Islam Mengangkat Martabat Wanita


Wanita_siluetIslam Mengangkat Martabat Wanita

Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw lahir dalam situasi dominasi laki-laki yang sangat berlebihan. Di sekitar abad ke 5-6 itulah wanita mengalami penghinaan yang luar biasa di seluruh dunia.

Di Afrika dan Amerika perbudakan sedang gencar-gencarnya berlangsung. Kalau kita melihat catatan sejarah, hal itu juga merembet sampai ke Eropa, Timur Tengah, dan sebagian Asia. Manusia, khususnya wanita, menjadi ‘barang’ yang diperjual-belikan secara bebas. Dari satu tangan penguasa ke penguasa lainnya. Dari satu saudagar ke saudagar lainnya.

Para penguasa dan raja di berbagai belahan dunia pun memperlakukan wanita secara semena-mena. Banyak di antaranya memiliki istri atau selir puluhan, atau bahkan ratusan orang. Yang kadang-kadang juga dihadiah-hadiahkan, seperti barang saja layaknya. Martabat wanita benar-benar runtuh.

Saat itulah Islam diturunkan kepada nabi Muhammad saw di Jazirah Arab, di Timur Tengah, dalam situasi peradaban yang tidak jauh berbeda. Bahkan disebut-sebut sebagai kondisi kegelapan yang mewakili suramnya peradaban dunia pada waktu itu. Jaman jahiliah. Jaman kegelapan.

Kondisi masyarakat Arab waktu itu sangat memprihatinkan. Khususnya perlakuan terhadap wanita. Karena itu, tidak heran, banyak orang tua yang tidak ingin punya anak perempuan. Memiliki anak perempuan adalah aib besar pada waktu itu. Apalagi mereka yang bangsawan, hartawan, atau tokoh masyarakat lainnya.

Begitu mendengar istrinya melahirkan anak perempuan, merah padamlahlah muka sang ayah. Pasti berita itu bakal disimpan rapat-rapat agar tidak terdengar oleh orang lain. Atau, mereka tidak akan segan-segan membunuh anak yang baru lahir itu, karena malu. Hal yang mengerikan ini sampai diabadikan dalam Al-Qur’an.

QS. An Nahl (16): 58-59

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.

Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Dikabarkan, Umar bin Khatab sebelum masuk Islam juga pernah membunuh anak perempuannya dengan cara mengubur hidup-hidup. Betapa kejinya peradaban saat itu. Dan betapa rendahnya martabat seorang wanita pada saat itu. Kondisi Arab hanya salah satu contoh saja dari buruknya posisi wanita dalam peradaban dunia di jaman itu. Sampai-sampai seorang ayah tega membunuh anaknya sendiri. Bukan main…!

Bukan hanya itu. Contoh lain adalah perilaku laki-laki terhadap wanita dalam hal perkawinan. Di arab jaman itu, kawin dengan banyak wanita adalah hal biasa. Hal yang lumrah.

Bahkan yang menyedihkan, istri-istri bakal diwariskan kepada anak-anak lelakinya jika sang ayah meninggal dunia. Bayangkan, si anak laki-laki menerima warisan istri-istri ayahnya. Bukan main biadabnya…! Wanita benar-benar diperlakukan sebagai barang dan harta benda saja layaknya. Dan ini pun diabadikan dalam cerita Qur’an, sekaligus dikecam seperti ketika Allah mengecam pembunuhan terhadap anak-anak perempuan.

QS. An Nisaa’ (4): 23

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,

Allah mengecam praktek perkawinan yang amburadul secara moral, pada waktu itu. Tak peduli ibu tiri, anak, mertua, menantu dan sebagainya, saat itu sudah tidak ada artinya lagi. Wanita adalah barang tak berharga di kalangan lelaki. Maka Islam datang untuk meluruskan kembali tatakrama dengan berbasis pada akhlak mulia. Mendudukkan manusia sebagai makhluk yang beradab. Dan mengangkat wanita ke tempat yang terhormat. Sebagai seorang ibu, isteri dan anak yang harus dilindungi, dihargai dan dicintai.

