Masjid 24 Jam


siluet Masjid NabawiMasjid 24 Jam

Sahabat

Masjid Nabawi pada masa Rasulullah saw adalah pusat berbagai kegiatan, tidak saja untuk ibadah seperti sholat, akan tetapi di tempat itu pulalah Rasulullah saw telah membina amalan2 masjid lainnya. Dakwah, ta’lim dan tarbiyah, menerima perwakilan2 yang datang ke Madinah, membentuk rombongan2 yang hendak dihantar ke berbagai tempat (negeri dekat maupun negeri jauh), bahkan sampai mengatur tentarapun dilaksanakan (dengan musyawarah) di masjid.

Ada baiknya kita bayangkan sejenak bagaimana masjid nabawi yang sederhana telah dibina. Dindingnya dari pelepah kurma. Lantainya tanah yang terbuka. Atapnya setinggi langit, dengan matahari, bulan dan bintang2 sebagai pelitanya. Bagian atas mihrab diberi sedikit naungan dari pelepah kurma. Bila panas kepanasan, bila hujan kehujanan. Siapapun yang sholat di sana, maka butir2 tanah akan melekat pada semua anggota sujudnya.

Masjid nabawi pada masa Nabi saw hidup memang terlalu bersahaja. Akan tetapi dari tempat seperti inilah cahaya hidayah memancar dan menerangi seluruh alam, bahkan sebelum lampu (pelita) diletakkan seorang pendeta yang mendapat hidayah [1]. Lewat amalan-amalan masjid di tempat yang penuh barakah inilah dunia ditaklukan dan ditempatkan di bawah telapak kaki orang-orang yang menghidupkannya.

Seorang yang cerdas akan segera memahami bahwa aktivitas yang banyak di masjid tersebut malah menghidupkannya 24 jam dalam sehari. Tamu-tamu yang datang untuk ziarah kepada Rasulullah saw atau sekedar untuk sholat di sana, tidak hanya datang pada siang hari, tetapi juga datang ketika hari telah gelap. Kita teringat bagaimana seorang sahabat telah menjamu tamu Rasulullah saw pada malam hari, yakni ketika dia memberikan semua jatah makan malam anak-istrinya hingga menjadikan Allah swt suka kepada mereka.

Kita telah salah paham dengan membiarkan masjid2 menjadi tempat yang sepi dengan amalan, sementara aktivitas kita yang lain malah menggalakkan tempat lainnya menjadi hidup 24 jam sehari. Hotel, rumah makan, supermarket, pabrik, stasiun, cinema (juga televisi), tempat hiburan, bahkan rumah sakit dan penjara telah menjadikan para pengunjungnya ‘ketagihan’ untuk mendatangi atau menambah ‘omzet’ aktivitasnya.

Sungguh, ummat ini tidak akan menjadi baik sampai mereka kembali kepada cara dan jalan yang telah ditempuh oleh nabinya. Maka, bila saja setiap dari kita berkehendak menjadikan negeri kita “baldatun thoyyibun ghoffur”, sudah sepatutnya kita kembali ke masjid. Kembali untuk memakmurkannya dengan menghidupkan amalan-amalan masjid nabawi. Tentu saja kita melakukannya bersama sahabat dan teman kita.

Lalu, berapa lama kita buat usaha ini hingga sampai pada puncak kejayaan? Nabi kita sendiri dengan segala kelebihannya telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menghidupkan cahaya hidayah. Untuk itu, bila kita (yang tahu betul keadaan kita sendiri) berkehendak mencapai perolehan yang sama dengan apa yang telah dicapai oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya, hendaknya kita tidak ‘menset’ tempo yang sama dengan mereka. Bila waktu yang kita miliki terbatas, maka kita tidak perlu buru2 mengharapkan hasilnya. Biarlah anak-cucu atau cicit kita yang menikmati barakahnya.

Rasulullah saw dan para sahabatnya telah menanggung beban yang sangat berat berupa kesusahan, kelaparan dan ketakutan pada banyak hari2 mereka. Inilah kurun terbaik dari ummat ini, kurun yang merekam keadaan2 dimana batu2 diikat ke perut mereka (karena saking laparnya), nafas2 yang menyesak di tenggorokan atau mata yang terbalik (untuk menggambarkan ketakutan yang sangat) dalam mempertahankan agama ini.

Generasi sesudahnya, yakni mereka yang dibukakan Allah swt segala perbendaharaan dunia, tidak dapat lebih baik, bahkan tidak dapat menyamai generasi awal, walaupun kita tahu bahwa darah dan air mata mereka telah tumpah dan menyuburkan amal agama di banyak tempat di dunia ini. Lalu bila dibandingkan dengan mereka, apalah artinya kita? Maka, bila mereka telah menderita seperti itu, paling kurang mestinya kita berusaha atas masjid kita hingga keluar titik peluh (rasa letih dan lelah yang sangat).

Sememangnya, kejayaan kita tidak terletak pada berapa luas dunia yang boleh kita taklukkan, tetapi lebih pada berapa banyak kadar kesusahan dan penderitaan yang dapat kita tanggung. Bila hari ini kita bersusah-payah menghidupkan masjid2 dengan cahaya hidayah dan berusaha memancarkan cahayanya ke seluruh alam, maka semakin banyak kesusahan yang kita derita, semakin tinggilah derajat kejayaan kita. Kurun kita akan merupakan kurun yang lebih baik daripada kurun generasi anak-cucu kita. Ya, meskipun mereka dapat menundukkan dunia dan menduduki tahta kekuasaan di atasnya. Subhanallah.

***

Abi Subhan Pattaya

Catatan kaki: [1] Tamim Darri ra.