allah lebih pandai dari dirinya.

    Dan betul, sosok Khaidir yang memberi wulangan akan makna kehidupan, tak mampu dicerna oleh Musa, biarpun dia seorang Nabi. Pertemuannya dengan Sang Khaidir mengajarkan kepadanya, bahwa banyak hikmah tersembunyi di setiap kejadian yang berlaku di pentas dunia yang ramai ini.

    Bayangkan, secara hukum dunia manapun tindakan membunuh anak kecil yang dilakukan oleh Khaidir tidak akan bisa dibenarkan, baik secara hukum pidana maupun hukum moral.

    Tetapi, Subhanallah,….. kita mesti harus tertunduk dan bersujud bila melihat hikmah yang diselipkan disebalik kejadian itu.

    Sekarang, dunia telah mengalami percepatan. Manusia telah disibukkan oleh urusan dunia yang membawanya pada percepatan. Ketika kita mencoba berhenti sejenak, taruh kata cuti, mudik pulang kampung ke Jawa misalnya, kita akan tercengang cengang dengan realita yang begitu cepat.” Oh….mbah itu sudah mati kepleset, oh……temanmu yang sering ke rumah sini juga sudah mati tabrakan. Oh….si Anu sudah punya anak lagi. Oh… Si Itu sudah pensiun dari pabrik tebu,….. dan segudang kecengangan yang kita dengar dan kita temui.

    Semestinya kita merenungi, ada apa di balik percepatan dunia ini..?

    Penghantaran waktu yang mestinya harus dititi dengan untaian perjalanan yang bermakna, karena detik per detik menjanjikan keuntungan bila kita kelola dengan baik, sepertinya hanyut dalam nuansa perlombaan, “….kamu OT nya berapa jam……..wah aku cuma 100 jam. ………..

    Tanpa disadari bahwa detik perdetik yang kita kumpulkan bila kita sebandingkan dengan rentetan angka di ATM, tak sebanding dengan harga waktu saat kita uangkan di akhirat.

    Mari kita berandai andai untuk melancong ke akhirat. Tempat pelancongan yang sudah mulai di tempuh oleh mbah mbah saya.

    Taruhlah di tempat pelancongan itu kita berpesiar 1 juta tahun, kita disuruh cari bekal di dunia 60 tahun, kalau satu hari di pelancongan kita pakai bekal satu hari di dunia, setelah 60 tahun habis bekal.

    Bila dipaksa 60 tahun dunia ini untuk keperluan 1 juta tahun dalam pelancongan, maka betapa mahalnya waktu dunia ini.

    Bila ternyata di pelancongan tidak hanya 1 juta tahun tapi “abada” atau selamanya, apa yang bisa dikatakan untuk mengganti kata mahal di dunia ini. Mungkin saking mahalnya, maka waktu di dunia ini tidak bisa di beli. begitu kira kira.

    Jadi karena tak bisa dibeli, akan kah kita telantarkan tanpa makna.

    Satu detik di dunia akan kita rasakan mahalnya ketika kita berada di pelancongan akhirat.

    Pergulatan waktu, pergulatan emosi, pergulatan kepentingan, pergulatan tangis dan tawa setiap saat berkecamuk di kehidupan kita, tetapi kita akan terkagum kagum pada Sang Pencipta ketika kita bisa memandang Hikmah yang Dia selipkan di sebaliknya. Begitu ngeglonya………………

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 4:38 am on 24 October 2013 Permalink | Balas  

    Kisah Pianis Muda 

    pianoKisah Pianis Muda

    Kisah ini terjadi di Rusia. Seorang ayah, yang memiliki putra yang berusia kurang lebih 5 tahun, memasukkan putranya tersebut ke sekolah musik untuk belajar piano. Ia rindu melihat anaknya kelak menjadi seorang pianis yang terkenal. Selang beberapa waktu kemudian, di kota tersebut datang seorang pianis yang sangat terkenal. Karena ketenarannya, dalam waktu singkat tiket konser telah terjual habis. Sang ayah membeli 2 buah tiket pertunjukan, untuk dirinya dan anaknya.

    Pada hari pertunjukan, satu jam sebelum konser dimulai, kursi telah terisi penuh, sang ayah duduk dan putranya tepat berada di sampingnya. Seperti layaknya seorang anak kecil, anak ini pun tidak betah duduk diam terlalu lama, tanpa sepengetahuan ayahnya, ia menyelinap pergi. Ketika lampu gedung mulai diredupkan, sang ayah terkejut menyadari bahwa putranya tidak ada di sampingnya. Ia lebih terkejut lagi ketika melihat anaknya berada dekat panggung pertunjukan, dan sedang berjalan menghampiri piano yang akan dimainkan pianis tersebut. Didorong oleh rasa ingin tahu, tanpa takut anak tersebut duduk di depan piano dan mulai memainkan sebuah lagu, lagu yang sederhana, twinkle2 little star.

    Operator lampu sorot, yang terkejut mendengar adanya suara piano mengira bahwa konser telah dimulai tanpa aba-aba terlebih dahulu, dan ia langsung menyorotkan lampunya ke tengah panggung. Seluruh penonton terkejut, melihat yang berada di panggung bukan sang pianis, tapi hanyalah seorang anak kecil. Sang pianis pun terkejut, dan bergegas naik ke atas panggung. Melihat anak tersebut, sang pianis tidak menjadi marah, ia tersenyum dan berkata “Teruslah bermain”, dan sang anak yang mendapat ijin, meneruskan permainannya. Sang pianis lalu duduk, di samping anak itu, dan mulai bermain mengimbangi permainan anak itu, ia mengisi semua kelemahan permainan anak itu, dan akhirnya tercipta suatu komposisi permainan yang sangat indah. Bahkan mereka seakan menyatu dalam permainan piano tersebut. Ketika mereka berdua selesai, seluruh penonton menyambut dengan meriah, karangan bunga dilemparkan ke tengah panggung. Sang anak jadi GR (Gede Rasa), pikirnya “Gila, baru belajar piano sebulan saja sudah hebat!” Ia lupa bahwa yang disoraki oleh penonton adalah sang pianis yang duduk di sebelahnya, mengisi semua kekurangannya dan menjadikan permainannya sempurna.

    Apa implikasinya dalam hidup kita

    Kadang kita bangga akan segala rencana hebat yang kita buat, perbuatan-perbuatan besar yang telah berhasil kita lakukan. Tapi kita lupa, bahwa semua itu terjadi karena Allah ada di samping kita. Kita adalah anak kecil tadi, tanpa ada Allah di samping kita, semua yang kita lakukan akan sia-sia. Tapi bila Allah ada di samping kita, sesederhana apapun hal yang kita lakukan hal itu akan menjadi hebat dan baik, bukan saja buat diri kita sendiri tapi juga baik bagi orang di sekitar kita.

    Semoga kita tidak pernah lupa bahwa ada Allah di samping kita.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:17 am on 23 October 2013 Permalink | Balas  

    Jendela Rumah sakit 

    Siluet sholatJendela Rumah sakit

    Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Seorang di antaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya duduk di tempat tidur selama satu jam di setiap sore untuk mengosongkan cairan dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela satu-satunya yang ada di kamar itu.

    Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.

    Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.

    Setiap sore, ketika pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela di perbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat di luar jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, pria ke dua merasa begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan warna-warna indah yang ada di luar sana.

    “Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan. Beberapa pasangan berjalan bergandengan di tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarnakan pelangi. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja yang indah.”

    Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detil, sedangkan pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya di rumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya bertambah.

    Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk di dekat jendela menceritakan tentang parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang ke dua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah.

    Begitulah seterusnya, dari hari ke hari. Dan, satu minggu pun berlalu.

    Suatu pagi, perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatu ya. Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria tadi seorang diri dalam kamar.

    Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya, akhirnya ia bisa melihat sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di samping tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata, jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK KOSONG!!!

    Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang luar biasa indah di balik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa sesungguhnya pria tadi adalah seorang yang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun.

    “Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup,” kata perawat itu.

    (Source Unknown)

    ***

    Teman, saya percaya, setiap kata selalu bermakna bagi setiap orang yang mendengarnya. Setiap kata, adalah layaknya pemicu, yang mampu menelisik sisi terdalam hati manusia, dan membuat kita melakukan sesuatu. Kata-kata, akan selalu memacu dan memicu kita untuk menggerakkan setiap anggota tubuh kita, dalam berpikir, dan bertindak.

    Saya juga percaya, dalam kata-kata, tersimpan kekuatan yang sangat kuat. Dan kita telah sama-sama melihatnya dalam cerita tadi. Kekuatan kata-kata, akan selalu hadir pada kita yang percaya.

    Saya percaya, kata-kata yang santun, sopan, penuh dengan motivasi, bernilai dukungan, memberikan kontribusi positif dalam setiap langkah manusia. Ujaran-ujaran yang bersemangat, tutur kata yang membangun, selalu menghadirkan sisi terbaik dalam hidup kita. Ada hal-hal yang mempesona saat kita mampu memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Menyampaikan keburukan, sebanding dengan setengah kemuraman, namun, menyampaikan kebahagiaan akan melipatgandakan kebahagiaan itu sendiri.

    Dan akhirnya saya percaya, kita semua, saya mampu untuk melakukan itu semua. Menyampaikan setiap ujaran dengan santun, dengan sopan, akan selalu lebih baik daripada menyampaikannya dengan ketus, gerutu, atau dengan kesal. Sampaikanlah semua itu dengan bijak, dengan santun. Saya percaya kita bisa.

    Terima kasih telah membaca.

     
  • erva kurniawan 1:01 am on 16 October 2013 Permalink | Balas  

    Ikrar 

    melempar_jumrahIkrar

    Setelah semuanya usai, maka berjanji untuk diri sendiri, menjadi penting adanya…

    Saat-saat akhir perjalanan ibadah haji adalah ketika para jama’ah berikrar di Mina dengan cara melemparkan ‘senjata’ yang telah diambilnya di waktu malam dari mudzdalifah. Mereka melempar jumrah ke tiga tempat, yaitu: jumratul ula, jumratul wustha, dan jumratul aqobah.

    Inilah sebuah ikrar yang sangat penting dari rangkaian perjalanan haji. Inilah sebuah ‘janji’ dari setiap jama’ah haji sebelum mereka pulang ke tanah air. Janji kepada dirinya sendiri. Janji telah menjadi hamba Allah yang taat, yang akan selalu menganggap setan dan perbuatannya sebagai musuh utamanya. Dalam janji ini, yang menjadi saksi adalah diri sendiri. Bukan orang lain. Dan tentu Allah Swt sebagai saksi utamanya.

    Ketika nabi Ibrahim as akan melaksanakan perintah Allah, maka setan dengan berbagai caranya menggoda dan mempengaruhi hati nabi Ibrahim agar menentang perintah Allah. Tetapi dengan kekuatan hatinya dan dengan kekuatan iman serta cintanya kepada Allah, berhasillah nabi Ibrahim melempar dan menjauhi pengaruh syaitani.

    Kini tinggallah para jamaah haji, bagaimana mereka berikrar dan berjanji untuk tetap memusuhi perbuatan syaitani tersebut. Setelah kembali menjalani aktivitas sehari-harinya.

    Ikrar adalah sebuah moment penting dalam hidup beragama. Dengan ikrar manusia menjadi mampu untuk berkomitmen dan beristiqomah.

    Rukun islam yang pertama, sebelum menjalani rukun yang lain, seorang muslim harus berikrar dan menjiwai dua kalimat syahadat. Kalimat kesaksian bahwa Tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

    Dalam setiap kita melakukan shalat, sebelum membaca Al-Fatihah, disunahkan untuk membaca do’a iftitah, yang di dalamnya terdapat sebuah ikrar yang indah dari seorang hamba kepada tuhannya. “…inna shalaati wa nusuki, wamah yaaya wamamaati, lillaahi rabbil alamiin…”

    Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah karena Allah tuhan semesta alam..

    Bahkan dalam masalah iman, janji adalah suatu kebajikan yang harus ditepati. Allah akan menagih janji itu. Sebab Allah Maha Mengetahui segala apa yang diperbuat manusia.

    QS. Al-Baqarah (2) : 177

    Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

    QS.An-Nahl (16) : 91

    Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

    Proses melakukan ikrar, sungguh sangat berat. Seorang jamaah harus berjuang melawan situasi dan kondisi yang sangat melelahkan, baik secara fisik maupun mental. Tidak jarang ketika melakukan proses melempar jumrah tersebut, terjadi banyak kurban. Ada yang terinjak, tertindih, tergencet, terdorong, sampai tak bisa bernafas. Bahkan sampai-sampai banyak yang meninggal dunia dalam proses tersebut. Sebuah proses yang memerlukan perjuangan keras, dengan komitmen yang tinggi.

    Ketika pak Yono, sedang melempar jumrah, saat itu ia terpisah dengan rombongan. Semua sudah pulang kembali ke tenda masing-masing, pak Yono belum pulang juga. Sehingga dihinggapi rasa khawatir yang sangat dalam. Tetapi setelah lama ditunggu, akhirnya ia datang juga dengan nafas memburu, dengan pakaian dan rambut yang lusuh. Pak Yono bercerita, dengan penuh haru.

    “Ya Allah, sungguh saya sudah pasrah, andaikata saya harus menghadap Allah pada saat itu juga. Sungguh luar biasa! Lautan manusia menghimpit saya. Dari kiri, kanan, muka, belakang… Bahkan kaki saya tidak menginjak tanah lagi. Kedua kaki saya terangkat, badan saya terombang-ambing kesana kemari…ya Allah..” Kenangnya sambil mengusap keringat dan air matanya.

    Inilah sebuah ikrar, yang memerlukan perjuangan yang ekstra keras untuk mencapainya. Semoga ikrar itu menjadikan motivasi tersendiri bagi para jama’ah haji dalam kehidupan kesehariannya… insyaAllah.

    ***

    Dari: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 3:43 am on 11 October 2013 Permalink | Balas  

    Cermin yang Terlupakan 

    cermin1Cermin yang Terlupakan

    Pada suatu ketika, sepasang suami istri, katakanlah nama mereka Smith, mengadakan ‘garage sale’ untuk menjual barang-barang bekas yang tidak  mereka butuhkan lagi. Suami istri ini sudah setengah baya, dan  anak-anak mereka telah meninggalkan rumah untuk hidup mandiri.  Sekarang waktunya untuk membenahi rumah, dan menjual barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.

    Saat mengumpulkan barang-barang yang akan dijual, mereka menemukan benda-benda yang sudah sedemikian lama tersimpan di gudang. Salah satu di antaranya adalah sebuah cermin yang mereka dapatkan sebagai hadiah pernikahan mereka, dua puluh tahun yang lampau.  Sejak pertama kali diperoleh, cermin itu sama sekali tidak pernah digunakan. Bingkainya yang berwarna biru aqua membuat cermin itu tampak buruk, dan tidak cocok untuk diletakkan di ruangan mana pun di rumah mereka. Namun karena tidak ingin menyakiti orang yang menghadiahkannya, cermin itu tidak mereka kembalikan. Demikianlah, cermin itu teronggok di loteng. Setelah dua puluh tahun berlalu, mereka berpikir orang yang memberikannya tentu sudah lupa dengan cermin itu. Maka mereka mengeluarkannya dari gudang, dan meletakkannya bersama dengan barang lain untuk dijual keesokan hari.

    Garage sale mereka ternyata mendapat banyak peminat. Halaman rumah mereka penuh oleh orang-orang yang datang untuk melihat barang bekas yang mereka jual. Satu per satu barang bekas itu mulai terjual. Perabot rumah tangga, buku-buku, pakaian, alat berkebun, mainan anak-anak, bahkan radio tua yang sudah tidak berfungsi pun masih ada yang membeli. Seorang lelaki menghampiri Mrs. Smith. “Berapa harga cermin itu?” katanya sambil menunjuk cermin tak terpakai tadi. Mrs. Smith tercengang. “Wah, saya sendiri tidak berharap akan menjual cermin itu. Apakah Anda  sungguh ingin membelinya?” katanya. “Ya, tentu saja. Kondisinya masih sangat  bagus.” jawab pria itu. Mrs. Smith tidak tahu berapa harga yang pantas untuk cermin jelek itu. Meskipun sangat mulus, namun baginya cermin itu tetaplah jelek dan tidak berharga. Setelah berpikir sejenak, Mrs. Smith berkata, “Hmm … anda bisa membeli cermin itu untuk satu dolar.” Dengan wajah berseri-seri, pria tadi mengeluarkan dompetnya, menarik selembar uang satu dolar dan memberikannya kepada Mrs. Smith.

    “Terima kasih,” kata Mrs. Smith, “sekarang cermin itu jadi milik Anda. Apakah perlu dibungkus?” “Oh, jika boleh, saya ingin memeriksanya sebelum saya bawa pulang.” jawab si pembeli.

    Mrs. Smith memberikan ijinnya, dan pria itu bergegas mengambil cerminnya dan meletakkannya di atas meja di depan Mrs. Smith. Dia mulai mengupas pinggiran bingkai cermin itu. Dengan satu tarikan dia melepaskan lapisan pelindungnya dan muncullah warna keemasan dari baliknya. Bingkai cermin itu ternyata bercat emas yang sangat indah, dan warna biru aqua yang selama ini menutupinya hanyalah warna dari lapisan pelindung bingkai itu!

    “Ya, tepat seperti yang saya duga! Terima kasih!” sorak pria itu dengan gembira. Mrs. Smith tidak bisa berkata-kata menyaksikan cermin indah itu dibawa pergi oleh pemilik barunya, untuk mendapatkan tempat yang lebih  pantas daripada loteng rumah yang sempit dan berdebu.

    Kisah ini menggambarkan bagaimana kita melihat hidup kita. Terkadang kita merasa hidup kita membosankan, tidak seindah yang kita inginkan. Kita  melihat hidup kita berupa rangkaian rutinitas yang harus kita jalani. Bangun pagi, pergi bekerja, pulang sore, tidur, bangun pagi, pegi bekerja, pulang sore, tidur. Itu saja yang kita jalani setiap hari.

    Sama halnya dengan Mr. dan Mrs. Smith yang hanya melihat plastik pelapis dari bingkai cermin mereka, sehingga mereka merasa cermin itu jelek dan tidak cocok digantung di dinding. Padahal dibalik lapisan itu, ada warna emas yang indah. Padahal di balik rutinitas hidup kita, ada banyak hal yang dapat memperkaya hidup kita. Setiap saat yang kita lewati, hanya bisa kita alami satu kali seumur hidup kita. Setiap detik yang kita jalani, hanya berlaku satu kali dalam hidup kita. Setiap detik adalah pemberian baru dari Tuhan untuk kita. Akankah kita menyia-nyiakannya dengan terpaku pada rutinitas? Akankah kita membiarkan waktu berlalu dengan merasa hidup kita tidak seperti yang kita inginkan?

    Setelah dua puluh tahun, dan setelah terlambat, barulah Mrs. Smith menyadari nilai sesungguhnya dari cermin tersebut. Inginkah kita  menyadari keindahan hidup kita setelah segalanya terlambat? Tentu tidak.  Sebab itu, marilah kita mulai mengikis pandangan kita bahwa hidup hanyalah rutinitas belaka. Mari kita mulai mengelupas rutinitas tersebut dan menemukan nilai sesungguhnya dari hidup kita.  Marilah kita mulai menjelajah hidup kita, menemukan hal-hal baru, belajar lebih banyak, mengenal orang lebih baik. Mari kita melakukan sesuatu yang baru. Mari kita membuat perbedaan! Mari kita jelang tahun yang baru ini dengan suatu semangat baru untuk menjalani hidup lebih baik setiap hari.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 3:50 am on 30 September 2013 Permalink | Balas  

    Investasi Waktu 

    WaktuInvestasi Waktu

    Bayangkan bila ada sebuah bank yang memberi pinjaman uang kepada anda sejumlah Rp. 86.400,- setiap paginya. Semua uang itu harus anda gunakan. Dan pada malam hari, bank akan menghapus sisa uang yang tidak anda gunakan selama sehari.

    Coba tebak!!, apa yang akan anda lakukan?

    Tentu saja, menghabiskan semua uang pinjaman itu. Betul nggak ? (dalam hati kecil anda tentu akan mengatakan iya yaa! )

    Setiap makhluk yang ada di alam inipun telah dianugerahi oleh NYA bank semacam itu; yang diantara kita kenal dengan nama WAKTU.

    Setiap pagi, ia akan memberi anda 86.400 detik. Pada malam harinya ia akan menghapus sisa waktu yang tidak anda gunakan untuk tujuan baik. Dan dia tidak akan memberikan sisa waktunya pada anda. Juga dia tidak memberikan waktu tambahan. Setiap hari ia akan membuka satu rekening baru untuk anda. Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa.

    Jika anda tidak menggunakannya maka kerugian akan menimpa anda. Anda tidak bisa menariknya kembali. Juga, anda tidak bisa meminta “uang muka” untuk keesokan hari. Anda harus hidup di dalam simpanan hari ini.

    Maka dari itu, investasikanlah untuk kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan anda

    Jarum jam terus berdetak, waktu terus berjalan tanpa henti-hentinya. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya.

    Untuk lebih mengetahui pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.

    Untuk lebih mengetahui pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayinya prematur.

    Untuk lebih mengetahui pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.

    Untuk Lebih mengetahui pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih, istri atau anak anda yang sedang menunggu untuk bertemu.

    Untuk lebih mengetahui pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang. Untuk lebih mmengetahui pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.

    Untul lebih mengetahui pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada ruh di yaumil akhir nanti yang menyesal dan berharap kembali ke dunia barang semili detik untuk bertobat padaNYA.

    NAH bapak-bapak dan saudara-saudaraku semua; Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dan ingatlah waktu tidak akan mau menunggu siapa-siapa.

    Sahabat paling baik dari kebenaran adalah waktu, musuhnya yang paling besar adalah nafsu & prasangka, dan pengawalnya yang paling setia adalah kerendahan hati.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 4:07 am on 3 September 2013 Permalink | Balas  

    Permata dalam Hati Kita 

    restianti-siluetPermata dalam Hati Kita

    Setiap musibah ternyata selalu memberikan hikmah tersendiri. Ledakan bom di hotel JW Marriot adalah salah satu contohnya. Banyak eksekutif yang merasa was-was untuk pergi makan siang, apalagi berperilaku ”macam-macam” pada jam makan siang. Tidak sedikit pula yang kembali menekuni agama.

    Seorang eksekutif mengirimkan e-mail berjudul ”Betapa Dekatnya Kita dengan Maut.” Ia bercerita mengenai suaminya yang luput dari tragedi itu. Ia pun berpesan kepada teman-temannya untuk benar-benar menghargai waktu yang ada dan hidup rukun dengan orang-orang yang kita sayangi. ”Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir perjalanan hidup kita,” ujarnya.

