Mengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (16)


darwinMengapa Darwinisme Bertentangan Dengan Al Qur’an (16)

Harun Yahya

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al An’aam, 6: 73)

Apa Yang Terjadi Jika Darwinisme Tidak Dianggap Sebagai Sebuah Ancaman?

Bab-bab sebelumnya telah menyinggung berbagai kekeliruan, yang telah menyebabkan orang Muslim pendukung evolusi terperosok. Akan tetapi, masalah lain yang perlu ditinjau adalah bahwa teori itu mewakili suatu bahaya tersembunyi bagi banyak orang lain, sekalipun mereka tidak benar-benar mempercayainya.

Orang Muslim yang menganggap evolusi sebagai teori yang tak berbahaya, sekalipun sangat berseberangan dengan fakta penciptaan, lalu berdiam diri dan menyaksikannya berkembang, sebenarnya sedang membantu teori itu mencengkeram masyarakat secara lebih luas dan lebih kuat. Jadi, mereka sedang membiarkan paham ateisme tumbuh lebih kuat. Karena alasan ini, kaum Muslimin harus mengerti filsafat yang mendasari teori ini.

Evolusi adalah filsafat materialis yang diungkapkan secara “ilmiah”. Filsafat materialis, pada gilirannya, sesungguhnya berarti paham ateisme.

Hal ini berarti setiap Muslim wajib mengobarkan perang pemikiran melawan ateisme.

Mereka yang Menganggap bahwa Darwinisme Bukan Ancaman Adalah Keliru.

Sebagian kaum Muslimin berpendapat bahwa evolusi itu adalah masalah masa lalu, dan sudah tak lagi diterima, dan oleh karena itu, dari sudut pandang Islam, tidak menghadirkan ancaman nyata. Akibatnya, mereka tidak melihat perlunya menyingkapkan berbagai pernyataan evolusi yang berupa dusta dan tak ilmiah. Mereka menyatakan bahwa “Darwinisme sudah mati.”

Akan tetapi, berlawanan dengan apa yang mereka duga, masih banyak orang yang mendukung evolusi karena berbagai pengaruh filsafatnya, walaupun secara ilmiah, evolusi sudah runtuh.29 Para Darwinis masih amat berpengaruh di banyak negara, perguruan tinggi, berita, dan sekolah. Senyatanya, Darwinisme masih giat di panggung dunia, dengan menguasai lembaga-lembaga ilmiah, berita internasional, dan pandangan dunia para penguasa.

Kaum evolusionis dapat memaksakan tekanan yang cukup besar terhadap dunia ilmiah. Pendapat-pendapat sepihak diajukan dalam terbitan ilmiah dan media, dan evolusi digambarkan seakan kebenaran mutlak. Terutama media, yang mempengaruhi sebagian besar masyarakat, melukiskan setiap tulang fosil yang ditemukan sebagai bukti baru bagi evolusi. Hal ini didukung oleh para kalangan terpelajar Darwinis di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi.

Ilmuwan yang percaya kepada Tuhan dihambat dalam karir mereka, dan, karena menolak Darwinisme, buku dan ulasan karya mereka tidak diterbitkan. Lebih jauh lagi, mereka dituduh taklid dan terbelakang. Jika seorang ilmuwan di negara Barat ingin membangun karir ilmiah, ia harus menutup mata terhadap Darwinisme dan bahkan mendukungnya, terlepas dari apakah ia ingin atau tidak. Jika tidak, akan sangat sukar baginya untuk maju dalam pekerjaan pilihannya itu. 30

Salah seorang ilmuwan pengecam teori ini yang paling terkemuka adalah Phillips E. Johnson, guru besar ilmu hukum di Univesitas California-Berkeley dan pemimpin intelektual gerakan Intelligent Design (Rancangan Cerdas),31 yang menggambarkan bagaimana teori ini digunakan sebagai senjata melawan keyakinan yang benar:

Para pemimpin ilmu pengetahuan melihat diri terjebak dalam pertempuran mati-matian melawan kaum fundamentalis agama, julukan yang cenderung mereka berikan tanpa pandang bulu kepada siapa pun yang percaya kepada Sang Pencipta yang berperan giat dalam urusan duniawi. Para fundamentalis ini dipandang sebagai ancaman bagi kebebasan yang lepas, dan khususnya sebagai ancaman bagi dukungan masyarakat terhadap penelitian ilmiah. Sebagai mitos penciptaan paham naturalisme ilmiah, Darwinisme memainkan peran pemikiran yang sangat diperlukan dalam perang melawan fundamentalisme. Karena alasan itu, organisasi-organisasi ilmiah diabdikan untuk melindungi Darwinisme dan bukan mengujinya, dan kaidah-kaidah penelitian ilmiah telah dibentuk untuk membantu mereka agar berhasil. 32

