Menikmati Buah Ibadah


sholat 1Menikmati Buah Ibadah Assalamualaikum wr. wb. Wahai Saudari saudaraku yang dimuliakan Allah SWT. Ibadah adalah aktifitas jasmani dan ruhani bagi orang beriman yang dimanifestasikan dalam bentuk amaliyah dan dipersembahkan kepada Allah SWT. serta mencari keridhaan- NYA. Yang dimaksud ridha adalah ketaatan yang diterima oleh Allah SWT. karena ibadah tersebut dilaksanakan semata mata untuk mendapatkan anugerah dan diniatkan penuh keikhlasan, jauh dari sifat ‘ ujub. Orang yang ridha (suka dan senang) memberikan sesuatu kepada sesamanya, adalah orang yang artinya ia menyerahkan sesuatu tersebut dilakukan dengan hati rela, tidak karena mengharapkan balasan atau ingin mendapatkan pujian. Ridha dalam ibadah berarti melaksanakan ketaatan semata mata karena Allah. Tidak ada sesuatu yang menyertainya. Orang yang ridha dalam ibadahnya, maka Allah juga ridha dalam menerima persembahan ibadahnya dan memantapkan ketaatannya murni di sisi-NYA. Orang yang ridha dalam ibadah, Allah pun ridha kepadanya. Ketika seorang hamba telah menerima keridhaan Allah dari ibadahnya yang tulus, maka ia berada dalam suasana yang membahagiakan. Tumbuh cahaya dalam hatinya, karena keridhaan Allah memberikan cahaya bagi ruhaninya. Ia akan mendapatkan kenikmatan dan kelezatan dalam ibadah sebagai anugrah pertama di saat berada di dunia. Itulah buah ibadah. Hamba Allah yang telah mendapatkan kenikmatan dari ibadahnya, adalah tanda bahwa ibadahnya telah diterima oleh SWT. Kenikmatan dari buahnya ibadah hanya dapat dirasakan tatkala si hamba sedang melaksanakannya. Jika ia belum dapat merasakan lezat dan nikmatnya ibadah, berarti ibadah yang diamalkan belum menghasilkan buah. Ibadahnya baru pada kulitnya, belum masuk kepada kedalaman isinya, sehingga buah ibadah belum dinikmatinya. Seorang ahli tasawuf berkata : ” Saya telah melaksanakan shalat lail selama dua puluh tahun, dan barulah saya mendapatkan kenikmatannya pada tahun ke dua puluh.” Seorang sufi lainnya berkata : ” Saya telah melatih diri membaca Al-Qur’an selama dua puluh tahun. Setelah dua puluh itu barulah saya merasakan dan mengenyam kenikmatannya. ” (Berarti tahun kedua puluh dari pembacaan Al-Qur’annya itu). Para Ulama salaf menjelaskan : ” Bahwasanya halawah (lezat) dan nikmatnya membaca Al-Qur’an itu akan diperoleh apabila bacaannya dilaksanakan dengan tertib, memahami maknanya, dan seakan akan berada di hadapan Rasulullah SAW, seperti beliau sedang mengajar sahabat-sahabatnya. Demikian juga apabila seseorang sedang membaca shalawat, hendaknya ia membayangkan seakan-akan sedang berada di hadapan Rasulullah SAW. Ia meresapkan bacaan shalawat itu dengan tawadhu’ seakan-akan ia sedang berdialog dengan junjungan Nabi SAW. Karena shalawat yang diucapkannya, didengar oleh Nabi SAW. di dalam kuburnya. Demikian juga apabila ia sedang membaca zikir, atau menyebut asma asma Allah dengan perasaan dan hati tulus, menghidmati kebesaran Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-NYA. Hendaklah merasakan di kedalaman kalbunya akan keagungan Allah. Dengan cara ini ia akan merasakan nikmatnya berzikir. Seorang sufi lain berkata: ” Apabila seorang hamba bersungguh sungguh dalam ibadahnya niscaya ia akan merasakan halawah (manis) beribadah. Amal seperti inilah yang Insyah Allah akan terkabul. Ibadah yang tidak menimbulkan rasa halawah adalah ibadah yang belum bersih. Ibadah yang masih bercampur dengan kotoran-kotoran ujub dan ria. Allah SWT. mengingatkan : ” Hanyalah Allah akan menerima (ibadah) orang orang yang takwa.” (QS.Al-Maidah ayat 27). Semua amal ibadah yang dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan dihiasi dengan keihlasan oleh seorang hamba, niscaya akan memunculkan kelezatan halawah, serta akan dianugerahkan untuknya buah ibadah di akhirat yang benar-benar indah. Sebaliknya, amal ibadah yang dilaksanakan dengan niat yang jauh dari ridha Allah, bercampur dengan kepentingan duniawi yang kotor, kemudian dihiasi dengan ujub dan ria, niscaya tidak memperoleh apa pun di dunia dan di akhirat dia akan menjadi orang yang bangrut/merugi. Walaupun demikian janganlah seorang hamba, merasa bangga atas amal ibadahnya, atau merasa puas, sebab perasaan demikian akan menodai amal ibadah dengan ujub dan ria. Akibatnya akan merusak amal. Selanjutnya ia tidak akan merasakan halawah dan kenikmatannya. *** Sumber : Diambil dari buku karya DJamaluddin Ahmad Al-Bunny. Kiriman: Dwi Nopitasari