Merawat Cinta dalam Nuansa Ibadah


Kisah cinta Laila MajnunMerawat Cinta dalam Nuansa Ibadah

Banyak orang mengakui arti penting dalam rumah tangga. Banyak orang selalu mencari cara bagaimana agar pohon cinta senantiasa bersemi, tak layu dimakan usia dan tak lekang oleh problema. Banyak jalan menuju kelanggengan cinta, tapi tahukah Anda dimana kuncinya?

Arief dan Fatimah sudah lebih dari lima tahun menikah dan memiliki empat anak yang masih kecil-kecil. Arief adalah seorang guru SD dengan penghasilan pas-pasan. Di sela kesibukannya merawat anak-anak,Fatimah membantu menambah pendapatan keluarga dengan berjualan makanan kecil. Himpitan ekonomi seringkali menjadi awal dari munculnya pertengkaran demi pertengkaran. Bagi mereka, hidup terasa begitu berat dan menyiksa. Suasana yang dominan adalah kerja keras, keluh kesah dan kekakuan. Tidak ada lagi kehangatan komunikasi, boro-boro ngomong cinta. Ada apa dengan cinta mereka?

Ponco dan Sinta adalah pasangan eksekutif muda yang sukses. Semua yang menjadi impian orang muda mereka miliki; rumah, kendaraan, status sosial, liburan ke luar negeri. Tapi, semakin hari Ponco dan Sinta semakin merasa asing. Mereka tenggelam dalam dunianya sendiri. Memang selalu ada kecupan di pagi hari, telepon rutin saat makan siang, hadiah kejutan saat ulang tahun perkawinan atau liburan bersama di akhir tahun, tapi, mengapa aktifitas cinta mereka terasa hambar?

Ada apa dengan cinta, apa makna dan hakikat cinta, siapa sebenarnya yang menumbuhkan cinta dan bagaimana seharusnya memupuk pohon cinta? Simak tulisan berikut-diramu berdasarkan uraian dari beberapa narasumber, pakar masalah cinta dan perkawinan untuk menjawab rasa penasaran Anda.

Hakikat cinta

Menurut Dra Ieda Poernomo Sigit Sidi, Psi, konsultan masalah perkawinan dan keluarga, secara psikologis cinta dapat dimaknai sebagai perasaan terhadap seseorang yang bisa mendorong munculnya keinginan untuk bahagia, menyenangkan, dan meringankan beban orang yang dicintainya. KH Rahmat Abdullah, Pimpinan Iqro, Bekasi, mengatakan, cinta menumbuhkan keinginan untuk selalu menyelamatkan, membahagiakan dan memberikan hal-hal yang bermanfaat pada orang yang dicintai. Oleh karena itu, kata Rahmat mengutip pendapat IbnU Abbas, hubungan jasadiyah sebagai muara dan puncak tumpahan segala perasaan harus diterjemahkan sebagai upaya memberi bukan merampas. “Lewat hubungan itu, orang Ingin melimpahkan bukan mengharapkan, Ingin pasangannya mendapatkan yang paling baik, paling membahagiakan. Bukan dia memuaskan diri dengan itu.”

Lebih jauh, Rahmat mengaitkan konsep cinta dengan ketaatan pada Allah Swt. Artinya, cinta sebagai kekuatan yang dapat mendorong seseorang berkorban untuk orang yang dicintainya haruslah diletakkan dalam rangka mentaati perintah Allah, yaitu, menjaga diri dan keluarganya dari api neraka serta berbuat baik pada pasangan. Karena itu, kata Rahmat, Allah mencegah hal-hal yang dapat merusak hubungan cinta dan menganjurkan hal-hal yang dapat mengokohkannya. Misalnya, larangan saling berdiam diri dan perintah menumbuhkan iklim dialogis dan kebersamaan dalam rumah tangga. Dr. Setiawan Budi Utomo, anggota Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, menyebutnya sebagai cinta karena Allah dan mencintai dijalan Allah ( al hubbu fillah wa billah ).

Cinta memang memiliki kekuatan luar biasa dalam nenggerakkan jiwa. Menurut Rahmat, menyitir kisah salafussaleh, cinta sejati membuat pemiliknya dapat bersabar kala menderita, sanggup mensyukuri apa yang dirasakannya, berhasil mengubah derita menjadi kelezatan bahkan rela melupakan segala kepedihan kala berhadapan dengan yang dicintainya. Siapakah yang dapat menghadirkan cinta sejati dalam hati kita? Rahmat mengatakan, Allah lah yang menjadikan diantara suami istri itu rasa kasih dan sayang sebagai salah satu tanda kekuasaan-Nya. “Mawaddah warrohmah itu dari Allah, Dia yang menggerakkan hati seseorang untuk mencintai pasangannya:’ kata Setiawan. Ieda pun berpendapat serupa. Dalam pandangannya, jodoh harus dipahami sebagai ketentuan Allah (takdir). “Nggak bisa dijelaskan kenapa kita jatuh cinta pada orang itu dan tidak pada yang lain. Tuhan yang memberikan itu.”

