Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (4)


evolusiMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (4)

Harun Yahya

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

Kebenaran penting yang terabaikan oleh kaum muslimin yang mendukung teori evolusi

Dalam bab sebelumnya, telah kita bahas bagaimana kaum Muslimin yang telah diyakinkan bahwa evolusi itu adalah sebuah fakta (kenyataan), dan bukan teori, mungkin tak menyadari berbagai kemajuan ilmiah terkait dan mutakhir, yang membantah paham Darwinisme. Tiadanya kesadaran ini menghalau kaum evolusionis Muslim untuk terus menerima gagasan dan kepercayaan yang sudah dibuktikan sebagai tak absah oleh ilmu pengetahuan. Lebih jauh, mereka mengabaikan kenyataan bahwa landasan yang mendasari evolusi mencerminkan tabiat pagan (musyrik, atau tak beragama), menganggap bahwa kuasa ilahiah dimiliki oleh unsur kebetulan atau ketidak-sengajaan dan peristiwa alam, dan telah menyebabkan amat banyak penindasan, pertikaian, perang, dan berbagai malapetaka lain.

Bab ini akan khusus membahas kenyataan itu, yang terabaikan oleh kaum evolusionis Muslim, dan menghimbau mereka agar menghentikan dukungan bagi tabiat pagan yang memberikan landasan bagi paham pemikiran materialis dan tak bertuhan.

Evolusi adalah gagasan yunani kuno yang tak mengenal agama

Berlawanan dengan yang dinyatakan oleh para pendukungnya, evolusi bukanlah sebuah teori ilmiah, melainkan sebuah kepercayaan musyrik. Gagasan tentang evolusi muncul pertama kalinya dalam masyarakat kuno, seperti Mesir, Babilonia, dan Sumeria, lalu mencapai para filsuf Yunani kuno. Tugu peninggalan bangsa Sumeria yang musyrik berisi pernyataan yang mengingkari penciptaan, dan menegaskan bahwa makhluk hidup muncul dengan sendirinya sebagai bagian proses yang bertahap. Menurut kepercayaan Sumeria, kehidupan muncul dengan sendirinya dari kekacauan atau pergolakan air.

Sebagai bagian dari agama takhayul yang dianutnya, orang Mesir kuno percaya bahwa “ular, katak, cacing, dan tikus timbul dari lumpur banjir Sungai Nil”. Sama seperti orang Sumeria, orang Mesir kuno mengingkari keberadaan Sang Pencipta, dan mengira bahwa “makhluk hidup muncul dari lumpur secara kebetulan atau tanpa sengaja.”

Pernyataan terpenting para filsuf Yunani seperti Empedocles (abad ke-5 SM), Thales (wafat 546 SM), dan Anaximander (wafat 547 SM) dari Miletus adalah bahwa makhluk hidup pertama terbentuk dari zat-zat tak-hidup seperti udara, api, dan air. Teori ini berpendapat makhluk hidup pertama muncul tiba-tiba di air, dan lalu beberapa di antaranya meninggalkan air, menyesuaikan diri hidup di darat, dan mulai menetap hidup disana.

Thales percaya bahwa air adalah akar segenap kehidupan, bahwa tumbuhan dan hewan mulai berkembang di air, dan bahwa manusia adalah hasil akhir proses ini. Anaximander,4 filsuf sezaman Thales yang lebih muda, berpendirian bahwa “manusia tumbuh dari ikan” dan bahwa sumber kehidupan mulai dengan “segumpal massa purba”.5

Karya puisi Anaximander Tentang Alam merupakan karya tulis pertama yang ada yang berdasarkan teori evolusi. Dalam puisi itu, ia menulis bahwa makhluk hidup muncul dari lendir yang dikeringkan oleh matahari. Ia berpikir bahwa hewan pertama berkulit sisik yang berduri, dan hidup di lautan. Sambil berubah perlahan-lahan, makhluk mirip ikan ini pindah ke darat, melepaskan kulit sisik durinya, dan akhirnya menjadi manusia.6 (Untuk lebih rinci, lihat The Religion of Darwinism, Harun Yahya, Abu’l Qasim Publishers, Jeddah, 2003).

