Mbok Ponirah Mengayuh Becak demi Biaya Sekolah Anaknya


Mbok Ponirah Mengayuh Becak demi Biaya Sekolah Anaknya

Mbok Ponirah, ibu enam orang anak sedang mengayuh becaknya yang ditumpangi tiga orang anak sekolah yang menjadi langganannya setiap hari sekolah, di samping mencari penumpang lainnya .SEPINTAS orang tak akan menyangka kalau sang pengayuh becak ini adalah seorang perempuan. Ponirah (54) begitu nama warga Desa Njeblog, Madukismo, Bantul ini. Bentuk potongan rambutnya yang menyerupai laki-laki atau potong cepak kadang ala tentara, sempat membuat pelanggannya terkesima.

Sambil ngepos di Pojok Benteng Kulon, Jalan Bantul, Ponirah yang lekat dengan caping, celana panjang, hem lengan panjang, ibu enam anak dan nenek dari dua cucu ini mengayuh becak untuk mengais rezeki dan mewujudkan cita-citanya.Sebenarnya cita-citanya cukup sederhana, tapi sangat mulia. Menyekolahkan anak. Namun karena pendapatan suaminya yang buruh tani itu pas-pasan, Ponirah nekat kredit becak. Becak merek “Budi” itu dibeli dengan angsuran, per hari Rp 3 ribu dan kini sudah dilunasinya.

Kasih ibu sepanjang masa, itulah yang dilakonkan istri Supardjo (59) itu setiap hari dengan memulai mengayuh becak sejak pukul 04.00. Namun baginya tugas keluarga adalah yang utama. Subuh-subuh, ia sudah menyiapkan sarapan dan membersihkan rumahnya. Sekitar pukul 07.00 ia mulai melalang buana dengan becaknya. “Setiap pagi saya mengantar anak juragan saya ke sekolah,” katanya.Ponirah bangga bisa dipercayai antarjemput tiga anak sekolah. Perempuan jangkung dengan postur tubuh layaknya laki-laki ini, sering dipanggil ‘Pak’. Namun dengan lugu, perempuan yang mengaku tidak pernah mengenyam bangku sekolah ini menyatakan, apapun panggilan orang kepada dirinya, ia tidak pernah memasalahkan. Biasanya, katanya setelah tahu ternyata tukang becaknya perempuan, penumpang lalu minta maaf. “Maaf ya Bu, saya tidak tahu. Saya kira bapak-bapak,” ujar Ponirah menirukan penumpang yang keliru memanggil dirinya.Entah karena tiap hari berpanas-panas, kulitnya pun kehitam-hitaman terbakar matahari. Gayanya yang khas laki-laki terlebih ketika mengisap rokok kreteknya, sempat membuat siapa saja akan memanggilnya ‘Pak’. Sambil menjawab pertanyaan wartawan, Ponirah berbicara dengan lugas dan tidak pernah basa-basi.

Bukan hanya penumpang yang keblinger melihatnya. Sesama penarik becak pun sering salah sangka. Pernah suatu ketika ia ditempeleng oleh penarik becak lainnya. “Gara-garanya, sehabis menurunkan penumpang di Kotabaru, ada penumpang lain naik. Saya dikira cari penumpang di daerah itu,” paparnya.Namun tamparan itu tidak pernah menyurutkan nyalinya untuk tetap berkarya. Jika sepi penumpang, Ponirah selalu pulang menjelang Maghrib. Tetapi kadang ia harus pulang lewat pukul 20.00

“Beberapa hari lalu saya pulang sampai rumah jam delapan malam. Saya disuruh mengantar langganan periksa ke rumah sakit. Jadi harus menunggu sampai selesai,” katanya seraya mengaku tidak takut. “Saya sudah biasa begini,”katanya.Dia juga menuturkan, beberapa kali diganggu orang tetapi dia biarkan saja. Saya tidak peduli dengan mereka. “Pernah ada orang mau bayar saya. Orang itu meminta saya untuk memarkir becak saya, lalu mau mengajak saya pergi. Tetapi saya tidak pedulikan dan saya tinggal pergi,” ujarnya.