    Seorang sekretaris yang luput dari kejadian itu juga mengirimkan e-mail bernada serupa. Siang itu ia bersama 29 sekretaris dari berbagai perusahaan memenuhi undangan pihak hotel untuk makan siang di Kafe Syailendra. Namun, makan siang tersebut tertunda karena anggota rombongan masih ingin melihat beberapa area hotel. Di saat itulah bom meledak. Kafe Syailendra hancur. Pada saat-saat kritis itulah di tengah reruntuhan kaca, bau mesiu, lumuran darah, suara sirene dan histeris dari semua orang ia benar-benar merasakan kehadiran Tuhan.

    Mengingat kematian memang merupakan cara paling efektif untuk menjadi sadar dan terbangun. Inilah satu-satunya hal yang paling pasti di dunia ini. Kematian juga tidak ada kaitannya dengan usia, kesehatan, dan jenis pekerjaan. Karena itu, siapapun Anda, Anda begitu dekat dengan kematian!

    Sayang, kesadaran seperti ini seringkali hilang seiring dengan berjalannya waktu. Kita mulai melupakannya, tenggelam dalam rutinitas, dan kembali ”tertidur” sampai sebuah musibah lain datang kembali ”membangunkan” kita.

    Persoalannya, kenapa kita sering berada dalam keadaan ”tertidur?” Kita sering tertidur karena kita tidak berusaha menyelami diri kita sendiri. Kita tidak terbiasa berkaca, melihat ke dalam diri, dan melakukan refleksi. Kita ”bangun” hanya karena terkejut, kemudian kita pun ”tertidur” kembali. Memang, selama Anda tidak dapat menyelami diri sendiri, rutinitas dan keseharian Anda akan segera menutup celah untuk meniti ke dalam diri. Dan, peristiwa-peristiwa yang mengagetkan tadi akan segera terlupakan.

    Untuk melakukan perjalanan ke dalam, kita memang harus meluangkan waktu untuk merenung dan mengambil jarak dari kesibukan kita. Lihatlah diri Anda sendiri, dan tanyakan tiga pertanyaan penting: ”Siapakah aku?,” ”Mengapa aku ada di sini?,” dan ”Kemana aku akan pergi?” Dengan menjawabnya Anda akan menemukan makna hidup ini. Dan, begitu menemukannya, Anda akan merasa tenang dan lapang. Anda dapat melihat dunia dengan kacamata yang berbeda. Dan yang pasti, Anda kini sudah benar-benar hidup!

    Manusia memang telah diciptakan dengan sempurna. Buktinya, semua perlengkapan yang kita perlukan untuk hidup bahagia sudah ada dalam diri kita sendiri. Bahkan, semua jawaban terhadap persoalan apapun sudah tersedia di sana.

    Kekayaan batin yang kita miliki luar biasa banyaknya. Sayang, banyak orang yang tidak menyadari hal ini. Mereka sibuk mengumpulkan benda, uang, jabatan. Mereka menyangka akan lebih bahagia bila memiliki lebih banyak harta. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Mereka selalu merasa kurang.

    Bahkan, semakin menumpuk kekayaan, semakin mereka ingin lebih dan lebih lagi. Orang seperti ini sesungguhnya adalah orang yang miskin. Orang ”kaya” yang sebenarnya adalah mereka yang membutuhkan paling sedikit. Mereka sudah cukup puas karena telah menemukan kekayaan berlimpah di dalam diri mereka sendiri. Mereka benar-benar sadar bahwa permata yang asli terdapat di dalam jiwa kita sendiri.

    Semua kekayaan yang kita butuhkan untuk hidup bahagia sudah tersedia di dalam diri kita. Kalaupun kita masih membutuhkan hal-hal di luar itu, jumlahnya tidak banyak. Kalau Anda memiliki sandang, pangan, dan papan saja, itu sudah cukup! Bukannya saya hendak menghibur Anda, apalagi diri saya sendiri. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa yang Anda miliki itu sudah cukup. Sangat cukup untuk hidup bahagia.

    Ini bukan berarti kita tidak boleh mengumpulkan harta. Silakan teruskan usaha dan bisnis Anda. Mengumpulkan harta untuk dapat berbagi dengan orang lain adalah tindakan mulia. Tapi, jangan pernah lupa akan kekayaan yang tidak ternilai dalam jiwa Anda sendiri. Jarang ada orang yang kaya secara fisik dan masih memelihara ketentraman batin.

    Biasanya kesibukan dengan dunia luar membuat kita lupa pada dunia dalam. Banyak orang kaya yang sebenarnya sangat menderita. Orang-orang ini sering berpura-pura bahagia di depan kamera televisi. Padahal, mereka selalu resah dan dibayangi ketakutan sepanjang hidupnya.

    Kekayaan fisik sering membuat kita terputus dari sumber kebahagiaan yang sejati. Kita kehilangan akses dengan jiwa kita beserta kekayaan yang terpendam di dalamnya. Padahal, kekayaan ini tidak terbatas dan dapat Anda akses kapanpun Anda mau. Di dalam jiwa inilah bersemayam sumber segala kebahagiaan. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

    ***

    Arvan Pradiansyah, penulis buku You Are A Leader!

     
    • vanerz88 12:09 pm on 3 September 2013 Permalink

      Aku berlindung kpd allah dari kehidupan yg melalaikan

  • erva kurniawan 3:55 am on 2 September 2013 Permalink | Balas  

    Tiga Kunci Hidup yang Bahagia 

    hamdalahTiga Kunci Hidup yang Bahagia

    Apakah rahasia hidup yang bahagia itu? Banyak orang yang mengidentikkan kebahagiaan dengan segala sesuatu yang berada di luar kita, seperti harta benda yang kita miliki. Apakah Anda akan berbahagia jika mempunyai rumah yang indah, mobil mewah, penghasilan yang berlimpah, dan pasangan hidup dan anak-anak yang tampan dan cantik? Mungkin Anda akan mengatakan ”ya.” Tapi, percayalah itu tidak akan berlangsung lama.

    Kebahagiaan yang disebabkan hal-hal di luar kita adalah kebahagiaan semu. Kebahagiaan itu akan segera hilang begitu Anda berhasil memiliki barang tersebut. Anda melihat kawan Anda membeli mobil mewah, handphone yang canggih, atau sekadar baju baru. Anda begitu ingin memilikinya.

    Anehnya, begitu Anda berhasil memilikinya, rasa bahagia itu segera hilang. Anda merasa biasa-biasa saja. Bahkan, Anda mulai melirik orang lain yang memiliki barang yang lebih bagus lagi daripada yang Anda miliki. Anda kembali berangan-angan untuk memilikinya. Demikianlah seterusnya. Dan Anda tidak akan pernah bahagia.

    Budha Gautama pernah mengatakan, ”Keinginan-keinginan yang ada pada manusia-lah yang seringkali menjauhkan manusia dari kebahagiaan.” Ia benar. Kebahagiaan adalah sebuah kondisi tanpa syarat. Anda tidak perlu memiliki apapun untuk berbahagia. Ini adalah sesuatu yang sudah Anda putuskan dari awal.

    Coba katakan pada diri Anda sendiri, ”Saya sudah memilih untuk bahagia apapun yang akan terjadi.” Anda akan merasa bahagia walaupun tidak memiliki harta yang banyak, walaupun kondisi di luar tidak sesuai dengan keinginan Anda. Semua itu tidak akan mengganggu karena Anda tidak menempatkan kebahagiaan Anda disana.

    Kebahagiaan yang hakiki terletak di dalam diri Anda sendiri. Inti kebahagiaan ada pada pikiran Anda. Ubahlah cara Anda berpikir dan Anda akan segera mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman batin.

    Ada tiga pikiran yang perlu senantiasa Anda tumbuhkan. Saya mendapatkan gagasan mengenai tiga kunci kebahagiaan ini setelah merenungkan arti tasbih, tahmid dan takbir yang kita ucapkan tiap hari tapi sering tanpa makna yang mendalam. Saya kira ajaran seperti ini bukan hanya kita temukan dalam Islam saja, tetapi juga dalam ajaran agama yang lain.

    Kunci pertama kebahagiaan adalah rela memaafkan. Coba renungkan kata subhanallah. Tuhanlah yang Maha Suci, sementara manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan. Kesempurnaan manusia justru terletak pada ketidaksempurnaannya. Dengan memahami konsep ini, hati Anda akan selalu terbuka untuk memaafkan orang lain.

    Seorang dokter terkenal Gerarld Jampolsky menemukan bahwa sebagian besar masalah yang kita hadapi dalam hidup bersumber dari ketidakmampuan kita untuk memaafkan orang lain. Ia bahkan mendirikan sebuah pusat penyembuhan terkemuka di Amerika yang hanya menggunakan satu metode tunggal yaitu, rela memaafkan!

    Kunci kedua adalah bersyukur. Coba renungkan kata alhamdulillah. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan alhamdulillah dalam situasi apapun. Ini seperti cerita seorang petani miskin yang kehilangan kuda satu-satunya. Orang-orang di desanya amat prihatin terhadap kejadian itu, namun ia hanya mengatakan, alhamdulillah.

    Seminggu kemudian kuda tersebut kembali ke rumahnya sambil membawa serombongan kuda liar. Petani itu mendadak menjadi orang kaya. Orang-orang di desanya berduyun-duyun mengucapkan selamat kepadanya, namun ia hanya berkata, alhamdulillah.

    Tak lama kemudian petani ini kembali mendapat musibah. Anaknya yang berusaha menjinakkan seekor kuda liar terjatuh sehingga patah kakinya. Orang-orang desa merasa amat prihatin, tapi sang petani hanya mengatakan, alhamdulillah. Ternyata seminggu kemudian tentara masuk ke desa itu untuk mencari para pemuda untuk wajib militer. Semua pemuda diboyong keluar desa kecuali anak sang petani karena kakinya patah. Melihat hal itu si petani hanya berkata singkat, alhamdulillah.

    Cerita itu sangat inspiratif karena dapat menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kelihatannya baik, belum tentu baik. Sebaliknya, apa yang kelihatan buruk belum tentu buruk. Orang yang bersyukur tidak terganggu dengan apa yang ada di luar karena ia selalu menerima apa saja yang ia hadapi.

    Kunci ketiga kebahagiaan adalah tidak membesar-besarkan hal-hal kecil. Coba renungkan kalimat Allahu akbar. Anda akan merasa bahwa hanya Tuhanlah yang Maha Besar dan banyak hal-hal yang kita pusingkan setiap hari sebenarnya adalah masalah-masalah kecil. Masalah-masalah ini bahkan tidak akan pernah kita ingat lagi satu tahun dari sekarang.

    Penelitian mengenai stres menunjukkan adanya beberapa hal yang merupakan penyebab terbesar stres, seperti kematian orang yang kita cintai, kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini bolehlah Anda anggap sebagai hal yang ”agak besar.” Tapi, bukankah hal-hal ini hanya kita alami sekali-sekali dan pada waktu-waktu tertentu? Kenyataannya, kebanyakan hal-hal yang kita pusingkan dalam hidup sebenarnya hanyalah masalah-masalah kecil.

    ***

    Oleh: Arvan Pradiansyah

    Dosen UI & Pengamat Manajemen SDM

     
  • erva kurniawan 4:54 am on 1 September 2013 Permalink | Balas  

    Berikan, dan Lupakan! 

    sedekahBerikan, dan Lupakan!

    Suatu malam hujan turun dengan lebat diiringi angin kencang dan petir yang menyambar-nyambar. Malam itu telepon berdering di rumah seorang dokter. ”Istri saya sakit,” terdengar suara minta pertolongan. ”Dia sangat membutuhkan dokter segera.

    ” Si dokter menjawab, ”Dapatkah bapak menjemput saya sekarang? Mobil saya sedang masuk bengkel.” Mendengar jawaban itu, lelaki tersebut menjadi berang. ”Apa?!” katanya dengan marah. ”Saya harus pergi menjemput dokter pada malam yang berhujan lebat seperti ini?”

    Coba Anda renungkan cerita inspiratif diatas. Kita senantiasa meminta sesuatu kepada orang lain, sayangnya, kita seringkali lupa untuk memberi. Kita tak sadar bahwa apapun yang kita berikan sebenarnya adalah untuk diri kita sendiri, bukan untuk siapa-siapa.

    Di dunia ini tak ada yang gratis. Segala sesuatu ada harganya. Seperti halnya membeli barang, Anda harus memberi terlebih dahulu sebelum meminta barang tersebut. Kalau Anda seorang penjual, Anda pun harus memberikan pelayanan dan menciptakan produk sebelum meminta imbalan jasa Anda. Inilah konsep ”memberi sebelum meminta” yang sayangnya sering kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari.

    Padahal ”memberi sebelum meminta” adalah sebuah hukum alam. Kalau Anda ingin anak Anda mendengarkan apa yang Anda katakan, Andalah yang harus memulai dengan mendengarkan keluh kesah mereka. Kalau Anda ingin karyawan atau bawahan Anda bekerja dengan giat, Andalah yang harus memulai dengan memberikan perhatian, dan lingkungan kerja yang kondusif. Kalau Anda ingin disenangi dalam pergaulan, Anda harus memulainya dengan memberikan bantuan dan keperdulian kepada orang lain.

    Orang yang tak mau memberi adalah mereka yang senantiasa dihantui perasaan takut miskin. Inilah orang-orang yang ”miskin” dalam arti yang sesungguhnya. Padahal, di dunia ini berlaku hukum kekekalan energi. Kalau Anda memberikan energi positif kepada dunia, energi itu tak akan hilang. Ia pasti kembali kepada Anda.

    Persoalannya, banyak orang mengharapkan imbalan perbuatan baiknya langsung dari orang yang ditolongnya. Ini suatu kesalahan. Dengan melakukan hal itu, Anda justru membuat bantuan tersebut menjadi tak bernilai. Anda mempraktikkan manajemen ”Ada Udang Di Balik Batu.” Anda tak ikhlas dan tak tulus. Ini pasti segera dapat dirasakan oleh orang yang menerima pemberian Anda. Jadi, alih-alih menciptakan kepercayaan pemberian Anda malah akan menghasilkan kecurigaan.

    Agar dapat efektif, Anda harus berperilaku seperti sang surya yang memberi tanpa mengharapkan imbalannya. Untuk itu tak cukup memberikan harta saja, Anda juga harus memberikan diri Anda, dari hati Anda yang paling dalam. Jangan pernah memikirkan imbalannya. Anda hanya perlu percaya bahwa apapun yang Anda berikan suatu ketika pasti kembali kepada Anda. Ini merupakan suatu keniscayaan, suatu hukum alam yang sejati.

    Sebetulnya semua orang di dunia ini senantiasa memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Namun, kita dapat membedakannya menjadi dua tipe orang. Orang pertama kita sebut sebagai orang yang egois. Merekalah orang yang selalu meminta tetapi tak pernah memberikan apapun untuk orang lain. Orang ini pasti dibenci dimana pun ia berada.

    Jenis orang kedua adalah orang yang juga mementingkan diri sendiri, tetapi dengan cara mementingkan orang lain. Mereka membuat orang lain bahagia agar mereka sendiri menjadi bahagia. Ini sebenarnya juga konsep mementingkan diri sendiri tetapi sudah diperhalus. Kalau Anda selalu memberikan perhatian dan bantuan kepada orang lain, banyak orang yang akan menghormati dan membantu Anda. Kalau demikian, Anda sebenarnya sedang berbuat baik pada diri Anda sendiri.

    Bagaimana kalau Anda membaktikan diri Anda untuk menolong anak-anak terlantar dan orang-orang miskin? Ini pun sebenarnya adalah tindakan ”mementingkan diri sendiri dengan cara mementingkan orang lain.” Anda mungkin tak setuju dan mengatakan, ”Bukankah saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya kan bekerja dengan sukarela.

    ” Memang benar, Anda tidak mendapatkan apa-apa secara materi, tetapi apakah Anda sama sekali tidak mendapatkan apa-apa? Jangan salah, Anda tetap akan mendapatkan sesuatu yaitu kepuasan batin. Kepuasan batin inilah yang Anda cari. Anda membantu orang lain supaya mendapatkan hal ini.

    Jadi, apapun yang kita lakukan di dunia ini semuanya adalah untuk kepentingan kita sendiri. Orang-orang yang egois sama sekali tak memahami hal ini. Mereka tak sadar bahwa mereka sedang merusak diri mereka sendiri.

    Sementara orang-orang yang baik budinya sadar bahwa kesuksesan dan kebahagiaan baru dapat dicapai kalau kita membuat orang lain senang, menang, dan bahagia. Hanya dengan cara itulah kita akan dapat menikmati kemenangan kita dalam jangka panjang. Inilah hukum Menang-Menang (win-win) yang berlaku dimana saja, kapan saja dan untuk siapa saja.

    ***

    Oleh: Arvan Pradiansyah, penulis buku You Are A Leader!

     
  • erva kurniawan 4:13 am on 28 August 2013 Permalink | Balas  

    Menghidupkan Qalbu 

    hati suciMenghidupkan Qalbu

    Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

    Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibandinglkan dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan -yang terutama selkali-Qalbu. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.

    Orang-orang yang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenal diri dan Tuhannya.

    Karenanya, siapa pun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan Qalbunya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenali dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Dzat yang telah menyernpurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa dia lakukan terhadap dirinya sendiri.

    Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah marnpu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, apalagi merasakan indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastilkan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka.

    Akibatnya, semua kaIkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak hanya diukur oleh asesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang sernata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat jabatan, dan kedudukannya ataupun banyak hartanya. Demilkian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Ada pun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, dia tidak akan memperdulikan dari mana datangnya dan ke mana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiada.

    Sebagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk bisa mengenali Qalbunya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sabar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, Qalbu itu -berbeda dengan dunia- tidak bisa dilihat dan diraba. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hati inilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.

    Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apa pun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, sernua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.

    Datang saatnya melahirkan, apa yang bisa dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang di ujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallah, sang ibu malah tersenyurn penuh bahagia.

    Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal, tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu terkurangkan jatah istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti popok yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar belepotan eek bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena terkena pipis si jantung hati. Akan tetapi, masya Allah, semua beban ‘derita’ itu toh tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.

    Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau terinjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurang menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua, sungguh menjadi beban batin yang tak ringan.

    Pendek kata, ketika kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang-kurang menyusahkan. Begitu panjangnya rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah berbuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.

    Mengapa orang tua bisa demikian tahan untuk terus-menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai Qalbu yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari sang anak, namun Qalbu yang memiliki kasih sayang inilah yang membuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban.

    Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak. Akan tetapi, yang harus selalu kita jaga dan rawat adalah kekayaan batin kita berupa Qalbu ini. Qalbu yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya Qalbu menjadi redup karena tidak bisa tidak akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin karena senantiasa merasa, terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.

    Allah Mahatahu segala lintasan hati. Dia menciptakan dunia beserta segala isinya ini dari unsur tanah dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.

    Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bisa ditelusuri ternyata unsur-unsurnya bersumber dari tanah. Demikian pula bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh kita mencarikan jawabannya dari tanah. Akan tetapi, kalbu ini ternyata fidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga. ia hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. Waa bi dzikrillaahi tathmaInnul quluub.”[Q.S. Ar-Rad (13): 28]. Camkan, hatimu hanya akan tenteram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah.

    Kita akan mempunyai banyak kebutuhan untuk fisik kita, tetapi kita pun memiliki kebutuhan untuk kalbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur dunia, tetapi kalbu atau Qalbu kita tetap tertambat kepada Dzat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh kita sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati kita harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenamya yang paling harus kita lakukan.

    Sekali kita salah dalam mengelola hati -tubuh dan hati sama- sama sibuk dengan urusan dunia -kita. pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut telegal, dan seterusnya. Ini semua. diakibatkan sibuknya seluruh jasmani dan ruhani kita dengan urusan dunia semata.

    Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya Qalbu kita. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini. Wallaahu a’lam.

     
  • erva kurniawan 4:11 am on 27 August 2013 Permalink | Balas  

    Meraih Hidayah Allah 

    hidayah-allahMeraih Hidayah Allah

    Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar

    Pernah ada seseorang yang matanya ditutup, disuruh berjalan akhirnya menangis. Mengapa? Karena setiap langkahnya penuh dengan keraguan, ia merasa setiap langkahnya selalu beresiko, mungkin terpeleset atau tubuhnya membentur dinding.

    Begitulah kira-kira, kalau kita tidak mendapatkan cahaya dalam hidup ini, lalu bagaimana kalau hati kita tidak mendapatkan cahaya kebenaran?

    Orang yang tidak mendapatkan hidayah dari Allah, hidup ini terasa lelah, takut, tegang, was-was, cemas, gelisah dan bingung. Orang yang jauh dari agama, dari Alquran apapun yang diberikan Allah kepadanya pasti hanya akan membuat dirinya hina.

    Harta, gelar, pangkat, jabatan atau penampilan yang diberikan Allah, kalau tidak diiringi dengan ketaatan kepada Allah pasti akan menyiksa. Hidupnya hiruk-pikuk, rebutan, sikut sana sini, tidak peduli aturan dan etika.

    Tetapi kalau kita mendapat hidayah dari Allah, seperti berjalan diterang benderang. Mantap, tidak ada ketakutan pada mereka dan tidak pernah bersedih hati, dia tidak panik dengan dunia ini. Tapi dia aakan merasa galau kalau tidak mampu meyempurnakan apa yang bisa ia lakukan.

    Memang, disamping tetap istiqamah dalam meraih hidayah Allah, kitapun harus tetap memanjatkan doa karena langkah awal untuk meraih hidayah ini adalah dengan terus mencari ilmu sekuat tenaga. Karena makin banyak ilmu, maka makin produktif dalam beramal dan makin bening hati kita. Semoga Allah menjaga kita dari dicabutnya nikmat yang mahal, yaitu hidayah.

     
  • erva kurniawan 4:53 am on 26 August 2013 Permalink | Balas  

    Meniti Hari dengan Ilmu 

    ilmuMeniti Hari dengan Ilmu

    Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

    Saudaraku, hampir dipastikan tidak ada seorang pun yang mengharapkan dirinya terbelakang. Baik ilmu, keahlian, maupun penampilan. Seiring dengan itu sarana pun turut memenuhinya. Kini, bermunculan buku-buku terbitan baru, menjamurnya tempat kursus dan pelatihan-pelatihan, juga semaraknya model pakaian, tas, sepatu baru. Namun sayang, tidak banyak yang menyadari akan pentingnya hal tersebut.