Berawal dari keshalehan pribadi

Kata Ieda, perasaan cinta pada pasangan memang bersifat fluktuatif, naik turun tergantung pada kondisi interaksi suami istri dalam kehidupan sehari-hari. Jika ada hal yang mengganggu perasaan, ada hal yang menimbulkan kekecewaan, misalnya, respon yang diberikan pasangan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau pasangan tidak merespon cinta, maka cinta dapat berubah menjadi kesal, bahkan benci.

Jika kebencian telah mendominasi hati, maka suasana yang muncul dalam interaksi pasangan suami istri adalah kebekuan, kegersangan dan kehambaran. Bukankah kita tidak pernah mencitakan situasi seperti ini saat melangkah memasuki gerbang pernikahan. Nah, bagaimana sih merawat cinta? Benarkah tumbuh kembangnya cinta sejati pada pasangan hidup mensyaratkan wujudnya keshalehan pribadi (kekuatan ruhiyah) dalam diri mereka yang menginginkannya?

Menjawab persoalan ini, Setiawan menunjuk ayat AI Quran yang berbunyi: “Apabila kalian mencintai Aku maka ikutilah Aku”. “Karena itu, katanya, perasaan cinta harus dibuktikan dengan komitmen perjodohan atas dasar kesolehan (agama). Artinya, pernikahan sebagai wadah penyemaian bibit cinta harus menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dan menomorsekiankan pertimbangan lainnya. “Kalau itu tidak dijaga, maka otomatis cinta pun akan luntur.”

Rahmat mengatakan, karena Allah yang menghadirkan cinta, Allah yang menguasai hati manusia, maka mohonlah pada-Nya agar la merawat cinta tersebut dihati kita. Lihat skenario Nabi Musa yang pelik: dicari tentara di rumah, dihanyutkan dalam peti ke sungai, sampai ke istana tapi tidak ada yg cedera dari beliau.

Kenapa? Sebab Allah berfirman: “Aku tanamkan dalam dirimu kecintaan dari-Ku, agar engkau dibentuk dalam pengawasan mata-Ku.” Setiap orang yg melihat Nabi Musa akan tertarik, jatuh hati. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka la tidak akan diam. “Jibril Aku mencintai si Fulan di bumi, maka kamu harus mencintainya.” Dan Jibril pun mengajak malaikat langit untuk mencintai fulan.

Betapa tingginya cinta yang berasal dari Allah, sehingga saat salah satu pihak berkurang, usaha untuk mencintai tetap jalan.Menurut pendapat Setiawan, ini menunjukkan bahwa ada kolerasi positif antara hubungan ritual seseorang dengan Allah yang menghasilkan kekuatan ruhiyah dan hubungannya dengan kekasihnya (pasangannya,red). “Semakin dekat seseorang pada Allah, semakin ia memiliki kekuatan untuk mencintai pasangannya, begitupun sebaliknya, Jika hubungan seseorang dengan Allah buruk, maka ia akan menemui hal yang tidak menyenangkan pada perilaku pasangannya,” kata konsultan syariah di Bank Indonesia ini.

Ciri kekuatan ruhiyah

Kekuatan ruhiyah memiliki kemampuan yang tinggi dalam merawat cinta dan mempertahankan komitmen pernikahan, apa saja ciri-cirinya? Ciri-ciri orang yang memiliki kekuatan ruhiyah, menurut Setiawan, antara lain mampu mengendalikan emosi, melakukan banyak ibadah ritual pada Allah, kedekatan pada Allah yang tampak dari aktifitas keseharian, lebih sensitif dan empati pada penderitaan orang lain.

Sedangkan secara psikologis, kata Ieda, seseorang yang mengenal dirinya, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, memikirkan orang lain, dan mampu bertanggung jawab atas orang lain, adalah orang yang memiliki kematangan pribadi. Selain itu, ia bisa menampung aspirasi orang lain, bisa beradaptasi, luwes dalam bersikap dan bisa menghargai pendapat orang lain sekali pun berbeda dengan pendapatnya. “Dia juga bisa menata emosinya, dia tahu kapan dia harus bicara, kepada siapa, seberapa jauh, jadi dia menjaga interaksi lingkungan dengan baik.”

Rahmat Abdullah menyebutkan ciri-ciri kekuatan ruhiyah bukan sekedar yang diaplikasikan pada fenomena ibadah zhahir semisal dzikir, tilawah dan tahajud tapi benar-benar ibadah yang menjadi malakah (capa-bility) jiwa. “Gerak dzikirnya bukan hanya lidah, tetapi gerak hati yang menyatu dengan jasad. Kekuatan dzikir bisa menopang batin, sebaliknya jiwa yang matang bisa mendorong lahirnya bekerja.”