Teorinya bisa dianggap sebagai landasan pertama teori evolusi masa kini, karena memiliki banyak kemiripan dengan paham Darwinisme.

Empedocles menyatukan gagasan-gagasan awal, dan mengemukakan bahwa unsur-unsur dasar (yakni, tanah, udara, api, dan air) bersatu menciptakan berbagai tubuh. Ia juga percaya bahwa manusia berkembang dari kehidupan tumbuhan, dan hanya faktor di luar kesengajaanlah yang berperan dalam proses ini.7Sebagaimana telah disebutkan, pemikiran tentang ketidaksengajaan ini beserta perannya dalam penciptaan, menjadi landasan utama ditegakkannya teori evolusi.

Heraclitus (wafat abad ke-5 SM) menyatakan, karena alam semesta selalu dalam proses perubahan yang terus-menerus, tidak ada gunanya mempertanyakan dongeng uraian tentang awal alam semesta. Ditandaskan olehnya bahwa alam semesta tidak berawal atau berakhir. Sebaliknya, alam semesta ada begitu saja. Singkatnya,8 kepercayaan materialis, yang di atasnya berdiri evolusi, juga ada di masa Yunani kuno.

Gagasan perkembangan seketika didukung oleh banyak filsuf Yunani lain, khususnya Aristoteles (384-322 SM). Gagasan ini mengatakan bahwa hewan, khususnya cacing, serangga, dan tumbuhan, muncul dengan sendirinya di alam, dan tidak perlu melalui proses pembuahan. Maurice Manquat, yang tersohor akan berbagai kajiannya tentang gagasan Aristoteles mengenai sejarah alam, suatu kali berkata:

Aristoteles begitu memikirkan asal-muasal kehidupan, sampai-sampai ia menerima kemunculan seketika (bersatunya zat-zat tak-hidup untuk seketika membentuk makhluk hidup) untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak dapat diterangkan dengan cara lain.9

Bila diperiksa dengan seksama, tampak ada cukup banyak kemiripan antara gagasan-gagasan para pemikir evolusionis zaman dulu dengan sekarang. Akar gagasan materialis, yaitu alam semesta tak berawal dan tak berakhir, maupun pandangan evolusionis, yaitu makhluk hidup muncul sebagai akibat faktor kebetulan, terdapat dalam budaya Sumeria musyrik, dan umum di kalangan pemikir materialis Yunani. Gagasan bahwa kehidupan muncul dari air dan adonan yang disebut segumpal “massa purba”, serta bahwa makhluk hidup muncul hanya karena ketidaksengajaan, menjadi dasar kedua gagasan ini, yang masih terkait sekalipun terpisah tenggang waktu yang amat panjang.

Jadi, kaum evolusionis Muslim mendukung sebuah teori, yang akarnya tertanam dalam gagasan kuno yang telah terbukti tidak memiliki dasar ilmiah. Lebih lagi, gagasan serupa pertama kali diusulkan oleh para pemikir materialis kuno, dan mengandung makna pagan atau musyrik.

Sebenarnya, evolusi tidak terbatas pada budaya Sumeria kuno maupun filsuf Yunani kuno saja, sebab evolusi juga membentuk saripati berbagai sistem kepercayaan mutakhir yang besar, seperti Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Dengan kata lain, evolusi tidak lebih daripada sebuah teori, yang sepenuhnya bertentangan dengan keyakinan dalam Islam.

Sebagian evolusionis Muslim, sekalipun bertentangan dengan bukti ilmiah, menyatakan bahwa Al Qur’an mendukung apa yang disebut-sebut sebagai “teori evolusi penciptaan”, dan mencoba menemukan sumber evolusi di dunia Muslim. Mereka menyatakan bahwa gagasan ini pertama kali muncul dari para pemikir Muslim dan, saat karya mereka diterjemahkan ke dalam bahasa asing, gagasan evolusionis timbul di dunia Barat.