    Itu bisa terjadi karena kesadaran yang kurang akan pentingnya ilmu sehingga lebih tertarik pada penampilan raga. Maka tak sedikit yang menganggarkan membeli sepatu baru daripada buku. Ada empat hal yang harus dilalui agar ilmu menjadi landasan dalam meniti hari.

    Pertama, menelisik diri. Kenapa harus banyak membaca, kenapa harus ikut pelatihan-pelatihan? Jika bukan untuk menjadikan diri lebih baik, apa lagi yang akan diperoleh. Dan, jika tidak melakukan hal tersebut apa yang akan didapat. Dari sana kita akan memperoleh kesadaran.

    Kedua, menindaktanjuti sikap sadar pada aplikasi. Dengan menyadari bahwa ilmu yang akan menjadikan kita kaya, tidak terbetakang, bisa bertahan dengan serta merta kita akan mencarinya.

    Ketiga, meyakini bahwa ilmu itu harus ‘dibeli’. Maka selagi ada uang, jangan pelit mengeluarkannya. Tung Desem Waringin, seorang pengusaha No 1 di Indonesia, harus mengeluarkan milyaran rupiah untuk pelatihan dalam hitungan hari. Diyakininya untuk mendapatkan ilmu yang baik, maka dapatkan dari orang yang baik pula. Walaupun harus mengeluarkan uang banyak, dan jauh tempat yang dituju tak menjadikannya rugi. Karena itu nilai tambah untuk kariernya. Namun jangan serta merta kita menganggap ilmu hanya bisa dibeli oleh orang yang berduit saja sehingga kita, yang diberi rezeki pas-pasan tidak berhak. Banyak peluang yang bisa kita lakukan tanpa uang. Tapi jangan disalahkan jika hasiInya juga pas-pasan.

    Keempat, ilmu yang diperoleh sertai dengan berlatih. Sangat disayangkan jika seabrek buku habis dibaca, hadir di seminar-seminar, dan berbagai pelatihan digeluti jika tidak ditindaktanjuti dengan latihan.

    Dengan demikian, saudaraku, ilmu menjadi keniscayaan. Awali dengan proses penyadaran akan pentingnya ilmu, tindak lanjuti dengan belajar dan berlatih, dan jangan pelit untuk menganggarkan dana. Dengan berbuat lebih, maka kita pun akan mendapatkan yang lebih.

    Wallahua’am.

     
  • erva kurniawan 4:54 am on 16 August 2013 Permalink | Balas  

    Berawal dari Mata, Turun ke Hati 

    kaya hatiBerawal dari Mata, Turun ke Hati

    Berawal dari mata, turun ke hati. Begitulah ungkapan yang terkenal, apalagi bagi yang sedang jatuh cinta. Ungkapan ini banyak dibenarkan orang, karena kenyataannya setelah melihat dengan mata perasaan jatuh hatilah yang timbul.

    Tetapi bukan itu yang kita bahas. Kita pasti sudah mengetahui fungsi mata dengan baik. Dengan mata dibuka, kita bisa berjalan tanpa menabrak. Bayangkan kalau nikmat ALLAH yang satu ini dicabut. Dunia terasa gelap. Kita tentu tahu bagaimana rasanya ketika mati lampu. Rumah kita gelap. Dan bila mata kita buta, pasti terasa lebih gelap.

    Wajah kita yang ganteng atau cantik pun tidak terlihat lagi. Berjalan meraba-raba. Berpegangan dengan orang. Tidak bisa menikmati pemandangan di gunung, pantai, atau taman. Tidak bisa lagi membaca Al Quran, kitab panduan kita.

    Bila nikmat itu dicabut dari kita, kita baru merasakan pedihnya tanpa mata. Kita mungkin akan memohon kepada ALLAH untuk mengembalikan nikmat itu kepada kita. “Ya ALLAH, aku mohon kembalikan mataku yang dulu bisa melihat. Dengannya aku berjanji tidak akan menyia-nyiakannya untuk banyak membaca Al Quran. Aku akan fungsikan mata ini dengan baik ya ALLAH. Tidak akan aku melihat sembarangan lagi, yang membuat aku bermaksiat padaMU. Aku mohon kepadaMU ya ALLAH”. Mungkin itu doa yang akan dipanjatkan ketika nikmat itu dicabut dari ALLAH.

    Dari mata turun ke hati. Dari mata, kita bisa merasakan betapa ALLAH telah memberikan karunia yang begitu besar. Hanya dari mata saja, kita seharusnya bisa merasakannya. Lalu mengapa hati kita masih keras dengan membiarkan mata jelalatan bermaksiat.

    Seharusnya dari mata, hati kita bisa menjadi lebih jernih. Hati yang diliputi syukur kepada nikmat ALLAH. Ya, dari mata turun ke hati.

    ***

    Arief Rachman

     
  • erva kurniawan 4:09 am on 12 August 2013 Permalink | Balas  

    Berinvestasi Kebaikan 

    investasiBerinvestasi Kebaikan

    Ada sebuah nasehat bijak dari almarhumah Ibu saya dan selalu tertanam dalam hati saya sampai kini adalah, agar selalu “menanamkan kebaikan” dalam hidup ini. Saya yakin, sebagian besar manusia sudah menerima nasehat bijak seperti ini dari para orang tua atau ibu mereka. Inti dari nasehat itu adalah agar kita menempatkan cita-cita paling penting dalam hidup adalah selalu “menanamkan kebaikan.”

    Kalau kita menelaah dari nilai-nilai kehidupan keagamaan, nasehat ini sangat relevan dengan apa yang secara tegas disampaikan oleh Allah Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab suci-Nya yang menyatakan, “Tidak ada yang dapat diunggulkan bagi manusia, kecuali apa yang dia usahakan untuk kebaikan secara individu”. Kebaikan secara individu menjadi panjatan dalam menata diri untuk menjadi pribadi yang berkualitas dalam meraih kehidupan yang penuh potensi dan keagungan.

    Kebaikan secara individu menjadi landasan penting dalam pembangun kualitas pribadi kita. Apakah dalam keluarga, dalam organisasi, dalam pekerjaan maupun dalam bisnis, hubungan antar manusia akan semakin meningkat dan semakin mendalam, bila senantiasa dilandasi kebaikan individu dan kesedian berbagi kebaikan dengan orang lain. Kebaikan dari masing-masing individu ini dapat menjadikan kebaikan dalam masyarakat, sehingga terbangun kehidupan yang damai dan bahagia.

    Dimata seorang ibu, “menanamkan kebaikan” dalam hidup merupakan nasehat paling penting. Menaburkan kebaikan hendaknya menjadi cita-cita terpenting dalam hidup ini. Karena menaburkan kebaikan berarti menghidupkan sumber energi positif dari dalam diri untuk orang lain dan alam semesta. Energi ini akan kembali kepada kita dan memberikan berbagai kemudahan dalam kehidupan.

    Menjadi apapun kita saat ini, apakah presiden, menteri, konglomerat, direktur utama, manager atau pegawai biasa, memiliki pangkat apapun kita, apakah jenderal, kolonel, kapten atau prajurit biasa, memiliki gelar apapun diri kita, apakah profesor, doktor, master, sarjana atau lainnya, yang terpenting adalah “menanamkan kebaikan” kepada orang lain. Semua pangkat, gelar dan jabatan itu, tidak akan memberikan makna bagi kualitas pribadi seseorang bahkan hanya akan berakhir dengan kesia-siaan kalau tidak digunakannya untuk menanamkan kebaikan.

    Banyak pintu-pintu kebaikan yang dapat dilakukan dan menjadi sumber energi positif keberhasilan, seperti:

    1. Kalau memiliki ilmu, gunakanlah untuk mencerdaskan orang lain

    2. Kalau memiliki harta, gunakan untuk kebaikan banyak orang

    3. Kalau memiliki kekuasaan, gunakanlah untuk mensejahterakan banyak orang

    4. Kalau memiliki tenaga, gunakan untuk membantu banyak orang

    5. Kalau menjadi penegak hukum, berikanlah perlindungan dan keadilan kepada banyak orang

    6. Kalau menjadi pengusaha, jalankan usaha untuk memberiakn manfaat dan kebaikan banyak orang

    7. Dan lainnya

    Intinya mulailah dengan hal-hal sederhana dan mudah dilakukan sesuai dengan kemampuan diri kita. Mulailah dari lingkungan terdekat, seperti orang-orang yang Anda temui setiap hari, lingkungan rumah sekitar Anda, lingkungan kerja. Dan yang penting sekecil apapun kebaikan itu, mulailah sekarang ini juga.

    Semakin banyak menaburkan benih-benih kebaikan berarti semakin banyak melepaskan energi positif dari dalam diri. Orang yang pertama merasakan manfaat dari berbuat kebaikan adalah mereka yang melakukannya. Mereka akan merasakan “buah”nya seketika itu dalam jiwa, akhlak, dan hati nuraninya. Sehingga hatinya akan terjaga kejernihannya. Hidup akan terasa lebih mudah, merasakan lapang dada, tenang, tenteram dan damai.

    Mereka yang dapat menggunakan potensi dirinya untuk menaburkan benih-benih kebaikan, maka akan memberikan kemudahan dalam hidup. Inilah prinsip menjadikan setiap kehadiran kita adalah rahmat bagi orang lain dan alam semesta atau “rahmatan lil alamin”.

    Salam Motivasi Nurani.

    ***

    Oleh Eko Jalu Santoso

    Eko Jalu Santoso adalah seorang professional dan praktisi dunia usaha, Founder Motivasi Nurani Indonesia, Penulis Buku “The Art of Life Revolution”, Elex Media Komputindo.

     
  • erva kurniawan 1:14 am on 27 July 2013 Permalink | Balas  

    Aku Cermin, Engkaulah “Mentari” 

    Aku Cermin, Engkaulah “Mentari”

    Suhrowardi, sufi yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq dan mati terbunuh oleh penguasa zalim, pernah membuat perumpamaan tentang cermin dan matahari.

    Ketika cermin dihadapkan kepada matahari maka sinar matahari akan diserap oleh cermin itu dan dipantulkannya kembali. Andaikan cermin mampu melihat ke dalam dirinya, ia akan terkejut dan mengira bahwa dirinya-lah matahari itu karena betapa kuatnya cahaya mentari tersebut.

    Manusia dalam cerita Suhrowardi di atas digambarkan sebagai cermin sedangkan Allah diumpamakan sebagai matahari. Ketika manusia mampu mensucikan dirinya dan membersihkannya sedemikian rupa, maka ia layak diserupakan dengan cermin

    Ketika ia menjumpai “tanda-tanda kekuasaan ilahi”, ia menerima cahaya ilahi yang dipancarkan sedemikian kuatnya ke dalam dirinya. Ia serap cahaya ilahi itu lalu ia pantulkan kembali.

    Manakala kita mampu menyerap dan memantulkan kembali cahaya ilahi itu, hidup kita akan terus diterangi oleh cahaya ilahi. Orang yang sudah mencapai tahap itu akan menebarkan berkah pada setiap sudut yang menerima pantulan cahaya ilahi dari “cermin”-nya. Ia mampu sebarkan rahmat disekelilingnya.

    Nabi Muhammad adalah contoh terbaik dari perumpamaan di atas. Cahaya ilahi yang diserap Nabi Muhammad SAW dipantulkannya ke seluruh alam semesta. Oleh karena itu, kehadiran Nabi Muhammad mampu menebarkan rahmat ke seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

    Perhatikan orang disekeliling kita. Bukankah ada orang yang bila kita pandang wajahnya, keteduhan dan kedamaianlah yang kita peroleh. Ketika kita mendegar suaranya, kita bagaikan mendengar “nyanyian dari surga”; indah dan menyejukkan. Ketika ia memandang kita, sorot matanya mampu memecahkan kegalauan di hati kita.Ketika ia tersenyum seakan dunia ini begitu indah untuk didiami. Pendek kata, kehadiran orang tersebut telah membawa berkah untuk lingkungan sekitarnya.

    Sebaliknya, pernahkah kita menjumpai seseorang yang meskipun tampan ataupun cantik, namun mata enggan berlama-lama menatapnya. Ketika ia bicara, meskipun dengan retorika yang luar biasa memikatnya, kita bisa merasakan bahwa ia sebenarnya sedang membual. Ketika ia tersenyum, kita melihat ada seberkas kepalsuan dibalik senyum itu. Setiap ia datang di suatu tempat, ia sebarkan kerusakan dan kekacauan. Ia masuk organisasi, tak lama kemudian organisasi itu mengalami konflik. Ia bertamu ke satu rumah, tak lama setelah ia pergi, rumah tangga itu menjadi berantakan. Ia menjadi pengurus masjid, namun alih-alih masjid menjadi tempat beribadah, berkat kehadirannya, masjid menjadi tempat bergossip ria. Pendek kata, kemana ia melangkah, berkah dan rahmat menjauh darinya.

    Orang pertama adalah mereka yang mampu membersihkan cermin hatinya sehingga mampu menyerap cahaya ilahi. Sebaliknya, orang yang kedua tak pernah mensucikan cermin hatinya. Cerminnya kusam dan gelap; tertutup oleh debu dan kotoran. Walaupun ia menjumpai banyak tanda-tanda kekuasaan Allah di bumi ini, cermin hatinya tetap tak mampu menyerap cahaya ilahi apalagi memantulkannya.

    Bulan Ramadhan merupakan salah satu media bagi kita untuk mensucikan cermin hati kita. Pada bulan yang suci ini mari kita bersihkan debu dan kotoran serta penyakit yang menutupi cermin hati kita. Selain banyak membaca Qur’an, shalat malam dan bersedekah, apalagi yang harus kita lakukan untuk membasuh dan membersihkan cermin kita?

    Abu Sa’id Abu al-Khair, sufi besar abad 10 dan 11 dari Maihana, menasehati muridnya: “Selama egomu menyertaimu, engkau tak akan mengenal Allah, sebab, ego tidak menyukai manusia sempurna (insan al-kamil)”

    Ego itulah yang harus kita tundukkan agar kita mampu menyerap cahaya ilahi. Bukankah demi menundukkan ego kita mampu tidak makan dan minum di siang hari.

    Bukankah ketika kita tak datangi isteri kita di siang hari itu juga demi menundukkan hawa nafsu kita. Bukankah demi menundukkan ke-aku-an kita mampu untuk menjaga lidah dan tangan kita dari perbuatan tercela selama satu bulan penuh.

    Nanti di penghujung Ramadhan, setelah kita tundukkan ego kita, cermin kita akan mampu menyerap cahaya ilahi dan memantulkannya ke seluruh penjuru. Dan seperti kisah Suhrowardi di atas, andaikan kita mampu melihat ke dalam diri kita, kita akan terkejut mendapati kuatnya cahaya ilahi itu, insya Allah!

    ***

    Nadirsyah Hosen

     
  • erva kurniawan 1:42 am on 23 July 2013 Permalink | Balas  

    Cinta si Majnun 

    Cinta si Majnun

    Tahukah anda kekuatan sebuah cinta? Sadarkah kita bagaimana cinta bisa menjelma menjadi energi yang tiada habisnya? Qais, yang kemudian dikenal sebagai Majnun, membuktikan itu semua.

    Qais mencintai Laila sepenuh hati. Ketika orang tua Laila menghalangi cinta mereka, Qais bukannya mundur malah ia berubah menjadi Majnun, pecinta yang tergila-gila pada Laila sehingga hidupnya berubah total.

    Hakim Nizhami, sufi agung yang menuliskan kisah ini, melukiskan bagaimana cinta tak mengenal lelah, bagaimana lapar dan dahaga tak dihiraukan oleh Majnun, bagaimana energi cinta yang dihasilkan Majnun mampu menundukkan segenap binatang buas di hutan tempat persembunyiannya.

    Loyalitas Laila pun tak bergoyang meskipun ayahnya menikahkannya dengan paksa kepada seorang bangsawan. Sampai akhir hayatnya bangsawan itu tak berhasil menyentuh Laila, yang notabene telah dipersuntingnya.

    Ketika datang rasa rindu, bibir Majnun kering melantunkan tembang pujian dan syair kerinduan untuk Laila, ketika pagar rumah orang tua Laila menghalangi komunikasi mereka, Laila menulis surat cinta di potongan kertas kecil lalu ia biarkan angin membawanya sampai ke Majnun.

    Ayah Majnun mencoba memberikan alternatif untuk Majnun. Dibuatlah pesta yang dihadiri segenap gadis cantik, namun bukanlah Majnun kalau tak mampu bersikap loyal pada kekasihnya. Majnun menampik semua tawaran itu. Banyak orang yang percaya, bahwa kisah Laila Majnun itu merupakan simbol belaka. Hakim Nizhami sebenarnya hanya menunjukkan bagaimana sikap seorang pecinta sejati kepada kekasihnya. Ketika Laila dan Majnun telah tiada, konon seorang sufi bermimpi melihat Majnun hadir dihadapan Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggi-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”

    Seperti Majnun yang mengeluarkan energi yang tiada habisnya, di bulan ramadhan ini kita pun belajar untuk menaikkan maqam cinta kita kepada Allah Energi cinta yang kita pancarkan dibulan puasa seyogyanya mampu menundukkan nafsu buas di sekeliling kita.

    Bibir kering dan perut lapar bukanlah alasan untuk menampik sebuah cinta ilahi. Dari tenggorokan yang kering justru keluar Bacaan Yang Mulia dan asma Kekasih Sejati kita, Allah swt. Ketika disekeliling kita banyak yang menyodorkan alternatif kebahagiaan, sebagaimana Majnun menolak tawaran ayahnya, kita pun bersikap setia pada kebahagiaan yang dijanjikan Allah kelak.

    Ketika banyak yang mencoba memagari cinta kita dengan “pagar duniawi”, seperti Laila yang mengungkapkan isi hatinya lewat potongan kertas yg dibawa angin, kita ungkapkan cinta sejati kita di bulan Ramadhan ini ke seluruh penjuru angin. Gema kalam ilahi di mana-mana, gema takbir terus mengalun, gema cinta terus dibawa angin menembus dinding perkantoran, pasar swalayan, gedung sekolah, taman perkotaan, rumah makan dan pusat-pusat perbelanjaan. Pagar-pagar itu tak akan mampu menghalangi cinta kita.

    Di bulan Ramadhan ini sudahkah kita ukur cinta kita pada Allah swt. Malukah kita bila Majnun menegur kita, “sampai dimana pengorbananmu untuk Kekasih Sejatimu?” Bulan Ramadhan adalah media membuktikan cinta sejati itu, insya Allah!

    ***

    Nadirsyah Hosen

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:18 am on 13 July 2013 Permalink | Balas  

    16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan 

    16 Kekeliruan Umum Selama Ramadhan

    Meski Ramadhan bulan adalah bulan ampunan, untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang kini ‘menyapa’ kita, di bawah ini kami sarikan 16 kekeliruan umum yang sering dialami umat Islam selama Ramadhan Hanya orang yang tidak tahu dan enggan saja yang tidak segera bergegas menyambut bulan suci ini dalam arti yang sebenarnya, lahir maupun batin. “Berapa banyak orang yang berpuasa (tapi) tak memperoleh apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga belaka”. (HR. Ibnu Majah & Nasa’i)

    Namun, setiap kali usai kita menunaikan ibadah shiyam, nampaknya terasa ada saja yang kurang sempurna dalam pelaksanaannya, semoga poin-poin kesalahan yang acap kali masih terulang dan menghinggapi sebagian besar umat ini dapat memberi kita arahan dan panduan agar puasa kita tahun ini, lebih paripurna dan bermakna.

    1. Merasa sedih, malas, loyo dan tak bergairah menyambut bulan suci Ramadhan

    Acapkali perasaan malas segera menyergap mereka yang enggan menahan rasa payah dan penat selama berpuasa. Mereka berasumsi bahwa puasa identik dengan istirahat, break dan aktifitas-aktifitas non-produktif lainnya, sehingga ini berefek pada produktifitas kerja yang cenderung menurun. Padahal puasa mendidik kita untuk mampu lebih survive dan lebih memiliki daya tahan yang kuat. Sejarah mencatat bahwa kemenangan-kemenangan besar dalam futuhaat (pembebasan wilayah yang disertai dengan peperangan) yang dilancarkan oleh Rasul dan para sahabat, terjadi di tengah bulan Ramadhan.

    Semoga ini menjadi motivator bagi kita semua, agar tidak bermental loyo & malas dan tidak berlindung di balik kata “Aku sedang puasa”.

    2. Berpuasa tapi enggan melaksanakan shalat fardhu lima waktu

    Ini penyakit yang –diakui atau tidak– menghinggapi sebagian umat Islam, mereka mengira bahwa Ramadhan cukup dijalani dengan puasa semata, tanpa mau repot mengiringinya dengan ibadah shalat fardhu. Padahal shalat dan puasa termasuk rangkaian kumulatif (rangkaian yang tak terpisah/satu paket) rukun Islam, sehingga konsekwensinya, bila salah satunya dilalaikan, maka akan berakibat gugurnya predikat “Muslim” dari dirinya.

    3. Berlebih-lebihan dan boros dalam menyiapkan dan menyantap hidangan berbuka serta sahur

    Ini biasanya menimpa sebagian umat yang tak kunjung dewasa dalam menyikapi puasa Ramadhan, kendati telah berpuluh-puluh kali mereka melakoni bulan puasa tetapi tetap saja paradigma mereka tentang ibadah puasa tak kunjung berubah. Dalam benak mereka, saat berbuka adalah saat “balas dendam” atas segala keterkekangan yang melilit mereka sepanjang + 12 jam sebelumnya, tingkah mereka tak ubahnya anak berusia 8-10 tahun yang baru belajar puasa kemarin sore.

    4. Berpuasa tapi juga melakukan ma’siat

    Asal makna berpuasa bermakna menahan diri dari segala aktifitas, dalam Islam, ibadah puasa membatasi kita bukan hanya dari aktifitas yang diharamkan di luar Ramadhan, bahkan puasa Ramadhan juga membatasi kita dari hal-hal yang halal di luar Ramadhan, seperti; Makan, minum, berhubungan suami-istri di siang hari.

    Kesimpulannya, jika yang halal saja kita dibatasi, sudah barang tentu hal yang haram, jelas lebih dilarang. Sehingga dengan masa training selama sebulan ini akan mendidik kita menahan pandangan liar kita, menahan lisan yang tak jarang lepas kontrol, dsb.

    “Barang siapa yang belum mampu meninggalkan perkataan dosa (dusta, ghibah, namimah dll.) dan perbuatan dosa, maka Allah tak membutuhkan puasanya (pahala puasanya tertolak).

