Penyelenggaraan Jenazah dan Pembagian Warisan (1)


Penyelenggaraan Jenazah dan Pembagian Warisan (1)

Demi kebersihan dan kepantasan maka umumnya jenazah dimandikan dan diberi wewangian. Setelah itu terhadapnya dikenakan pakaian yang baik sehingga tidak menjatuhkan kehormatannya meskipun yang bersangkutan telah wafat.

Sebagaimana petunjuk Allah, selain berfungsi sebagai penutup aurat pakaian juga diturunkan-Nya kepada manusia untuk membawa keindahan.

“Wahai Bani Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi bagian-bagian aib kamu, dan (pakaian indah sebagai) perhiasan…” [Q.S. 7:26]

Bagaimana pakaian yang baik untuk jenazah tidak berbeda dengan pakaian yang baik untuk orang hidup. Mungkin ia berupa setelan kemeja, atau batik, atau jas, atau baju kurung, dan sebagainya.

Penulis tidak berpikir bahwa pembungkusan jenazah dengan kain kafan sebagaimana tradisi selama ini bisa dikatakan sebagai “baik” apalagi “memuliakan” bagi si wafat.

Setelah jenazah dipakaikan dengan pakaian yang baik, selanjutnya dari ayat-ayat Allah kita mendapati petunjuk bahwa jenazah dikuburkan, bukan diperlakukan dengan cara lain seperti misalnya dikremasi (dibakar).

“Kemudian Allah kirimkan seekor burung gagak mencakar-cakar di atas bumi, untuk memperlihatkan kepada dia bagaimana dia akan menyembunyikan mayat saudaranya yang menimbulkan aib. Dia berkata: `Celakalah aku! Tidakkah aku mampu untuk menjadi seperti burung gagak ini, untuk menyembunyikan mayat saudaraku yang menimbulkan aib?’ Dan dia menjadi diantara orang-orang yang menyesal”. [Q.S. 5:31]

“Kemudian mematikannya, dan menguburkannya”. [Q.S. 80:21]

Sesaat setelah jenazah dikuburkan, pada sebagian masyarakat ada kebiasaan untuk melakukan “talqin”, yaitu suatu pengajaran kepada jenazah tentang apa yang harus dijawabnya atas pertanyaan malaikat di alam kubur. Padahal ayat Allah dalam hal ini sangat jelas:

“…kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang di dalam kubur untuk mendengar”. [Q.S. 35:22]

Karena talqin adalah pekerjaan yang sia-sia belaka, maka tidak usah kita ikut-ikutan melakukannya. Sebagai gantinya, kita bisa mendoakan kebaikan untuk si wafat. Ayat di bawah ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mendoakan maupun menziarahi jenazah (kubur) orang beriman adalah perbuatan yang dibenarkan oleh Allah.

“Dan janganlah kamu mendoakan seorang yang mati antara mereka, dan jangan juga berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan fasik”. [Q.S. 9:84]

Satu pesan lagi dari ayat di atas adalah, sebagai bentuk penghormatan atas si wafat maka ketika melakukan ziarah kubur hendaknya kita berdiri, bukan duduk atau jongkok.

Pembagian Harta Warisan

Wasiat Allah memerintahkan kepada kita membuat wasiat untuk ibu, bapak, dan sanak saudara. Saking pentingnya membuat wasiat ini, Allah mengaitkannya dengan ketakwaan.

“Dikitabkan bagi kamu, apabila seseorang antara kamu didatangi kematian, dan dia meninggalkan kebaikan (harta), supaya membuat wasiat untuk ibu bapaknya, dan sanak saudara dengan baik – sebagai suatu kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. [Q.S. 2:180]

Apabila ternyata isi wasiat dirasakan tidak adil atau berdosa apabila dilaksanakan, maka para pihak yang terlibat dapat memperbaikinya agar adil.

“Jika seseorang takut akan penyimpangan dari jalan yang benar, atau dosa dari orang yang berwasiat itu, lalu dia mengadakan perbaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Pengampun, Pengasih”. [Q.S. 2:182]

Allah tetapkan pula agar di dalam wasiat itu dicantumkan pemberian uang belanja dan hak untuk tetap mendiami rumah bagi istri selama satu tahun. Apabila rumah yang dimaksud adalah rumah sewaan, maka pembayaran sewa rumahnya selama satu tahun harus diwasiatkan.

“Dan orang-orang antara kamu yang mati dan meninggalkan isteri- isteri, hendaklah mereka membuat wasiat untuk isteri-isteri mereka nafkah untuk setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah)…”. [Q.S. 2:240]

Turut dimasukkan sebagai pewaris di dalam wasiat adalah orang-orang yang terikat sumpah dengan si wafat. “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu, bapak dan sanak saudara Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan orang- orang yang terikat sumpah dengan kamu, berilah mereka bagiannya…” [Q.S. 4:33] Hemat penulis, yang dimaksud dengan orang-orang yang terikat sumpah ini adalah orang-orang kepada siapa si wafat ketika hidupnya berkomitmen untuk memberi nafkah. Masuk ke dalam kategori ini adalah: anak asuh, anak tiri, pembantu, kerabat yang miskin, anak yatim, dll. Wasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Saksi dapat merupakan orang yang dipercayai atau orang lain jika kebetulan maut mendatangi sedang kita dalam perjalanan. “Wahai orang-orang yang beriman, kesaksian antara kamu apabila salah seorang daripada kamu ditimpa maut, apabila dia berwasiat, ialah dua orang yang adil antara kamu, atau dua orang selain kamu jika kamu berpergian di bumi dan bencana maut menimpa kamu…” [Q.S. 5:106]

Apabila ragu terhadap kejujuran saksi-saksi, kita minta agar mereka melafazkan sumpah dengan menyebut nama Allah setelah shalat dengan bunyi sebagaimana disebutkan oleh ayat berikut.

“…Kemudian kamu tahan mereka sesudah shalat, dan mereka akan bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: ‘Kami tidak akan menjualnya untuk suatu harga, walaupun ia sanak saudara yang dekat, dan kami tidak juga akan menyembunyikan kesaksian Allah, karena jika demikian, tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa'”. [Q.S. 5:106]

Pada zaman sekarang kita dapat menggunakan jasa notaris untuk penyaksian wasiat ini.