Islam datang untuk mengubah peradaban manusia yang sudah demikian rusak dan amburadul dengan cara yang bijak. Sehingga dalam ayat-ayat di atas, selain mengecam perilaku lama, Allah juga memberikan jalan keluarnya. Menciptakan aturan-aturan baru. Sekaligus mengampuni dosa-dosa yang telah lalu, asalkan tidak dilakukan lagi di masa-masa mendatang.

Dengan kedatangan Islam, wanita dibela habis-habisan, dan diangkat dari kubangan lumpur yang sangat dalam. Bukan hanya di kalangan wanita pada umumnya, lebih khusus lagi Islam juga melakukan pembelaan kepada mereka yang lemah dan tertindas, seperti anak-anak perempuan yatim, ataupun para budak.

Bukan main. Sudah wanita, budak lagi. Pada jaman itu mereka adalah golongan masyarakat yang paling bawah. Tak ada harganya. Tapi coba lihat, bagaimana Islam membela wanita-wanita tertindas itu.

Banyak budak yang dibebaskan oleh pemuka-pemuka Islam. Bahkan tak sedikit yang dikawini, menjadi isteri sah. Ini sungguh luar biasa, di jaman itu. Islam membalik persepsi masyarakat secara frontal dengan cara ini. Bahwa wanita adalah orang-orang yang mesti dilindungi dan dihargai.

QS. An Nisaa’ (4): 25

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup penghasilannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. Itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di jaman sekarang, ayat di atas sepertinya biasa-biasa saja. Namun, jika anda memahaminya dalam konteks jaman itu, sungguh tak ternilai tingginya.

Sebagian umat Islam dianjurkan untuk mengangkat budak-budak menjadi istrinya. Bahkan memberikan mas kawin secara patut, karena mereka adalah bagian dari kita semua. Pada jaman itu, jangankan memberikan mas kawin, budak-budak diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Dan dimanfaatkan untuk pemuas nafsu dalam bentuk pelacuran secara terang-terangan.

Islam membalik semua praktek tak manusiawi itu. Segala bentuk kekerasan terhadap wanita ‘diserang’ secara frontal oleh ayat-ayat Qur’an. Dan bukan hanya teoritis, melainkan dipraktekkan secara langsung oleh Rasulullah dan para sahabat. Perubahan yang signifikan pun terjadi. Hanya dalam beberapa tahun, martabat wanita pun terangkat sangat terhormat.

QS. An Nuur (24): 33

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesuciannya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).

Ayat ini secara khusus memperjuangkan martabat budak wanita. Allah melarang seorang lelaki muslim untuk melakukan hubungan seks di luar nikah, meskipun dengan para budak. Sebuah hal yang lumrah di kala itu.

Al-Qur’an memerintahkan agar semua itu diikat dalam sebuah lembaga perkawinan. Karena jika tidak, yang dirugikan bukan lelaki, melainkan para wanita. Padahal mereka adalah budak-budak yang tidak berdaya. Bayangkan jika mereka punya anak. Kesengsaraannya sungguh bakal berlipat-lipat. Sementara para lelaki tidak ada yang peduli.

Para lelaki diperintahkan untuk menghargai mereka sebagai istri yang sah. Yang memperoleh perlindungan secara hukum. Kalau mereka tidak mau, maka lepaskanlah dengan ikatan perjanjian tertentu. Bahkan diperintahkan untuk memberikan sejumlah bekal dan uang untuk mereka. Agar mereka bisa menjadi manusia yang merdeka.

Betapa mulianya Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Ketika semua orang memperlakukan wanita dengan semena-mena, Islam justru memberikan pembelaan secara terang-terangan. Ketika semua penguasa dan bangsawan menindas wanita-wanita tak berdaya sebagai permainan para lelaki, maka Islam pun datang membongkar praktek-praktek tak bermoral itu, sekaligus memberikan contoh konkret dalam kehidupan masyarakat.

Dari kubangan lumpur, wanita diangkat oleh Islam untuk menduduki singgasana yang penuh hormat, penghargaan, perlindungan, cinta, dan kasih sayang…

***

Oleh: Firliana Putri