    5. Sibuk makan sahur sehingga melalaikan shalat shubuh, sibuk berbuka sehingga melupakan shalat maghrib

    Para pelaku poin ini biasanya derivasi dari pelaku poin 3, mengapa ? Sebab cara pandang mereka terhadap puasa tak lebih dari ; “Agar badan saya tetap fit dan kuat selama puasa, maka saya harus makan banyak, minum banyak, tidur banyak sehingga saya tak loyo”. Kecenderungan terhadap hak-hak badan yang over (berlebihan).

    6. Masih tidak merasa malu membuka aurat (khusus wanita muslimah)

    Sebenarnya momen Ramadhan bila dijalani dengan segala kerendahan hati, akan mampu menyingkap hijab ketinggian hati dan kesombongan sehingga seorang Muslimah akan mampu menerima segala tuntunan dan tuntutan agama ini dengan hati yang lapang. Menutup aurat, misalnya, akan lebih mudah direalisasi ketimbang di bulan selain Ramadhan. Mari kita hindari sifat-sifat nifaq yang pada akhir-akhir ini sangat diumbar dan dianggap sah, Ramadhan serba tertutup, saat lepas Ramadhan, lepas pula jilbabnya, inilah sebuah contoh pemahaman agama yang parsial (setengah-setengah), tidak utuh.

    6. Menghabiskan waktu siang hari puasa dengan tidur berlebihan

    Barangkali ini adalah akibat dari pemahaman yang kurang tepat dari sebuah hadits Rasul yang berbunyi “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” Memang selintas perilaku tidur di siang hari adalah sah dengan pedoman hadits diatas, namun tidur yang bagaimana yang dimaksud oleh hadits diatas? Tentu bukan sekedar tidur yang ditujukan untuk sekedar menghabiskan waktu, menunggu waktu ifthar (berbuka) atau sekedar bermalas-malasan, sehingga tak heran bila sebagian -besar- umat ini bermental loyo saat berpuasa Ramadhan.

    Lebih tepat bila hadits diatas difahami dengan; Aktifitas tidur ditengah puasa yang berpahala ibadah adalah bila ; Tidur proporsional tersebut adalah akibat dari letih dan payahnya fisik kita setelah beraktifitas; Mencari rezeki yang halal, beribadah secara khusyu’ dsb.

    Tidur proporsional tersebut diniatkan untuk persiapan qiyamullail (menghidupkan saat malam hari dengan ibadah) Tidur itu diniatkan untuk menghindari aktifitas yang –bila tidak tidur- dikhawatirkan akan melanggar rambu-rambu ibadah Ramadhan, semisal ghibah (menggunjing), menonton acara-acara yang tidak bermanfaat, jalan-jalan untuk cuci mata dsb.

    Pemahaman hadits diatas nyaris sama dengan pemahaman hadits yang menyatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada minyak misk (wangi) disisi Allah, bila difahami selintas maka akan menghasilkan pengamalan hadits yang tidak proporsional, seseorang akan meninggalkan aktifitas gosok gigi dan kebersihan mulutnya sepanjang 29 hari karena ingin tercium bau wangi dari mulutnya, faktanya bau mulut orang yang berpuasa tetap saja akan tercium kurang sedap karena faktor-faktor alamiyah, adapun bau harum tersebut adalah benar adanya secara maknawi tetapi bukan secara lahiriyah, secara fiqh pun, bersiwak atau gosok gigi saat puasa adalah mubah (diperbolehkan)

    7. Meninggalkan shalat tarwih tanpa udzur/halangan

    Benar bahwa shalat tarawih adalah sunnah tetapi bila dikaji secara lebih seksama niscaya kita akan dapatkan bahwa berpuasa Ramadhan minus shalat tarawih adalah suatu hal yang disayangkan, mengingat amalan sunnah di bulan ini diganjar sama dengan amalan wajib.

    8. Masih sering meninggalkan shalat fardhu 5 waktu secara berjama’ah tanpa udzur/halangan ( terutama untuk laki-laki muslim )

    Hukum shalat fardhu secara berjama’ah di masjid di kalangan para fuqaha’ adalah fardhu kifayah, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu `ain, berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mengisahkan bahwa beliau rasanya ingin membakar rumah kaum Muslimin yang tidak shalat berjama’ah di masjid, sebagai sebuah ungkapan atas kekecewaan beliau yang dalam atas kengganan umatnya pergi ke masjid.

    9. Bersemangat dan sibuk beribadah sunnah selama Ramadhan tetapi setelah Ramadhan berlalu, shalat fardhu lima waktu masih tetap saja dilalaikan

    Ini pun contoh dari orang yang tertipu dengan Ramadhan, hanya sedikit lebih berat dibanding poin-poin diatas. Karena mereka Hanya beribadah di bulan Ramadhan, itupun yang sunnah-sunnah saja, semisal shalat tarawih, dan setelah Ramadhan berlalu, berlalu pula ibadah shalat fardhunya.

    10. Semakin jarang membaca Al Qur’an dan maknanya

    11. Semakin jarang bershadaqah

    12. Tidak termotivasi untuk banyak berbuat kebajikan

    13. Tidak memiliki keinginan di hatinya untuk memburu malam Lailatul Qadar

    Poin nomor 8, 10, 11, 12 dan 13 secara umum, adalah indikasi-indikasi kecilnya ilmu, minat dan apresiasi yang dimiliki oleh seseorang terhadap bulan Ramadhan, karena semakin besar perhatian dan apresiasi seseorang kepada Ramadhan, maka sebesar itu pula ibadah yang dijalankannya selama Ramadhan.

    14. Biaya belanja & pengeluaran ( konsumtif ) selama bulan Ramadhan lebih besar & lebih tinggi daripada pengeluaran di luar bulan Ramadan (kecuali bila biaya pengeluaran itu untuk shadaqah)

    15. Lebih menyibukkan diri dengan belanja baju baru, camilan & masak-memasak untuk keperluan hari raya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan

    16. Lebih sibuk memikirkan persiapan hari raya daripada amalan puasa

    Mereka lebih sibuk apa yang dipakai di hari raya dibanding memikirkan apakah puasanya pada tahun ini diterima oleh Allah Ta’aala atau tidak Orang-orang yang biasanya mengalami poin-poin nomor 14, 15 dan 16 adalah orang-orang yang tertipu oleh “fatamorgana Ramadhan”, betapa tidak ? Pada hari-hari puncak Ramadhan, mereka malah menyibukkan diri mereka dan keluarganya dengan belanja ini-itu, substansi puasa yang bermakna menahan diri, justru membongkar jati diri mereka yang sebenarnya, pribadi-pribadi “produk Ramadhan” yang nampak begitu konsumtif, memborong apa saja yang mereka mampu beli. Tak terasa ratusan ribu hingga jutaan rupiah mengalir begitu saja, padahal di luar Ramadhan, belum tentu mereka lakukan. Semoga sentilan yang menyatakan bahwa orang Islam tidak konsisten dengan agamanya, karena di bulan Ramadhan yang seharusnya bersemangat menahan diri dan berbagi, ternyata malah memupuk semangat konsumerisme dan cenderung boros, dapat menggugah kita dari “fatamorgana Ramadhan”.

    Semoga Allah menganugerahi kita dengan rahmat-Nya, sehingga mampu menghindari kesalahan-kesalahan yang kerap kali menghinggapi mayoritas umat ini, amin. Hanya dengan keikhlasan, perenungan dan napak tilas Rasul, insya Allah kita mampu meng-up grade (naik kelas) puasa kita, wallaahu a’lam bis shawaab.

    ***

    (Ahmad Rizal, Alumni STAIL, dan KMI Gontor-Ponorogo/Hidayatullah)

    swaramuslim.net

     
  • erva kurniawan 4:58 am on 26 June 2013 Permalink | Balas  

    Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah 

    semut1Ibarat Semut, Laba-Laba dan Lebah

    Tiga binatang kecil ini menjadi nama dari tiga surah di dalam Al-Qur’an, An Naml [semut], Al ‘Ankabuut [laba-laba], dan An Nahl [lebah].

    “SEMUT”, menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa berhenti. Binatang ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun. Padahal usianya tidak lebih dari setahun. KETAMAKANnya sedemikian besar sehingga ia berusaha dan seringkali berhasil memikul sesuatu yang lebih besar dari tubuhnya.

    “LABA-LABA”. Sarangnya adalah tempat yang paling rapuh [Al ‘Ankabuut; 29:41], ia bukan tempat yang aman, apapun yang berlindung di sana akan binasa. Bahkan jantannya disergapnya untuk dihabisi oleh betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling memusnahkan. Inilah gambaran yang mengerikan dari kehidupan sejenis binatang.

    “LEBAH”, memiliki naluri yang dalam bahasa Al-Qur’an – “atas perintah Tuhan ia memilih gunung dan pohon2 sebagai tempat tinggal” [An Nahl;16:68]. Sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar efisen dalam penggunaan ruang. Yang dimakannya adalah serbuk sari bunga. Lebah tidak menumpuk makanan. Lebah menghasilkan lilin dan madu yang sangat manfaat bagi kita. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, segala yang tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali jika diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat.

    Sikap kita dapat diibaratkan dengan berbagai jenis binatang ini. Ada yang berbudaya ‘SEMUT’. Sering menghimpun dan menumpuk harta, menumpuk ilmu yang tidak dimanfaatkan. Budaya ‘semut’ adalah budaya ‘aji mumpung’. Pemborosan, foya2 adalah implementasinya. Entah berapa banyak juga tipe ‘LABA2’ yang ada di sekeliling kita. Yang hanya berpikir: “Siapa yang dapat dijadikan mangsa”

    Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wasallam mengibaratkan seorang mukmin sebagai ‘LEBAH’. Sesuatu yang tidak merusak dan tidak menyakitkan : “Tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula memecahkannya”

    Semoga kita menjadi ibarat lebah. Insya Allah!

    ***

    (Sumber: Lentera Hati – M. Quraish Shihab)

     
  • erva kurniawan 4:32 am on 22 June 2013 Permalink | Balas  

    Jembatan Menuju Impian 

    jembatanJembatan Menuju Impian

    Coba bayangkan saat Anda berdiri di pinggir suatu sungai yang besar, yang tidak mungkin Anda melaluinya dengan cara meloncat, apalagi melangkah. Sementara Anda sangat memerlukan atau menginginkan untuk dapat melaluinya. Bagaimana perasaan Anda saat menemukan sebuah jembatan yang menghubungkan kedua tepi sungai itu?

    Saat Anda menginginkan sesuatu yang agak sulit untuk dicapai, maka Anda perlu sebuah jembatan yang menuju kepada apa yang Anda inginkan. Keinginan Anda, insya Allah, akan jauh nampak lebih mudah jika sudah terbentang jembatan yang menghubungkan antara Anda pada kondisi sekarang dengan kondisi Anda setelah mencapai mimpi Anda tersebut.

    Jembatan itulah yang disebut dengan rencana. Rencana yang akan mengubah Anda, bukan kebetulan. Tanpa direncanakan Anda tidak akan berubah. Dalam kehidupan nyata yang saya jumpai, sering orang mengatakan belum siap, atau tidak bisa melakukan atau meraih sesuatu. Ketidaksiapan atau ketidakmampuan tidak akan berubah kecuali kita merencanakan untuk mengubahnya menjadi kesiapan atau kemampuan.

    “Change should be a friend. It should happen by plan, not by accident.”

    Philip Crosby (“Reflections on Quality”)

    Putuskan apa yang Anda inginkan, kemudian tulislah sebuah rencana, maka Anda akan menemukan kehidupan yang lebih mudah dibanding dengan sebelumnya, kenapa?

    Rencana adalah pijakan Anda melangkah, bagaimana bisa melangkah jika tidak ada pijakan? Rencana memberikan arah langkah Anda. Rencana memudahkan Anda untuk fokus, dimana fokus akan memberikan hasil yang optimal. Rencana akan membantu Anda mengoptimalkan waktu. Rencana akan menunjukan apakah tujuan Anda bisa dicapai atau tidak Rencana akan mengontrol Anda, sehingga Anda tetap di jalur yang mengarah menuju impian Anda. Rencana membuat kita berfikir lebih sistematis Kini saatnya bagi Anda untuk membuat sebuah rencana jika Anda ingin sukses seperti apa yang dikatakan petenis tenar Andre Agassi,

    “Success comes to those who plan their work and then work their plan!”

    Allah SWT dalam firman-Nya memerintahkan kepada Nabi SAW beserta para sahabat untuk membuat rencana ketika akan berangkat atau menghadapi peperangan,

    Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS:Al Anfaal:60)

    ***

    Oleh: Rahmat

    Sumber : motivasi-islami.com

     
  • erva kurniawan 4:54 am on 15 June 2013 Permalink | Balas  

    Something Stupid 

    tertawa 1Something Stupid

    Oleh: Bayu Gautama

    Adakah sesekali meluangkan waktu untuk sebentar saja merenung tentang apa-apa yang telah berlalu? Tentang segala yang pernah terjadi di masa lalu, khususnya berkenaan dengan diri kita sendiri? Jika ya, tentu semua kita akan tersenyum tatkala lintasan-lintasan peristiwa manis dan kesuksesan terputar dalam benak. Atau sedih dan sedikit menitikkan air mata saat teringat kembali kenangan-kenangan yang menyesakkan dada, tentang seseorang yang telah lama meninggalkan kita, atau apa pun yang teramat sulit bagi kita melupakannya sebab begitu dalam menghunjam di hati. Sangat pahit bahkan, pedih pula untuk mengingatnya kembali.

    Namun, kadang kita pun terbahak, senyum-senyum sendirian ketika berbagai peristiwa bodoh di masa lalu melintas lagi. Saya ingat betul, hari pertama masuk SLTP. Seragam putih biru yang saya dapat ukurannya terlalu besar, namun saya memaksakan diri untuk tetap mengenakannya. Mungkin saking bangganya saya bisa berseragam biru putih setelah selama enam tahun berseragam merah putih. Celakanya, saya tak memiliki gesper –ikat pinggang- sehingga di pagi hari sebelum berangkat kebingungan mencari sesuatu yang bisa dipakai agar celana biru saya tidak kedodoran.

    Singkat cerita, sampailah saya di sekolah dan langsung mengikuti upara bendera. Upacara bendera pertama saya di sekolah baru, dengan seragam biru putih yang juga baru. Lantaran postur tubuh saya yang kecil, sudah lazim ditempatkan di barisan paling depan saat berbaris. Namun saya menolak, bukan karena saya merasa ada yang lebih kecil dibanding saya, melainkan karena kemeja putih saya tidak dimasukkan ke dalam celana. Akhirnya, saya berdiri di baris kedua, di depan saya seorang anak yang tubuhnya kira-kira sekecil saya.

    Entah mimpi apa malam sebelumnya, kepala sekolah melihat anak di baris kedua di belakang anak lainnya yang tidak memasukkan kemeja putihnya ke dalam celana biru. Dipanggillah anak itu ke depan, persis di dekat tiang bendera. Sementara upacara belum dimulai, anak kecil siswa kelas 1F itu melangkah takut dan diminta menghadap ke arah ratusan siswa lainnya yang mulai terjemur terik pagi. Kepala sekolah meminta anak itu memasukkan kemeja putihnya ke dalam celana, “upacara tidak akan dimulai jika kamu belum rapih,” kalimat itu masih bisa terdengar hingga detik ini. Sebab, anak bertubuh kecil itu adalah saya!

    Malu, takut ditertawai dan langit serasa tengah runtuh hendak menindih tubuh kecil yang berdiri di dekat tiang bendera itu. Ratusan pasang mata tengah menatap, ratusan kepala seolah memasung kaki kecil di tengah lapangan upacara, ketika saya mengangkat kemeja putih dan hendak memasukkannya ke celana biru, dan… ratusan tawa pun menggelegar, memecah langit, membuat si kecil itu menunduk malu tak tertahankan.

    Saya, hari Senin pagi itu, berangkat ke sekolah mengenakan seutas tali rapiah sebagai ikat pinggang. Saya tidak punya ikat pinggang, namun saya juga tidak mau kedodoran. Maka tali rapiah pun menjadi pilihan. Saya merasa bodoh saat itu, merasa tidak berharga dan sangat malu, menyesal menggunakan tali rapiah sebagai ikat pinggang. Tidak, teman-teman dan guru yang menertawai saya di Senin pagi itu tak bersalah. Mereka berhak menertawai kebodohan saya yang menggunakan tali rapiah itu.

    ***

    Ah, rasanya ingin tertawa terbahak-bahak jika mengingat kembali berbagai kebodohan di masa lalu. Ya, mungkin saya dan kita semua boleh tersenyum bahkan tertawa sekeras-kerasnya, karena kebodohan-kebodohan yang kita lakukan di masa lalu itu boleh jadi karena kita melakukannya karena kita tidak tahu, tidak mengerti atau belum pernah melakukannya sebelumnya.

    Bagaimana dengan kebodohan-kebodohan yang kita perbuat sesudah kita banyak tahu, sudah mengerti dan bahkan sebenarnya berkali-kali pernah melakukannya. Jika seorang anak kecil memasukkan telepon selular milik Ayahnya ke dalam secangkir kopi, tentu saja itu bukan kebodohan. Tetapi jika itu dilakukan oleh orang dewasa, bolehlah disebut something stupid, satu kebodohan yang tidak perlu. Kalau melihat anak-anak melakukan kekeliruan, siapa pun akan tertawa dan merasa itu sesuatu yang lucu. Namun jika sebuah kekeliruan dilakukan oleh seorang berpengalaman misalnya, apakah boleh disebut kebodohan?

    Ada orang bijak mengatakan, jika melewati sebuah lorong dan kita terjerembab ke dalam lubang itu wajar jika itu kali pertama kita melewati lorong tersebut. Namun jika keesokan harinya melewati lorong yang sama dan kembali terjerembab, itu lah kebodohan. Sebaiknya kita senantiasa belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman masa lalu, agar kesalahan-kesalahan –dan kalau boleh disebut; kebodohan- di masa lalu tidak terulang kembali.

    Saya yakin, setelah membaca tulisan ini, Anda akan senyum-senyum sendiri atau sedikit tertawa karena tiba-tiba saja melintas something stupid di masa lalu. (Gaw)

     
  • erva kurniawan 1:34 am on 21 May 2013 Permalink | Balas  

    Kesempurnaan Hidup 

    Taman-bungaKesempurnaan Hidup

    Suatu hari Kahlil Gibran bertanya kepada gurunya.

    “Gibran : Bagaimana caranya agar kita mendapatkan sesuatu yang paling sempurna dalam hidup…???”

    “Sang Guru : Berjalanlah lurus di taman bunga, lalu petiklah bunga yang paling indah menurutmu dan jangan pernah kembali kebelakang…!!!”

    “Setelah berjalan dan sampai di ujung taman, Gibran kembali dengan tangan hampa…”

    “Lalu guru bertanya : Mengapa kamu tidak mendapatkan bunga satu pun…???”

    “Gibran : Sebenarnya tadi aku sudah menemukannya tapi aku tidak memetiknya karena aku pikir mungkin yang di depan pasti ada yg lebih indah, namun ketika aku sudah sampai di ujung, aku baru sadar bahwa yang aku lihat tadi adalah yang terindah, dan aku pun tak bisa kembali kebelakang lagi…!!!”

    “Sambil tersenyum Sang Guru berkata : Yaa, itulah hidup, semakin kita mencari kesempurnaan, semakin pula kita tak akan pernah mendapatkannya, karena sejatinya kesempurnaan yang hakiki tidak pernah ada, yang ada hanyalah keikhlasan hati kita untuk menerima kekurangan…!!!”

    Sahabat yang budiman…

    Marilah kita sadari bahwa apa yang kita dapatkan hari ini adalah yang terbaik menurut Tuhan dan jangan pernah ragu, karena kesadaran itu akan menjadikan kita nikmat menjalani hidup ini… Aamiin… (sen)

    ***

    Sumber : Patut Anda Ketahui

     
  • erva kurniawan 1:41 am on 18 May 2013 Permalink | Balas  

    4 Kunci Rumah Tangga Harmonis 

    Keluarga Sakinah4 Kunci Rumah Tangga Harmonis

    Oleh: Tim dakwatuna.com

    Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi.

    Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.

    Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.

    Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.

    Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.

    Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:

    1. Jangan melihat ke belakang

    Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.

    Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.

    Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.

    2. Berpikir objektif

    Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.

    Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.

    Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.

    Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.

    3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya

    Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.

    Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.

    Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.

    4. Sertakan sakralitas berumah tangga

    Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.

    Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.

    Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:49 am on 2 May 2013 Permalink | Balas  

    Mengambil Senjata di Malam Hari 

    malamMengambil Senjata di Malam Hari

    Senjata apa yang diambil di malam hari…? Mengapa harus waktu malam…?

    Ketika guru SMAku yang mengajar ilmu bumi antariksa kami tanya tentang hakekat alam raya, beliau menjawab :

    “Sebenarnya alam kita ini sedang berada pada waktu malam….”

    “Tapi mengapa sekarang ini lagi siang pak?” Tanya temanku.

    “Oh, sekarang ini tampak siang, karena kebetulan kita sedang berada pada bagian bumi yang menghadap matahari. Nanti malam, kita akan berada pada posisi balik dari keberadaan matahari.” “Tetapi kalau kita perhatikan, seluruh alam ini, sebagian besar berada pada keadaan gelap. Matahari kita hanyalah sebuah titik kecil. Ia adalah bintang kecil, seperti yang dinyanyikan oleh anak-anak TK.” Kata beliau.

    “Karena itulah, kita harus selalu berbakti kepada Tuhan. Sebenarnya manusia ini berada dalam kegelapan, kecuali yang diberi cahaya oleh Tuhan.” Jawab beliau berfilsafat.

    Aku merenung, dengan apa yang disampaikan guruku. “Malam adalah hakekat kehidupan”. Ah, menarik juga kata-kata beliau itu.

    Alasan dan jawaban beliau agak aneh kedengarannya. Tetapi sangat masuk diakal. Mengapa? Sebab yang disebut siang di alam raya ini, ternyata begitu sedikitnya, dan begitu kecilnya. Semua gelap gulita kecuali bagian yang diterangi oleh bintang yang ‘sangat kecil’ itu.

    Padahal bintang-bintang itu adalah benda raksasa. Tetapi menjadi kecil dibandingkan dengan besarnya alam raya. Ruang yang begitu luasnya di alam raya ini gelap semuanya. Sekali lagi yang terang hanyalah seujung jarum saja. Bagian lainnya malam, dan gelap gulita.

    Kalaulah di galaksi ini ada seratus milyar bintang, maka seluruh space antar bintang itu gelap dan malam. Kalaulah di alam raya ini ada seratus milyar galaksi atau bahkan lebih, maka seluruh ruangan alam raya ini juga gelap dan malam, kecuali sedikit yang diterangi oleh matahari atau bintang.