*Biar Sekolah*

Seperti ibu-ibu yang lain, Ponirah juga berharap anaknya bisa menuntut ilmu setinggi mungkin. “Saya ini bekerja untuk biaya sekolah anak-anak. Agar anak saya pintar, modal saya hanya jujur dan halal. Karena itu saya tidak pernah mau macam-macam,” ujarnya.Ponirah tahu bahwa bekerja di luar rumah, memang penuh risiko. Namun empat belas tahun menjadi tukang becak, Ponirah tidak pernah menyerah. Apa lagi hanya karena ditempeleng rivalnya.”Selama saya kuat dan anak-anak masih butuh biaya sekolah saya akan terus mbecak. Juragan saya baik-baik, anak-anak yang saya antar sekolah memanggil saya ‘mak’. Mereka kadang minta dibelikan minum,” ucapnya sambir cengar-cengir.Dituturkan, saat ini ia tinggal membiayai anak bungsunya. Ponirah menceritakan lima anak yang lain begitu selesai SMA langsung bekerja.

Dua bekerja di hotel, satu buruh, satu bekerja di kerajinan kulit dan satu lagi bekerja di kerajinan patung. Anaknya terkecil masih duduk di kelas III SMP. “Saya kebrojolan anak terakhir. Setelah punya lima anak, saya KB streril. Lima tahun kemudian kok saya hamil lagi. Ya sudah memang sudah kehendak Allah,” ujarnya.Walau demikian, Ponirah tidak rela bila anak-anaknya kelak mengikuti jejak ibunya. “Biar aku sendiri saja yang seperti ini. Anak-anak tidak boleh. Mereka harus sekolah, kalau sudah besar bisa bekerja yang lain,” ujar

*Penghargaan*

Mungkin nasib Ponirah tidak seberuntung perempuan lainnya. Tetapi perempuan ‘perkasa’ ini adalah satu dari sepuluh perempuan penerima penghargaan “Ibu Tahan Banting”, yang diberikan ibu-ibu Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penghargaan itu diberikan dalam rangka peringatan Hari Kartini, Kamis (29/4) yang lalu. “Anak-anak saya waktu itu tidak ada yang tahu kalau saya mau terima penghargaan,” katanya.

Sesampainya di rumah, anak-anaknya malah menanyainya. “Saya malah diejek, tadi naik mobil polisi ya? pakai dike-crek (diborgol) enggak? Waduh senangnya salaman dengan Sultan dan Ratu Hemas,” kenang Ponirah pada ejekan anak-anaknya.Hadiah yang diterima Ponirah memang tidak besar, uang Rp 100 ribu dan sebuah seprei. Namun penghargaan dan kesempatan bertatap muka dan bersalaman dengan Sri Sultan dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang membuat Ponirah bangga.

“Saya ini orang miskin yang tidak bisa baca kok ya diberi hadiah. Yang paling senang, saya bisa salaman dengan Gusti Ratu dan Sri Sultan,” katanya dengan mata berbinar.Ponirah tidak bisa menduga. Sampai di mana kekuatannya untuk menyekolahkan anak bungsunya itu. “Biaya pendidikan sekarang ini mahal sekali. Yang jelas selama saya kuat, tidak akan putus asa karena tidak ingin anak saya putus sekolah. Saya bekerja agar anak-anak saya jadi anak pinter dan bisa bekerja dengan baik, tidak seperti ibunya,” kata Ponirah.

Ponirah memang benar-benar seorang ibu yang sejati. Ia pantas mendapat penghargaan. Ponirah pun tidak ingin dikasihani, tapi kalau ada yang tergerak hatinya meringankan beban beratnya mengayuh becak setiap hari demi sekolah anak-anaknya, tentu Ponirah tidak akan menolak uluran tangan dari siapa saja. Semoga.

Sumber: Suara Pembaruan – Sabtu, 22 Mei 2004 PEMBARUAN/FUSKA SANI EVANI