Puasa Itu Ibadah Pribadi


ramadhan 3Puasa Itu Ibadah Pribadi

Ada peribahasa “sambil menyelam minum air”. Waktu saya kecil, masih belajar puasa, peribahasa itu dipelesetkan menjadi “sambil berwudu minum air” ….:-) Lama-lama ayah curiga, melihat anak-anaknya setelah wudu dan salat, jadi lebih segar dan bibirnya tidak kering lagi. Atau mungkin ayah juga waktu kecil melakukan hal yang sama, berarti ini penyakit keturunan ….:-D

Satu hari ketika saya memijat ayah dengan cara menginjak-injak kaki ayah yang menelungkup, ayah bertanya apakah saya minum ketika berwudu. Saya mengaku dan ayah tidak marah tapi memberi tahu bahwa puasa ini ibadah pribadi, sangat pribadi karena yang mengetahui apakah seseorang berpuasa hanya dirinya sendiri dan Allah. Ayah juga mengingatkan bahwa minum air mentah itu tidak sehat, di beberapa negara memang air sudah dalam keadaan bersih dan siap minum, tapi di Indonesia walaupun jernih, air ledeng itu masih tidak siap minum.

Dalam Surat Al Baqarah 183, dijelaskan bahwa tujuan puasa itu untuk lebih bertakwa. Dalam ayat-ayat awal surat Al Baqarah dijelaskan 5 ciri-ciri orang yang bertakwa. Dari ciri-ciri ketakwaan itu, keyakinan kepada yang gaib, mendapatkan penanaman dan peneguhan yang utama melalui ibadah puasa. Prof.Dr. Nurcholish Madjid (semoga Allah SWT memberi kesembuhan kepada Cak Nur yang masih terbaring sakit di National University Hospital, Singapura), berpendapat bahwa dari semua bentuk ibadah, puasa adalah ibadah yang paling pribadi, personal atau private, tanpa kemungkinan bagi orang lain untuk dapat sepenuhnya melihat, mengetahui, dan – apalagi – menilainya. Sebuah hadis qudsi menuturkan firman Allah, “Puasa adalah untuk-Ku semata, dan Akulah yang menanggung pahalanya.” Artinya, pada dasarnya tidak ada yang tahu bahwa seseorang berpuasa, selain Allah (dan dirinya sendiri).

Pertanyaannya kemudian, mengapa orang berpuasa, padahal dia dapat membatalkannya kapan saja dia mau, pada saat dia sendirian. Mengapa orang bersedia menahan lapar dan dahaga serta pemenuhan kebutuhan biologis lainnya, padahal dia bisa melakukan semua itu kapan saja secara pribadi dan rahasia atau sembunyi-sembunyi, tanpa diketahui orang lain. Jawabannya adalah karena dia mempunyai keyakinan bahwa Allah selalu menyertai, melihat dan mengawasinya. Dia tidak akan melanggar suatu larangan sekalipun dia dalam keadaan sendirian tanpa ada sesama manusia yang tahu, karena Dia yang secara gaib selalu hadir bersamanya, yaitu Allah subhan-a Allah-u wa ta’ala. Kesadaran bahwa apapun yang dilakukan, baik ataupun buruk, sebesar dzarah (atom)-pun, Allah akan mengetahui dan memperhitungkannya (Al Zalzalah 7-8). Allah juga beserta manusia di manapun dia berada, dan Allah mengetahui segala sesuatu yang dia kerjakan (Al Hadiid 4). Allah juga mengetahui apapun yang ada di langit dan bumi. Allah selalu bersama mereka di manapun mereka berada. Pada hari kiamat, Dia akan beberkan kepada mereka segala hal yang dikerjakan mereka.

Sesungguhnya Allah Mahatahu atas segala sesuatu (Al Mujaadilah 7).

Dengan puasa yang dijalankan dengan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Allah dalam hidup ini, seseorang dilatih untuk mampu menahan diri, menahan diri dari dorongan dan desakan memenuhi kebutuhan biologis yang menjelma menjadi dorongan “hawa nafsu”.

Seperti yang dijelaskan dalam satu hadis, “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, dan (tidak meninggalkan) kebodohan (kejahatan)-nya, maka Allah tidak peduli bahwa orang itu tidak makan dan tidak minum (puasa).” Artinya bila seseorang berpuasa tidak makan minum tapi tetap melakukan amal buruk seperti berbohong, menyebarkan fitnah, menyakiti orang lain, dan lain-lain, maka Allah tidak peduli kepada puasanya. Sia-sia saja ibadah puasanya.

Semoga kita semua bisa berpuasa dengan benar, melakukannya dengan kesadaran kehadiran Allah.