Gratifikasi


Gratifikasi

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim terdapat kisah:

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam mengutus seorang laki-laki bernama Lutbiyah untuk memungut zakat dari seseorang. Setelah menerima zakat dari orang yang dimaksud, Lutbiyah menghadap ke Rasulullah. Dia kemudian menyetorkan sebagian uang yang diperolehnya kepada Rasulullah, seraya berkata, “Ini untuk Anda (maksudnya untuk Baitul Maal).” Sedangkan sebagian yang lain ditahan oleh Lutbiyah, sambil berkata, “Dan yang ini hadiah yang diberikan orang kepadaku.”

Setelah mendengar pernyataan itu Rasulullah berdiri di atas mimbar. Mula-mula beliau memuji dan menyanjung Allah Ta’ala, kemudian beliau bersabda, “Ada seorang petugas yang kutugaskan memungut zakat, dia berkata, “Ini zakat yang kupungut kusetorkan kepada Anda, dan yang ini hadiah pemberian orang kepadaku.” (Kalau benar itu hadiah untuknya pribadi, tidak ada kaitannya dengan tugasnya memungut zakat), mengapa dia tidak duduk saja di rumah orangtuanya menunggu orang mengantar hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwaku berada dalam kuasa-Nya, tidak seorang jua pun di antara kalian yang menggelapkan zakat yang ditugaskan kepadanya memungutnya, melainkan pada hari kiamat kelak, dia akan memikul unta (dari zakat) yang digelapkannya itu melenguh-lenguh di kuduknya, atau sapi yang menguak-nguak, atau kambing yang mengembik-ngembik.”

**

Di zaman kini pemberian “hadiah” dari seseorang atau suatu lembaga kepada pejabat negara atau pegawai negeri seperti diterima Lutbiyah itu disebut gratifikasi. Dan karena perkembangan teknologi, gratifikasi di zaman kini tidak lagi hanya berupa barang.

Menurut UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi juncto UU No. 20/2001 bab penjelasan Pasal 12B ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengungkapkan, sesuai Pasal 12B UU No. 20/2001, setiap gratifikasi pada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap, bila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajibannya.

Kenapa sejak zaman dulu gratifikasi diharamkan Rasulullah dan di zaman kini juga dilarang oleh negara? Padahal kita tahu bahwa beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sangat menganjurkan untuk saling memberi hadiah: “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai,” sabdanya. Sebab gratifikasi bukanlah hadiah yang semata-mata diberi agar terjadi saling mencintai di antara mereka, melainkan karena ada patgulipat atau kong-kalikong di balik gratifikasi itu, yang menguntungkan mereka tapi merugikan negara atau masyarakat luas.

Dalam kasus zakat misalnya, seseorang seharusnya membayar zakat Rp 10 juta. Namun karena dia bakhil, dia hanya mau mengeluarkan Rp 5 juta. Lantas dia bekerjasama” dengan petugas zakat. Dia setorkan uang Rp 5 juta, dan dia berikan “hadiah” Rp 1 juta bagi petugas pemungut zakat. Sehingga ada Rp 4 juta uang zakat yang mereka gelapkan.

Masalahnya di zaman kini tidak mudah mengungkap adanya gratifikasi yang bernuansa suap itu jika kedua belah pihak bersetuju menyembunyikan adanya praktek tersebut. Karena itu sulit sekali memberantas praktek suap berdalih hadiah itu. hanya ada satu cara efektif untuk memberantasnya yakni meningkatkan ketakwaan. Ingatlah bahwa semua harta yang digelapkan kelak di hari kiamat akan dipikulkan di pundak pelakunya lalu harta itu mengeluarkan bunyi-bunyi yang memalukan.*

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188).

***

Oleh Widi Nofiarto