Kembali kepada Allah


Kembali kepada Allah

Seorang Muslim yang memahami hakikat Ramadhan, akan merasa berat berpisah dengan bulan mulia ini. Ia berharap sepanjang tahun diisi Ramadhan. Dalam Shirah Nabawiyyah diungkapkan betapa sedihnya Rasulullah SAW dan para sahabat ketika Ramadhan berlalu. Hati mereka harap-harap cemas, takut jatah umur yang tersisa tidak menyampaikan mereka pada Ramadhan tahun berikutnya. Perpisahan mereka dengan Ramadhan, bagaikan perpisahan dengan kekasih yang amat dicintai.

Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah SWT mengganti berlalunya Ramadhan dengan aneka kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan di dunia namun juga kebahagiaan di akhirat. Dosa-dosa diampuni, amalan dilipatgandakan, jiwa dan raga menjadi bersih. Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan balasan Allah niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu” (HR Bukhari).

Lalu kebahagiaan sesungguhnya akan mereka raih ketika di akhirat, yaitu kesempatan berjumpa dan menatap wajah Allah Azza wa Jalla. Disabdakan, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang membahagiakan ketika berbuka (termasuk pada saat Idul Fitri) ia bahagia dan ketika bertemu dengan Tuhannya ia pun bahagia karena puasanya itu.”(HR Bukhari).

Hal paling khas selepas Ramadhan adalah kembalinya orang-orang beriman kepada fitrah penciptaannya. Yaitu kecucian jiwa dan bebasnya jiwa manusia dari penghambaan selain kepada Allah SWT. Difirmankan, Hadapkan wajahmu dengan lurus pada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS Ar Rum [30]: 30)

Walau tidak berbicara dalam konteks Ramadhan, ayat ini sangat relevan dengan nuansa Ramadhan dan Idul Fitri. Orang yang telah menikmati jamuan Allah di bulan Ramadhan hendaklah tetap dalam karakteristik penciptaan-Nya dan potensi kemanusiaan yang selalu siap menerima kebenaran.

Menurut Ibn Abdil Bar dan Ibn Athiyah, fitrah adalah ciptaan dan bentuk atau karakter yang Allah ciptakan dalam diri manusia. Fitrah ini telah disiapkan sehingga manusia bisa mengidentifikasi dan membedakan berbagai ciptaan Allah. Lalu ia menjadikannya dalil untuk mengetahui eksistensi dan mengimani Allah. Sedangkan dalam tafsir Al Qurtubhi XIV/29, mengutip gurunya, Abu Abbas, ayat tersebut mengungkapkan bahwa Allah telah menciptakan kalbu (akal) anak Adam agar siap menerima kebenaran. Seperti halnya mata diciptakan untuk melihat dan telinga diciptakan untuk mendengar. Selama akal manusia tetap dalam fitrahnya maka ia akan mengenali kebenaran.

Dapat kita simpulkan bahwa kembalinya kita kepada fitrah adalah kembalinya kita kepada aturan Allah SWT secara kaffah dan menyeluruh. Allah yang telah menciptakan manusia, kehidupan dan alam semesta ini, sudah tentu akan menciptakan aturan untuk makhluk-Nya. Misalnya pengaturan tata surya, mampukah manusia mengaturnya? Ataukah mereka bergerak sendiri? Bagaimana jadinya jika tidak adanya aturan dan penjagaan Dzat Pencipta? Pastilah jagat raya ini akan hancur. Begitu pun manusia. Yang berhak mengatur akan kehidupan manusia hanya Allah semata. Dia mengetahui apa yang dibutuhkan manusia, tiada kepentingan dari aturan tersebut selain untuk kebahagiaan hamba-Nya.

Fitrah manusia membutuhkan agama dan sistem hidup yang sesuai dengan fitrahnya. Agar semua perilaku dalam mengejawantahkan nilai-nilai fitrah tersebut bisa terlaksana dengan baik. Karena itu, fitrah manusia akan membuang agama dan sistem hidup yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Allah SWT memberikan potensi kepada manusia berupa gharizah at-tadayyun (naluri beragama). Sebab keterbatasan dan kelemahannya, manusia membutuhkan Dzat Mahaagung yang patut disembah. Dan Akal yang diberikan Allah SWT agar mampu memastikan adanya Al Khaliq dan tunduk patuh kepada-Nya.

Sejatinya, kita menjadikan kemenangan Idul Fitri ini menjadi kemenangan kaum Muslimin seluruhnya, yakni bergabungnya kekuatan besar yang keluar dari rasa syukur kepada Allah SWT, untuk meraih rahmatan lil’alamin dari aturannya yang sempurna. Sehingga rahmat dan keridhaan Allah akan tercurah kepada segenap kaum Muslimin.

Kini apa alasan kita untuk tidak menginternalisasikan aturan-aturan Allah dalam kehidupan kita. Mulai dari hal terkecil sampai hal terbesar. Mulai dari makan, minum, ke toilet, berumah tangga, bekerja hingga kehidupan bernegara. Bukankah kita meyakini bahwa Islam adalah agama fitrah? Yang mengatur manusia dengan Khalik-nya, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan dirinya sendiri.

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu,” demikian pesan Allah dalam QS Al Baqarah [2] ayat 208. Wallaahu a’lam. (tri )

***

Sumber: republika.co.id