Kitab Kuning Bicara Rokok


rokok-6Kitab Kuning Bicara Rokok

Pernahkah Anda membaca Maulid al-Habsyi? Konon, pengarangnya, Sayid al-Habsyi setiap membaca shalawat kepada Nabi saw, Nabi selalu mendatanginya. Suatu ketika, beliau membaca shalawat, tetapi Nabi tidak datang.

Beliau terus membaca shalawat dengan lebih khusyu’ lagi, tetapi Nabi tetap saja tidak datang. Akhirnya beliau mulai menyelidiki kemungkinan hal-hal yang menghalang-halangi kedatangan Nabi. Ternyata di majlisnya itu bercokol sisa puntung rokok. Segera beliau membuangnya jauh-jauh, tidak lama kemudian Nabi saw pun datang.

Di sebuah dusun terpencil di pulau Jawa, diam seorang ulama besar, dengan pesantrennya yang megah. Santrinya melimpah ruah dari berbagai penjuru. Beliau sangat berpengaruh dan disegani oleh kalangan ulama. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang meyakini beliau sebagai wali Allah yang arif. Beliau mempunyai kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkannya, yaitu kebiasaan merokok.

Dua proposisi (qadhiyyah) yang bertentangan di atas tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum bahwa merokok itu haram, atau merokok itu halal. Karena kita konsisten bahwa dasar hukum agama yang disepakati adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Merokok telah menjadi problem sosial yang merata. Tak terkecuali pesantren. Disamping karena memang efeknya yang menyebabkan bau mulut tidak sedap, rokok telah menjadi sumber keborosan keuangan, mengotori tempat-tempat umum, menyebabkan impotensi (?), menyebab-kan sakit jantung, dan yang paling berbahaya; orang yang terbiasa merokok menjadi sulit meninggalkannya alias kecanduan.

Tak pelak lagi, kalau pengurus sejak beberapa tahun yang lalu mulai berusaha untuk mengurangi kebiasaan yang tidak baik ini. Meski, sebenarnya yang penting kita bicarakan di sini adalah mengenai apa respon fikih terhadap kebiasaan yang tidak baik ini?

Secara global, sebelum kita berbicara dari sisi fikih, Islam sebagai agama yang bersih selalu menganjurkan kebersihan dan kesucian lahir batin bagi pemeluknya. Kebersihan batin menjadi penting, karena ia menjadi sentral pandangan Allah terhadap seseorang. Sedangkan kebersihan lahir menjadi penting pula, karena ia menjadi miniatur kebersihan batin seseorang.

Sebagai bukti bahwa kebersihan merupakan hal yang penting dalam Islam adalah bahwa, ketika kita akan berkumpul dengan orang lain dalam pertemuan-pertemuan umum seperti shalat jum’at, shalat ‘id, belajar bersama di sekolah, akan pergi ke mesjid dan lain-lain, kita disunahkan mandi terlebih dahulu.

Dan dalam kitab-kitab fikih, sebelum kita bertemu dengan bab tentang shalat, pilar utama dalam ajaran Islam, kita akan berpapasan dengan kitab thaharah, kesucian. Ini menjadi pertanda bahwa kesucian merupakan pintu untuk memasuki suatu ibadah ritual keagamaan yang paling besar. Tak ayal, kalau Nabi saw, mengibaratkan kesucian dengan separuhnya iman, “al-thuhur syathr al-iman”. Dan di antara serangkaian bab-bab dalam kitab thaharah tersebut, selalu terdapat bab yang secara spesifik membahas hukum bersiwak .

Dengan redaksi yang sangat tegas, sebuah kitab menyebutkan, “siwak disunatkan dalam setiap keadaan, kecuali setelah zawal bagi yang berpuasa”. Dari redaksi ini, jelas sekali bahwa kita dianjurkan untuk membersihkan dan menyegarkan mulut kita setiap saat. Lebih-lebih ketika akan melaksanakan aktifitas-aktifitas penting seperti shalat, membaca al-Qur’an, mengaji, belajar, bangun tidur dan berubahnya mulut, siwak menjadi anjuran pokok yang harus dikerjakan yang hampir saja diwajibkan oleh Nabi saw.