Akan tetapi, beberapa contoh di atas jelas mengungkapkan bahwa evolusi tidak lebih daripada sebuah kepercayaan kuno, yang lahir di masyarakat kuno yang tak beragama. Sungguh suatu kesalahan besar apabila kita mencoba membuktikan bahwa paham evolusionis, yang dibangun di atas dasar kebendaan, bisa berasal dari kaum Muslimin, padahal sama sekali tidak ada dasar ilmiah dan sejarah yang mendukung pernyataan itu.

Ketidaksengajaan bertentangan dengan kebenaran penciptaan

Mereka yang berpendapat bahwa evolusi tidak bertentangan dengan penciptaan, lupa akan satu hal penting: Orang seperti mereka percaya bahwa pernyataan utama Darwinisme adalah, makhluk hidup muncul melalui perubahan bertahap (evolusi) dari makhluk hidup lain. Akan tetapi, sebenarnya bukan begitu, sebab kaum evolusionis menyatakan bahwa kehidupan muncul sebagai hasil ketidaksengajaan, oleh pergerakan tak-sadar. Dengan kata lain, kehidupan di Bumi lahir tanpa Sang Pencipta, dan dengan sendirinya, dari zat-zat tak-hidup.

Pernyataan seperti itu mengingkari keberadaan Sang Pencipta sedari awal, dan karena itu tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Akan tetapi, sebagian orang Muslim, yang tidak menyadari kebenaran ini, tidak melihat adanya bahaya apabila mendukung evolusi, berdasarkan anggapan bahwa Allah bisa saja menggunakan perubahan bertahap (evolusi) dalam penciptaan makhluk hidup.

Namun, mereka mengabaikan satu bahaya besar: walaupun mereka sedang mencoba memperlihatkan bahwa evolusi tidak bertentangan dengan agama, nyatanya mereka tengah mendukung dan menyetujui sebuah gagasan yang amat tidak mungkin dari sudut pandang mereka sendiri. Sementara itu, kaum evolusionis berpura-pura tidak melihat keadaan ini, karena hal ini membantu mereka mencapai tujuan, yaitu agar masyarakat menerima gagasan mereka.

Melihat masalah ini sebagai seorang Muslim yang taat, dan mempertimbangkannya dalam petunjuk Al Qur’an, nyata-nyata bahwa teori yang berlandasan utama ketidaksengajaan tidak memiliki kesamaan apa pun dengan Islam. Evolusi menganggap ketidaksengajaan, waktu, dan zat tak-hidup sebagai tuhan, dan menyematkan gelar “pencipta” pada makhluk-makhluk tak-sadar dan lemah ini. Tak seorang Muslim pun dapat menerima teori berdasar pagan serupa itu, sebab setiap Muslim tahu bahwa Allah, satu-satunya Sang Pencipta, yang menciptakan segalanya dari ketiadaan. Karena itu, Muslim menggunakan ilmu pengetahuan dan nalar untuk membantah semua kepercayaan dan gagasan yang bertentangan dengan fakta tersebut.

Evolusi adalah sebagian dari paham kebendaan (materialisme), dan, menurut materialisme, alam semesta tidak berawal atau berakhir, sehingga tidak memerlukan Sang Pencipta. Pemikiran anti-agama ini mengajukan bahwa alam semesta, galaksi, bintang, planet, matahari, dan benda-benda langit lainnya, beserta sistem dan keseimbangan yang sempurna tanpa cacat di dalamnya, adalah hasil kebetulan (ketidaksengajaan).

Dengan cara yang sama, teori evolusi menyatakan bahwa protein yang pertama dan sel yang pertama (yaitu blok atau satuan pembangun makhluk hidup) berkembang dengan sendirinya sebagai hasil serangkai kebetulan yang buta. Menurut pemikiran ini juga, semua keajaiban rancangan pada semua makhluk hidup, baik yang hidup di darat, di laut, atau di udara, adalah hasil ketidaksengajaan. Walaupun dikepung bukti-bukti penciptaan, dimulai dari rancangan pada tubuhnya sendiri, penganut teori evolusi bersikeras menganggap bahwa segenap kesempurnaan itu dihasilkan ketidaksengajaan dan proses tak sadar.