Bertanggungjawab dan lebih tenang

Dengan keshalehan dan kesabaran, kata Setiawan, seseorang akan lebih tenang dalam menghadapi konflik atau terpaan masalah. Perbedaan perspektifkah, pertengkarankah atau yang lainnya akan dijadikan sebagai bumbu-bumbu yang menambah erat hubungan suami istri. “Konflik yang terjadi tidak dimasukkan ke dalam hati sehingga bisa membakar hati. Berbeda jika terjadi pada orang yang tidak soleh dan tidak sabar, konflik akan ditumpuk menjadi endapan, seperti bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.”

Dengan kata lain, Ieda mengatakan jika seseorang memiliki kekuatan ruhiyah, kestabilan jiwa, maka ia akan mencintai pasangannya dengan kesadaran penuh terhadap tanggungjawab. Menurut Ieda, tuntutan pertangunganjawaban di hadapan Allah membuat mereka tetap berusaha merawat cintanya agar makin besar dan kuat, apa pun masalah yang dihadapi. “Langkah mereka dilandasi keinginan beribadah, mengikuti sunah Rasul, mendidik anak-anak sebagai amanah Allah, sehingga tidak berpikir macam-macam. Yang penting bagaimana menyenangkan suami atau istri.”

Praktik Ibadah untuk Cinta

Rahmat mengatakan bahwa praktik ibadah yang dilakukan secara bersama dapat menjadi sarana perawat ibadah yang ampuh. Misalnya, shalat malam berjamaah. Kata Rahmat mengutip hadits Nabi, Allah merahmati seorang istri yang membangunkan suaminya untuk shalat malam, jika tidak mau ia akan memercikkan air hingga terbangun, atau sebaliknya. Bahkan, kata Setiawan, Rasulullah setiap malam mengajak keluarganya shalat malam, bukan hanya istrinya tetapi juga cucunya. “Ibarat kalau kita ingin berlayar, harus menjadikan seluruh anggota kapal sepaham, bukan hanya sebagian.”

Pada bagian lain, Rahmat mengisahkan, bahwa jika datang ke rumah Aisyah, Rasulullah akan bertanya, apakah ada makanan hari ini? Aisyah menjawab tidak ada. Maka Rasul berkata, “Ya sudah, tidak apa-apa. Saya berpuasa saja hari ini.”Ini kan suatu yg mengagumkan buat istrinya. Begitu hebatnya ruhaniah beliau.”

Senada dengan pendapat Rahmat dan Setiawan, ,Ieda mengatakan bahwa praktik ibadah ritual yang mengantarkan pada hakikat ibadah akan mempengaruhi perilaku seseorang, mempengaruhi kecerdasan emosionalnya, termasuk kemampuannya dalam menata emosi, beradaptasi dan berinteraksi dengan pasangan. “Kematangan spiritual bisa membantu tercapainya kematangan pribadi. Kan orang yang spiritualnya tinggi, jadi bagus. Dia bisa menata perilakunya.”

Idealnya, rumah tangga dipertahankan dengan cinta hingga akhir. Bagaimana jika tak ada lagi cinta? Menurut Setiawan, rumah tangga dapat bertahan tanpa cinta, sepanjang masih ada komitmen, misi dan visi pernikahan, juga tekad dan kemauan. Katanya, orang sering mencampuradukkan hubungan suami istri itu dengan cinta, padahal ini berbeda. Jika sudah tak ada cinta, kekuatan ruhiyah seseorang tetap dapat melahirkan rasa tanggungjawab, terhadap anak-anak, terhadap masa depan mereka, untuk mempertahankan rumahtangga.

Kata Rahmat, kehidupan rumah tangga tidak hanya soal romantis, tapi ada tanggungjawab. Suatu hari ada orang yang mengadu pada Khalifah Umar bahwa ia sudah tidak mencintai mencintai istrinya. Umar berkata, apakah setiap rumah tangga harus dibangun di atas cinta? Usahakanlah untuk menanam benih cinta, suatu saat kamu akan menemukan. Berkata Rahmat, “Kalau mau ingin dapet cinta. Tanam benihnya. Paksakan diri. Buat laki2 bersifat baik, melindungi. Buat perempuan taat kepada Allah, taat pada suami, menjaga diri.”

Terawat hingga kiamat

Menurut Setiawan, dalam ayat lain dijelaskan bahwa pada hari kiamat nanti orang-orang yang dekat (termasuk suami istri, red) akan menjadi musuh satu sama lain, kecuali orang yang bertaqwa. Itu menunjukkan bahwa ikatan ketaqwaan itulah yang akan memastikan erat tidaknya, dekat tidaknya hubungan seseorang dengan pasangannya. Kenapa? Karena itulah ikatan yang abadi, itulah yang akan konsisten dan tetap eksis, bahkan hingga hari akhir. “Wajah cantik bisa luntur karena sifatnya temporer.” Jadi, merawat cinta dengan ikatan ruhiyah, ikatan spiritual membuat cinta awet terawat hingga hari kiamat. Tidakkah kita ingin tetap dipersatukan dengan pasangan kita di surga kelak?

***

Oleh: Dwi septiawati Djafat; Laporan Dina, Maria, Vieny