Nah, tanpa merujuk kepada pendapat ulama mengenai hukum merokok, dari penjelasan di atas, kiranya kita bisa menarik kesimpulan bahwa aktifitas merokok, lafzhan wa ma’nan, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan batang tubuh kitab thaharah dalam Islam. Karenanya, tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa rokok itu bawl al-syaithan (kencingnya syetan).

Sekarang, kalau kita berbicara rokok dari sisi fikih, dalam sejarah dikatakan bahwa tembakau baru ditemukan di dunia Islam dan mulai dikonsumsi oleh sebagian kaum muslimin sejak akhir abad ke sepuluh hijri. Yaitu masa setelah wafatnya Syeikh Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar al-Haitami. Karenanya, ketetapan hukumnya baru ditemukan pada ulama-ulama fukaha setelah beliau, seperti al-Zayyadi dan lain-lain.

Al-Luqani, dalam diskursusnya, Nashihat al-Ikhwan bi-Ijtinab al-Dukhan berkata, “Merokok terjadi pada akhir abad kesepuluh hijri. Yang pertama kali membawanya ke Negeri Romawi adalah orang-orang Inggris. Dan yang membawanya ke Maroko, adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku dirinya sebagai orang bijak. Sedangkan yang membawanya ke Mesir adalah seorang Khawarij, Ahmad ibnu Abdullah, yang banyak menumpahkan darah kaum muslimin dan menghina Asyraf raja-raja Maroko”.

Menurut al-Qaradhawi, karena kejadian merokok ini sangat baru, serta tidak adanya ketentuan hukum dari fukaha-fukaha mujtahidin, tidak pula dari ulama-ulama setelah mereka yang ahli takhrij dan tarjih dalam mazahib, serta tidak adanya pengenalan yang sempurna terhadap esensi dan konsekuensi yang ditimbulkannya berdasarkan kajian ilmiah yang orisinal, para fukaha berbeda pandangan yang sangat luas dalam hukum, sehingga dari masing-masing madzhab yang empat ada yang berpendapat haram, makruh, mubah, tafshil, dan tawaqquf (vakum).

Dari sini jelas sekali, bahwa dari sisi fikih, hukum merokok dipertentangkan oleh masing-masing madzhab yang empat. Masing-masing madzhab memiliki empat macam pendapat; haram, makruh, mubah dan tafshil, tidak ada yang mengatakan sunat. Masing-masing pendapat bersikeras mempertahankan pendapatnya sendiri. Sehingga sampai sekarang para ulama bersepakat untuk berbeda pendapat mengenai hukum merokok.

Dalam madzhab Syafi’i sendiri, pendapat yang mu’tamad adalah makruh tanzih. Tetapi, menurut Syeikh Ismail al-Yamani, meskipun pendapat yang mu’tamad mengatakan makruh tanzih, pada saat-saat tertentu hukum merokok disepakati keharamannya. Yaitu saat-saat yang harus dihadapi dengan kesopanan dan ketakziman, seperti merokok di hadapan orang yang sedang membaca al-Qur’an, al-hadits, tempat-tempat belajar ilmu syar’iy, atau tempat-tempat lain yang harus dihadapi dengan cara yang sopan dan takzim. Merokok di tempat-tempat seperti ini hukumnya haram, karena termasuk su’ul adab dan dianggap meremehkan majlis-majlis yang seharusnya ditakzimi.

Dari redaksi di atas, yang berbunyi, tempat-tempat belajar ilmu syar’iy, dalam tradisi kita, bisa termasuk ruang-ruang sekolah, ruang musyawaroh, acara bahtsul masail, di dalam masjid dan sejenisnya.

Bahkan yang lebih menarik lagi, berkaitan dengan hal di atas, Syekh Abdullah Taufiq al-Sabbagh berkata, “Yang lebih muda tidak merokok di hadapan yang lebih tua. Juga tidak merokok di hadapan mushhaf al-Qur’an. Dan sebaiknya pula tidak merokok ketika mendengarkan al-Qur’an melalui radio, seperti halnya di depan orang yang sedang membaca al-Qur’an secara langsung. Siapa yang melakukan hal-hal di atas, berarti mempersilahkan dirinya untuk dilaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah SWT.”

wallohu a’lam bis-shawab,-

***

Arland