Dengan kata lain, ciri utama mereka adalah menganggap ketidaksengajaan sebagai tuhan, demi mengingkari keberadaan Allah. Akan tetapi, penolakan untuk menerima atau melihat keberadaan dan keagungan Allah yang nyata ini, tidaklah mengubah apa pun. Pengetahuan Allah yang tak berhingga, dan seni Allah yang tak tertandingi, terungkap sendiri dalam apa pun yang diciptakanNya.

Kenyataannya, berbagai kemajuan ilmiah mutakhir dengan gamblang menolak pernyataan-pernyataan tak berdasar evolusionis bahwa kehidupan muncul dengan sendirinya dan melalui proses alamiah. Rancangan agung pada makhluk hidup menunjukkan bahwa Sang Pencipta, yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan agung, yang menciptakan semua makhluk hidup. Fakta bahwa organisme yang paling sederhana sekali pun ternyata adalah rumit tak teruraikan, menempatkan setiap penganut teori evolusi dalam kebingungan yang sangat, tanpa jalan keluar – sebuah kenyataan yang sering mereka akui sendiri! Misalnya, matematikawan dan ahli astronomi Inggris yang tersohor, Fred Hoyle, mengakui bahwa kehidupan tidak mungkin ditimbulkan oleh ketidaksengajaan:

Akan tetapi, sekali waktu kita melihat bahwa besarnya kemungkinan makhluk hidup berawal secara acak adalah begitu kecilnya, sampai-sampai menjadi mustahil … 10

Evolusionis Pierre-Paul Grassé mengakui bahwa anggapan sifat ketidaksengajaan memiliki daya cipta adalah murni khayalan:

Namun, teori Darwin bahkan lebih sulit dipenuhi: sebatang tumbuhan, seekor hewan, mensyaratkan terjadinya beribu-ribu peristiwa mujur yang tepat. Jadi, berbagai keajaiban menjadi biasa: peristiwa dengan tingkat kemungkinan amat rendah tidak mungkin tidak berlangsung … Tidak ada aturan yang melarang orang berangan-angan, namun dalam ilmu pengetahuan hal itu tidak boleh berlebihan.11

Kata-kata itu membuat kebingungan pemikiran yang dihadapi kaum evolusionis menjadi benar-benar jelas: Sekalipun mereka lihat bahwa teori ini tak bisa dipertahankan dan tak ilmiah, mereka tak mau melepaskannya karena obsesi pemikiran mereka. Dalam pernyataan lainnya, Hoyle mengungkapkan mengapa kaum evolusionis yakin pada ketidaksengajaan:

Sungguh, teori itu (yakni bahwa makhluk hidup dirancang oleh sebuah kecerdasan), sudah begitu jelasnya, sehingga orang bertanya-tanya mengapa teori itu tidak diterima luas, karena terbukti-benar dengan sendirinya. Sebabnya lebih berupa sebuah alasan kejiwaan daripada ilmiah. 12

Apa yang dilukiskan Hoyle sebagai alasan “psikologis”atau kejiwaan telah menyiapkan kaum evolusionis untuk mengingkari penciptaan. Semua alasan ini adalah bukti yang cukup bagi evolusionis Muslim, untuk menganggap evolusi sebagai tidak lebih daripada sebuah teori yang diciptakan untuk mengingkari Allah.

==============

  1. David Skjaerlund, Philosophical Origins of Evolution, http: //www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
  2. http: //www.candleinthedark.com/anaximander.html
  3. http: //buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
  4. David Skjaerlund, Philosophical Origins of Evolution, http:/www.forerunner.com/forerunner/x0742-philosophical-origin.html
  5. http: //buglady.clc.uc.edu/biology/bio106/earlymod.htm
  6. Maurice Manquat, Aristote naturaliste, Paris : Librairie Philosophique, J. Vrin, 1932, h. 113
  7. Sir Fred Hoyle & Chandra Wickramasinghe (Guru Besar Astronomi Universitas Cambridge, Guru Besar Astronomi dan Matematika Terapan Universitas College), Cardiff Evolution from Space, J. M. Dent, 1981, h.141, 144
  8. Pierre-Paul Grasse, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York , 1977, h.103
  9. Fred Hoyle, Chandra Wickramasinghe, Evolution from Space, Dent, London , 1981, h.130