Terminal Cinta Terakhir


Terminal Cinta Terakhir

Memasuki ambang keagungan Ramadhan kali ini yang saya ingat suatu bagian dari ceramah orang yang saya cintai, yakni ustadz Yasin Hasan Abdullah ketika beliau tampil di Pesantren Daruttauhid Malang 1990.

Beliau mengemukanan hal yang sederhana. “sekedar sesungging senyum saja dari seorang istri kepada suaminya, Allah memberinya pahala setakaran dengan satu kali salat tarawih.” Kemudian dengan tersenyum “nakal” belaiau melanjutkan dengan kalimat satire, “oleh karena itu, bagi kaum wanita kalau pas bulan Ramadhan tak bisa salat tarawih, tersenyum sajalah…”

Ada dua sisi dari kepingan uang ” fatwa ustadz kita ini.

Pertama,  beliau menjelaskan secara implosot betapa Islam sebagai agama, sejak semula sangat matang menyediakan inti-inti nilai (level rohani dan filosofi) beserta  komprehensinya, untuk diterjemahkan oleh para khalifah-Nya menjadi sistem nilai (level tata budaya), kemudian diterapkan, diimplementasikan, dimanifestasikan atau diwujud-kongkretakan (level bodang-bidang empiris) pada semua dan setiap langkah perilaku daan masyarakat.

Jangankan soal tata hukum, etika sosial, moralitas politik atau berbagai keperluan mikro dan makro pergaulan, kebudayaan dan peradaban manusia” demikian kira-kira beliau melanjutkan fatwanya itu dalam hati. “Sedangkan sesungging senyum pun diurus nilainya oleh Allah melalui formula bimbingan-Nya yang bernama Islam.”

Sisi kedua “keping uang” fatwa ustadz Yasun ialah otokritik halus terhadap tradisi “latah pahala” dalam budaya keagaman pada umumnya kaum muslimin.

Pahala bukan saja “tidak baik”, bahkan pahala itu idaman lihur stiap hamba-Nya. Tetapi, pahala barulah sebuah “terminal” dalam perjalanan spiritual (tauhid) manusia menuju Allah yang mutlak dan abadi. Karena makna tauhid yakni menyaatukan diri kepada Allah adalah proses transformasi dari kesentaraan menuju kekekalan, dari kesemuan menuju kesejatian, atau dari posisi berjarak menuju jumbuh atau kesatuan dengan Dia yang Maha tak Terbayangkan itu.

Saya menyebut pahala sebagai salah satu “terminal”. Artinya, ia bukan sesuatu yang harus kita jauhi, melainkan justru kita datangi. Atau lebih tepatnya kita singgahi, kemudian kita tinggalkan. Lantas kemana? Ke “terminal cinta terakhir”. Siapa lagi Dia kalau bukan Allah.

Jadi samasekali tak salahnya beribadat demi mencari pahala. Tetapi benarkah kit aberhenti di situ?

Mari kita renungkan kedalaman makna syahadat kita. Laa ilaaha illallah. Tak ada Tuhan Selain Allah. Apa artinya budaya Allah? Dia lah yang penting, yang utama, yang ujung segala ujung tujuan hidup kita. Secara kebudayaan kita berikrar, tak ada yang penting selain Allah, bukan tak ada yang penting selain pahala. Apa pentingnya pahala, jika kelak sudah diperkenankan “memperoleh” Allah.

Kalau beribadat dengan orientasi dan target pahala, rasanya kok kita ini terhadap Allah pedagang pemburu laba. Padahala Allah kurang memberi apa kepada kita, hidung otak, hati, lidah, duka, dan kebahagiaan. Sementara kita tak pernah dan sanggup memberri apa pun kepada-Nya, bahkan begitu malas memberi suatu kesejatian hakikat diri kita sendiri.

Kalau obsesi kita adalah pahala dan surga, dan kalau kita adalah pahala dan surga, dan kalau kita utamakan, jadinya kok pahala itulah yang kita Tuhankan. Apa tak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri.

“Ibadat kapitalis” itu namanya. Kaum sufi menyebut kita Muslim hayawani, pelaku ibadat yang terminologinya terbatas pada surga dan neraka. Padahal keduanya hanya formula yang oleh Tuhan disesuaikan dengan idiom bahasa manusia untuk menggambarkan bentuk kebahagiaan dan kesengsaraan yang asli, keuntungan dan kerugian sesungguhnya.