Menggunakan “kediktatoran intelektual” ini, kaum evolusionis mengubah sejumlah perguruan tinggi menjadi sarang pendidikan Darwinis, yang menghasilkan lulusan yang percaya bahwa filsafat materialis adalah ilmu pengetahuan. Mereka berpikir bahwa hak atas pendidikan harus dirampas dari kaum yang beriman kepada Tuhan. Satu contoh yang paling mencolok terlihat dalam sikap gusar Ali Demirsoy, seorang evolusionis dan guru besar Turki, selama debat televisi tentang evolusi. Ia melontarkan pernyataan yang senada dengan “Tidak seorang pun ilmuwan yang percaya kepada Tuhan diperbolehkan dalam perguruan tinggi. Saya akan mendepak para mukminin keluar dari perguruan-perguruan tinggi.” Pernyataan serupa itu nyata-nyata mengungkapkan sikap berprasangka kaum evolusionis.

Kaum Muslimin mungkin terlalu berbaik sangka, karena tidak menyadari fakta sebenarnya keadaan ini, dan karena itu tak mampu membayangkan Darwinisme sebagai ancaman. Akan tetapi, para materialis dan khususnya Marxis terus mengobarkan perang yang bersungguh-sungguh melawan agama melalui dukungan “ilmiah” yang mereka peroleh dari paham Darwinisme. Itulah sebabnya, kaum Muslimin perlu sesegera mungkin membebaskan diri dari anggapan keliru bahwa Darwinisme sudah berakhir. Pada saat kaum evolusionis sedang mencanangkan perang pemikiran sedunia melawan agama, adalah salah jika mengatakan teori itu sudah mati dan memandang Darwinisme tak berbahaya.

Menghindari Perang Pemikiran Hanya Memperkuat Darwinisme

Mereka yang berpikir bahwa Darwinisme sudah mati atau bukan ancaman, yang menyebarkan pikiran itu di kalangan mereka sendiri, secara sadar atau tidak, membantu teori ini mendapatkan landasan baru. Saat mereka mengemukakan pendapat ini, orang pun berpikir bahwa tidak ada bahaya seperti itu. Lebih lagi, ini menghalangi tumbuhnya kepekaan pemikiran dan ilmiah terhadap propaganda, dusta, dan anjuran Darwinis, yang berarti langkah-langkah kewaspadaan tidak bisa dilakukan.

Orang yang percaya kepada evolusi terus mempersiapkan landasan berpijak, sekalipun dengan fakta yang kedaluwarsa, dan sengit membela teori ini di setiap kesempatan. Mereka mencoba mempertahankan agar gagasan ini tetap hidup, sekalipun dengan dusta dan pengaburan makna. Karena tidak menganggap teori ini berbahaya, banyak Muslim tidak membaca atau mempelajarinya, dan karena itu tidak bisa menanggapi kaum evolusionis yang berhubungan dengan mereka secara cerdik.

Namun, tidak sulit mempelajari dan menyerap ketidakabsahan teori ini, sebab teori ini adalah pendapat dari abad ke-19 yang telah kehilangan semua pembenaran ilmiahnya. Lebih jauh, data ilmiah tentang asal-muasal alam semesta dan kehidupan – misalnya, “penyetelan” alam semesta yang amat halus (disebut juga Prinsip Antropik), kerumitan kehidupan di aras molekul, informasi rumit dalam asal-muasal kehidupan, dan kemunculan berbagai bentuk kehidupan yang amat beragam dalam catatan fosil secara tiba-tiba, menandaskan kebenaran fakta penciptaan.

Akan tetapi, selama mereka yang taat tidak berhasil menelaah atau mempelajari kemajuan ini, mereka akan terus kekurangan pengetahuan untuk menghadapi evolusionis secara cerdas. Jadi, mereka berupaya untuk menjawab dengan mantik yang keliru dan contoh serta keterangan yang salah. Sebelum mempergunakan bahan bacaan berlimpah yang membahas dusta gagasan Darwinis, para Muslim harus menyadari bahaya yang ada, dan meyakini perlunya perang pemikiran.

Melihat kenyataan ini, para penganut paham penciptaan (kreasionis) melalui evolusi, yang percaya bahwa Darwinisme tidak berbahaya, sebenarnya terhitung bertanggung jawab atas sikap kaum Muslim yang tetap berdiam diri di hadapan kaum Darwinis.