    Sehingga sebenarnya secara menyeluruh, di dunia ini tak ada waktu siang. Jika hari ini kita sedang berada pada giliran siang hari, sebenarnya sembilan puluh sembilan persen atau bahkan lebih, seluruh alam ini sedang dalam keadaan gelap gulita atau dengan kata lain sedang berada pada peristiwa malam.

    Sehingga kalau Al-Qur’an mengatakan ada peristiwa yang terjadi di waktu malam hari, sebenarnya bagi orang yang berakal, Allah telah memberikan sebuah informasi yang bersamaan, yaitu secara parsial dan secara universal.

    Secara parsial, yang terjadi pada daerah atau bagian bumi yang sedang berada pada waktu malam. Tetapi juga bisa berarti secara universal. Bahwa setiap saat dan watu, kita semua sedang berada pada saat universal yaitu sedang berada pada waktu malam. Kita disuruh berfikir dan merenung, bahwa semua sedang terjadi ‘saat ini’. Kalau-lah bagi kita sekarang ini sedang siang, boleh jadi di bagian belahan bumi yang lain atau langit yang lain, yang persentasenya jauh lebih besar, sedang terjadi waktu malam, alias gelap gulita.

    QS. Al-Furqan (25) : 64

    Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.

    QS. Qaaf (50) : 40

    Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang.

    QS. Adz-Dzariyyat (51) : 17-18

    Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).

    QS. Al-Muzzamil (73) : 6

    Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.

    QS. Al-Qadr (97) : 1

    Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.

    Kalau kita lihat, di dalam Al-Qur’an tidak kurang ada sebanyak 114 buah kata ‘malam’, dengan berbagai macam informasinya. Antara lain bahwa malam hari, adalah :

    1. Waktu yang paling tepat untuk bersujud (Ali-Imran:113)
    2. Waktu yang paling tepat untuk bertasbih (Al-Anbiyaa:20; Thaha:130)
    3. Waktu yang paling tepat shalat sehingga bisa khusyu’ (Al-Muzzamil:6)
    4. Waktu untuk shalat tahajud (Al-Isra’:79)
    5. Waktu yang paling tepat untuk mencari hikmah ( Adh-Dhukhaan:4)
    6. Waktu yang paling tepat untuk mohon ampun (Adz-Dzariyaat:18)
    7. Waktu yang diperbolehkan makan & minum bagi yang berpuasa (Al-Baqarah:187)
    8. Waktu untuk beristirahat (An-Naml:86, Yunus:67, Al-Mu’min:61)
    9. Waktu untuk tidur (Al-Furqan:47, Al-An’am:60)
    10. Waktu untuk dijadikan sebagai pelajaran dan mensyukuri nikmat Allah (Al-Furqan:62)
    11. Waktu untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (Al-Isra’:12)
    12. Waktu untuk melihat / merenungi tanda-tanda kebesaran Allah (Al-Isra’:1)
    13. Waktu untuk mendirikan shalat (Huud:114)
    14. Waktu yang dipilih Allah untuk diturunkannya Al-Qur’an (Al-Qadr:1)
    15. Waktu yang dipakai malaikat untuk mengatur segala urusan (Al-Qadr:4)

    Dari berbagai informasi tersebut, tampaklah bahwa waktu malam adalah waktu yang istimewa. Waktu yang tepat dan waktu yang hebat untuk mencari ‘senjata’ guna dipakai untuk melawan perbuatan setan.

    Dengan memanfaatkan waktu malam, insya Allah kita akan bertambah dekat dan bertambah cinta kepada Allah Swt. Jika seorang hamba bertambah dekat kepada Sang Penciptanya, insya Allah akan lebih mudah untuk mengalahkan sifat dan perbuatan setan yang selalu merugikan manusia.

    Maka dari itulah dipilihnya waktu malam oleh nabi Ibrahim untuk mengambil senjata di malam hari di musdzalifah, sebanyak tujuh buah batu kerikil.

    Tetapi apabila, kita berorientasi secara universal, bahwa sebenarnya kehidupan kita ini sepanjang waktu adalah malam hari, berarti di sepanjang waktu itu pula manusia disuruh untuk menyembah Allah, disuruh untuk berbakti kepadaNya. Disuruh untuk tahajud kepadaNya. Sehingga tak ada ‘waktu luang’ sedikit pun bagi manusia untuk tidak menyembah Allah.

    Kalaulah malaikat mengatur urusannya menurut Al-Qur’an pada waktu malam, artinya sepanjang waktu dan setiap saat, malaikat sedang ‘sibuk’ mengatur segala urusan yang diperintahkan Allah kepadanya.

    Bahkan Allah-pun selalu ‘sibuk’ memberi rahmat dan memberi perhatian kepada para hambaNya. Sebagai tanda kasih sayangNya.

    QS. Ar-Rahmaan (55) : 29 Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.

    Mengapa senjata yang diambilnya tujuh buah?

    Angka tujuh memang merupakan angka yang penuh dengan makna filosofis yang tinggi, yang sering dipergunakan oleh Al-Qur’an untuk memberi pelajaran bagi manusia.

    Di dalam Al-Qur’an jumlah kata ‘tujuh’ tidak kurang dari tiga puluh buah. Beberapa hal mengenai bilangan tujuh dalam Al-Qur’an :

    1. Langit dicipta terdiri dari tujuh lapis (Al-Baqarah:29; Al-Mukminuun:17,86; Fushilat: 12; Ath-Tholaq:12; Al-Mulk:3; Nuh:15; AnNaba’:12 )
    2. Puasa tujuh hari setelah pulang haji (Al-Baqarah:196)
    3. Akan mendapatkan pahala tujuh kali lipat, bagi orang yang menafkakan hartanya di jalan Allah (Al-Baqarah:261)
    4. Neraka Jahanam mempunyai tujuh pintu (Al-Hijr:44)
    5. Tentang diturunkannya tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (Al-Hijr:87)
    6. Langit yang tujuh bertasbih kepada Allah (Al-Isra’:44)
    7. Perumpamaan tujuh laut untuk dijadikan tinta (Luqman:27)
    8. Badai angin selama tujuh malam, bagi kaum Aad (Al-Haqqah:7)

    Selain beberapa kata tujuh yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut, kata atau bilangan tujuh juga sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya:

    1. Jumlah hari dalam kalender Islam atau dalam kalender masehi ada tujuh (minggu, senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu)
    2. Jumlah anggota badan / tubuh ketika bersujud dalam shalat, ada tujuh (dahi/ muka, dua telapak tangan, dua lutut, dua ujung jari kaki)
    3. Jumlah spektrum / sebaran warna dalam cahaya ada tujuh (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu)
    4. Putaran thawaf, juga sebanyak tujuh kali
    5. Perjalanan sa’i juga tujuh kali
    6. Bahkan Rasulullah saw, memberikan informasi tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan syafa’at ketika di hari kiamat nanti Mereka adalah : Pemimpin yang adil, Pemuda yang taat beribadah, Orang yang hatinya tergantung di masjid, Dua orang yang bersaudara karena Allah, Orang yang tengah malam menangis menyesali dosa-dosanya karena Allah, Laki-laki yang dipanggil wanita cantik tidak mau karena takut Allah, Seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui ketika tangan kanannya memberi.
    7. Manusia dalam hidupnya berada pada ruang besar, yang disediakan Allah baginya, yaitu tujuh lapis langit.

    Manusia di dalam kehidupannya tidak pernah bisa keluar dari waktu yang disebut hari. Keluar dari hari senin, akan bertemu dengan -selasa dan seterusnya. Yang akhirnya akan kembali bertemu dengan hari senin pula. Manusia selalu berada pada bagian hari-hari yang jumlahnya tujuh.

    Setiap saat bergerak dan berubah, selalu dipengaruhi dan selalu dalam lingkup dimensi tujuh warna. Kemana saja mata memandang selalu akan bertemu dengan warna kehidupan yang beraneka ragam, yang semuanya berasal dari 7 warna dasar.

    Waktu sujud adalah bagian terpenting ketika seseorang menyembah kepada Tuhannya. Saat itulah seorang hamba merasa betapa lemahnya ia. Betapa rendahnya ia. Yang tinggi dan Yang Perkasa hanyalah Allah Swt.

    Rasulullah memberikan sebuah signal, bahwa hanya tujuh golongan itulah yang insya Allah akan mendapatkan pertolonganNya. Karena itu sebisa mungkin, manusia haruslah bisa merebut ‘posisi’ itu. Apakah ia akan menjadi seorang pemimpin, apakah sebagai seorang pemuda. Apakah sebagai seorang hamba biasa, apakah dalam kaitannya kita bersaudara. Apakah sebagai seorang yang sering berbuat salah, apakah sebagai seorang lelaki yang sering tergoda oleh nafsunya. Apakah sebagai seorang yang sedang melakukan sodaqah… Rebutlah posisi itu, agar Allah mencintai kita, dan Dia memberi payung syafa’at untuk menolong kita.

    Sehingga dengan senjata yang sebanyak tujuh butir batu kerikil itu, seolah kita selalu diingatkan Allah, bahwa di dalam kehidupan kita, dimana manusia sering lupa dan sering tergoda oleh nafsunya, ambillah senjata untuk menangkal itu semua. Ambil senjata itu di waktu malam hari, dengan cara melakukan shalat malam. Ingat ketika sujud ada tujuh anggota tubuh kita yang kita pasrahkan ke hadirat Allah Swt. Untuk mohon perlindunganNya. Dan mohon ridhaNya, dalam mengarungi hari-hari yang tujuh di dalam kehidupan ini. Juga agar tidak tergoda dengan warna-warni kehidupan yang penuh dengan tipu daya…. insyaAllah.

    ***

    Dari: Firliana Putri

     
  • erva kurniawan 1:36 am on 1 May 2013 Permalink | Balas  

    Potensi Manusia 

    akalPotensi Manusia

    Akal adalah salah satu potensi manusia yang perlu kita syukuri. Salah satu cara bersyukur ialah mempergunakan akal kita sesuai dengan keinginan yang membuatnya, yaitu Allah SWT. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

    Salah satu perintah Allah SWT kepada manusia ialah agar setiap tindakan dan tingkah lakunya berdasarkan ilmu.

    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS.17:36)

    Setiap tindakan atau perbuatan yang tidak berdasarkan ilmu akan membuat kita menjadi orang yang merugi di sisi Allah. Di akhirat kita akan masuk neraka.

    “Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS.67:10)

    Begitu juga di dunia, selain kita tersesat, hidup tanpa ilmu bagaikan berjalan di tempat yang sangat gelap, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau kalaupun ada hanya mengikuti orang lain saja yang belum tentu benar atau salahnya.

    Tidak sedikit manusia yang tidak mau mengoptimalkan akalnya. Contohnya ialah orang-orang yang sudah tidak mau lagi menggunakan akalnya dalam mencari ilmu. Mereka merasa ilmunya sudah cukup untuk hidupnya. Mereka ungkapkan berbagai alasan agar tidak lagi belajar atau menuntut ilmu.

    Jangankan untuk membuka buku, sekedar mendengarkan orang lain pun ada saja yang tidak mau. Padahal jika kita rajin mendengarkan orang lain, kita akan mendapatkan ilmu gratis yang tidak perlu susah payah mencarinya.

    Marilah kita terus-meneruskan mengoptimalkan potensi akal kita agar tidak rugi baik dunia dan akhirat. Ingatkanlah saudara-saudara kita yang masih belum sadar akan hal ini. Nasib negara Indonesia akan sangat tergantung dari kualitas bangsanya sendiri.

    ***

    Oleh: Rahmat

    sumber : http://www.motivasi- islami.com

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 28 April 2013 Permalink | Balas  

    Peran Seorang Tuna Netra 

    tuna-netraPeran Seorang Tuna Netra

    Saya kira sudah menjadi pemandangan yang biasa, saat kita melihat seorang tuna netra yang berjalan di pinggir jalan untuk mengharap belas kasihan dari para pengguna jalan. Mereka duduk di pinggir jalan dengan sebuah kaleng, mangkuk, atau wadah lainnya untuk mengumpulkan receh dari orang-orang yang melewatinya. Ada juga yang berjalan menghampiri mobil-mobil yang berhenti dengan dipandu oleh orang yang bisa melihat.

    Tuna netra sering kali dijadikan alasan untuk meminta belas kasihan. Kekurangan sering kali dijadikan alasan untuk tidak bekerja dan tidak berkarya. Boro-boro memberikan kontribui kepada orang lain, untuk dirinya sendiri masih mengharapkan orang lain. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah mereka tidak bisa atau tidak mau? Atau memang kita yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada mereka?

    Saya punya tetangga yang tuna netra, bahkan suami istri sama-sama tidak bisa melihat. Mereka memiliki beberapa orang putri yang cantik- cantik. Namun mereka bisa hidup dengan layak tanpa haru berharap belas kasihan kepada orang lain. Mereka bisa menghidupi anak-anaknya tanpa harus menjadi peminta-minta.

    Ah, itu belum seberapa. Ada seorang tuna netra yang berusaha mengumpulkan dana untuk disumbangkan ke suatu yayasan, dia tidak hanya memikirikan diri sendiri tetapi dia memikirkan orang lain lain. Dia tidak meminta belas kasihan dari orang lain, tetapi dia memberikan kontribusi kepada orang lain. Dan lebih hebatnya lagi dia bisa mengendarai sebuat pesawat terbang dalam rangka pengumpulan dana tersebut.

    Anda boleh memiliki keterbatasan, karena manusia tidak ada yang diciptakan sempurna, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk memberikan kontribusi kepada orang lain. Insya Allah kita bisa, karena kita umat Islam adalah umat rahmatan lil’alamiin.

    ***

    Oleh: Rahmat

    Sumber : http://www.motivasi-islami.com

     
  • erva kurniawan 1:27 am on 17 April 2013 Permalink | Balas  

    Sukses Dimulai dari Pikiran 

    suksesSukses Dimulai dari Pikiran

    Oleh: Rahmat

    Muhammad Ali mengatakan bahwa sang juara dihasilkan dari keinginan, impian, dan visi. Sementara, Dennis Waitley, mengatakan bahwa pemenang selalu mengatakan ‘saya akan’ dan ‘saya bisa’. Ini adalah pekerjaan pikiran. Memang tidak nyata tetapi akan membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan Anda jika pikiran Anda sudah terkondisikan seperti yang dijelaskan di atas.

    Keinginan datang dari pikiran. Sementara semua orang memiliki pikiran, jadi semua orang bisa memiliki keinginan. Bahkan, memang semua orang punya keinginan, siapa yang tidak? Lalu mengapa tidak semua orang menjadi orang sukses? Tentu saja keinginan yang membawa kepada kesuksesan berbeda dengan keinginan biasa. Keinginan yang membawa kepada sukses adalah keinginan yang sangat jelas dan keinginan yang memberikan dorongan yang besar untuk mencapainya. Bukan sekedar keinginan yang bila tercapai tidak membawa dampak, begitu juga jika tidak. Bukan juga keinginan yang samar, seperti “saya ingin bahagia” dan “saya ingin kaya”.

    Apa bedanya keinginan dan impian? Impian adalah bagian dari keinginan. Impian memiliki makna lebih khusus, impian digunakan untuk keinginan yang besar, keinginan yang menurut kebanyak orang sulit atau tidak mungkin dicapai. Sudahkah Anda punya impian? Sementara visi adalah gambaran dari impian tersebut dimana impian tersebut seakan-akan sudah Anda capai. Visi adalah gambaran Anda masa depan, saat semua keinginan Anda tercapai.

    Al Quran, dengan indah membangun visi manusia. Visi saat berada di surga. Gambaran indah surga seakan-akan sudah terjadi pada diri kita. Gambar surga yang indah begitu sering diulang-ulang dalam Al Quran dan juga kita dianjurkan untuk membaca Al Quran sesering mungkin. Hikmah yang bisa kita ambil adalah agar visi kita diakhirat tersebut melekat dalam kepala kita sehingga memiliki dorongan kuat untuk mencapainya.

    Berikut adalah salah satu contoh bagaimana gambaran surga diberitahukan kepada manusia.

    Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS Al Baqarah[2]:25)

    Masih banyak lagi gambaran indah tentang surga baik dalam ayat Al Quran maupun hadits.

    Pikiran positif, yang salah satunya memiliki visi hidup yang jelas baik dunia maupun akhirat insya Allah akan membawa kita kepada keberhasilan. Pikiran positif lainnya ialah selalu berkata ‘saya bisa’ dan ‘saya akan’. Meskipun secara islami akan lebih baik jika di tambah dengan kata insya Allah. Kata-kata ‘saya akan’ dan ‘saya bisa’ adalah refleksi dari pikiran positif yang tidak menyerah pada keadaan, apapun keadaan yang dilaluinya.

    ***

    Sumber : motivasi- islami.com

     
  • erva kurniawan 1:45 am on 4 April 2013 Permalink | Balas  

    10 Amalan Yang Terbalik 

    Jadilah-Pelita (1)10 Amalan Yang Terbalik

    Kadang kita dapati amalan kita terbalik atau bertentangan dengan apa yang sepatutnya dilakukan dan dituntut oleh Islam. Mungkin kita tidak sadar atau ikut-ikutan dengan budaya hidup orang lain. Contoh amalan yang terbalik :

    1. Amalan Selamatan/kenduri beberapa malam setelah saudara/keluarga/tetangga kita meninggal (malam pertama, kedua, ketiga, ketujuh dan seterusnya) adalah terbalik dengan yang dianjurkan oleh Rosulullah SAW dimana Rosulullah telah menganjurkan tetangga memasak makanan/minuman untuk keluarga yang berduka guna meringankan kesedihan dan kesusahan mereka.  Keluarga yang telah ditimpa kesedihan tersebut terpaksa menyediakan makanan dan membeli segala sesuatu untuk mereka yang datang membaca Tahlil/do a dan mengaji.Tidakkah mereka yang hadir dan makan tersebut tidak khawatir termakan harta anak yatim yang ditinggalkan oleh si mati atau harta peninggalan si mati yang belum dibagikan kepada yang berhak menurut Islam?
    2. Kalau datang ke resepsi/pesta pernikahan/khitanan selalu berisi hadiah/uang waktu bersalaman. Kalau tidak ada uang maka kita segan untuk pergi. Tetapi kalau mendatangi tempat orang meninggal. kita tidak malu untuk salaman tanpa isi/uang. Sepatutnya pada saat kita mendatangi tempat orang meninggallah kita seharusnya memberi sedekah. Sebenarnya jika ke Resepsi/pesta pernikahan/khitanan, tidak memberipun tidak apa-apa. karena tuan rumah yang mengundang untuk memberi restu kepada mempelai dan makan bukan untuk menambah pendapatannya.
    3. Ketika datang ke sebuah gedung/rumah mewah atau menghadiri rapat dengan pejabat, kita berpakaian bagus, rapi dan indah tapi bila menghadap Allah baik di rumah maupun di Mesjid, pakaian yang dipakai adalah pakaian seadanya. Tidakkah ini suatu perbuatan yang terbalik?
    4. Kalau bertamu ke rumah orang diberi kue/minum, kita merasa malu untuk makan sampai habis, padahal yang dituntut adalah jika hidangan tidak dimakan akan menjadi mubazir dan tidak menyenangkan tuan rumah.
    5. Kalau Sholat Sunnah di Mesjid sangat rajin tapi kalau di rumah, malas. Sedangkan sebaik-baik Sholat Sunnah adalah yang dilakukan di rumah seperti yang dianjurkan oleh Rosulullah SAW untuk menghindari rasa riya’/pamer.
    6. Bulan Puasa adalah bulan mendidik nafsu termasuk nafsu makan yang berlebihan tetapi kebanyakan orang mengaku bahwa biaya makan dan belanja di bulan puasa adalah yang tertinggi dalam setahun. Padahal seharusnya yang terendah.  Bukankah terbalik amalan kita?
    7. Kalau untuk menjalankan ibadah haji, sebelum berangkat, banyak orang mengadakan Selamatan/do’a bersama tetapi setelah kembali dari Haji, tidak ada do’a bersama untuk bersyukur. Anjuran do’a bersama/selamatan dalam Islam diantaranya adalah karena selamat dari bermusafir/perjalanan jauh bukan karena akan bermusafir. Bukankah amalan ini terbalik? Atau kita mempunyai tujuan lain?
    8. Semua orang tua akan kecewa jika anak-anaknya gagal dalam ujian. Maka dicari dan diantarlah anak-anak ke tempat kursus walau dengan biaya tinggi. Tapi kalau anak tidak dapat membaca Al-Qur’an, mereka tidak berusaha mencari/mengantar anak-anak ketempat kursus baca Al-Qur’an atau kursus pelajaran Islam. Kalau guru kursus sanggup dibayar sebulan Rp.300.000,00 perbulan untuk satu pelajaran dan 8 kali pertemuan saja, tapi kepada Ustadz yang mengajarkan mengaji hanya Rp.100.000,00 perbulan untuk 20 kali pertemuan. Bukankah terbalik amalan kita? Kita sepatutnya lebih malu jika anak tidak dapat baca Al-Qur’am atau Sholat dari pada tidak lulus ujian.
    9. Siang-malam, panas-hujan badai, pagi-petang kita bekerja mengejar rezeki Allah dan mematuhi peraturan kerja. Tapi ke rumah Allah (Mesjid) tidak hujan tidak panas, tidak siang, tidak malam tetap tidak datang ke Mesjid. Sungguh tidak tahu malu manusia begini, rezeki Allah diminta tapi untuk mampir ke rumahNya segan dan malas.
    10. Seorang isteri kalau mau keluar rumah dengan suami atau tidak, berhias secantik mungkin. Tapi kalau di rumah….??? Sedangkan yang dituntut seorang isteri itu berhias untuk suaminya bukan untuk orang lain. Perbuatan amalan yang terbalik ini membuat rumah tangga kurang bahagia.  Cukup dengan contoh-contoh di atas, Marilah kita berlapang dada menerima hakikat sebenarnya.Marilah kita beralih kepada kebenaran agar hidup kita menurut landasan dan ajaran Islam yang sebenarnya bukan yang digubah mengikuti selera kita. Allah yang menciptakan kita, maka biarlah Allah yang menentukan peraturan hidup kita.  Sabda Rosulullah SAW : “Sampaikanlah pesan-KU walau hanya satu ayat”. (Riwayat Bukhari).

    Islam adalah rahmatan lil’alamiin hidup mulia atau mati syahie keep ukhuwah, smile and istiqomah

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:25 am on 22 March 2013 Permalink | Balas  

    Rumah Kita (Sudahkah Menjadi Home Atau Sekedar House?) 

    homeRumah Kita (Sudahkah Menjadi Home Atau Sekedar House?)