Padahal kita yang kurang serius meningkatkan mutu kemusliman sesudah memeluk Islam berpuluh-puluh tahun lamanya masih seret maju dari jenis kemusliman yang lebih rendah itu, yakni Muslim rabbani.

Itu taraf kemusliman “birokrasi” atau “kepegawaian”. Kita melakukan salat, zakat, puasa, dan lain-lain karena  “takut pada atasan”. Kalau biasanya atasan kita camat, kasubdit, kabag atau mandor, maka dalam urusan ibadat mahdhoh, atasan kita hana Tuhan itu sendiri. Jadi kita jungkir balik di masjid dalam subtansi untuk “mengisi tanda tangan presensi”, supaya “gaji” kita tidak dipotong atau takut di-PHK.

Kita ini memang aneh. Entah kenapa kok malas belajar kepada Rasulullah Muhammad, yang merupakan teladan utama tingkat Muslim rabbani. Muslim yang sehari berikrar, “Sesungguhnya salatku, hidupku, matiku semata-mata untuk Allah belaka,”dan melaksanakan-nya dalam implementasi kongkret kehidupannya.

Padahal tiap salat kita juga rajin mengucapkan kalimat itu lho. Tetapi, bila sudah di kantor, ketika mengurus proyek, makelaran, membayangkan masa depan, bergaul dengan ini itu, masuk toko serba ada- anehnya Allah kok jadi nomor 27. Heran. Kita ini memang mahluk yang mbandel. Tak cocok disebut ahsani taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah. Hiii! malu ya sama Dia!

Puasa itu adalah metoda (tarikat) yang luar biasa untuk memproses diri jadi ahsani taqwi, tak sekedar anusia Indonesia seutuhnya.” Lha wong Allah sendiri yang menciptakan metoda itu/ Dia mewajibkan puasa karena menjamin bahwa ia lebih sempurna dibanding segala penemuan metodik kita untuk merekayasa penyempurnaan kemanusiaan kita.

Saya sendiri tak pernah selesai mengitung makna puasa. Ya untuk “peragian” rohani. Ya untuk melatih segala anasir yang baik dari mentalitas dan kejiwaan. Ya untuk menghayati secaa total betapa sia-sianya benda, kekayaan, pangkat, kenyang, enak, serta segala macam ciri dunia yang tiap hari kita kempit habis-habisan. Macam-macamlah, tak terhingga jumlah manfaatnya. Puasa membawa kita ambil jarak dari segala sesuatu  selain Allah yang selama ini menenggelamkan diri kita. Diri yang hanya satu ini kita berikan kepada dunia sampai habis, lantas apa yang tersisa untuk Allah? Padahal setiap saat kita berjanji sehidup semati, gunung kan kudaki lautan kan kusebrangi untuk Allah semata.

Dalam Ramadhan sekarang ini apa ya tega kita kepada diri kita sendiri bila terus-terusan berpusasa dengan kadar dan target yang begini-begini terus.

Untunglah kita-kita ini tetap dijaga oleh Allah untuk tetap Muslim terus, mmeskipun tak -naik tingkat dari barisan “ban kuning”. Dengan tetap Muslim setidaknya terpelihara pengetahuan kita bahwa Allah selalu begitu kasih memberi jalan benar kepada hamba-hamba-Nya. Antara lain melalui kewajiban puasa. Bayangkan andaikata Allah tak mewajibkan puasa, mungkin kita jadi lupa pada cinta dan tuntunan-Nya.

Apalagi puasa itu diwajibkan bagi seluruh manusia. Juga salat, zakat, amal saleh, dan seterusnya. Banyak lho orang berkata “kalau Anda Muslim, Anda diwajibkan salat, puasa, zakat…”seolah-olah kalau kita tidak Muslim lantas tidak berdosa kalau tidak salat. Lucu.

Kalau begitu, enakan tidak Muslim, bisa terbebas dari dosa tak salat, dosa maling, dosa korupsi, dosa menindas, dosa menggusur…

***

Cak Nun

“Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiyai”, Risalah Gusti, 1994.