Jalan Lurus


berjalan menapakiJalan Lurus

Oleh: Cak Nur

Dalam shalat, salah satu bacaan paling penting adalah al-Fatihah, yang puncaknya memohon petunjuk pada Allah: ihdina al-shirath al-mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus). Permohonan ini menandakan bahwa kita tidak tahu jalan yang lurus itu yang mana. Kalau kita berdoa memohon ditunjukkan jalan yang lurus, tetapi merasa sudah tahu, itu som-bong namanya. Karena itulah dalam agama -misalnya dalam tasawuf- kita diajarkan tahalli (mengosongkan diri) sehingga tidak ada pretensi, dan siap untuk didikte hanya oleh Tuhan.

Sebelum meminta petunjuk kita membaca iyyaka na’budu (hanya kepada Engkau kami menyembah). Menurut kaum sufi, ayat ini mengindikasikan bahwa kita masih merasa atau masih sempat mengaku kalau kita menyembah Tuhan. Ini artinya, kita mengklaim bahwa pekerjaan menyembah itu ada pada kita; kita aktif menyembah Tuhan dengan mengharap pahala. Inilah yang disebut ‘ibadah al-‘abidin. Yang demikian ini memang tidak salah, tetapi dilihat dari segi keruhanian, tingkatnya masih bersi-fat lahiriah. Karena itu harus diteruskan dengan wa iyyaka nas-ta’in (dan kepada Engkau aku mohon pertolongan), yang berarti bahwa kita tidak mampu dan karena itu melepaskan klaim kita dalam beribadah.

Oleh karena itulah, terutama dalam perspektif tasawuf shalat bukan diartikan sebagai kita telah menyembah Tuhan, tetapi Tuhan-lah yang telah menggerakkan kita untuk shalat. Ini berkaitan erat dengan la hawla wa la quwwata illa billahi ‘aliyy-il azhim (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah), ter-masuk dalam kita menyembah itu. Karena itulah kita memohon kepada Allah agar kita digerakkan untuk bisa berbuat baik. Inilah yang disebut ‘ibadah al-shalihin, ibadahnya orang-orang shalihin, orang yang sudah tidak lagi mengklaim bahwa dia berbuat baik, sebab sebenarnya Tuhan-lah yang menggerakkan-nya. Pada tingkat ini orang menjadi ikhlas, pasrah, tawakal kepada Allah. Dan inilah sebetulnya Islam dalam arti yang sebenarnya: yaitu sikap pasrah hanya kepada Allah. Maka menarik apa yang dikatakan Rabi’ah Adawiyah dalamn sebuah syairnya yang terkenal. “Ya Tuhan/Kalau aku menyembah Engkau hanya karena takut neraka-Mu/Masukkanlah saja aku ke nereka/Kalau aku menyembah Engkau karena ingin surga-Mu/Bakar saja surga itu untukku/Tapi kalau aku menyembah karena ridla-Mu/Maka terimalah aku.

Inilah pencerahan dalam keberagamaan seperti diajarkan dalam tasawuf, yaitu keberhasilan keluar dari kegelapan menuju pada terang, atau cahaya. Kalau kita baru sampai pada iyyaka na’budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau sudah wa iyyaka nasta’in, maka kita lebur. Menyatu dengan Tuhan. Persis seperti pemaknaan ini, ihram dalam haji, terutama pada laki-laki, dengan memakai pakaian terdiri dari dua potong kain putih, dan bahan yang kasar dan sederhana sebenarnya merupakan upacara melepaskan pre-tensi dan klaim, melepaskan simbol dan melepaskan topeng yang berupa pakaian. Idealnya di hadapan Allah memang tanpa pakaian, telanjang. Tetapi itu tidak mungkin karena dapat menimbulkan kekacauan. Makanya diganti dengan pakaian ihram yang serba sederhana dan apa adanya. Inilah pasrah. Dan justeru itu yang lebih tinggi nilai spiritualnya daripada yang punya pretensi.

Orang yang pasrah kepada Allah tidak pernah mengkalim bahwa dia yang berbuat baik. Kalau pun ternyata ada kebaikan, al-hamd li `L-Lah, yaitu Allah yang diberi kredit. Ucapan al-hamd li `l-Lah adalah untuk memupus egoisme dan kesombongan kita. Supaya diingat bahwa dosa makhluk yang pertama adalah kesombogan, yaitu ketika iblis menolak untuk sujud kepada Adam. Dia ingkar dan sombong, dengan begitu dia termasuk orang yang kafir. Kesombongan adalah dosa kesetanan. Rasulullah pernah bersabda, tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya terdapat seberat atom dari perasaan sombong.