Kami katakan ini karena, sekalipun mereka tidak menganggap faktor kebetulan sebagai sebuah kemampuan mencipta, dan percaya kepada Allah, mereka tidak memiliki fakta-fakta yang dibutuhkan untuk melakukan pendekatan yang lambat dan teguh saat berhadapan dengan berbagai pernyataan evolusionis. Dan karena itu, mereka mencari jalan tengah antara pernyataan seperti itu dengan kepercayaan mereka sendiri. Hasilnya, mereka mengajukan gagasan-gagasan semacam “Allah menciptakan makhluk hidup lewat evolusi” atau “Evolusi sejalan dengan agama.”

Akan tetapi, sebagaimana telah dijelaskan buku ini, keadaan ini tak bisa diterima siapa pun Muslim yang sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Kaum evolusionis menyatakan mereka bicara atas nama ilmu pengetahuan, namun sebenarnya mereka berdusta dengan nama ilmu pengetahuan.

Itulah sebabnya, para Muslim tidak boleh menaruh keyakinan kepada penipuan itu, dengan penampakan luarnya yang “ilmiah”, namun harus melihat pada pemikiran yang dibela oleh teori itu. Kegagalan dalam merasakan bangunan dan filsafat tak bertuhan tempat teori ini berpijak, maupun menganggapnya benar, berarti menyerah kepadanya dan berbagi dosa atas semua kejahatan yang diakibatkan Darwinisme pada umat manusia. Tanpa sadar, Muslim serupa itu menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat.

Karena itulah, kaum evolusionis Muslim harus meninjau kembali gagasan-gagasan yang mereka dukung. Menyerah kepada pihak lawan, sambil mengetahui bahwa teori itu salah, tak terbukti, dan sepenuhnya tidak amanah, serta mencoba menyesuaikan Islam dengan Darwinisme merupakan pilihan yang tak bisa diterima.

Kita tidak boleh melupakan bahwa semua Muslim diwajibkan mengobarkan perang pemikiran untuk menjungkalkan semua gagasan yang mengingkari keberadaan Allah dan menggunakan kebenaran untuk menghancurkan dusta. Menghindari tanggung jawab, mencari kesamaan pijakan dengan kaum ateis, dan memberikan kelonggaran bagi pihak lawan atau menyerah kepada gagasan-gagasan mereka, semuanya adalah kesalahan berat.

Misalnya, dalam suatu masyarakat tempat paham komunisme menyungkup, tugas seorang Muslim bukanlah “meng-Islamkan” komunisme. Jalan sedemikian tidak memberi manfaat apa-apa bagi agama, tetapi cuma melayani kepentingan komunisme. Tugas seorang Muslim adalah menjungkalkan komunisme sebagai sebuah filsafat, menyerangnya di aras pemikiran, dan memperlihatkan kebenaran Islam.

Dengan cara serupa, bukanlah tugas Muslim untuk “meng-Islamkan” Darwinisme, melainkan menjungkalkan dusta besar itu di aras pemikiran dan memperlihatkan kebenaran penciptaan. Karena itulah kaum Muslimin harus bertindak secara sadar, dan tidak mendukung Darwinisme yang merupakan dasar semua filsafat ateis.

Darwinisme Menghadirkan Ancaman Pada Masyarakat

Tak seorang pun yang berpikir secara tak memihak, jujur, dan bebas, dapat benar-benar yakin bahwa atom-atom yang tak sadar bergabung secara tanpa sengaja, mengatur dan menyusun diri, dan akhirnya menghasilkan manusia yang berpikir, menalar, merasa, melihat, mendengar, membangun peradaban, membuat penemuan, menciptakan karya seni, bergembira, berduka, atau bahkan mempelajari atom-atom yang membentuk tubuhnya sendiri melalui mikroskop elektron. Tetapi, inilah kepercayaan tidak masuk akal yang dicekokkan teori Darwin pada masyarakat. Meskipun yang digunakan adalah peristilahan ilmiah, itulah saripati mantik Darwinis.

Orang-orang yang menerima “mantik” demikian mulai kehilangan daya urai (analisis) dan penilaian yang nalar. Setelah menerima skenario yang paling tak mungkin ini seolah amat mantiki (masuk akal), mereka menjadi tak mampu melihat bukti yang paling nyata akan iman agama.

Mereka ini, yang telah kehilangan kemampuan berpikir serta melihat kebenaran yang paling nyata, memahami dengan sesungguhnya anjuran dan propaganda yang mereka menjadi korbannya, dan yang membuta menerima gagasan itu hanya karena mayoritas orang menerimanya, dapat mudah ditarik ke arah mana pun.

