Akhir Hayat ‘Sang Biola Padang Pasir’


Akhir Hayat ‘Sang Biola Padang Pasir’

Jakarta – A’sya bin Qais, namanya. Walau pun matanya buta, namun syairnya memukau setiap orang yang mendengarnya. Karena kelebihannya di bidang dalam bersyair, dirinya mendapat gelar ‘Shannajatul Arab’; Biola bangsa Arab.

Dalam tradisi arab dahulu, kedudukan suatu kaum ditentukan oleh dua hal: penyair dan petarung yang ulung. Karena alasan inilah, A’sya mendapatkan kedudukan di mata orang-orang sekitarnya. Walau tidak dipungkiri, ada kebiasaan jelek pada dirinya. Suka main wanita, gonta ganti pasangan, suka minum, dan juga suka judi.

Suatu ketika, ia mendengar ada seorang lelaki yang mengaku nabi. Sosok yang sangat dipercaya. Tidak punya cela. Semakin hari, namanya semakin dikenal di seluruh penjuru tanah Arab. Hampir semua orang membicarakannya. Hanya saja, ia tidak jarang mendengar isu-isu negatif yang terkait dengan lelaki tersebut. Ia semakin penasaran. Semenjak itu, ia bertekad untuk menemui lelaki yang menjadi buah bibir bangsa arab itu. Ia ingin bergabung dalam barisannya, kalau ia betul-betul nabi.

Dengan mengendarai unta, A’sya bertolak menuju Mekah. Lalu ke Madinah. Tidak mudah untuk bisa ke sana. Medannya berat. Ditambah lagi, cuaca gurun yang sangat panas. Memang, A’sya betul-betul telah nekat.

Ternyata, perjalanan A’sya bin Qais, biola bangsa arab itu, untuk menemui Muhammad tercium oleh orang-orang arab di Makkah. Tentu, ini sangat berbahaya. Seandainya ia benar-benar mengikuti ajaran Muhammad, habislah sudah. Ia akan gunakan kemampuannya untuk mengampanyekan ajarannya yang baru. Kalau itu terjadi, seluruh bangsa arab pasti akan mengikuti Muhammad. Ini tidak bisa dibiarkan. Apalagi belum lama berlalu diadakan perjanjian Hudaibiyah, kesepatakan damai, antara bangsa arab di Makkah dengan Muhammad.

Seketika itu Abu Sufyan bin Harb menemui A’sya bin Qais.

“Hai A’sya, kamu mau kemana?” tanya Abu Sufyan.

A’sya menjawab,”Aku ingin menemui Muhammad.”

“Kamu tahu, kalau dia melarang pengikutnya meminum Khamr, berbuat zina dan bermain judi,” kata Abu Sufyan, menakut-nakuti A’sya. Abu Sufyan tahu bahwa Khamr, bermain wanita dan judi telah mendarah daging dalam diri A’sya.

“Kalau masalah zina, ia telah meninggalkanku. Walau aku belum meninggalkannya. Kalau khamr (tuak) hasratku dengannya telah terpenuhi. Sedangkan untuk judi, semoga saja aku bisa mendapatkan gantinya,” ujar A’sya, diplomatis. Tidak bergeming sedikit pun.

Abu Sufyan tidak putus asa. “Aku ada tawaran istimewa untukmu, kalau kamu mau?” Abu Sufyan mencoba menggodanya.

“Apa yang kamu tawarkan?” balas A’sya penasaran.

“Begini, kami telah mengikat perjanjian dengan Muhammad. Maka, sebaiknya engkau kembali saja untuk tahun ini dan kamu bisa mendapatkan seratus onta merah. Seandainya Muhammad beruntung, kamu bisa menemuinya setelah itu. Akan tetapi, bila kami yang beruntung, dirimu sudah mendapatkan ganti rugi dari perjalananmu kali ini,” Abu Sufyan menawarkan sesuatu yang menarik.

Onta merah adalah onta terbaik pada masa itu. Kendaraan mewah untuk ukuran sekarang. Apalagi seratus ekor. Hanya dengan menunda perjalanan hingga tahun depan, ia bisa mendapatkan kekayaan, kalau di kurskan ke rupiah bisa Rp 1-5 miliar.

Rupanya A’sya mulai tergoda. “Aku belum yakin,” tukas A’sya diplomatis.

Dengan serta merta Abu Sufyan mengajak A’sya mampir ke rumahnya. Sesampainya mereka disana, Abu Sufyan mengumpulkan para sahabatnya. “Kawan-kawan bangsa Quraisy, ini adalah A’sya. Seandainya ia jadi bergabung bersama Muhammad, akibatnya bisa membahayakan kalian semua selaku bangsa arab. Oleh karena itu, kumpulkan seratus onta merah!”

Kawan-kawan Abu Sufyan segera mengumpulkan seratus onta yang diminta oleh pemimpin mereka. Setelah terkumpul, semuanya diberikan kepada A’sya. Bersamaan dengan itu A’sya semakin penasaran. Apalagi ketika onta-onta mereka itu diserahkan. Akhirnya, ia pun mengambil keputusan final; mengurungkan perjalanannya untuk menemui Muhammad.

Hati A’sya, sang biola bangsa arab, hatinya pun berbunga-bunga. Rezeki nomplok, pikirnya. Hanya saja itu semua tidak berlangsung lama. Ketika sampai di Yamamah, ia jatuh dari ontanya. Tidak hanya sampai di situ. Begitu A’sya terjatuh, onta itu menginjakkan kakinya ke tubuh lelaki itu. A’sya pun menghembuskan nafas terakhirnya hingga belum sempat menikmati kekayaan yang ia terima.

Godaan di tengah jalan seringkali melalaikan seseorang dari tujuan. (rmd/rmd)

***

Abdul Rochim – detikRamadan