Perlu diberi catatan di sini mengenai sifat sombong (al-mutak-abbir) Allah dalam asmaul husna, yang kita malah diperintah menirunya. Memang kita harus punya juga sifat sombong, tapi porsinya tidak besar, hanya sampai pada tingkat kita punya harga diri. Ini yang disebut ta’affuf (perwira), yaitu orang yang tidak mudah merendahkan diri pada orang lain, apalagi sampai meminta belas kasihan. Perwira artinya punya harga diri, tetapi tidak boleh sombong.

Oleh karena itu zikir dalam agama sebenarnya merupakan suatu bentuk penyadaran bahwa kita hanyalah makhluk yang tidak mempunyai harga apa-apa, kecuali dengan pengakuan Allah sendiri. “Barang’ siapa mencari kemuliaan dan kekuatan, kepunyaan Allah segala kemuliaan dan kekuatan. Kepada-Nya naik kata yang baik; dan Dia-lah yang mengangkat amal yang baik. Tetapi mereka yang merencanakan kejahatan, akan menda-pat azab yang mengerikan. Dan rencana mereka akan sia-sia.” (Q. 35: 10).

Inilah yang menjadi pokok dalam agama, yatiu kesediaan untuk menyesuaikan keberadaan diri di bawah cahaya kesa-daran akan kehadiran Tuhan dalam hidup, yang berarti kesedi-aan untuk menjalani hidup itu dengan standar akhlaq yang setin-gi-tingginya. Dan ini terjadi dengan melakukan hal-hal yang sekiranya akan mendapatkan perkenan atau ridla Tuhan, yaitu amal saleh, tindakan-tindakan bermoral dan berprikemanusiaan. Dalam semangat kesadaran akan adanya Tuhan Yang Mahahadir dan Mahatahu itu, hidup berakhlak bukan lagi masalah kesedia-an, tetapi keharusan. Sementara itu, dalam analisa selanjutnya, hidup berakhlak seseorang pada hakikatnya bukanlah untuk “kepentingan” Tuhan, melainkan justeru untuk kepentingan orang itu sendiri, sesuai dengan tabiat alamiah atau fitrah keja-diannya sebagai manusia. Karena itu, jika kita menolak pesan Tuhan itu, maka hendaknya kita ketahui bahwa Dia, sebagai pemilik dan penguasa langit dan bumi, adalah Maha Kaya (tidak perlu kepada siapapun), dan Maha Terpuji (perbuatan baik ataupun buruk kita tidak menambah ataupun mengurangi atribut yang Maha Kuasa itu) (Q. 4:131).

Relevan sekali dengan pandangan ini adalah kutipan dari A. Yusuf Ali dalam memberi penjelasan tentang makna yang amat fundamental firman Ilahi itu. Katanya: “Eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang mutlak. Ia tidak tergantung kepada siapapun atau apapun yang lain. Ia berhak atas segala pujian, karena ia adalah segala kebaikan dan terdiri dari setiap keutamaan yang manapun. Penting menekankan hal ini untuk menunjukkan bahwa hukum akhlaq manusia bukan hanya perkara perintah transendental tetapi benar-benar berpijak kepada kebutuhan-kebutuhan esensial umat manusia sendiri. Karena itu, jika teori-teori aliran pikiran tertentu seperti Behaviorisme terbukti sepe-nunhya, hal itu tidak berpengaruh sedikit pun kepada Islam. Standar etis yang tertinggi diajarkan Islam tidak sebagai perin-tah-perintah dogmatis, tapi karena bisa dibuktikan merupakan kelanjutan dari kebutuhan tabiat alami manusia dan hasil pe-ngalaman manusia.” (A. Yusuf Ali, h. 222, cat. 641).

Karena pesan Tuhan itu tidak lain adalah kelanjutan wajar tabiat alami manusia, maka pesan itu pada prinsipnya sama untuk sekalian umat manusia dari segala zaman dan tempat. Pesan itu adalah universal sifatnya, baik secara temporal (untuk segala zaman) maupun secara spasial (untuk segala tempat). Oleh karena itu terdapat kesatuan esensial semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan kepada umat manusia lewat agama-agama “samawi” (“berasal dari langit”, yaitu mempunyai kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada seorang Nabi atau Rasul).

***

Dari Sahabat