Setelah sampai di tahap itu, orang-orang itu bahkan tidak dapat menggunakan kecerdasan mereka sendiri, suatu keadaan yang membuat jauh lebih mudah untuk memberi mereka senjata dan mengirim mereka sebagai teroris, atau meyakinkan mereka bahwa “Darwin mengatakan orang ini berasal dari ras yang lebih rendah, jadi, engkau boleh membunuhnya.”

Nyatanya, kerusakan yang diakibatkan pada kaum muda oleh Darwinisme di banyak negara diperkirakan tidak dapat diperbaiki. Perusuh sepakbola di Inggris, kaum neo-Nazi di Jerman, kelompok skinheads (kepala plontos) di Amerika, dan jumlah terbanyak kaum muda di seantero dunia telah kehilangan semua sifat kemanusiaan.

Mereka ini, yang merupakan pembunuh dan monster, merupakan contoh hidup dari bahaya Darwinisme. Negara-negara itu mengalami masalah yang mengenaskan dengan kaum mudanya, sebab para pemuda itu telah menerima pendidikan Darwinis.

Kita harus sadar bahwa orang yang dibesarkan dengan cara ini tidak akan membawa apa-apa selain bahaya bagi masyarakat tempat mereka berada. Suatu hari, para pemuda masa kini akan menjadi dewasa, pemerintah, diplomat, atau guru. Jadi, jika kita berharap melihat suatu peradaban mutakhir, secara ilmiah maju, dan nalar di masa depan, kita harus mendidik para pemuda kita dengan sasaran itu selalu di benak kita.

Ini bisa dilakukan hanya jika kita membebaskan pemuda kita dari gagasan dan dusta Darwinis dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bukan hewan yang berevolusi, tetapi diciptakan Allah, memiliki jiwa, dan mempunyai pengetahuan tertinggi di antara semua makhluk hidup. Dengan kata lain, kita harus menjelaskan kepada mereka hal yang sesungguhnya.

Jika tahu bahwa mereka telah diciptakan dengan jiwa dan kesadaran yang mulia dan unggul, kaum muda akan menyesuaikan perilakunya. Jika diyakinkan bahwa mereka telah berevolusi dari hewan, berasal dari moyang yang sama dengan kera, dan gagasan sejenis lainnya, mereka akan melihat kehidupan sebagai sebuah pertarungan dan akan memakai segala cara untuk memenanginya.

Generasi yang cuma mementingkan diri sendiri dan tak bertanggung jawab, tega melakukan segala kekejaman dan tanpa mengenal tenggang rasa, cinta, kehormatan, atau pun persaudaraan lalu akan muncul. Dalam perkara apa pun, mereka akan melihat diri sendiri dan orang lain pada hakikatnya sebagai tak bernilai, karena percaya bahwa semua manusia diturunkan dari hewan.

Karena percaya tidak ada artinya menjalani hidup yang berharkat dan berakhlak, mereka akan sesukanya menampilkan segala jenis kezaliman dan kerusakan akhlak.

Karena itu, apa yang harus dilakukan adalah memberantas kediktatoran pemikiran dan teori evolusionis di sekolah-sekolah, buku-buku, pers dan media, tataran sosial – singkatnya, di mana-mana – dan mengarahkan orang ke penalaran dan pemikiran mendalam yang diminta baik oleh Al Qur’an maupun ilmu pengetahuan.

=================

  1. Lihat Harun Yahya, Darwinism Refuted, Goodword Books, New Delhi , 2003; Phillip E. Johnson, Reason in the Balance, Intervarsity Press, 1995; Phillip E. Johnson, The Wedge of Truth, Intervarsity Press, 2000; Benjamin Wiker, Moral Darwinism: How We Became Hedonists, Intervarsity Press, 2002
  2. Di Amerika Serikat, sejumlah ilmuwan yang mengecam Darwinisme telah didepak dari kedudukan mereka oleh lembaga Darwinis seperti American Civil Liberties Union dan National Center for Science Education. Robert deHart, seorang guru SMU, dikeluarkan di tahun 1998 hanya karena menyebutkan kepada para muridnya sejumlah keterangan yang mengecam Darwinisme.
  3. Phillip E. Johnson adalah seorang tokoh terdepan dalam perang pemikiran melawan Darwinisme. Buku-bukunya mencakup Darwin on Trial, Reason in the Balance, Defeating Darwinism by Opening Minds, Objections Sustained dan The Wedge of Truth.

32.Philip E. Johnson, Darwin On Trial, Intervarsity Press, Downers Grove, Illinois, cetakan ke-2, 1993, p.155