    Oleh : Marina Lidya S. Pd

    “Selamat datang di kawasan hunian yang bervisi Baiti Jannati dengan misi Rahmatan Lil’alamin. Dibangun berdasarkan konsep minimalis dengan mengutamakan azaz-azaz efisiensi dan efektivitas serta pengoptimalisasian setiap sudut ruangan yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersahajaan hidup penghuninya.”

    Untaian kalimat di atas sepintas memang seperti promo dari sebuah developer hunian tapi bukan. Itu adalah sebuah refleksi saya terhadap rumah idaman saya di dunia, mungkin juga idaman sebagian orang yang mengutamakan esensi dan kesederhanaan. Sebuah rumah idaman yang tidak hanya sekedar house tapi juga home bagi penguhuninya.

    Memang home dan house artinya sama-sama rumah. Namun berbeda peruntukannya dalam kalimat. Misalnya antara broken house dan broken home. Kalau broken house bangunan rumahnya yang rusak. Tapi kalau broken home, bisa jadi bangunan rumahnya tidak rusak, namun telah hilang perasaan cinta dan rindu antara penghuni rumah. Yang ada hanya kekakuan yang diselingi pertengkaran yang kemudian menghadirkan rasa sakit hati, benci, bahkan dendam. Itulah dia, rumah tangga yang hancur alias keluarga berantakan.

    Jadi dapat dikatakan bahwa home lebih kepada suasana kejiwaan dan atmosfir yang terbangun dalam suatu rumah, tempat atau bangunan lainnya. Sehingga dapat dimaknakan home sebagai suatu tempat yang menawarkan rasa nyaman dan betah. Dengan demikian, di mana pun tempat kita beraktivitas, apakah itu di kantor kita, toko kita, ruang kelas kita, semuanya sebenarnya dapat kita `sulap’ menjadi home. Sehingga kita dan orang-orang yang juga beraktivitas di sana atau sekedar mampir, merasa nyaman dan betah. Dan, tentunya tempat paling utama yang harus kita jadikan home adalah rumah kita. Sehingga setiap penghuni rumah senantiasa rindu pulang. Terpatri pada diri mereka semboyan “No Place Like Home” (tidak ada tempat seperti (senyaman) di rumah. Atau yang lebih indah lagi, dengan ungkapan Baiti Jannati, rumahku syurgaku. Bagaimana tidak, indahnya jannah yang setiap orang rindu dan ingin pulang ke sana. Begitu juga bila rumah yang telah jadi menjadi `syurga’ dunia bagi penghuninya. Tentu selalu dirindu dan kalau sudah pergi ke tempat lain rasanya ingin cepat pulang untuk melepas segenap kepenatan dan melupakan segala kepedihan di luar sana.

    Ukuran besar kecil rumah atau megah tidaknya rumah, sangatlah relatif. Yang utama adalah atmosfir yang menyelubungi rumah tersebut. Ada yang rumahnya white house bak istana tapi serasa neraka bagi penghuninya sehingga mereka mencari home-home lain di luar. Ada juga yang rumahnya KPR BTN RSS (Kredit Pemilikan Rumah Bangunannya Tidak Normal Rasanya Sempit Sekali), namun jannah bagi mereka. Tentu setiap orang mengidamkan rumah kalau bisa kombinasi antara bangunan yang baik dengan suasana psikologis dan atmosfir yang menyenangkan.

    Rumah yang home bukanlah hotel yang meskipun nyaman tapi hanya untuk sekedar menginap. Juga bukanlah yang ruang makannya laksana restoran yang meskipun kursi makan dan menunya istimewa, namun hanya menawarkan suasana kaku dan formil, kering dari cinta, sepi dari canda, jauh dari pembelajaran dan kosong dari nasehat. Kata anak- anak pengajian, “Kagak ada ruhnya!”. Rumah yang home adalah rumah yang akan selalu menjadikan penghuninya dari waktu ke waktu semakin sholeh, cerdas, berakhlakul karimah dan semakin kuat rasa cinta dan rindu di antara mereka.

    Saya berusaha memikirkan ciri-ciri home yang saya idamkan. Mungkin ini akan memberkan inspirasi bagi Anda, atau mungkin Anda sudah meraihnya, dan bahkan sudah melebihi yang saya pikirkan. Selamat, ya! Do’akan saya segera menyusul.

    Kira-kira poin-poin berikut inilah yang ingin saya hadirkan di home idaman saya :

    1. Tumbuh dan berkembangnya aktivitas ibadah. Hal ini dapat dilihat dari ketaatan penghuni rimah akan perintah Allah dan hidupnya sunnah-sunnah Rasulullah.
    2. Tumbuh dan berkembangnya aktivitas keilmuan. Hal ini dapat ditandai dengan tersedianya sarana-sarana penunjang ilmu dan pengetahuan. Seperti adanya ruangan yang cukup representatif untuk diadakannya pengajian. Di satu pojoknya ada mini home library atau little book corner yang menyimpan berbagai koleksi buku, surat kabar, jurnal, majalah, kliping, atau artikel penting. Tersedianya sarana bermain anak yang edukatif. Tak kalah pentingnya adalah seperti home theatre yang mengoleksi berbagai CD dan VCD ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi seisi rumah. Terutama bagi putra- putri kita yang sedang berada dalam masa `the golden ages’ mengingat sebagian besar acara TV yang semakin membuat resah orang beriman. Dan kalau memungkinkan, ada perangkat komputer yang connect ke internet agar memperoleh informasi yang luas dan cepat.
    3. Terpatrinya perilaku hidup bersih, rapi dan berdisiplin pada diri setiap penghuni rumah. Bila ada najis segera dibersihkan, tidak ada saluran yang mampet, kotoran yang mengendap atau bau yang tidak sedap. Barang-barang yang berserakan dan ruangan yang berantakan segera dirapikan. Seluruh anggota keluarga berdisiplin dan bertanggungjawab melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya.
    4. Adanya perhatian yang besar terhadap kesehatan. Terwujud dari penyusunan menu makanan yang halal, baik dan seimbang zat gizinya. Serta adanya jadwal untuk berolahraga. Dan diupayakan penyisihan dana untuk check up kesehatan.
    5. Melekatnya sikap sederhana dan bersahaja. Baik dalam makanan, minum, berpakaian, perkataan, dan gaya hidup, serta terbangunnya azaz-azaz efisiensi, efektivitas, optimalisasi dan kemampuan menyusun skala prioritas kehidupan.
    6. Orang tua, terutama Ayah, sang kepala keluarga mengayomi dan melindungi keluarga. Yang tercermin dari kegigihannya mencari nafkah yang halal. Bersama ibu berusaha menciptakan controlling system yang bekerja efektif agar putra-putri terlindungi dan jauh dari perilaku-perilaku menyimpang dan membahayakan aqidah, fisik, dan mental. Seperti pergaulan bebas, narkoba, bid’ah dholalah, fenomena homo/ transseksual (gay/ lesbi/ waria), dan lain-lain.
    7. Terbinanya suasana demokratis. Setiap anggota keluarga dapat mengekspresikan perasaan dan pendapatnya. Berkembangnya iklim tausiyah. Tiada acara kumpul-kumpul keluarga melainkan senantiasa disisipi taujih.
    8. Seisi rumah memiliki sensitivitas terhadap lingkungan sekitar. Senantiasa menjalin dan menjaga silaturrahim dengan tetangga. Selalu terpanggil untuk bergabung dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dan fardhu kifayah. Ayah dan anak laki-laki selalu shalat di mesjid. Serta memiliki perhatian terhadap lestarinya ekosistem.

    Demikianlah cirri-ciri home yang saya idamkan. Mudah-mudahan rumah Anda sudah menjadi home ataupun jannah bagi Anda dan keluarga. Sehingga Anda senantiasa merindukannya dan selalu ingin pulang. Tidak ada lagi keinginan untuk berlama-lama di warung kopi atau kafe. Enyahlah sudah ungkapan “Gue sebel di rumah” dari anak remaja kita.

    Bila setiap keluarga yang merupakan unit termungil pembentuk negara dan pembangun peradaban ini, telah menemukan home ataupun jannahnya. Dan telah berhasil menjadikan penghuninya dari waktu ke waktu semakin sholeh, solid, cerdas, dan berakhlak karimah. Maka insya Allah akan tercapailah seperti yang tercantum dalam QS 34:15, Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Amin.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:06 am on 13 March 2013 Permalink | Balas  

    Ketika Allah menjadi alasan paling utama 

    akad-nikah-erva-kurniawan-titik-rahayuningsih (1)Ketika Allah menjadi alasan paling utama

    Sahabat-sahabat, ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan untuk menikah dan menyegerakannya.

    Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak bertanya tentang calon istriku, aku jemput dia di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi urusan Allah. Sehingga aku nikahi seorang wanita tegar dan begitu berbakti kepada suami.

    Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan istriku. Dan sekuat tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.

    Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka menetes air mataku saat melihat segala kebaikan dan kelebihan istriku, yang rasanya sulit aku tandingi.

    Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka akupun berdoa, Yaa Allah, jadikan dia, seorang wanita, istri dan ibu anak-anakku, yang dapat menjadi jalan menuju surgamu. Amin.

    Sahabat-sahabat, kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk menikah, maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok, yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentramkan jiwa, yang…..yang….yang……dan 1000 “yang”……lainnya…..Karena semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan. Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu segalanya.

    ***

    Oleh: Rico Atmaka

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 2 February 2013 Permalink | Balas  

    Yang Lalu Biar Berlalu 

    Yang Lalu Biar Berlalu

    Mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih, atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu sama artinya dengan membunuh semangat, memupus tekad dan mengubur masa depan yang belum terjadi.

    Bagi orang yang berpikir, bekas-bekas masa lalu akan dilipat dan tak pernah kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam ruang penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam penjara pengacuhan selamanya, atau diletakan di dalam ruang gelap yang tak tertembus cahaya. Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis, keresahan tak akan sanggup memperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnya menjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.

    Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau dibawah payung gelap masa silam; selamatkan diri Anda dari bayangan masa lampau! Adakah Anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ketempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke kelopak mata? Ingat; keterikatan Anda dengan masa lalu, keresahan Anda atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwa Anda oleh api panasnya, dan kedekatan jiwa Anda pada pintunya, adalah kondisi yang sangat naïf, ironis, memperihatinkan, dan sekaligus menakutkan.

    Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan mempuaskan m masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang demikian sangat berharga. Dalam Al-Qur’an, setiap kali usai menerangkan kondisi suatu kaum dan apa saja yang telah mereka lakukan, Allah selalu mengatakan, “Itu adalah umat yang lalu.” Begitulah; ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembal;i roda sejarah.

    Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, adalah tak ubahnya orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji serbuk kayu. Syahdan nenek moyang kita dahulu selalu mengingatkan orang yang meratapi masa lalunya demikian, “Janganlah engkau mengeluarkan mayat- mayat itu dari kuburnya.” Dan konon, kata orang yang mengerti bahasa binatang, sekawanan binatang sering bertanya kepada seekor keledai begini, “Mengapa engkau tidak menarik gerobak?” “Aku benci khayalan,” jawab keledai.

    Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa depan dan justru hanya disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan kita mengabaikan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi puing- puing yang telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan jin bersatu untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab, yang demikian itu sudah mustahil pada asalnya.

    Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan segala sesuatu bergerak menuju ke depan. Maka dari itu, janganlah pernah melawan sunnah kehidupan!

    ***

    die *La Tahzan* DR. Aidh al-Qarni

     
  • erva kurniawan 1:32 am on 31 January 2013 Permalink | Balas  

    Bila Diri Sempit Hati 

    Bila Diri Sempit Hati

    Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

    Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita hati yang lapang, jernih, karena ternyata berat sekali menghadapi hidup dengan hati yang sempit.

    Hati yang lapang dapat diibaratkan sebuah lapangan yang luas membentang, walaupun ada anjing, ular, kaajengking, dan ada aneka binatang buas lainnya, pastilah lapangan akan tetap luas.

    Aneka binatang buas yang ada malah semakin nampak kecil dibandingkan luas lapangan.

    Sebaliknya, hati yang sempit dapat diibaratkan ketika kita berada di sebuah kamar mandi yang sempit, baru berdua dengan tikus saja, pasti jadi masalah.

    Belum lagi jika dimasukan anjing, singa atau harimau yang sedang lapar, pastikanlah akan bermasalah lagi.

    Entah mengapa kita sering terjebak dalam pikiran yang membuat hari-hari kita menjadi hari-hari yang tidak nyaman, dan membuat pikiran kita jadi keruh, penuh rencana-rencana buruk.

    Waktu demi waktu yang dilalui seringkali diwarnai kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian.

    Bahkan lagi dendam kesumat, capek rasanya, jelang tidur, otak berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan kedendaman yang ada dilubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan kepada yang dibencinya.

    Hari-harinya adalah hari uring-uringan makan tak enal, tidur tak nyenyak dikarenakan seluruh kosentrasi dan energinya difokuskan untuk memuaskan rasa bencinya ini.

    Saudaraku, sungguh alangkah menderitanya orang-orang yang disiksa oleh kesempitan hati.

    Dia kan mudah sekali tersinggung, dan jika sudah tersinggung seakan-akan tidak termaafkan, kecuali sudah terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya.

    Seringkali kita mendengar cerita orang-orang yang dililit derita akibat rasa bencinya.

    Padahal ternyata yang dicontohkan para rasul, dan nabi serta para ulama yang ikhlas, orang-orang yang berjiwa besar, bukanlah mencontohkan dendam, membenci atau busuk hati.

    Mereka justru contoh pribadi-pribadi yang kokoh bagai tembok tegar, sama sekali tidak terpancing oleh caci maki, cemooh, benci, dendam, dan perilaku-perilaku rendah lainnya.

    Sungguh pribadinya, bagai pohon yang akarnya menghujam ke dalam tanah, begitu kokoh dan kuat, hingga diterpa badai dan diterjang topan sekalipun tetap mantap tidak bergeming. Wallahu a’lam.

     
  • erva kurniawan 1:09 am on 26 January 2013 Permalink | Balas  

    Serba Tiga 

    Serba Tiga

    Didunia ini hanya ada tiga hari saja, yaitu : Pertama, hari kermarin yang telah lewat, maka tidak ada lagi kesempatan sedikitpun bagi kita untuk berbuat. Kedua, hari esok yang kita tidak dapat mengetahui apakah dapat menemui atau tidak. Ketiga, hari ini, disaat kita berada didalamnya.

    Didunia ini pun hanya ada tiga waktu, yaitu : Pertama, waktu yang telah lewat yang telah kita lalui bersama. Kedua, waktu yang belum dilalui, yang kita tidak mengetahui apakah dapat melalui atau tidak. Ketiga, waktu yang kita berada didalamnya

    Didunia ini juga hanya ada tiga nafas, yaitu : Pertama: nafas yang telah lewat yang kita telah menyelesaikan perbuatan dan pekerjaan didalamnya. Kedua, nafas yang belum sampai, apakah kita dapat memakai atau tidak. Ketiga, nafas yang kita sedang ada bersamanya.

    Oleh sebab itu, marilah dihari ini. Ketika waktu bersama dan nafas masih berada didalamnya, kita kerjakan amal saleh. Tinggalkan yang tak berguna. Jauhkan perbuatan dosa, agar dikemudian hari akhir tak akan ada penyesalan selamanya.

    Ada tiga orang tua kita, yaitu Pertama, orang tua yang menyebabkan kita dilahirkan(ibu dan bapak), Kedua, orang tua yang memberikan kesempatan kepada kita, mendapatkan pasangan(mertua). Ketiga, orang tua yang mengajarkan ilmu agama untuk menuju kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat (guru, ustad, kyai). Mereka adalah orang tua yang hakiki serta harus diutamakan.

    Ada tiga perkara yang tergolong musibah yang membinasakan :Pertama, penguasa yang apabila kita berbuat baik kepadanya tidak mensyukuri; dan apabila kita berbuat kesalahan tidak mengampuni. Kedua, tetangga yang kalau melihat kebaikan kita, dia diam. Akan tetapi kalau dia melihat keburukan kita, disebarluaskan. Ketiga, istri yang jika berkumpul bersama menggganggu; dan jika kita pergi ia suka mengkhianati.

    Ada tiga tanda orang munafik, yaitu; Pertama, apabila berbicara, ia berdusta. Kedua, apabila berjanji, ia mengingkari. Ketiga, apabila dipercaya, ia mengkhianati.

    Tiga bencana yang akan diturunkan, apabila manusia menjauhi para ulama, yaitu; Pertama, Allah SWT , akan mengangkat keberkahan usahanya. Kedua, Allah SWT akan menempatkan/memberikan penguasa/pemimpin yang zalim. Ketiga, manusia akan meninggal dunia/wafat dalam keadaan tanpa membawa iman (su’ul khatimah).

    Tiga orang yang halal darahnya : Pertama, janda atau duda yang berzina. Kedua, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Ketiga, orang yang murtad/meninggalkan agamanya.

    Tiga golongan manusia yang diharamkan masuk kedalam surga Allah SWT, yaitu Pertama, pemabuk durjana. Kedua, wanita yang menyerupai pria, atau sebaliknya. Ketiga, seseorang yang membiarkan anggota keluarganya berbuat dosa.

    Dikutip dari buku : Menjaga Cinta dan Ridha Allah yang Abadi (Sebuah Renungan Diri)

     
  • erva kurniawan 1:09 am on 21 January 2013 Permalink | Balas  

    Jangan Jadi Gelas 

    Jangan Jadi Gelas

    Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.

    “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.

    “Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.

    Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.” Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

    “Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.

    “Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.

    “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

    Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

    “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan mursyid, begitu pikirnya.

    “Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.

    Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

    “Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana . Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

    “Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

    “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

    “Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

    Si murid terdiam, mendengarkan.

    “Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya ‘qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau.”

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:59 am on 13 January 2013 Permalink | Balas  

    Akhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur 

    Akhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur

    Pernahkah Anda memberikan sesuatu kepada orang lain, membantu orang lain dan kemudian mereka yang menerimanya mengucapkan terimakasih kepada Anda ? Bagaimana perasaan Anda sewaktu dapat memberikan sesuatu kepada orang lain, menolong orang lain yang memerlukan bantuan dan mereka mengucapkan terimakasih atas bantuan Anda ? Perasaan Anda tentu senang dan bahagia, bukan. Meskipun sekedar ucapan terimakasih, namun itu dapat menyempurnakan kebahagiaan Anda dalam memberikan sesuatu. Demikian sisi perasaan dari sang pemberi dengan ungkapan terimakasih dari yang diberinya.

    Sadarkah kita, bahwa hidup ini adalah pemberian Allah Tuhan Yang Memiliki Kehidupan? Hidup ini bukan kehendak kita, tetapi kehendak Allah SWT. Maka berdirilah kita dalam kehidupan dunia ini sebagai “objek” penerima kehidupan dengan segala karunia yang diberikanNya. Berdirilah pada posisi diri kita sebagai “hamba” atau “abdi” dari Allah Yang Maha Kuasa terhadap hidup kita.

    Menyadari posisi diri kita, pikirkanlah kembali apa yang sudah diberikan Allah Tuhan Yang Maha Pemberi kepada diri kita ?. Pikirkan kembali, begitu banyaknya kenikmatan dan anugerah istimewa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Renungkan kembali apa yang ada dalam diri kita saat ini, betapa banyak yang sudah kita miliki.

    • Kesehatan badan kita dan keluarga kita
    • Sandang pangan yang sudah kita nikmati selama ini
    • Kehidupan yang tenang, damai dan bahagia selama ini
    • Betapa sangat bernilainya memiliki kedua mata yang mampu melihat dunia
    • Betapa berharganya memiliki kedua kaki yang berfungsi menopang beban tubuh kita

    Betapa sangat istimewanya karunia kecerdasan akal dan pikiran yang sehat. Dengan kekuatan kecerdasan akal dan pikiran yang sehat ini, manusia mampu menjalani hidup dengan berbagai dinamikanya. Menjelajahi dunia dengan pengetahuan, menembus ruang angkasa dan kedalaman lautan dengan kecerdasannya. Apakah kita mengira bahwa semua hal itu begitu sepele dan sederhana, sehingga dengan mudah mengabaikannya ? Apakah kita merasa semua itu sangatlah tidak berarti dibandingkan dengan sesuatu yang kita kejar dan belum kita miliki selama ini ?

    Pikirkan, apakah kita mau menukar kedua mata dengan harta berlimpah, misalnya. Ataukah kita rela menjual pendengaran dengan emas permata, menggadaikan kesehatan dengan istana yang menjulang tinggi ?. Maukah kita menukar kedua tangan dan kaki dengan mobil mewah, sementara kita buntung ? Atau bersediakah kita memiliki harta segunung, tetapi akal dan pikiran tidak sehat, alias tidak waras ? Begitulah sebenarnya, kita ini telah hidup berada dalam kenikmatan yang pasti tidak akan rela melepaskannya hanya demi harta, kekayaan, jabatan, kenikmatan dunia dan sesuatu yang belum kita miliki.

    Maka pantaslah kalau kemudian kita senantiasa mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Sang Pemberi Kehidupan. Pantaslah kalau kemudian kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemberi. Bersyukur, berarti menghargai karunia yang diberikanNYA, mengembangkan anugerah berupa potensi diri dan menggunakannya untuk mensejahterakan diri dan orang lain. Kesadaran bersyukur akan pemberian Allah dapat membuka mata hati kita, membuka pikiran kita menjadi fokus pada memberi dan kesediaan untuk berbagi, bukannya fokus pada menunggu dan mengharap sesuatu yang belum ada.

    Akhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur merupakan kerendahan hati, mengakui mengakui adanya karunia dari Allah Yang Maha Memiliki Kehidupan, bukan dari lainnya. Apakah posisi kita saat ini sebagai pengusaha, sebagai karyawan, sebagai pegawai, direktur, manager, orang sukses, orang kaya, pemimpin, rakyat biasa, atau siapa saja, pantas mengakhir setiap langkah dalam kehiduapn sehari-hari dengan bersyukur. Apa yang sudah kita dapatkan dalam berbisnis, dalam bekerja, dalam berusaha, pada hakekatnya datangnya dari Allah. Mungkin saja penyebabnya dari sahabat, keluarga, saudara, teman bekerja, berdagang, berbisnis, atau lainnya. Semua itu hanyalah perantara.

    Maka senantiasa Akhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur, ini artinya kita mengembalikan kehidupan kita kepada Sang Pemberi Kehidupan. Menyadari semuanya adalah pemberian Allah Sang Maha Pemberi. Kebiasaan ini akan mempengaruhi keikhlasan hati dan lisan untuk menyanjung Dzat Yang Maha Agung. Kemudian anggota badan kita akan menggunakan segala karunia tersebut untuk kehidupan sesuai dengan kehendak Allah Sang Pemberi Kehidupan.

    Mengakhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur, tidak berarti mematikan semangat dan motivasi untuk maju dan meraih prestasi kehidupan yang lebih tinggi. Namun kesadaran seperti ini akan menjadikan kita tidak serakah serta mengabaikan anugerah dan karunia yang sudah kita miliki. Kesadaran seperti ini, menjadikan kita mampu menikmati setiap tahapan proses kehidupan menuju tujuan dengan penuh rasa syukur dan kebahagiaan.

    Kebiasaan Bersyukur adalah manifestasi dari aplikasi ucapan “hamdallah”, sebagaimana diajarkan dalam kehidupan keagamaan kita. Dalam setiap gerak langkah kehidupan, dalam setiap apa yang kita dapatkan, dalam setiap apa yang telah kita lakukan, senantiasa akhiri dengan ucapan, “Segala Puji Dan Syukur Hanya Kepada Allah SWT”. Karena sesungguhnya semuanya adalah milik Allah Tuhan Yang Maha Memiliki dan akan kembali kepadaNYA. Jadikanlah hal ini kebiasaan Anda, maka rasakan keberhasilan yang sesungguhnya, the ultimate meaning atau makna tertinggi kehidupan, yakni merasakan kebahagiaan dalam rasa syukur kepada Tuhan. Salam Motivasi Nurani Indonesia.

    ***

    Sumber: Akhiri Dengan Kebiasaan Bersyukur

    Oleh Eko Jalu Santoso,

     
  • erva kurniawan 1:48 am on 12 January 2013 Permalink | Balas  

    Awali Dengan Kebiasaan Memberi 

    Awali Dengan Kebiasaan Memberi

    Pernah saya menanyakan kepada anak saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, apa yang paling menyenangkan dalam hidup ini? Jawabnya adalah menerima hadiah yang bagus, bukan hanya pada hari ulang tahun, tetapi kalau bisa menerima hadiah setiap hari.

    Menerima sesuatu pemberian orang lain, apakah itu hadiah, sekedar pujian atau sesuatu lainnya pasti sangat menyenangkan. Tidak hanya bagi anak-anak, siapapun Anda, apakah orang tua atau masih muda, apakah orang kaya atau miskin, apakah direktur atau karyawan biasa, pemimpin atau rakyat biasa, tentu merasa senang menerima hadiah atau sesuatu dari orang lain. Apalagi kalau sesuatu itu adalah yang memang kita harapkan dan kita tunggu-tunggu, inilah momen yang paling menyenangkan. Inilah perasaan dari sisi seseorang yang menerima sesuatu pemberian orang lain.

    Bagaimana dengan seseorang yang menjadi subjekatau orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain? Perasaan apa yang dirasakannya? Apa imbalan yang akan didapatkannya?

    Seringkali orang salah mengartikan memberikan sesuatu kemudian berharap segera mendapatkan imbalan dari orang yang diberinya. Ini adalah prinsip yang salah yang dapat menghilangkan nilai dari pemberian itu, karena tidak dilakukan dengan niat keikhlasan hati.

    Prinsip kebiasaan memberi dan berbagi sesungguhnya adalah prinsip investasi kepercayaan. Karena prinsip mendahulukan memberi, bukan menunggu dan meminta adalah prinsip melepaskan energi kebaikan dari dalam diri. Ingatlah prinsip aksi min reaksi. Bahwa sebuah aksi akan menciptakan reaksi. Dan prinsip kebiasaan memberi kebaikan akan menghasilkan pula sesuatu kebaikan, yakni berupa meningkatnya investasi energi kepercayaan dari orang lain.

    Dalam berbisnis, dalam bekerja sebagai karyawan, dalam berkarya, dalam melakukan berbagai bidang kehidupan, kalau Anda ingin mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan awalilah dengan kebiasaan memberi dan berbagi, bukan menunggu dan meminta. Karena kebiasaan memberi adalah melepaskan energi positif dari dalam diri. Energi ini sesungguhnya tidak pernah hilang dari muka bumi, hanya akan berubah bentuk saja. Energi positif berupa kebaikan ini akan kembali kepada diri kita dalam jumlah yang berlipat ganda. Bisa saja dalam bentuk yang berbeda-beda, misalnya mendapatkan kebahagiaan hati, kesenangan batin, ketenangan, kemudahan hidup, rejeki, keselamatan atau ditolong orang lain. Inilah prinsip hukum kekekalan energi.

    • Apa sih yang harus diberikan?
    • Apa sih yang harus dibagikan?
    • Apakah harus uang, harta atau Perhatian?

    Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mungkin terlintas dalam benak Anda.

    Banyak hal yang dapat diberikan dan dibagikan kepada orang lain, tidak harus harta dan uang. Berikut ini beberapa hal kecil selain harta dan uang yang dapat dibagikan kepada orang lain sehingga dapat meningkatkan kepercayaan, contohnya:

    • Memberikan perhatian yang tulus kepada orang lain
    • Memberikan penghargaan kepada orang lain
    • Mau mengerti penderitaan dan kesulitan orang lain
    • Mau mendengarkan orang lain berbicara
    • Menjadikan orang lain merasa penting dihadapan kita
    • Memberikan pujian kepada orang lain
    • Menolong orang yang memerlukan bantuan
    • Berbagi pemngalaman dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat
    • Mengerti perasaan orang lain
    • Dll

    Intinya awalilah dengan kebiasaan memberi dan berbagi, bukan menunggu dan meminta. Mengawali dengan kebiasaan memberi sebenarnya adalah mengikuti sifat-sifat mulia Allah SWT yang sudah built indalam hati kita. Yakni sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim atau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam kehidupan keagamaan, inilah prinsip memulai dengan niat Bismillah, atau mengucapakan niat Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Jadikanlah hal ini sebagai kebiasaan dalam setiap memulai langkah kehidupan dan rasakan efektivitasnya dalam kehidupan Anda.

    ***

    Sumber: Awali Dengan Kebiasaan Memberi

    Oleh Eko Jalu Santoso

     
  • erva kurniawan 1:48 am on 26 December 2012 Permalink | Balas  

    Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah 

    Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah

    Sore kemarin sebuah pelajaran kembali saya dapatkan. Kali ini dari Ayahanda sahabat saya yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji. Ia nampak bahagia bisa menjalankan ibadah ke tanah suci, sebahagia semua orang yang pernah berhaji. Bercerita ia tentang berbagai pengalamannya selama menjadi tamu Allah, tentang makam Rasulullah dan semua hal menakjubkan di tanah suci.

    Namun dari semua cerita itu, ada satu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Yakni ketika sampai pada cerita tentang, bagaimana ia bisa berangkat pergi haji, padahal uang tabungannya belumlah mencukupi. Kisah-kisah unik dan ajaib tentang orang-orang yang pergi haji pun berlanjut, dan kisah dari Ayahanda sahabat saya ini menambah daftar panjangnya. Kita pernah mendengar ada seorang pengemis yang bisa berangkat haji lantaran ia senantiasa menjaga mulutnya dari kata-kata yang sia-sia. Begitu pun kisah tentang tukang sol sepatu yang bisa berhaji karena kebaikannya terhadap tetangganya.

    Kisah Ayahanda sahabat saya ini, mungkin tak sedramatis kisah-kisah mengagumkan sebelumnya. Namun cukuplah untuk memberi semangat baru, terutama bagi orang-orang seperti saya yang kebanyakan keinginan namun sering hanya berujung di bab niat saja. “Pergi haji, jangan cuma niat. Jangan hanya punya keinginan, sebab semua orang pun punya keinginan itu. Tapi tidak semua orang mau merealisasikan kenginannya itu E

    Beliau tidak sedang bicara tentang orang-orang kaya harta yang sebenarnya mampu berkali-kali pergi haji, namun tak juga berangkat. Yang dimaksud beliau, adalah orang-orang yang punya keinginan kuat, namun tak pernah menunjukkan keinginannya itu dengan satu perbuatan. “Saya orang yang tidak punya, tetapi saya sangat ingin pergi berhaji, karenanya saya menabung sedikit demi sedikit. Ketika tahun kemarin saya pergi haji, apakah tabungan saya sudah cukup? Tentu saja belum! Tapi Allah melihat niat yang saya iringi dengan usaha untuk mewujudkannya dengan cara menabung. Inilah cara Allah memudahkan jalan orang-orang yang mau berusaha, Eterangnya bersemangat.

    Kalimat-kalimat yang mengalir darinya, sangat menyejukkan sekaligus mencerahkan. Tertohok diri ini mendengarnya, namun juga menyenangkan bisa mendapat nasihat yang bermanfaat. Betapa sering dan mudahnya kita berucap, “Yang penting niat dulu, niat baik saja kan sudah dicatat malaikat E

    Boleh jadi betul bahwa niat baik itu tercatat, tapi jangan-jangan malaikat bosan melihat catatan harian kita hanya dipenuhi kumpulan dan daftar niat. Namun tak sekali pun pernah menunjukkan i’tikad untuk mewujudkannya. Sangat mungkin saat ini Allah menunggu-nunggu kapan kita bekerja merealisasikan kumpulan niat itu, sementara kita tetap asik menggantang niat yang tak pernah terwujud itu. Seperti kisah Ayahanda sahabat saya itu, mungkin Allah tak perlu menunggunya sampai ia mampu mencukupi biaya haji. Tapi Allah hanya mau melihat –sekali lagi, hanya mau melihat- adakah hal yang diperbuat untuk merealisasikan niat tersebut. Akhirnya, tak perlu sampai mencukupi biaya haji, beliau bisa berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Maha Suci Allah.

    Begitu pun dengan kita. Mari lihat kembali daftar niat yang pernah kita tuliskan, kemudian satu persatu kita upayakan untuk merealisasikannya. Insya Allah, Allah bersama malaikat dan rasul akan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil akhir, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah.

    ***

    Oleh: Bayu Gawtama

     
  • erva kurniawan 1:11 am on 20 December 2012 Permalink | Balas  

    Ahmadinejad 

    Ahmadinejad

    Sebelum menjabat sebagai presiden Iran beliau adalah walikota Teheran, periode 2003-2005. Teheran, ibukota Iran, kota dengan sejuta paradoks, memiliki populasi hampir dua kali lipat dari Jakarta, yaitu sebesar 16 juta penduduk. Untuk bisa menjadi walikota dari ibukota negara tentu sudah merupakan prestasi tersendiri mengingat betapa Iran adalah negara yang dikuasai oleh para mullah. Ia bukanlah ulama bersorban, tokoh revolusi, dan karir birokrasinya kurang dari 10 tahun. Beliau tinggal di gang buntu, maniak bola, tak punya sofa di rumahnya, dan kemana-mana dengan mobil Peugeot tahun 1977. Penampilannya sendiri jauh dari menarik untuk dijadikan gosip, apalagi jadi selebriti. Rambutnya kusam seperti tidak pernah merasakan sampo dan sepatunya itu-itu terus, bolong disana-sini, mirip alas kaki tukang sapu jalanan di belantara Jakarta.

    Nah! Kira-kira dengan modal dan penampilan begini apakah ia memiliki kemungkinan untuk menjabat sebagai walikota Depok saja, umpamanya? Dalam tempo setahun pertanyaan tentang kemampuannya memimpin terjawab. Warga Teheran menemukan bahwa walikotanya sebagai pejabat yang bangga bisa menyapu sendiri jalan-jalan kota, gatal tangannya jika ada selokan yang mampet dan turun tangan untuk membersihkannya sendiri, menyetir sendiri mobilnya ke kantor dan bekerja hingga dini hari sekedar untuk memastikan bahwa Teheran dapat mejadi lebih nyaman untuk ditinggali. “Saya bangga bisa menyapu jalanan di Teheran.” Katanya tanpa berusaha untuk tampil sok sederhana. Di belahan dunia lain sosoknya mungkin dapat dijadikan reality show atau bahkan aliran kepercayaan baru. Sejak hari pertama menjabat ia langsung mengadakan kebijakan yang bersifat religius seperti memisahkan lift bagi laki-laki dan perempuan (ini tentu menarik hati para wanita di Teheran), menggandakan pinjaman lunak bagi pasangan muda yang hendak menikah dari 6 juta rial menjadi 12 juta rial, pembagian sup gratis bagi orang miskin setiap pekan, dan… menjadikan rumah dinas walikota sebagai museum publik! Ia sendiri memilih tinggal di rumah pribadinya di kawasan Narmak yang miskin yang hanya berukuran luas 170 m persegi. Ia bahkan melarang pemberian sajian pisang bagi tamu walikota mengingat pisang merupakan buah yang sangat mahal dan bisa berharga 6000 rupiah per bijinya. Ia juga menunjukkan dirinya sebagai pekerja keras yang sengaja memperpanjang jam kerjanya agar dapat menerima warga kota yang ingin mengadu. Namun salah satu keberhasilannya yang dirasakan oleh warga kota Teheran adalah spesialisasinya sebagai seorang doktor di bidang manajemen transportasi dan lalu lintas perkotaan. Sekedar untuk diketahui, kemacetan kota Teheran begitu parahnya sehingga saya pernah dikirimi salah satu foto lelucon dari berbagai belahan dunia dengan judul “Only in …” . salah satunya dari Teheran dengan judul “Only in Teheran” dengan foto kemacetan lalu lintasnya yang bisa bikin penduduk Jakarta menertawakan kemacetan lalu lintas di kotanya. Secara dramatis ia berhasil menekan tingkat kemacetan di Teheran dengan mencopot lampu-lampu di perempatan jalan besar dan mengubahnya menjadi jalur putar balik yang sangat efektif. Setelah menjabat dua tahun sebagai walikota Teheran ia masuk dalam finalis pemilihan walikota terbaik dunia World Mayor 2005 dari 550 walikota yang masuk nominasi. Hanya sembilan yang dari Asia, termasuk Ahamdinejad.

    Tapi itu baru awal cerita. Pada tanggal 24 Juni 2005 ia menjadi bahan pembicaraan seluruh dunia karena berhasil menjadi presiden Iran setelah mengkanvaskan ulama-cum-mlliter Ali Hashemi Rafsanjani dalam pemilihan umum. Bagaimana mungkin padahal pada awal kampanye namanya bahkan tidak masuk hitungan karena yang maju adalah para tokoh yang memiliki hampir segalanya dibandingkan dengannya? Dalam jajak pendapat awal kampanye dari delapan calon presiden yang bersaing, Akbar hasyemi Rafsanjani, Ali Larijani, Ahmadinejad, Mehdi Karrubi, Mohammed Bhager Galibaf, Mohsen Meharalizadeh, Mohsen Rezai, dan Mostafa Min, popularitas Ahmadinejad paling buncit.

    Pada masa kampanye ketika para kontestan mengorek sakunya dalam-dalam untuk menarik perhatian massa, Ahmadinejad bahkan tidak sanggup untuk mencetak foto-foto dan atributnya sebagai calon presiden. Sebagai walikota ia menyumbangkan semua gajinya dan hidup dengan gajinya sebagai dosen. Ia tidak mampu untuk mengeluarkan uang sepeser pun untuk kampanye! Sebaliknya ia justru menghantam para calon presiden yang menggunakan dana ratusan milyar untuk berkampanye atau yang bagi-bagi uang untuk menarik simpati rakyat. Pada pemilu putaran pertama keanehan terjadi, Nama Ahmadinejad menyodok ke tempat ketiga. Di atasnya dua dedengkot politik yang jauh lebih senior di atasnya, Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mahdi Karrubi. Rafsanjani tetap menjadi favorit untuk memenangi pemilu ini mengingat reputasi dan tangguhnya mesin politiknya.

    Tapi rakyat Iran punya rencana dan harapan lain, Ahmadinejad memenangi pemilu dengan 61 % sedangkan Rafsanjani hanya 35%. Logika real politik dibikin jungkir balik olehnya.

    Ahmadinejad memang penuh dengan kontroversi. Ia presiden yang tidak berasal dari mullah yang selama puluhan tahun telah mendominasi hampir semua pos kekuasaan di Iran, status quo yang sangat dominan. Ia juga bukan berasal dari elit yang dekat dengan kekuasaan, tidak memiliki track-record sebagai politisi, dan hanya memiliki modal asketisme, yang untuk standar Iran pun sudah menyolok. Ia seorang revolusioner sejati sebagaimana halnya dengan Imam Khomeini dengan kedahsyatan aura yang berbeda. Jika Imam Khomeini tampil mistis dan sufistis, Ahamdinejad justru tampil sangat merakyat, mudah dijangkau siapapun, mudah dipahami dan diteladani. Ia adalah sosok Khomeini yang jauh lebih mudah untuk dipahami dan diteladani. Ia adalah figur idola dalam kehidupan nyata.

    Seorang ‘satria piningit’ yang mewujud dalam sosok nyata. Sebagaimana mentornya, ia tidak terpengaruh oleh kekuasaan. Kekuasaan seolah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Ia seolah memiliki ‘kepribadian ganda’, di satu sisi ia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain ia bertarung sama kerasnya menolak segenap pengaruh kekuasaan agar tidak mempengaruhi batinnya. Tidak bisa tidak, dengan karakter yang demikian kompleks itu seorang revolusioner macam Ahmadinejad memang ditakdirkan untuk membuat banyak kejutan dan drama pada dunia. Ia memangkas semua biaya dan fasilitas kedinasan yang tidak sine-qua-non terutama dengan urusan pribadi. Dalam pandangannya, untuk mewujudkan masyarakat Islam yang maju dan sejahtera, pejabat negara haruslah memiliki standar hidup yang sama dengan rakyat kebanyakan., mencerminkan kehidupan nyata dari masyarakatnya, dan tidak hidup di menara gading. Ia menetapkan PPN baru bagi orang-orang kaya dan mengunakan dananya untuk membangun perumahan bagi rakyat miskin. Ia membawa ‘uang minyak ke piring-piring orang miskin’ dengan program “Reza Love Fund” (Reza adalah Imam ke delapan kaum Syiah) dengan mengalokasikan 1,3 milyar dollar untuk program bantuan bagi kalangan muda untuk menikah, memulai usaha baru, dan membeli rumah. Meski mengagumi Imam Khomeini dan hidup asketis tidak berarti ia konservatif.

    Ia bahkan tampil moderat. Ketika ditanya apakah ia akan mengekang penggunaan jilbab yang kurang Islami di kalangan remaja Teheran, ia menjawab,:”Orang cenderung berpikir bahwa kembali ke nilai-nilai revolusioner itu hanya urusan memakai jilbab yang baik. Masalah sejati bangsa ini adalah lapangan kerja dan perumahan untuk semua, bukan apa yang harus dipakai.”

    Meski telah terpilih menjadi presiden ia sama sekali tidak mengubah penampilannya. Ia tetap tampil bersahaja dan jauh dari pamor kepresidenan. Pada salah satu acara dengan kalangan mahasiswa salah satu peserta menanyakan penampilannya yang tidak menunjukkan tampang presiden tersebut. Dengan lugas ia menjawab,:”Tapi saya punya tampang pelayan. Dan saya hanya ingin menjadi pelayan rakyat.”

    Air mata saya mengalir membaca ini. Subhanallah! Alangkah rendah hatinya pemimpin satu ini. Tak salah jika ia dicintai oleh bagitu banyak mahluk.

    ***

    (Dari Buku “Ahmadinejad, David di Tengah Angkara Goliath Dunia” terbitan Himah Teladan, kelompok Mizan)

     
    • LANA 1:34 pm on 26 Desember 2012 Permalink

      kapan di indonesia menemukan pemimpin seperti ini? saya sangat kagum dengan beliau.

  • erva kurniawan 1:37 am on 15 December 2012 Permalink | Balas  

    Ahli Syukur 

    Ahli Syukur 

    Oleh : Aa Gym

    Bismillahirrahmanirrahim

    Assalamualaikum wr.wb.

    Pemirsa yang budiman alhamdulillah Allah mempertemukan kita dalam nikmat yang kalau kita syukuri akan berbuah nikmat yang lebih besar.

    Andai kata sebuah lemari yang penuh dengan makanan yang lezat, tapi terkunci. Mana yang lebih dahulu kita pikir dan kita lakukan. Isi lemari atau kunci lemari?

    Kuncilah yang menjadi pembuka nikmat yang ada, oleh karena itu kalau kita dengar janji Allah, Seandainya engkau syukuri nikmat Allah, Allah akan membuka pintu nikmat lainnya dan jika tidak engkau syukuri maka nikmat akan mengundang azab yang pedih.

    Lima kiat Syukur :

    1. Hati yakin semua nikmat hanyalah dari Allah, selain Allah itu hanyalah jalan untuk mendapatkan nikmat Allah.
    2. Doa Alhamdulillah, lisan selalu memuji Allah. Hilangkan diri dari keinginan dipuji, karena semua yang membuat kita dipuji pastilah sumbernya Allah. Cerdas otak milik Allah, Kaya harta titipan Allah, ingin bersyukur pujilah Allah, kembalikan kepada Allah
    3. Orang yang bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling berterimakasih kepada sesama. Makin sering mengingat jasa orang, makin ingin berterimakasih, makin termasuk ahli syukur, dan itulah yang mengundang nikmat
    4. Gunakan semua pemberian Allah untuk mendekat kepada pemberiNya.
    5. Ceritakan nikmat ini, bukan agar kita dipuji tapi agar semua orang ingat kepada Allah yang Maha Terpuji.

    Nikmat yang ada saat ini akan berubah jadi nikmat yang hakiki ketika kita bisa mensyukurinya, tetapi nikmat yang ada saat ini bisa berubah menjadi malapetaka jika kita tidak terampil mensyukurinya.

    Doa

    Ya Allah ya Rabbal’alamin

    Golongkan kami menjadi ahli syukur atas segala nikmat yang Engkau berikan kepada kami, juga pada Ibu-Bapak kami. Dan bimbing kami ya Allah agar kami bisa mengerjakan amal sholeh yang dapat mencapai-menggapai ridho-Mu. Dan golongkan kami semua menjadi hamba-hambaMu yang Engkau ridhoi, hambaMu yang Sholeh.

    Ya Allah jangan biarkan nikmat yang Engkau beri membuat kami kufur terhadap karuniaMu. Ampuni jikalau selama ini nikmat kami gunakan untuk berbuat maksiat.

    Ya Allah bimbinglah kami agar umur yang tersisa ini menjadi ahli syukur atas sekecil apapun karunia yang Engkau beri, ahli sabar atas ujian yang kami hadapi dan ahli ikhtiar dijalan yang Engkau ridhoi.

    Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar

    Amiin ya Allah ya Rabbal’alamin

    Pemirsa yang budiman selamat menikmati nikmat tiada bertepi menjadi ahli syukur.

    Wassalamualaikum wr.wb.

    ***

    dtjakarta.or.id

     
  • erva kurniawan 1:47 am on 14 December 2012 Permalink | Balas  

    Jadilah Yang Paling Baik 

    Jadilah Yang Paling Baik

    ” Jadilah yang paling baik dari dua orang manusia.” – Muhammad Rasulullah SAW –

    Kebanyakan manusia salah dalam mengartikan makna menjadi paling baik dalam hidup ini. Apakah itu dalam hubungan antara dua orang atau lebih dalam kaitannya dengan pekerjaan, bisnis, usaha, persahabatan sampai bertetangga.

    Banyak orang yang berusaha menjadi paling baik dibandingkan dengan orang lain dengan cara mengalahkannya, merendahkannya atau menyingkirkannya. Banyak juga yang berusaha menjadi lebih baik dibanding orang lain dengan ukuran penampilan luar atau ukuran duniawi semata, seperti mobil lebih mewah, rumah lebih besar, pakaian dan asesories lebih mahal, dll. Ada juga orang yang berusaha menjadi paling baik dibandingkan orang lain dengan ukuran lebih tinggi dalam kedudukan atau pangkat dan jabatan, lebih tinggi dibanding lainnya dalam hal kehormatan, kesombongan, popularitas, keegoan pribadi, dll.

    Kalau mencermati makna sesungguhnya dari rangkaian nasehat bijak Muhammad Rasulullah SAW diatas, sesungguhnya bukan hal seperti ini yang menjadi makna terdalam. ” Jadilah yang paling baik dari dua orang manusia” yang dimaksudkan adalah lebih baik dibanding orang lain dalam hal mengutamakan kepentingan orang lain. Menjadi lebih baik dibanding orang lain dalam hal memberikan manfaat bagi orang lain. Lebih baik dalam menjaga kerendahan hati, dalam berbagi kebaikan, dalam kejujuran, menolong orang lain, mengembangkan sikap empati, dalam cinta kasih dan kesetiaan. Kalau kita sebagai pengusaha, jadilah pengusaha paling baik diantara orang lain, dengan cara menjalankan bisnis dengan mengedepankan kejujuran, berorientasi pada memberikan banyak manfaat bagi orang lain, mengutamakan kepentingan konsumen, memberikan pelayanan yang baik, dll.

    Kalau kita sebagai karyawan, berusahalah menjadi paling baik dibandingkan dengan orang lain dengan membantu orang lain, memberikan pelayanan lebih baik, mengutamakan kepentingan orang lain, mengedepankan kejujuran, dll.

    Marilah kita renungkan, dalam berbagai bidang kegiatan kita, baik sebagai pengusaha, sebagai karyawan, sebagai keluarga, sebagai pemimpin, sebagai warga masyarakat, apakah sudah meneladani sikap seperti ini ?. Berusahalah menjadi orang paling baik dalam kehidupan ini, bukan hanya diukur dari penampilan duniawi tetapi dari manfaat yang kita berikan dalam kehidupan. Semoga Anda mendapatkan inspirasi dan motivasi pada hari ini 1

    Sumber: Menjadi Orang Paling Baik oleh Eko Jalu Santoso, Founder Motivasi Indonesia,

     
  • erva kurniawan 1:56 am on 11 December 2012 Permalink | Balas  

    Cinta Besar Muhammad Yunus 

    Cinta Besar Muhammad Yunus

    Adalah seorang bernama Muhammad Yunus yang tinggal di Bangladesh. Waktu itu, Yunus baru meraih gelar doktornya di AS. Dengan semangat yang menggebu ia mengajar ekonomi di salah satu universitas di Bangladesh. Sebuah negeri yang sedang dilanda kelaparan. Begitu ia selesai mengajar dan keluar kelas, ia langsung menghadapi kengerian yang sangat luar biasa. Ia melihat kerangka hidup berseliweran di sekelilingnya. Ia menjadi saksi mata orang-orang yang sekarat menanti ajal.

    Yunus merasa semua yang ia pelajari, semua yang ia ajarkan hanyalah teori ekonomi yang muluk-muluk, yang indah-indah. Hanya ilusi. Ketika nyatanya semuanya tak memberi arti bagi kehidupan orang-orang disekelilingnya. Perenungannya yang dalam, membawa Yunus untuk mulai mempelajari dan mencari tahu kehidupan orang-orang miskin di sekitar kampusnya. Yunus mulai melakukan sesuatu yang dapat ia kerjakan sebagai sesama manusia untuk mencegah kematian walaupun hanya menyangkut satu orang saja.

    Akhirnya Yunus mulai membantu membiayai seorang ibu pembuat bangku kecil dari bambu (dingklik, jejodog) di satu desa. Lama kelamaan semakin banyak ibu yang dibiayai oleh Yunus dari hasil meminjam uang di bank kampusnya. Yunus dapat meyakinkan pihak bank bahwa orang-orang desa sanggup mengembalikan uang yang dipinjamnya. Dan ternyata benar, dari satu orang yang dibiayai Yunus menjadi ratusan orang. Dari satu desa berkembang menjadi ratusan desa. Hingga 25 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 2 Oktober 1983 Yunus mendirikan sebuah bank resmi yang independen. Grameen Bank. Sebuah organisasi unik yang didirikan dengan tujuan utama menyalurkan kredit mikro bagi kaum miskin di Bangladesh. Tanpa agunan! Kini Grameen Bank bergerak di 46.000 desa lebih di Bangladesh melalui 1.267 cabang, dengan 12.000 pegawai. Grameen Bank meminjamkan lebih dari 4,5 miliar dolar AS.

    Muhammad Yunus merupakan teladan pribadi yang hebat. Dia mampu merasakan adanya kebutuhan orang-orang disekitarnya. Lantas ia menanggapi bisikan hati nuraninya dengan memanfaatkan ilmu, empati serta cintanya yang besar terhadap kehidupan. Yunus menjawab kebutuhan banyak orang di sekelilingnya dengan solusi sederhana pada mulanya.

    Yunus menemukan suara panggilan jiwa dan mengilhami orang lain untuk menemukan kemerdekaan jiwa mereka.

    Nobel Perdamaian tahun 2006 yang baru saja diumumkan dengan penuh keharuan, diraih Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Komite Nobel memutuskan bahwa salah satu pilar terpenting dari perdamaian adalah pemberantasan kemiskinan. Peduli pada kaum papa dan wanita. Yunus dan banknya memang pantas mendapatkannya untuk apa yang telah ia lakukan bagi kaum miskin di negaranya. Memberdayakan. Memberi kail bukan ikan.

    ***

    [Sebagian data diambil dari : The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness – Stephen R Covey]

     
  • erva kurniawan 1:52 am on 6 December 2012 Permalink | Balas  

    Renungan: Dosa Bukan Akhir Segalanya 

    Renungan: Dosa Bukan Akhir Segalanya

    Siapa yang berani mengaku dirinya tidak pernah melakukan dosa? Saya yakin setiap manusia selain Nabi Muhammad SAW, pasti pernah melakukan dosa, baik dosa kecil, besar, sembunyi-sembunyi ataupun yang terang-terangan. Pernah salah seorang teman Saya bercerita bahwa dia pernah tergelincir berbuat dosa. Dia merasa frustasi dan menyesal sekali. Sampai-sampai dia berputus asa bahwa sudah tidak ada gunanya lagi beribadah karena pasti tidak akan diterima oleh Alloh SWT. Kalaupun beribadah, rasa ragu selalu menyusup dalam hatinya, keraguan akankah dosanya diampuni oleh Alloh, ragu akankah amal ibadahnya di terima oleh Alloh.

    Jujur, Saya pun sering bertanya-tanya dalam hati apakah amal ibadah Saya, sholat, puasa, sedekah akan diterima oleh Alloh sedangkan Saya pernah berbuat dosa dan mungkin bahkan masih sering mengulang dosa. Sampai akhirnya Saya merenungi syair dari salah satu kelompok nasyid dari Malaysia The Zikr yang sedang saya dengar melalui MP3:

    Tuhan…..

    Dosaku menggunung tinggi, namun rahmatMu melangit luas….

    Selangkah ku rapat padaMu, seribu langkah Kau rapat padaku….

    Tuhan

    Walau sering ku tobat mungkir….

    Namun pengampunanMu tak pernah berhenti

    Astagfirullah…..Saya tersadar bahwa ternyata rahmat dan ampunan Alloh sangatlah luas. Terutama buat hambanya yang benar-benar mau bertobat. Dosa yang pernah kita lakukan bukanlah akhir dari segalanya. Bukan berarti dengan berbuat dosa telah tertutup pintu rakhmat tuk menggapai cinta Ilahi, asalkan kita bertobat dengan sebenar-benarnya tobat.

    Setidaknya dengan pengalaman tergelincir pada dosa membuat kita lebih waspada dan berhati-hati agar tidak tergelincir untuk yang kedua kalinya. Bahkan membuat kita semakin bersemangat untuk terus memperbaiki diri menjadi yang lebih baik, Insyaalloh.

    Satu lagi kegelisahan Saya dan mungkin juga Anda rasakan adalah seperti syair Abunawas berikut ini:

    Ilaahi lastu lil firdausi ahlan Walaa aqwaa ‘alan naaril jahiimi. Fahabli taubatan waghfir dzunuubi Fainnaka ghoofirun dzanbil adhiimi.

    Dzunuubi mitslu a’daadir rimaali Fahabli taubatan yaa Dzal Jalaali Wa umriy naaqisun fi kulli yaumi Wadzanbi zaaidun kaifahtimaali

    Wahai Tuhan ku tak layak ke syurga Mu Namun tak pula aku sanggup ke nerakaMu Ampunkalah dosaku terimalah tobatku Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa2 besar

    ***

    Dari Bunda Naila

     
  • erva kurniawan 1:10 am on 24 November 2012 Permalink | Balas  

    Petuah untuk Murah Rezeki dan Dijauhkan Kesulitan 

    Petuah untuk Murah Rezeki dan Dijauhkan Kesulitan

    Abu Yazid Al Busthami, pelopor sufi, pada suatu hari pernah didatangi seorang lelaki yang wajahnya kusam dan keningnya selalu berkerut.Dengan murung lelaki itu mengadu,”Tuan Guru, sepanjang hidup saya, rasanya tak pernah lepas saya beribadah kepada Allah. Orang lain sudah lelap, saya masih bermunajat. Isteri saya belum bangun, saya sudah mengaji. Saya juga bukan pemalas yang enggan mencari rezeki. Tetapi mengapa saya selalu malang dan kehidupan saya penuh kesulitan?”

    Sang Guru menjawab sederhana, “Perbaiki penampilanmu dan rubahlah roman mukamu. Kau tahu, Rasulullah SAW adalah penduduk dunia yang miskin namun wajahnya tak pernah keruh dan selalu ceria. Sebab menurut Rasulullah SAW, salah satu tanda penghuni neraka ialah muka masam yang membuat orang curiga kepadanya.” Lelaki itu tertunduk. Ia pun berjanji akan memperbaiki penampilannya.

    Mulai hari itu, wajahnya senantiasa berseri. Setiap kesedihan diterima dengan sabar, tanpa mengeluh. Alhamdullilah sesudah itu ia tak pernah datang lagi untuk berkeluh kesah. Keserasian selalu dijaga. Sikapnya ramah,wajahnya senantiasa mengulum senyum bersahabat. Roman mukanya berseri.

    Tak heran jika Imam Hasan Al Basri berpendapat, awal keberhasilan suatu pekerjaan adalah roman muka yang ramah dan penuh senyum. Bahkan Rasulullah SAW menegaskan, senyum adalah sedekah paling murah tetapi paling besar pahalanya.

    Demikian pula seorang suami atau seorang isteri. Alangkah celakanya rumah tangga jika suami isteri selalu berwajah tegang. Begitu juga celakanya persahabatan sekiranya dikalangan mereka saling tidak berteguran. Sebab tak ada persoalan yang diselesaikan dengan mudah melalui kekeruhan dan ketegangan. Dalam hati yang tenang, pikiran yang dingin dan wajah cerah, Insya Allah, apapun persoalannya niscaya dapat diatasi. Inilah yang dinamakan keluarga sakinah, yang didalamnya penuh dengan cinta dan kasih sayang.

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:53 am on 8 October 2012 Permalink | Balas  

    Rahasia Dzikir 

    Rahasia Dzikir

    Ada sebuah kejadian yang sangat unik, dan terus akan saya ingat untuk selamanya. Sebuah pelajaran istimewa dan sangat berharga, yang kejadian semacam itu, hanya bisa saya jumpai dalam literatur diskusi-diskusi lama. Tetapi saat itu saya betul-betul menjumpai dan sekaligus merasakan dalam kehidupan nyata.

    Pada hari itu, ada seseorang yang menemui saya. Saya agak heran karena saya tidak begitu kenal dengan laki-laki yang masih muda tersebut. Ia memakai pakaian yang menunjukkan sebagai seorang muslim. Setelah berbincang-bincang sebentar, saya mulai bisa menyimpulkan bahwa ternyata ia adalah seorang kiai muda, yang cukup disegani di daerahnya. Di samping itu, ia juga seorang da’i yang sering memberikan petuah di masyarakat sekitarnya.

    Setelah beberapa saat kami terlibat dalam pembicaraan perkenalan, tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan, “Apakah saya masih punya ayah?”

    Saya jawab, “Oh iya, saya punya ayah.”

    “Dimana beliau sekarang? “tanya lelaki itu.

    “Beliau ada di rumah, tetapi beliau saat ini agak sakit.”Jawab saya.

    Lelaki muda itu melanjutkan, “Saya ingin sekali bertemu dengan ayah anda, apakah bisa saya bertemu dengan beliau?”

    “Kalau memang itu keinginan bapak, nanti kita bersama-sama menemui ayah saya…” jawab saya.

    Akhirnya, sekitar pukul empat sore saya bersama dengan orang itu menuju rumah, untuk menemui ayah yang memang sedang sakit. Sesampai di rumah, langsung saja ia saya antar ke kamar ayah, dimana saat itu ayah sedang berbaring atau bahkan lagi tidur.

    Kami menunggu di sebelah pembaringannya, tidak berani mengganggu. Saya lihat orang itu sesekali nampak berdo’a sambil berjongkok di dekat kaki ayah saya yang sedang tertidur. Saya tidak tahu apa yang dido’akan oleh orang tersebut. Apakah ia mendo’akan agar ayah saya lekas sembuh atau do’a yang lain.

    Selang beberapa saat, tiba-tiba ayah saya membuka mata, beliau memandang ke arah saya, dan juga ke wajah orang tersebut yang masih berjongkok di dekat kaki ayah saya.

    Tiba-tiba ayah saya berkata perlahan kepada saya :”..Nak, tolong ambilkan segelas air putih…”

    Saya bergegas ke belakang sambil bertanya kepada ayah, “Apakah ayah lagi haus. Atau ingin minum obat… ?”

    “Oh, tidak. Ini kan ada tamu, ia ke sini mau mencari ilmu…,” jawab ayah saya. Saya heran dengan perkataan ayah.

    Setelah saya ambilkan segelas air putih, oleh beliau air di gelas itu diberi do’a, dan diberikan lagi ke saya, sambil beliau berkata, “..Berikan air putih ini kepadanya, kasihan, ia lagi haus….Tolong, sampaikan kepadanya, bahwa dzikir itu letaknya di hati. Bukan di mulut, bahkan mata berkedip itu dzikir, apabila hatinya ingat kepada Allah Swt.”

    Setelah berkata begitu, ayah saya langsung tidur lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu…

    Di kamar itu begitu sunyi, sehingga sangat jelasnya suara ayah saya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan orang itu mendengarkan dialog kami. Yang jelas ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia tetap berjongkok sambil menundukkan kepala.

    Setelah saya menerima segelas air putih itu, saya berikan air itu kepada orang tersebut, dan ia meminumnya sambil terus berjongkok. Saya lihat di sudut kelopak matanya ada setitik air mata, yang dicobanya untuk tidak jatuh.

    Setelah beberapa saat kami dalam kebisuan, ayah juga tidur dengan nyenyaknya. Sementara kami juga tidak berani mengganggunya. Cukup lama kami menunggu. Tetapi ayah tetap tidak bangun. Nampaknya beliau tertidur dengan begitu nyenyaknya. Setelah agak lama, orang itupun mohon diri untuk pulang, sambil berkata kepada saya, “Pelajaran yang saya cari sejak dulu, baru ini saya mendapat ilmu yang sangat berarti bagi hidup saya. Tadi adalah pelajaran rahasia yang tidak setiap orang bisa menangkapnya. Saya akui bahwa saya sering melakukan dzikir tetapi rupanya yang saya lakukan itu salah. Saya berdzikir hanya sebatas mulut saja… Terima kasih, tolong sampaikan kepada beliau, saya tidak berani pamit, takut mengganggu beliau yang saat ini sedang asyik berdzikir dalam tidurnya…”

    Orang itu bangkit dan bergeser perlahan dari tempatnya, ia sangat takut mengganggu ayah yang lagi tidur. Dan ia pun mengucap salam, sambil berjalan pulang…

    Sungguh, saya masih terkesima dengan kejadian istimewa itu. Semoga apa yang disampaikan ayah saya, meskipun hanya satu kalimat, akan menjadikan ilmu yang bermanfaat fid dunyaa wal aakhirat… Amiin ya rabbal

    ***

    Dari Sahabat

     
  • erva kurniawan 1:05 am on 5 October 2012 Permalink | Balas  

    Hari Ini Milik Anda 

    Hari Ini Milik Anda

    Jika kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan Anda jalani, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari Anda, dan siangnya menyapa Anda inilah hari Anda.

    Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup Anda hanya hari ini, atau seakan-akan Anda dilahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Dengan begitu, hidup Anda tak akan tercabik-cabik di antara gumpalan keresahan, kesedihan dan duka masa lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan acap kali menakutkan.

    Pada hari ini pula, sebaiknya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras. Dan pada hari inilah, Anda harus bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu’, bacaan Al-Qur’an yang sarat tadabbur, dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala perhatian terhadap keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan baik terhadap sesama.

    Pada hari dimana Anda hidup saat inilah sebaiknya Anda membagi waktu dengan bijak. Jadikanlah setiap menitnya laksana ribuan tahun dan setiap detiknya laksana ratusan bulan. Tanamlah kebaikan sebanyak-banyaknya pada hari itu. Dan, persembahkanlah sesuatu yang paling indah untuk hari itu. Beristighfarlah atas semua dosa, ingatlah selalu kepada-Nya, bersiap-siaplah untuk sebuah perjalanan menuju alam keabadian, dan nikmatilah hari ini dengan segala kesenangan dan kebahagiaan! Terimalah rezeki, istri, suami, anak-anak, tugas-tugas, rumah, ilmu dan jabatan Anda hari ini dengan penuh kebahagiaan.

    (Maka berpegangteguhlah dengan apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang bersyukur.) (QS. Al-A’raf:144)

    Hiduplah hari ini tanpa kesedihan, kegalauan dan kemarahan, kedengkian dan kebencian.

    Jangan lupa, hendaklah Anda goreskan pada dinding hati Anda satu kalimat (bila perlu Anda tulis pula pada meja kerja Anda): Harimu adalah hari ini. Yakni, bila hari ini Anda dapat memakan nasi hangat yang harum baunya, maka apakah nasi basi yang telah Anda makan kemarin atau nasi hangat esok hari (yang belum tentu ada) itu akan merugikan Anda.

    Jika Anda dapat minum air jernih dan segar hari ini, maka mengapa Anda harus bersedih atas air asin yang Anda minum kemarin, atau mengkhawatirkan air hambar dan panas esok hari yang belum tentu terjadi.

    Jika Anda percaya pada diri sendiri, dengan semangat dan tekad yang kuat Anda, maka akan dapat menundukkan diri untuk berpegang pada prinsip: aku hanya akan hidup hari ini. Prinsip inilah yang akan menyibukkan diri Anda setiap detik untuk selalu memperbaiki keadaan, mengembangkan semua potensi, dan mensucikan setiap amalan.

    Dan itu, akan membuat Anda berkata dalam hati, “hanya hari ini aku berkesempatan untuk mengatakan yang baik-baik saja. Tak berucap kotor dan jorok yang menjijikan, tidak akan pernah mencela, menghardik dan juga membicarakan kejelekan orang lain. Hanya hari ini aku berkesempatan menertibkan rumah dan kantor agar tak semrawut dan berantakan. Dan karena hanya hari ini saja aku akan hidup, maka aku akan memperhatikan kebersihan tubuhku, kerapian penampilanku, kebaikan tutur kata dan tindak tandukku.”

    Karena hanya akan hidup hari ini, maka aku akan berusaha sekuat tenaga untuk taat kepada rabb, mengerjakan shalat sesempurna mungkin, membekali diri dengan shalat-shalat sunah nafilah, berpegang teguh pada Al-Qur’an, mengkaji dan mencatat segala yang bermanfaat.

    Aku hanya akan hidup hari ini, karenanya aku akan menanam dalam hatiku semua nilai keutamaan dan mencabut darinya pohon-pohon kejahatan berikut ranting-rantingnya yang berduri baik sikap takabur, ujub, riya’, dan buruk sangka.

    Hanya hari ini aku akan dapat menghirup udara kehidupan, maka aku akan berbuat baik kepada orang lain dan mengulurkan tangan kepada siapapun. Aku akan menjenguk mereka yang sakit, mengantarkan jenazah, menunjukkan jalan yang benar bagi yang tersesat, memberi makan orang kelaparan, menolong orang yang sedang kesulitan, membantu orang yang di dzolimi, meringankan penderitaan yang lemah, mengasihi mereka yang menderita, menghormati orang-orang alim, menyayangi anak kecil, dan berbakti kepada orang tua.

    Aku hanya akan hidup hari ini, maka aku akan mengucapkan, “Wahai masa lalu yang telah berlalu dan selesai, tenggelamlah seperti mataharimu. Aku tak akan pernah menangisi kepergianmu, dan kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedikitpun untuk mengingatmu. Kamu telah meninggalkan kami semua, pergi dan tak pernah kembali lagi.”

    “Wahai masa depan, engkau masih dalam kegaiban. Maka, aku tidak akan pernah bermain dengan khayalan dan menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak bakal memburu, sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari mungkin tak ada sesuatu. Esok hari adalah sesuatu yang belum diciptakan dan tidak ada satu pun darinya yang dapat disebutkan.”

    “Hari ini milik Anda”, adalah ungkapan yang paling indah dalam “kamus kebahagiaan”. Kamus bagi mereka yang menginginkan kehidupan yang paling indah. wallahu a’lam

    ***

    Narasumber: La Tahzan dari DR. ‘Aid al-Qarni

     
    • Garuda Azzuri 5:37 pm on 5 Oktober 2012 Permalink

      trimkasih kirimanny yg sangt bermanfaat

c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Balas
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Pergi ke atas
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Batal